Pendahuluan Undang-Undang Perkawinan 1974
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum perkawinan di Indonesia. UU ini disahkan untuk menciptakan kerangka hukum perkawinan yang modern, menghormati nilai-nilai budaya lokal, sekaligus menjamin kesetaraan dan keadilan bagi seluruh warga negara. Sebelum disahkannya UU ini, praktik perkawinan di Indonesia masih sangat beragam dan dipengaruhi oleh berbagai hukum adat yang seringkali menimbulkan konflik dan ketidakpastian hukum.
Undang Undang Perkawinan 1974 – Tujuan utama Undang-Undang Perkawinan 1974 adalah untuk mengatur perkawinan secara nasional dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga negara yang akan menikah. UU ini bertujuan menciptakan sistem perkawinan yang tertib, adil, dan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Selain itu, UU ini juga bertujuan untuk melindungi hak-hak perempuan dan anak dalam perkawinan.
Prinsip-Prinsip Dasar Undang-Undang Perkawinan 1974
Beberapa prinsip dasar yang mendasari Undang-Undang Perkawinan 1974 antara lain: kesetaraan gender, monogami, persyaratan usia minimal untuk menikah, kebebasan memilih pasangan, dan perlindungan terhadap hak-hak anak. Prinsip-prinsip ini dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai pasal dalam UU tersebut. Penerapan prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan perkawinan yang harmonis, langgeng, dan bertanggung jawab.
Perbandingan Undang-Undang Perkawinan 1974 dengan Hukum Perkawinan Adat
Undang-Undang Perkawinan 1974 tidak serta merta menggantikan seluruh hukum adat perkawinan yang berlaku di Indonesia. Sebaliknya, UU ini berusaha untuk mengakomodasi dan mengharmonisasikan hukum perkawinan adat dengan hukum nasional. Namun, perbedaan tetap ada, terutama dalam hal persyaratan dan prosedur perkawinan. Berikut tabel perbandingan sederhana:
Nama Hukum Adat | Persamaan dengan UU 1974 | Perbedaan dengan UU 1974 |
---|---|---|
Hukum Adat Minangkabau | Prinsip monogami, pentingnya kesepakatan kedua belah pihak | Sistem perkawinan matrilineal, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (hukum adat berlandaskan syariat Islam, syariat Islam berlandaskan Al-Quran) yang mungkin berbeda interpretasinya |
Hukum Adat Bali | Pentingnya restu keluarga, adanya upacara perkawinan | Sistem perkawinan poligami masih diizinkan dalam konteks tertentu, persyaratan dan prosedur perkawinan yang lebih kompleks |
Hukum Adat Jawa | Penekanan pada kesepakatan dan restu keluarga | Tradisi pingitan (mengisolasi calon pengantin perempuan), adat seserahan yang beragam |
Ilustrasi Perbedaan Penerapan Hukum Perkawinan Sebelum dan Sesudah UU 1974, Undang Undang Perkawinan 1974
Ilustrasi berikut menggambarkan perbedaan penerapan hukum perkawinan sebelum dan sesudah disahkannya UU Perkawinan 1974. Sebelum UU 1974, perkawinan seringkali diatur oleh hukum adat setempat yang beragam dan tidak seragam di seluruh Indonesia. Hal ini menyebabkan banyak ketidakpastian hukum dan potensi konflik, terutama bagi perempuan. Contohnya, usia minimal menikah yang berbeda-beda di setiap daerah, atau praktik poligami yang tidak terkontrol. Setelah disahkannya UU 1974, terdapat kerangka hukum yang seragam di seluruh Indonesia, menetapkan usia minimal menikah, dan membatasi praktik poligami. Ilustrasi ini dapat digambarkan sebagai dua panel. Panel pertama menggambarkan kekacauan dan keragaman hukum perkawinan sebelum UU 1974, dengan berbagai simbol yang merepresentasikan hukum adat yang berbeda-beda dan menimbulkan ketidakpastian. Panel kedua menggambarkan situasi yang lebih tertib dan teratur setelah berlakunya UU 1974, dengan simbol-simbol yang menunjukkan keseragaman dan kepastian hukum.
