Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki kebutuhan yang sangat tinggi terhadap jaminan kehalalan produk yang beredar dan di konsumsi. Bagi umat Muslim, mengonsumsi dan menggunakan produk yang halal dan thayyib (baik) bukan sekadar preferensi, melainkan perintah agama yang menjadi bagian esensial dari ibadah.
Baca juga: Sertifikasi Halal Self Declare: UMK Cepat Tembus Pasar Halal
Kesadaran dan tuntutan konsumen yang terus meningkat, di tambah dengan potensi besar Indonesia untuk menjadi Pusat Produsen Halal Dunia (Global Halal Hub), mendorong Pemerintah untuk mengambil langkah strategis. Langkah tersebut di tandai dengan perubahan fundamental dalam sistem jaminan kehalalan produk.
Baca juga: Dokumen Pendukung Bahan Kritis Sebagai Pilar Jaminan Halal
Sertifikat halal adalah fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan suatu produk telah memenuhi syariat Islam, dan merupakan syarat untuk mendapatkan label halal dari pemerintah. Sertifikat ini penting bagi produsen untuk meningkatkan daya saing dan kepercayaan konsumen, serta wajib bagi produk tertentu seperti makanan, minuman, obat, dan kosmetik mulai 17 Oktober 2026 bagi usaha mikro dan kecil. Untuk mendapatkannya, pelaku usaha harus mengajukan permohonan melalui BPJPH dan memenuhi persyaratan yang ada.
Baca juga : Penyusunan, Verifikasi, Implementasi SJH Sistem Jaminan Halal
Pergeseran Paradigma Hukum (Mandatory Halal)
Historisnya, sertifikasi halal di Indonesia bersifat sukarela (voluntary), yang utamanya di selenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun, untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang kuat kepada masyarakat, negara mengesahkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Baca juga: Lembaga Pemeriksa Halal LPH Sertifikasi Halal dari Pelaku Usaha
UU JPH menetapkan paradigma baru, yaitu Kewajiban Bersertifikat Halal (Mandatory Halal) bagi semua produk yang masuk, beredar, dan di perdagangkan di wilayah Indonesia. Hal ini menegaskan peran negara dalam menjamin kehalalan produk, bukan hanya sebagai fungsi keagamaan, tetapi juga sebagai tanggung jawab perlindungan konsumen dan regulasi perdagangan.
Baca juga: BPJPH Panduan Singkat Mengurus Sertifikasi via Sistem SIHALAL
Definisi Sertifikat Halal
Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang di terbitkan secara resmi oleh lembaga pemerintah, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) di bawah Kementerian Agama, berdasarkan penetapan fatwa halal tertulis yang di keluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sertifikat ini menjadi bukti otentik yang memungkinkan pelaku usaha mencantumkan Label Halal Indonesia pada kemasan produk mereka, sekaligus membuka akses produk ke pasar halal yang lebih luas, baik domestik maupun internasional.
Baca juga: Penyelia Halal VS Auditor Halal: Perbedaan & Sinergi Peran Kunci
Artikel ini akan mengupas tuntas mengenai kerangka regulasi, kelembagaan, proses, serta manfaat dari implementasi sistem sertifikasi halal yang baru di Indonesia.
Dasar Hukum (Regulasi Utama)
Dasar hukum utama yang menjadi landasan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia adalah:
Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Ini adalah payung hukum utama yang mewajibkan seluruh produk yang beredar dan di perdagangkan di Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk non-halal. UU ini mengalihkan wewenang utama sertifikasi dari MUI ke Pemerintah.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
PP ini merupakan aturan pelaksana dari UU JPH, yang merinci mengenai prosedur, biaya, jenis produk, masa berlaku sertifikat, dan mekanisme pengawasan.
Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Sertifikasi Halal bagi Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK).
PMA ini mengatur secara khusus proses sertifikasi halal bagi UMK, termasuk mekanisme sertifikasi halal gratis (Sehati) melalui skema pernyataan pelaku usaha (self-declare).
Kelembagaan (Pelaku Utama)
Terdapat tiga lembaga utama yang terlibat dalam proses sertifikasi halal di Indonesia, dengan peran dan kewenangan yang di atur dalam UU JPH:
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
Kedudukan: Lembaga di bawah Kementerian Agama (Kemenag) dan menjadi otoritas tunggal dalam penyelenggaraan JPH di Indonesia.
Peran dan Kewenangan Sentral BPJPH:
Regulator Tunggal (Penyelenggara JPH):
- BPJPH adalah satu-satunya badan yang di berikan mandat oleh UU No. 33 Tahun 2014 untuk melaksanakan seluruh proses JPH.
- BPJPH merumuskan dan menetapkan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) JPH di Indonesia.
Administrator Pendaftaran:
- BPJPH menerima semua permohonan sertifikasi halal dari Pelaku Usaha melalui sistem daring (seperti SIHALAL).
- BPJPH menetapkan biaya layanan (tarif) sertifikasi halal.
Pengorganisasi Audit:
BPJPH bekerja sama dengan dan mengakreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) untuk melaksanakan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. BPJPH yang menugaskan LPH untuk melakukan audit.
Penerbit Sertifikat:
BPJPH memiliki kewenangan final untuk menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan fatwa halal tertulis yang telah di tetapkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Komite Fatwa Produk Halal.
