UU PKDRT dan RUU TPKS-Membahas seputar kekerasan dalam seksual memang tidak pernah ada habisnya seiring dengan dibuatnya rancangan undang-undang tindak pidana kekerasan seksual atau dikenal dengan RUU TPKS.
Penyusunan RUU TPKS ini sudah ada sejak 2014 silam dan terus menuai pro dan kontra sehingga sudah mengalami perubahan beberapa kali. Hingga pada 18 Januari 2023 lalu, melalui rapat paripurna DPR menyepakati RUU TPKS sebagai usulan inisiatif DPR.
Seperti apa perjalanan RUU TPKS yang beberapa kali mengalami perubahan termasuk isi RUU TPKS yang mengalami perluasan makna terutama memaknai istilah kekerasan seksual?
PERJALANAN RUU TPKS HINGGA SAHKAN
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tau lebih terkenal dengan Komnas Perempuan pada 2014 silam bersama dengan gerakan masyarakat sipil membawa naskah awal RUU TPKS dengan tujuan mendorong parlemen membentuk aturan mengenai penghapusan kekerasan seksual kepada perempuan.
Permohonan ini terus bergulir hingga di tahun 2016, naskah awal tersebut masuk dalam daftar penambahan program legislasi nasional periode 2015-2019. Hingga waktu terus bergulir, Tarik ulur legislasi RUU TPKS menuai pro kontra hingga muncul tudingan soal pelegalan homoseksual secara terselubung.
Hal yang paing mendasar yang menimbulkan perdebatan tentu saja, munculnya pertanyaan seputar perbedaan tindak pidana perbuatan cabul yang sudah ada dalam KUHP dengan yang di dalam RUU TPKS.
Istilah UU PKDRT dan RUU TPKS
Istilah kekerasan seksual baru di kenal di tahun 2004. Hukum yang melindunginya tertuang dalam undang-undang nomor 23 tahun 2004 mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga atau UU PKDRT. Regulasi ini menjadi regulasi pertama di Indonesia yang memunculkan istilah kekerasan seksual.
Hanya saja kekerasan seksual di peruntukkan secara spesifik saja yakni hanya dalam lingkungan rumah tangga. Sedangkan naskah akademik maupun naskah terkini RUU TPKS menyematkan istilah kekerasan seksual lebih luas di banding undang-undang PKDRT ini.
PERBEDAAN UU PKDRT DENGAN RUU TPKS
Jika melihat lebih jauh, memang terdapat perbedaan yang sangat mencolok di dalam penjelasan pasal 8 undang-undang PKDRT di bandingkan dengan arti kekerasan seksual yang tercantum dalam RUU TPKS.
Menurut UU PKDRT bahwa kekerasan sesksual hanyalah setiap perilaku berupa pemaksaan dalam hubungan seksual baik dengan cara tidak wajar .Tidak hanya itu, kekerasan seksual dalam undang-undang juga adalah pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain baik yang tujuannya komersil maupun karena tujuan tertentu.
poin penting pemaknaan kekerasan seksual RUU TPKS
Sementara dalam RUU TPKS justru sangat luas memaknai kekerasan seksual, terlebih dari definisinya. Setidaknya ada lima poin penting pemaknaan kekerasan seksual RUU TPKS antara lain berikut ini:
- Bersifat fisik ataupun non fisik
- Arahnya ke tbuh ataupun fungsi dari alat reproduksi
- Dilakukannya secara pakas atau dengan ancaman
- Adanya tujuan atau tidak untuk medapat keuntungan
- Adanya dampak yang ditimbulkan terhadap korbannya berupa penderitaan atau kesengsaraan. Baik yang bentuknya fisik, secara psikis, secara seksual, hingga dampak ekonomi.
KEKERASAN SEKSUAL, PERBUATAN CABUL, DAN PELECEHAN SEKSUAL
Makna kekerasan seksual yang termaktub dalam RUU TPKS memang lebih luas karena bukan hanya menyangkut perbuatan yang menyentuh fisik, tetapi juga non fisik.
Ata perluasan makna ini, salah satu tim penyusun UU PKDRT, Tuti, seperti yang dikutip dari laman hukum online menyebutkan bahwa dirinya sependapat dengan apa yang tertuang dalam RUU TPKS. Tuti, juga membandingkan rumusan yang ada dalam RUU TPKS soal kekerasan seksual yang juga menjangkau perbuatan cabul yang ada dalam KUHP.
- Istilah kekerasan seksual dalam KUHP
Sebagaimana yang tertuang dalam RUU KUHP versi September 2019, menuliskan satu kali istilah kekerasan seksual. Penyebutan itu ada pada pasal 599 mengenai tindak pidana berat terhadap HAM.