Syarat dan Rukun Perkawinan: Undang Undang Perkawinan 1974
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur secara detail syarat dan rukun perkawinan yang harus dipenuhi agar suatu perkawinan sah secara hukum di Indonesia. Memahami perbedaan antara syarat dan rukun perkawinan sangat penting untuk memastikan keabsahan suatu pernikahan dan menghindari potensi konflik hukum di kemudian hari. Syarat perkawinan merupakan hal-hal yang harus dipenuhi sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan rukun perkawinan adalah unsur-unsur yang harus ada pada saat perkawinan dilangsungkan.
Rincian Syarat Sahnya Perkawinan Menurut UU Perkawinan 1974
UU Perkawinan 1974 menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi sebelum seseorang dapat melangsungkan pernikahan. Syarat-syarat ini bertujuan untuk memastikan bahwa kedua calon mempelai telah siap secara mental, fisik, dan hukum untuk menjalani kehidupan berumah tangga. Ketidakpenuhan salah satu syarat ini dapat menyebabkan perkawinan dinyatakan batal.
- Calon suami dan calon istri telah mencapai umur perkawinan.
- Calon suami dan calon istri tidak terikat perkawinan lain yang sah.
- Calon suami dan calon istri tidak memiliki hubungan keluarga yang dilarang oleh agama dan UU.
- Perkawinan dilakukan atas dasar suka sama suka (persetujuan).
- Adanya persetujuan dari orang tua atau wali bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun.
Rukun Perkawinan Menurut UU Perkawinan 1974
Rukun perkawinan merupakan unsur-unsur yang harus ada pada saat perkawinan dilangsungkan. Ketiadaan salah satu rukun ini akan mengakibatkan perkawinan tidak sah. Berbeda dengan syarat yang dapat dipenuhi sebelum perkawinan, rukun perkawinan harus ada dan terpenuhi pada saat ijab kabul atau upacara perkawinan lainnya.
- Adanya ijab dan kabul yang sah.
- Adanya dua orang saksi yang cakap hukum.
Perbedaan Syarat dan Rukun Perkawinan dalam UU Perkawinan 1974
Perbedaan utama antara syarat dan rukun perkawinan terletak pada waktu pemenuhannya. Syarat harus dipenuhi *sebelum* perkawinan dilangsungkan, sedangkan rukun harus ada *pada saat* perkawinan dilangsungkan. Ketidakpenuhan syarat menyebabkan perkawinan batal, sedangkan ketidakpenuhan rukun menyebabkan perkawinan tidak sah.
Dapatkan rekomendasi ekspertis terkait Pernikahan Siri Adalah yang dapat menolong Anda hari ini.
Aspek | Syarat | Rukun |
---|---|---|
Waktu Pemenuhan | Sebelum perkawinan | Pada saat perkawinan |
Akibat Ketidakpenuhan | Perkawinan batal | Perkawinan tidak sah |
Contoh | Belum cukup umur, masih terikat perkawinan lain | Tidak ada ijab kabul, tidak ada saksi |
Perbandingan Persyaratan Perkawinan dalam UU Perkawinan 1974 dengan Hukum Agama Tertentu
Meskipun UU Perkawinan 1974 merupakan hukum positif di Indonesia, persyaratan perkawinan dalam UU ini perlu dipertimbangkan bersama dengan ketentuan agama yang dianut oleh calon mempelai. Berikut perbandingan singkat, perlu diingat bahwa ini merupakan gambaran umum dan detailnya dapat bervariasi tergantung mazhab dan interpretasi masing-masing agama:
- Islam: Secara umum, persyaratan dalam UU Perkawinan 1974 selaras dengan hukum Islam, seperti syarat usia, kebebasan memilih pasangan, dan larangan perkawinan sedarah. Namun, detail seperti wali nikah dan mahar diatur lebih spesifik dalam hukum Islam.
- Kristen Protestan: Hukum gereja Protestan umumnya menekankan pada kesukarelaan, kesiapan mental dan spiritual, serta pengawasan dari pihak gereja. Umur perkawinan umumnya mengikuti ketentuan UU Perkawinan 1974.
- Katolik: Gereja Katolik memiliki persyaratan yang lebih ketat, termasuk persyaratan pemberkatan nikah di gereja dan proses persiapan pra-nikah yang intensif. Umur perkawinan juga umumnya mengikuti ketentuan UU Perkawinan 1974.
- Hindu & Buddha: Hukum agama Hindu dan Buddha juga memiliki ketentuan-ketentuan khusus mengenai perkawinan, termasuk upacara adat dan restu keluarga. Namun, secara umum, ketentuan UU Perkawinan 1974 tetap berlaku sebagai landasan hukum negara.