Pengawasan dan Pembinaan:
BPJPH bertanggung jawab mengawasi pelaksanaan JPH dan memberikan pembinaan kepada Pelaku Usaha agar produk yang sudah bersertifikat tetap konsisten dalam menjamin kehalalannya.
Dengan kewenangan tunggal ini, BPJPH berfungsi sebagai “pintu gerbang resmi” bagi semua produk lokal maupun impor yang ingin mendapatkan status halal dan beredar di pasar Indonesia.
Lembaga Pemeriksa Halal (LPH)
Kedudukan: Lembaga yang di dirikan oleh pemerintah atau masyarakat (perguruan tinggi, ormas Islam) dan telah terakreditasi oleh BPJPH.
Jika BPJPH adalah regulator, maka LPH adalah pelaksana teknis dan auditor lapangan yang memastikan kehalalan produk secara faktual di fasilitas produksi.
Kedudukan dan Pembentukan
- Definisi LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk.
- Pendirian LPH dapat di dirikan oleh Pemerintah, maupun oleh Lembaga Keagamaan Islam Berbadan Hukum (seperti ormas Islam) atau Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan Kemenag.
- Persyaratan: Agar dapat beroperasi, LPH wajib mendapatkan akreditasi dan izin operasional dari BPJPH.
Peran Utama (Tugas Teknis dan Krusial)
Peran LPH adalah inti dari verifikasi kehalalan produk, yang meliputi:
- Audit Lapangan (On-Site Audit): Melakukan pemeriksaan dan penilaian menyeluruh terhadap sistem jaminan halal pelaku usaha, mulai dari bahan baku yang di gunakan, fasilitas, peralatan, hingga prosedur operasional standar (SOP) produksi di lokasi pabrik/dapur usaha.
- Pengujian Laboratorium: Jika di temukan titik kritis kehalalan yang meragukan atau memerlukan pembuktian ilmiah (misalnya, dugaan kontaminasi bahan haram), LPH berwenang melakukan pengujian di laboratorium untuk memastikan kehalalan bahan atau produk.
- Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP): Setelah audit dan pengujian selesai, LPH menyusun Laporan Hasil Pemeriksaan yang memuat data dan fakta mengenai kehalalan produk. LHP ini yang menjadi dasar bagi MUI/Komite Fatwa dalam menetapkan status halal.
Contoh Pelaku LPH
- LPH LPPOM MUI: Merupakan LPH tertua dan paling berpengalaman di Indonesia, yang kini beroperasi di bawah payung regulasi BPJPH.
- LPH-LPH Baru: Sejak UU JPH, banyak LPH baru yang di dirikan oleh perguruan tinggi, ormas, dan pihak swasta lainnya, yang semuanya harus terdaftar dan di akreditasi oleh BPJPH.
Intinya: LPH bertindak sebagai mata dan telinga BPJPH, memastikan bahwa klaim kehalalan yang di ajukan pelaku usaha sesuai dengan standar teknis dan syariat di lapangan.
Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Kedudukan: Lembaga keagamaan yang berperan sebagai penentu status kehalalan produk secara syariat.
Dalam struktur Jaminan Produk Halal (JPH) yang baru, peran MUI berfokus pada ranah syariat (hukum Islam), sementara BPJPH menangani ranah administrasi dan regulasi.
Peran Utama (Otoritas Fatwa)
- Penetapan Kehalalan Produk: MUI, melalui Komisi Fatwa atau Komite Fatwa Produk Halal, adalah satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menetapkan kehalalan suatu produk secara syariat.
- Sidang Fatwa Halal: Penetapan status halal di lakukan melalui Sidang Fatwa Halal. Keputusan ini di dasarkan pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang di sampaikan oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan BPJPH.
- Ketetapan Halal: Hasil dari Sidang Fatwa adalah Ketetapan Halal Tertulis. Ketetapan ini mengikat secara syariat dan menjadi dasar hukum bagi BPJPH untuk melanjutkan proses penerbitan sertifikat.
Mekanisme Keterlibatan
Alur kerjanya memastikan bahwa aspek syariat selalu terpenuhi sebelum status legal di terbitkan:
- LPH (seperti LPPOM MUI) melakukan audit lapangan.
- Hasil audit di serahkan ke BPJPH, kemudian diteruskan ke MUI.
- MUI/Komite Fatwa meninjau LHP tersebut.
- Jika memenuhi kriteria syariat, MUI menerbitkan Ketetapan Halal.
- BPJPH (sebagai administrator negara) menerima Ketetapan Halal tersebut dan kemudian menerbitkan Sertifikat Halal resmi kepada Pelaku Usaha.
Peran Tambahan
- MUI juga berperan dalam menetapkan standar dan kriteria kehalalan yang harus di pedomani oleh LPH dan pelaku usaha.
- Di masa transisi dan penahapan, MUI masih memiliki peran strategis dalam akreditasi LPH yang didirikan oleh Organisasi Kemasyarakatan Islam.
Singkatnya: Sertifikat halal di terbitkan oleh negara (BPJPH), tetapi legitimasi syariatnya di jamin oleh ulama (MUI).
Cakupan Produk yang Wajib Bersertifikat Halal
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), pada dasarnya semua produk yang masuk, beredar, dan di perdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang di kecualikan.