Di sisi lain, KUHP sebenarnya sudah lama mengenal istilah tindak pidana perbuatan cabul yang secara umum diatur dalam pasal 289 KUHP. Sedangkan unsur yang ditonjolkan dalam pasal ini adalah korban dan kekerasan terhadap korban atau ancaman kekerasan. Bahkan mengakomodasi kejahatan seksual yang sifatnya fisik atau belum ke tindak perkosaan.
Sementara definisi cabul menurut Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia Topo Santoso sebagaimana dikutip dari hukum online menyebutkan bahwa segala hal yang tidak sampai di tahap sexual intercourse namanya perbuatan cabul.
- Perbuatan Cabul Untuk Semua Gender
Perbuatan cabul maupun kekerasan seksual menyentuh semua gender atau netral gender. Sebagaimana yang tertuang dalam KUHP, menyebutkan bahwa perbuatan cabul juga masuk dalam netral gender.
Netral Gender maksudnya untuk semua gender yakni baik laki-laki maupun perempuan bisa menjadi korban dan bisa juga menjadi pelakunya.
Ini tentu berbeda dengan penggunaan istilah perkosaan dalam KUHP, yang mengakui perempuan sebagai korban. Itu artinya hanya laki-laki yang bisa jadi pelaku.
Karena itu ahli pidana, Tuti, mengatakan bahwa dirinya mendukung kehadiran RUU TPKS karena kehadirannta merespon perkembangan di tengah masyarakat. Pasalnya, apa yang diatur dalam KUHP mengenai perbuatan cabul tidak lagi bisa dijangkau secara luas seiring dengan munculnya ragam kasus seksual. Terlebih untuk memihak para korban.
KEKERASAN NON FISIK HARUS JADI PERHATIAN
Kekerasan secara fisik memang sering kali menjadi alat bukti yang kuat dan mengesampingkan non fisik. Padahal, kata Tuti, kekerasan non fisik harus jadi perhatian serius.
Dodik juga mengatakan hal yang sama. Dia mengatkan bahwa terlepas dari seperti apa bunyi rumusan undang-undang itu, tetapi hal yang penting bagi hakim adalah memberikan batasan definisi yang tegas. Misalnya body shaming. Menurut Dodik, sah-sah saja body shaming sebagai bagian dari kekerasan seksual, terpenting penafsirannya harus punya penafsiran yang terbatas agar tidak menjadi ambyar.
Kata Dodik, menjatuhkan pidana erat kaitannya dengan hak asasi manusia. Sehingga proses pemidanaan harus jelas unsur dalam memberikan pembatasan atau unsur-unsurnya jelas dalam menjatuhkan pidana.
Hal ini dianggap relevan dengan penggunaan istilah pelecehan seksual yang tertuang dalam RUU TPKS. Dalam rancangan undang-undang ini penjelasan definisi seoal pelecehan seksual. Yang ada hanya langsung sebagai bagian dari unsur tindak pidana serta ancaman yang mengintai.
Dalam RUU TPKS, ada tujuh kali istilah. Termasuk di dalamnya pembagian pelecehan seksualnya baik secara non fisik, fisik, hingga yang berbasis elektronik.
Ratna Batar sebagai Koordinator Advokasi Nasional Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga mengatakan bahwa pelecehan seksual biasanya mengacu pada sexual harassment atau unwelcome attention.
Unsur yang ada di pelecehan seksula biasanya ada penolakan pada bentu-bentuk yang erat kaitannya dengan seksual. Contoh sederhananya bisa karena siulan, kata-kata atau bahkan berupa komentar yang di anggap tidak sopan atau tidak wajar. Sehingga jika tidak di terima oleh yang diberi tanggapan maka perbuatan itu bisa di anggap sebagai pelecehan seksual.
Jika melihat penjelasan ini, adanya perbedaan antara defines perbuatan cabul dalam KUHP yang mengandalkan penerimaan sosial. Sementara pelecehan seksual jika ada penolakan dari korbannya.
Sehingga kategori perbuatan yang masuk dalam perbuatan cabul yang ada dalam KUHP hanyalah sebagian kecil dari tindak kekerasan seksual dalam RUU TPKS.
Pengesahan UU PKDRT dan RUU TPKS
Sehingga kehadirannya memberikan pengakuan hukum yang positif mengenai pelecehan seksual bahwa pelecehan seksual bisa terpidana karena bagian dari kekerasan seksual. Tidak hanya itu, pengesahan RUU TPKS kedepan juga akan melindungi korban baik laki-laki maupun perempuan.
Jika Anda mengalami tindak pidana kekerasan seksual, perbuatan cabul, maupun pelecehan seksual, serahkan pada ahli hukum pidana bersama PT Jangkar Global Groups. Siap mendampingi Anda dalam mengawal kasus hukum Anda.