Contoh Kasus Perkawinan yang Batal karena Tidak Memenuhi Syarat atau Rukun Perkawinan
Sebuah contoh kasus adalah perkawinan antara seorang perempuan berusia 15 tahun dan seorang laki-laki berusia 25 tahun yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua perempuan. Perkawinan ini batal karena tidak memenuhi syarat usia minimal dan persetujuan orang tua sesuai dengan UU Perkawinan 1974. Contoh lain adalah perkawinan yang dilakukan tanpa adanya ijab kabul yang sah, sehingga perkawinan tersebut dinyatakan tidak sah karena tidak memenuhi rukun perkawinan.
Hak dan Kewajiban Suami Istri
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur hak dan kewajiban suami istri secara rinci. Pemahaman yang baik tentang hal ini krusial untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan berlandaskan hukum. Meskipun UU tersebut mengatur kesetaraan, praktik sosial terkadang masih menunjukkan perbedaan dalam penerapannya.
Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam UU Perkawinan 1974
UU Perkawinan 1974 menekankan prinsip kesetaraan hak dan kewajiban antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Namun, pembagian peran dan tanggung jawab tetap dapat disesuaikan dengan kesepakatan bersama. Berikut beberapa poin penting yang diatur dalam UU tersebut:
- Hak: Keduanya memiliki hak atas penghasilan, harta bersama, dan pengambilan keputusan bersama dalam mengelola rumah tangga.
- Kewajiban: Keduanya wajib saling mencintai, menghormati, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan keluarga, termasuk membesarkan anak.
Perlu diingat bahwa UU ini tidak secara eksplisit menjabarkan hak dan kewajiban secara terpisah dan detail untuk masing-masing pihak, melainkan lebih menekankan pada prinsip kesetaraan dan tanggung jawab bersama.
Perbedaan Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam UU Perkawinan 1974
Meskipun UU menekankan kesetaraan, perbedaan dalam praktiknya masih mungkin terjadi. Perbedaan tersebut lebih banyak terkait dengan pembagian peran dalam rumah tangga dan pengasuhan anak, yang seringkali dipengaruhi oleh norma sosial dan budaya. Namun, secara hukum, tidak ada perbedaan hak dan kewajiban yang esensial antara suami dan istri.
Perbandingan Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam UU 1974 dan Praktik Sosial
Hak/Kewajiban | UU 1974 | Praktik Sosial |
---|---|---|
Pengelolaan Keuangan | Kesetaraan dan kesepakatan bersama | Seringkali suami sebagai penanggung jawab utama, meskipun ada tren perubahan ke arah pengelolaan bersama. |
Pengasuhan Anak | Tanggung jawab bersama | Masih sering dibebankan lebih besar kepada istri, meskipun kesadaran akan peran ayah semakin meningkat. |
Pengambilan Keputusan | Kesepakatan bersama | Tergantung pada kesepakatan dan dinamika keluarga, terkadang masih didominasi oleh satu pihak. |
Contoh Kasus Penerapan Hak dan Kewajiban Suami Istri
Seorang istri bekerja dan memiliki penghasilan sendiri. Suami juga bekerja. Mereka sepakat untuk membagi pengeluaran rumah tangga secara adil, sesuai dengan penghasilan masing-masing. Hal ini merupakan contoh penerapan prinsip kesetaraan dalam pengelolaan keuangan rumah tangga sesuai dengan UU Perkawinan 1974.
Kutipan UU Perkawinan 1974 tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri
“Suami isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam rumah tangga.”
Kutipan di atas merupakan inti dari prinsip kesetaraan yang dianut oleh UU Perkawinan 1974. Hal ini menegaskan bahwa baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban yang setara dalam membangun dan mengelola rumah tangga, bukan dalam artian persis sama dalam setiap aspek, tetapi dalam artian memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.
Pelajari lebih dalam seputar mekanisme Alasan Menikah Dalam Islam di lapangan.
Perceraian dan Dampaknya
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur perceraian sebagai jalan terakhir dalam sebuah pernikahan yang telah mengalami kegagalan. Proses perceraian diatur secara detail, mencakup prosedur, alasan yang dibenarkan, dan dampaknya bagi pihak-pihak yang terlibat, terutama anak dan pembagian harta bersama. Pemahaman yang komprehensif mengenai regulasi ini sangat penting bagi setiap pasangan yang menghadapi permasalahan serius dalam rumah tangga.