Kewajiban ini di terapkan secara bertahap dalam tiga kategori besar:
Kategori Pangan (Wajib Sejak 17 Oktober 2024)
Ini adalah fokus utama penahapan pertama yang telah berakhir. Kategori ini meliputi:
- Makanan dan Minuman Olahan: Semua produk makanan dan minuman kemasan (contoh: snack, bumbu, minuman siap saji).
- Bahan Baku Pangan: Bahan baku, bahan tambahan pangan (BTP), dan bahan penolong untuk produksi makanan dan minuman.
- Jasa Terkait Pangan: Produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan (RPH/RPU) serta jasa pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian (termasuk restoran, katering, warung makan, dsb.).
Kategori Non-Pangan (Wajib Bertahap hingga 17 Oktober 2026)
Kewajiban untuk kategori non-pangan ini berlaku secara bertahap, dengan batas akhir penahapan umumnya adalah 17 Oktober 2026 untuk sebagian besar produk.
Cara Mendapatkan Sertifikat Halal
Proses mendapatkan Sertifikat Halal di Indonesia kini terpusat dan wajib di lakukan melalui sistem daring SIHALAL (Sistem Informasi Halal) yang di kelola oleh BPJPH.
Persiapan Awal (Wajib Bagi Semua Skema)
Legalitas Usaha (NIB): Pelaku usaha (termasuk UMK) wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) yang di daftarkan melalui sistem Online Single Submission (OSS) di laman oss.go.id. NIB menjadi identitas legal yang wajib di miliki untuk dapat mengakses layanan SIHALAL.
Kesiapan Produk dan Dokumen:
- Pastikan produk yang di ajukan sudah di produksi dan memiliki daftar bahan baku, bahan tambahan, serta bahan penolong yang jelas.
- Siapkan dokumen legal lainnya dan Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) terutama untuk skala menengah dan besar.
- Penunjukan Penyelia Halal: Khusus untuk Usaha Menengah dan Besar, wajib menunjuk dan mendokumentasikan Penyelia Halal yang kompeten.
Tahapan Pengajuan Melalui SIHALAL
Setelah persiapan awal, proses pengajuan di bagi menjadi dua skema utama:
Jalur Reguler (Audit LPH)
Ini adalah jalur standar untuk produk berisiko tinggi atau skala besar.
| Langkah | Deskripsi Proses |
| 1. Pendaftaran di SIHALAL | Pelaku Usaha membuat akun dan mengajukan permohonan sertifikasi (Reguler) di laman ptsp.halal.go.id, melengkapi data usaha, dan memilih Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). |
| 2. Verifikasi dan Pembayaran | BPJPH memverifikasi kelengkapan dokumen. Jika di terima, BPJPH menerbitkan tagihan pembayaran biaya pemeriksaan LPH. Pelaku usaha wajib membayar biaya tersebut. |
| 3. Pemeriksaan (Audit LPH) | LPH yang di pilih akan menugaskan Auditor Halal untuk memverifikasi dokumen dan melakukan audit lapangan (kunjungan ke lokasi produksi) untuk memastikan konsistensi PPH dan SJPH. |
| 4. Penetapan Halal MUI | Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) di serahkan kepada MUI/Komite Fatwa untuk di sidangkan dan di terbitkan Ketetapan Halal Tertulis. |
| 5. Penerbitan Sertifikat | Berdasarkan Ketetapan Halal MUI, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal yang dapat di unduh oleh Pelaku Usaha melalui SIHALAL. |
Jalur Self-Declare (Gratis/SEHATI)
Ini di khususkan untuk UMKM dengan produk berisiko rendah dan bahan baku sederhana, serta di fasilitasi melalui Program SEHATI.
| Langkah | Deskripsi Proses |
| 1. Pendaftaran dan Pemilihan PPH | UMK mendaftar melalui SIHALAL dan mengajukan permohonan Self-Declare. UMK memilih Pendamping Proses Produk Halal (PPH). |
| 2. Pendampingan dan Validasi | PPH melakukan pendampingan dan verifikasi/validasi lapangan terhadap pernyataan kehalalan UMK. Proses ini menggantikan audit LPH. |
| 3. Penetapan Fatwa Komite | Hasil verifikasi PPH di ajukan ke Komite Fatwa Produk Halal untuk di tetapkan kehalalannya (biasanya lebih cepat). |
| 4. Penerbitan Sertifikat | BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal. |
Masa Berlaku: Sertifikat Halal berlaku selama 4 tahun dan wajib di perpanjang.
Perpanjangan Sertifikat Halal
Sertifikat halal berlaku selamanya, kecuali ada perubahan dalam komposisi bahan, Proses Produk Halal (PPH), atau hal lainnya yang memengaruhi kehalalan produk. Jika terjadi perubahan tersebut, pelaku usaha wajib mengajukan perpanjangan paling lambat tiga bulan sebelum masa berlaku sertifikat sebelumnya berakhir
Cara Mengecek Keaslian Sertifikat Halal
Memberikan kemudahan kepada konsumen untuk memverifikasi keaslian label adalah bagian integral dari jaminan produk halal. Sertifikat halal dapat di periksa keabsahannya kapan saja, secara gratis, dan di lakukan melalui kanal resmi milik Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Kunjungi Portal Resmi
Akses portal layanan resmi BPJPH di laman Sistem Informasi Halal (SIHALAL) atau melalui aplikasi resmi yang di sediakan pemerintah:
- Website: Kunjungi laman resmi BPJPH atau portal layanan sertifikasi halalnya.
- Aplikasi: Pemanfaatan aplikasi seluler juga sering di sediakan oleh BPJPH atau Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) terakreditasi untuk mempermudah pencarian.
Gunakan Fitur Pencarian
Setelah masuk ke laman/aplikasi, cari menu “Cek Sertifikat Halal” atau “Cari Produk Halal”. Anda dapat melakukan penelusuran data dengan memasukkan salah satu informasi berikut:
| Kriteria Pencarian | Keterangan |
| Nomor Sertifikat Halal | Nomor unik yang tertera pada Sertifikat Halal atau pada Label Halal Indonesia di kemasan produk. |
| Nama Produk | Nama dagang produk yang bersangkutan. |
| Nama Pelaku Usaha | Nama perusahaan, pabrik, atau pemilik usaha (sesuai Nomor Induk Berusaha/NIB). |
Hasil Verifikasi
Jika data yang di masukkan valid, sistem akan menampilkan informasi lengkap mengenai:
- Status produk (Halal/Tidak Halal).
- Nomor Sertifikat Halal.
- Masa berlaku sertifikat (tanggal terbit dan tanggal kedaluwarsa).
- Nama Pelaku Usaha yang berhak.
Verifikasi ini memastikan bahwa Label Halal Indonesia yang tertera pada kemasan produk resmi di terbitkan oleh BPJPH dan masih berlaku, sehingga memberikan kepastian dan kenyamanan bagi konsumen.
Biaya dan Durasi Sertifikasi Halal
Aspek biaya dan waktu pengerjaan merupakan faktor penentu bagi pelaku usaha untuk memulai proses sertifikasi. Regulasi saat ini menawarkan fleksibilitas tergantung skala usaha.
Biaya Sertifikasi (Prinsip dan Skema Subsidi)
Biaya Sertifikasi Halal di atur dalam Peraturan Pemerintah dan dapat di bagi menjadi dua skema utama:
| Skema Biaya | Detail Pelaksanaan |
| 1. Jalur Reguler (Berbayar) | Di kenakan biaya yang bervariasi berdasarkan skala usaha (Mikro, Kecil, Menengah, Besar), jenis produk, dan wilayah. Biaya ini mencakup pendaftaran di BPJPH, pemeriksaan oleh LPH, dan penetapan fatwa. Tarif resmi di tetapkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh BPJPH. |
| 2. Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) | Pemerintah, melalui BPJPH, menyediakan program SEHATI untuk memfasilitasi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Biaya sertifikasi di tanggung oleh anggaran negara (APBN) atau pihak ketiga (CSR, lembaga pendanaan). Skema ini menggunakan mekanisme pernyataan mandiri (self-declare) untuk produk yang risikonya rendah dan sederhana. |
Penting: Bagi pelaku usaha skala menengah dan besar yang menggunakan jalur Reguler, mereka juga harus memperhitungkan biaya untuk implementasi dan pemeliharaan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), seperti pelatihan Penyelia Halal dan pengujian laboratorium.
Durasi Proses Sertifikasi
Jangka waktu penyelesaian proses sertifikasi halal di atur dalam peraturan BPJPH dan sangat bergantung pada kelengkapan dokumen dan jalur yang di pilih:
| Jalur Sertifikasi | Perkiraan Durasi Proses (Hari Kerja) | Keterangan |
| 1. Self-Declare (UMK) | Maksimal 12-15 hari kerja | Proses lebih cepat karena tidak melibatkan audit lapangan LPH, melainkan verifikasi oleh Pendamping PPH dan penetapan Komite Fatwa yang lebih ringkas. |
| 2. Jalur Reguler | Maksimal 45-67 hari kerja | Durasi ini mencakup seluruh tahapan, mulai dari verifikasi dokumen BPJPH, pemeriksaan/audit oleh LPH, hingga penetapan fatwa oleh MUI. Durasi dapat lebih lama jika terjadi pengembalian dokumen (revisi) dari BPJPH atau LPH. |
Kunci Kecepatan: Durasi yang tertera adalah batas waktu maksimal. Dalam praktiknya, kecepatan sertifikasi sangat di tentukan oleh kelengkapan dokumen yang di ajukan Pelaku Usaha serta kepatuhan mereka dalam menerapkan SJPH. Proses dapat terhenti jika ada ketidaksesuaian yang di temukan auditor.
Kewajiban Bersertifikat Halal (Mandatory Halal)
Prinsip Dasar Kewajiban
Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), prinsip utama yang berlaku di Indonesia adalah:
“Produk yang masuk, beredar, dan di perdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.”
Kewajiban ini mulai berlaku secara efektif setelah berakhirnya masa penahapan yang di tetapkan oleh pemerintah.
Tahapan Implementasi Wajib Halal (Berdasarkan PP No. 39 Tahun 2021)
Penerapan wajib halal di lakukan secara bertahap, dengan fokus pada jenis produk yang paling utama di konsumsi masyarakat Muslim.
| Tahap Kewajiban | Jenis Produk | Batas Akhir Penahapan | Keterangan |
| Tahap I | 1. Makanan dan Minuman. | 17 Oktober 2024 | Meliputi produk makanan dan minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong, serta produk hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Setelah tanggal ini, produk yang tidak bersertifikat halal terancam sanksi administratif. |
| Tahap II | 2. Obat Tradisional, Obat Kuasi, dan Suplemen Kesehatan. | 17 Oktober 2026 | |
| 3. Kosmetika, Produk Kimiawi, dan Produk Rekayasa Genetik. | 17 Oktober 2026 | ||
| 4. Barang Gunaan yang di pakai, digunakan, atau di manfaatkan masyarakat (seperti sandang, penutup kepala, dan aksesoris tertentu). | 17 Oktober 2026 | ||
| Tahap Lanjutan | 5. Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas. | 17 Oktober 2029 | |
| 6. Obat Keras (Di kecualikan Psikotropika). | 17 Oktober 2034 |
Pengecualian dari Kewajiban Bersertifikat Halal
Meskipun secara umum produk wajib halal, terdapat dua kelompok produk dan bahan yang di kecualikan dari kewajiban pengajuan sertifikasi, namun tetap memiliki ketentuan yang ketat:
Produk dari Bahan Haram
Produk yang secara jelas berasal dari bahan yang di haramkan (misalnya babi, minuman keras) di kecualikan dari kewajiban bersertifikat halal.
- Ketentuan Wajib: Pelaku usaha yang memproduksi, mengedarkan, dan memperdagangkan produk dari bahan haram wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada kemasan produk tersebut.
- Tujuan: Memberikan perlindungan dan informasi yang jelas kepada konsumen.
Bahan yang Tidak Memiliki Titik Kritis Kehalalan
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 1360 Tahun 2021, terdapat bahan-bahan yang di kecualikan dari kewajiban bersertifikat halal karena tidak memiliki titik kritis kehalalan. Contohnya meliputi:
- Bahan yang berasal dari alam berupa tumbuhan atau bahan tambang yang tidak melalui proses pengolahan.
- Bahan kimia hasil penambangan dan/atau proses pemurnian dari bahan alam (contoh: air, garam murni).
- Bahan yang di kategorikan tidak berisiko mengandung bahan yang di haramkan atau terkontaminasi najis.
Konsekuensi dan Sanksi
Apabila pelaku usaha tidak mematuhi kewajiban ini setelah batas waktu penahapan berakhir, terutama untuk kelompok produk Tahap I (makanan dan minuman), sanksi administratif dapat di terapkan. Sanksi ini dapat berupa peringatan tertulis, penarikan produk dari peredaran, hingga pencabutan izin usaha.
Manfaat Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal telah bertransformasi dari sekadar label agama menjadi standar kualitas global yang memberikan keuntungan komprehensif bagi berbagai pihak.
Bagi Konsumen Muslim (Perlindungan dan Keyakinan)
- Kepastian Hukum dan Kenyamanan Beribadah: Sertifikat halal adalah jaminan resmi negara bahwa produk yang di gunakan atau di konsumsi sesuai dengan syariat Islam. Hal ini memberikan ketenangan batin (thuma’ninah) bagi konsumen dalam menjalankan kewajiban agama mereka.
- Jaminan Mutu dan Kesehatan (Thayyib): Proses sertifikasi halal tidak hanya menguji aspek keharaman, tetapi juga kebersihan, keamanan, dan kualitas produk (aspek thayyib). Konsumen mendapat jaminan produk yang bersih, higienis, dan aman di konsumsi.
- Kemudahan Memilih: Dengan adanya Label Halal Indonesia yang seragam, konsumen dapat dengan mudah mengidentifikasi produk yang telah teruji dan di jamin kehalalannya di tengah banyaknya produk yang beredar.
Bagi Pelaku Usaha (Kompetisi dan Ekspansi)
Meningkatkan Kepercayaan dan Loyalitas Konsumen: Label halal berfungsi sebagai “Unique Selling Point” dan simbol kredibilitas. Konsumen Muslim dan juga banyak non-Muslim yang mengutamakan higienitas cenderung memilih produk yang terjamin kehalalannya, yang pada akhirnya meningkatkan loyalitas dan omzet penjualan.
Perluasan Pasar Domestik dan Global:
- Pasar Domestik: Memenuhi tuntutan regulasi wajib halal (terutama pasca Oktober 2024), memastikan produk tetap legal dan tidak di kenai sanksi.
- Pasar Global: Sertifikat halal adalah “paspor ekspor” penting untuk menembus pasar halal internasional yang bernilai triliunan Dolar AS, termasuk negara-negara Timur Tengah, Asia Tenggara, hingga Eropa.
- Peningkatan Kualitas Internal: Proses pengajuan sertifikasi mewajibkan pelaku usaha menerapkan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). Hal ini secara otomatis menstandarisasi manajemen bahan baku, proses produksi, penyimpanan, hingga sanitasi, sehingga meningkatkan efisiensi dan kualitas produk secara keseluruhan.
- Meningkatkan Citra Perusahaan (Brand Image): Perusahaan yang bersertifikat halal di pandang sebagai entitas yang transparan, bertanggung jawab, dan menghormati nilai-nilai keagamaan, yang berdampak positif pada reputasi brand.
Bagi Pemerintah dan Ekonomi Nasional (Visi Global)
- Perlindungan Konsumen: Mewujudkan amanat Undang-Undang untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
- Mesin Pertumbuhan Ekonomi (Growth Engine): Sertifikasi halal mendorong produksi dan inovasi produk halal lokal, menjadikan sektor halal sebagai motor penggerak ekonomi nasional dan meningkatkan devisa melalui ekspor.
- Penguatan Visi Pusat Halal Dunia: Dengan meningkatkan jumlah produk yang bersertifikat dan standar halal yang di akui, Indonesia semakin mantap mewujudkan visinya menjadi Produsen dan Pusat Halal Terkemuka di Dunia (Global Halal Hub).
Prosedur dan Proses Sertifikasi Halal
Seluruh proses sertifikasi halal wajib di lakukan secara elektronik melalui sistem resmi BPJPH yang di sebut SIHALAL (Sistem Informasi Halal).
Skema Reguler (Audit LPH)
Tahapan ini wajib bagi Usaha Menengah dan Besar, serta untuk produk Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang memiliki risiko tinggi atau bahan baku yang kompleks.
| Tahap | Pelaksana | Proses Kunci |
| 1. Pendaftaran | Pelaku Usaha (PU) | PU mendaftar melalui SIHALAL dan melengkapi dokumen (NIB, daftar produk/bahan, Manual SJPH), serta memilih Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). |
| 2. Verifikasi Dokumen & Biaya | BPJPH & LPH | BPJPH memverifikasi kelengkapan dokumen. Jika lengkap, LPH menginput biaya pemeriksaan. BPJPH menerbitkan tagihan biaya sertifikasi. |
| 3. Pemeriksaan/Audit | LPH (Auditor Halal) | Setelah pembayaran, LPH melakukan pemeriksaan mendalam, meliputi: (a) verifikasi bahan baku dan dokumen pendukung, dan (b) audit lapangan/kunjungan ke fasilitas produksi untuk memastikan penerapan Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH). |
| 4. Penetapan Fatwa | MUI / Komite Fatwa | LPH menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada BPJPH, yang kemudian meneruskannya ke MUI. MUI melaksanakan Sidang Fatwa untuk menetapkan Ketetapan Halal Tertulis. |
| 5. Penerbitan Sertifikat | BPJPH | Berdasarkan Ketetapan Halal MUI, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal secara elektronik melalui SIHALAL. |
Skema Self-Declare (Pernyataan Mandiri)
Skema ini di khususkan untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK), seringkali di fasilitasi melalui program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI) dari pemerintah.
| Persyaratan Utama | Proses Kunci |
| Produk tidak berisiko tinggi (bahan sudah di pastikan kehalalannya). | UMK mendaftar melalui SIHALAL. |
| Proses produksi sederhana. | UMK di dampingi oleh Pendamping Proses Produk Halal (PPH) yang terdaftar. |
| Memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB). | PPH memverifikasi dan memvalidasi pernyataan pelaku usaha secara langsung. |
| Batas omzet maksimal Rp500 Juta/tahun. | Hasil verifikasi PPH di ajukan ke Komite Fatwa. |
| Komite Fatwa menetapkan kehalalan produk berdasarkan verifikasi PPH. | |
| BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal. |
Masa Berlaku dan Pemeliharaan
- Masa Berlaku: Sertifikat Halal yang di terbitkan oleh BPJPH berlaku selama 4 (empat) tahun sejak tanggal penerbitan.
- Perpanjangan: Pelaku usaha wajib mengajukan permohonan pembaruan (perpanjangan) sertifikat paling lambat 3 bulan sebelum masa berlaku habis.
- Kewajiban Pasca-Sertifikasi: Pelaku usaha yang telah memegang sertifikat wajib menerapkan dan memelihara Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) secara konsisten untuk menjamin kehalalan produk berkelanjutan.
Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH)
Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) adalah sistem manajemen terpadu yang di susun, di terapkan, dan di pelihara oleh Pelaku Usaha untuk memastikan bahwa produk yang di hasilkan senantiasa memenuhi standar kehalalan, baik selama proses produksi maupun sepanjang rantai pasok. SJPH memastikan konsistensi kehalalan produk, bukan hanya saat audit di lakukan.
Prinsip dan Tujuan Utama
- Tujuan: Memberikan jaminan berkelanjutan kepada konsumen bahwa produk yang bersertifikat halal akan selalu halal, konsisten, dan terhindar dari kontaminasi bahan haram/najis.
- Wajib Hukum: Penerapan SJPH adalah kewajiban hukum bagi setiap Pelaku Usaha yang telah menerima Sertifikat Halal. Ketidakpatuhan dapat mengakibatkan pembekuan atau pencabutan sertifikat.
Elemen Kunci SJPH (Kriteria JPH)
Penerapan SJPH mencakup beberapa kriteria utama yang harus di dokumentasikan dan di implementasikan oleh perusahaan:
| Elemen Kunci | Deskripsi Implementasi |
| 1. Komitmen dan Tanggung Jawab | Penetapan Kebijakan Halal tertulis dan pembentukan Tim Manajemen Halal (termasuk penunjukan Penyelia Halal) yang bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan SJPH. |
| 2. Manajemen Bahan | Prosedur untuk memastikan hanya bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong yang telah di setujui halalnya yang di gunakan. Mencakup prosedur pembelian, penerimaan, penyimpanan, dan penanganan bahan kritis. |
| 3. Proses Produk Halal (PPH) | Prosedur operasional standar (SOP) yang menjamin proses produksi tidak terkontaminasi najis atau bahan haram, mulai dari persiapan alat, pengolahan, pengemasan, hingga distribusi. |
| 4. Fasilitas Produksi | Penetapan lokasi, bangunan, peralatan, dan fasilitas penunjang yang bebas dari najis dan khusus di gunakan untuk produksi halal (atau memiliki prosedur pembersihan yang ketat untuk sharing facility). |
| 5. Pemantauan dan Evaluasi | Pelaksanaan Audit Internal secara berkala (minimal 1 tahun sekali) dan Kaji Ulang Manajemen untuk mengidentifikasi dan memperbaiki penyimpangan dalam PPH. |
| 6. Pelatihan dan Sumber Daya | Pelatihan rutin kepada semua karyawan yang terlibat dalam PPH untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang persyaratan halal. |
Penyelia Halal
Peran kunci dalam SJPH di pegang oleh Penyelia Halal.
- Tugas: Individu yang bertanggung jawab memastikan semua proses produksi sesuai dengan standar halal. Ia menjadi penghubung utama antara Pelaku Usaha dengan BPJPH dan LPH terkait implementasi SJPH.
- Persyaratan: Harus memiliki sertifikasi kompetensi di bidang JPH.
Dalam implementasi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH), peran yang paling krusial di pegang oleh Penyelia Halal. Pelaku usaha wajib menunjuk satu orang sebagai Penyelia Halal yang bertugas menjaga konsistensi kehalalan produk.
Tugas dan Tanggung Jawab Kunci
Penyelia Halal bertindak sebagai pengawas internal dan fasilitator kepatuhan syariah dalam operasional perusahaan. Tugas utamanya meliputi:
- Pengawasan Proses Produk Halal (PPH): Memastikan semua tahapan produksi, mulai dari penerimaan bahan baku, pengolahan, pengemasan, hingga penyimpanan, di lakukan sesuai dengan standar dan kriteria halal yang di tetapkan.
- Audit Internal: Melakukan pemeriksaan internal secara berkala terhadap seluruh sistem, bahan, dan fasilitas untuk mendeteksi potensi penyimpangan atau kontaminasi.
- Dokumentasi dan Pelaporan: Bertanggung jawab atas pemeliharaan dokumen SJPH dan melaporkan pelaksanaan SJPH kepada BPJPH secara berkala (minimal enam bulan sekali).
- Penghubung Lembaga: Berperan sebagai kontak utama yang menghubungkan Pelaku Usaha dengan BPJPH dan LPH selama proses sertifikasi, audit, dan perpanjangan sertifikat.
Persyaratan Kompetensi
Untuk menjamin efektivitas pengawasan, Penyelia Halal wajib memenuhi persyaratan tertentu:
- Syarat Dasar: Harus seorang Muslim dan bertanggung jawab penuh terhadap JPH.
- Kompetensi: Wajib memiliki Sertifikat Kompetensi di Bidang JPH yang di keluarkan oleh lembaga pelatihan atau sertifikasi kompetensi terakreditasi.
Dengan adanya Penyelia Halal yang kompeten, penerapan SJPH menjadi jaminan yang dinamis dan berkelanjutan. Hal ini menegaskan bahwa sertifikasi halal bukan sekadar dokumen statis yang di dapatkan sekali, melainkan komitmen jangka panjang perusahaan untuk menjaga kepercayaan konsumen Muslim.
Isu dan Tantangan Terkini
Meskipun telah menjadi kewajiban hukum, pelaksanaan Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia masih menghadapi sejumlah isu dan tantangan besar, terutama menjelang dan setelah batas waktu wajib halal Tahap I (Oktober 2024).
Tantangan Implementasi Wajib Halal (Fokus UMK)
Rendahnya Literasi dan Kesadaran Pelaku Usaha:
- Banyak Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang belum sepenuhnya menyadari kewajiban sertifikasi halal atau menganggap prosesnya rumit dan mahal, meskipun tersedia jalur gratis (SEHATI).
- Keterbatasan akses teknologi dan keterampilan digital pada UMK di daerah terpencil menjadi hambatan dalam pengajuan melalui sistem daring SIHALAL.
Problematika Skema Self-Declare:
- Meskipun program self-declare (pernyataan mandiri) bertujuan mempercepat sertifikasi UMK, muncul kekhawatiran terkait penyalahgunaan atau manipulasi data oleh pelaku usaha atau pendamping PPH, yang berpotensi melanggar hak konsumen. BPJPH harus memperketat pengawasan di jalur ini.
- Target Kuota vs Realisasi: Target ambisius jutaan sertifikat halal gratis (SEHATI) seringkali terkendala oleh kesiapan dokumen legalitas UMK (seperti NIB) dan kurangnya pendamping PPH yang tersebar merata.
Kesiapan Kelembagaan:
Kapasitas LPH: Meskipun jumlah Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) terus bertambah, jumlahnya masih di anggap belum ideal untuk melayani jutaan pelaku usaha secara efisien dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Isu Tata Kelola dan Standar
Harmonisasi Standar Halal Global:
Indonesia memiliki visi menjadi Pusat Halal Dunia. Untuk mencapai hal ini, BPJPH harus secara aktif menjalin kerja sama saling pengakuan (mutual recognition agreement) dengan Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN). Tantangannya adalah memastikan standar halal Indonesia dapat di akui tanpa mengurangi prinsip syariahnya yang ketat, sekaligus menerima standar negara lain untuk memfasilitasi impor.
Sinergi Kelembagaan (Pasca Transisi):
Di perlukan penguatan koordinasi antara BPJPH (regulator), LPH (auditor), dan MUI (penetap fatwa) untuk memastikan proses sertifikasi berjalan cepat, efisien, dan tanpa hambatan birokrasi, seiring dengan pematangan peran masing-masing lembaga pasca-UU JPH.
Tantangan Produk Non-Makanan
Kompleksitas Produk Lain: Sertifikasi akan menjadi lebih kompleks ketika kewajiban merambah ke produk-produk farmasi, kosmetika, dan alat kesehatan (Tahap II), yang melibatkan bahan baku kimia, rekayasa genetik, dan rantai pasok yang jauh lebih rumit daripada makanan dan minuman.
Secara keseluruhan, tantangan sertifikasi halal Indonesia saat ini bergerak dari aspek legalitas (membuat wajib) menuju aspek efisiensi, akuntabilitas, dan skala (scaling up) untuk mengakomodasi jutaan pelaku usaha dengan standar yang kredibel.
Jasa Sertifikat Halal Jangkargroups
Jangkar Global Groups adalah perusahaan penyedia jasa konsultasi dan pengurusan dokumen legalitas yang mencakup layanan untuk Sertifikat Halal. Mereka bukan merupakan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) resmi atau Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LP3H) yang di sahkan oleh BPJPH, melainkan berperan sebagai konsultan/pihak ketiga yang membantu Pelaku Usaha mengurus seluruh rangkaian proses sertifikasi halal.
Menggunakan jasa konsultan seperti Jangkargroups dapat mempercepat dan mempermudah proses bagi Pelaku Usaha yang awam terhadap prosedur, terutama mengingat proses sertifikasi kini sangat terdigitalisasi melalui sistem SIHALAL BPJPH.
Peran Jasa Konsultan Sertifikat Halal
Dalam ekosistem Jaminan Produk Halal (JPH) di Indonesia (BPJPH-LPH-MUI), peran konsultan adalah menjembatani Pelaku Usaha dengan lembaga-lembaga tersebut.
Layanan Utama yang Di tawarkan
Pendampingan Registrasi SIHALAL: Membantu Pelaku Usaha membuat akun dan memasukkan data permohonan secara akurat di sistem resmi BPJPH (ptsp.halal.go.id).
1. Verifikasi dan Kompilasi Dokumen: Membantu penyiapan dokumen teknis yang rumit, seperti:
- Manual Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH).
- Daftar lengkap bahan baku, bahan tambahan, dan pemasok.
- Diagram alir proses produksi.
2. Koordinasi Audit: Menjadi penghubung antara Pelaku Usaha dengan Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang di tunjuk, termasuk penjadwalan audit dan memastikan kesiapan lapangan.
3. Tindak Lanjut Administratif: Membantu merespons jika terjadi pengembalian dokumen (revisi) dari BPJPH atau LPH, yang sering menjadi penyebab utama keterlambatan proses.
4. Fasilitasi UMK (Self-Declare): Bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang memenuhi syarat program Sertifikasi Halal Gratis (SEHATI), jasa konsultan dapat membantu proses pendampingan oleh Pendamping PPH.
Keuntungan Menggunakan Jasa
- Efisiensi Waktu: Memangkas waktu yang di habiskan Pelaku Usaha untuk memahami regulasi yang kompleks.
- Minimalisasi Risiko Di tolak: Memastikan dokumen dan kesiapan lapangan telah sesuai dengan standar LPH dan BPJPH, sehingga mengurangi kemungkinan pengajuan di tolak atau di kembalikan.
- Fokus Bisnis: Memungkinkan Pelaku Usaha tetap fokus pada operasional produksi sambil proses legalitas berjalan.
Poin Kritis yang Harus Di ketahui
Meskipun menggunakan jasa konsultan sangat membantu, Pelaku Usaha harus tetap memahami fakta penting berikut:
- Penerbit Resmi: Sertifikat Halal yang sah hanya dapat di terbitkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, berdasarkan fatwa dari MUI/Komite Fatwa. Jasa konsultan hanya memfasilitasi prosesnya, bukan menerbitkan sertifikat.
- Tanggung Jawab SJPH: Pelaku Usaha tetap memegang tanggung jawab penuh atas implementasi dan konsistensi Sistem Jaminan Produk Halal (SJPH) di lokasi produksi. Konsultan hanya membantu perancangan SJPH, penerapannya harus di lakukan oleh internal perusahaan yang di pimpin oleh Penyelia Halal.
- Biaya: Menggunakan jasa konsultan biasanya memerlukan biaya jasa profesional di luar biaya wajib PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang di bayarkan kepada BPJPH/LPH (kecuali untuk UMK program SEHATI yang biayanya di subsidi).
Perusahaan berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.
YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI
Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups
