Prosedur Perceraian Menurut UU Perkawinan 1974
Proses perceraian diawali dengan upaya mediasi dan konseling untuk menyelamatkan pernikahan. Jika mediasi gagal, perceraian dapat diajukan ke Pengadilan Agama (bagi pasangan muslim) atau Pengadilan Negeri (bagi pasangan non-muslim). Permohonan diajukan oleh salah satu atau kedua belah pihak dengan menyertakan bukti-bukti yang mendukung permohonan tersebut. Pengadilan akan memeriksa dan memutus perkara setelah melalui serangkaian persidangan. Putusan pengadilan bersifat final dan mengikat bagi kedua belah pihak.
Alasan-alasan Perceraian yang Diakui dalam UU Perkawinan 1974
UU Perkawinan 1974 menetapkan beberapa alasan yang dapat menjadi dasar perceraian. Alasan-alasan tersebut bertujuan untuk melindungi hak-hak masing-masing pihak dan memberikan kepastian hukum dalam menyelesaikan konflik rumah tangga.
Anda pun akan memperoleh manfaat dari mengunjungi Apa Saja Perjanjian Pra Nikah hari ini.
- Perselingkuhan salah satu pihak.
- Penganiayaan yang dilakukan salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
- Penelantaran yang dilakukan salah satu pihak terhadap pihak lainnya.
- Perbedaan agama yang menyebabkan konflik berkepanjangan.
- Perbedaan pendapat yang tidak dapat didamaikan.
Daftar ini bukan bersifat ekshaustif, dan pengadilan dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain yang relevan dalam setiap kasus.
Anda juga berkesempatan memelajari dengan lebih rinci mengenai Bimbingan Pra Nikah 2023 untuk meningkatkan pemahaman di bidang Bimbingan Pra Nikah 2023.
Dampak Perceraian terhadap Anak dan Harta Bersama Menurut UU Perkawinan 1974
Perceraian memiliki dampak signifikan, terutama bagi anak dan pembagian harta bersama. UU Perkawinan 1974 menekankan pentingnya perlindungan hak-hak anak, baik secara fisik maupun psikis. Pembagian harta bersama dilakukan secara adil dan merata, mempertimbangkan kontribusi masing-masing pihak selama pernikahan.
- Terhadap Anak: Hak asuh anak biasanya diberikan kepada salah satu pihak, namun pihak lain tetap memiliki hak untuk bertemu dan berkomunikasi dengan anak. Kepentingan terbaik anak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan hak asuh.
- Terhadap Harta Bersama: Harta bersama dibagi secara adil dan merata, mempertimbangkan kontribusi masing-masing pihak selama pernikahan. Proses pembagian harta dapat dilakukan melalui kesepakatan bersama atau melalui putusan pengadilan.
Peta Pikiran Alur Proses Perceraian Berdasarkan UU Perkawinan 1974
Proses perceraian dapat divisualisasikan sebagai berikut: Diawali dengan upaya mediasi dan konseling. Jika gagal, permohonan diajukan ke pengadilan. Pengadilan akan melakukan pemeriksaan dan persidangan. Setelah itu, pengadilan akan mengeluarkan putusan yang meliputi hak asuh anak dan pembagian harta bersama. Putusan tersebut bersifat final dan mengikat.
Anda pun dapat memahami pengetahuan yang berharga dengan menjelajahi Perkawinan Campuran Hpi.
Contoh Kasus Perceraian dan Penyelesaiannya Berdasarkan UU Perkawinan 1974
Bayangkan kasus pasangan suami istri, sebut saja Budi dan Ani, yang bercerai karena perselingkuhan Budi. Ani mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Setelah melalui proses persidangan, pengadilan memutuskan Budi bersalah dan memberikan hak asuh anak kepada Ani. Harta bersama, berupa rumah dan tabungan, dibagi dua secara adil. Budi juga diwajibkan membayar nafkah anak secara berkala.
Perkembangan dan Amandemen UU Perkawinan 1974
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 telah menjadi landasan hukum bagi perkawinan di Indonesia selama beberapa dekade. Namun, seiring perubahan zaman dan dinamika sosial budaya, UU ini telah mengalami berbagai perkembangan dan perdebatan terkait relevansi dan perlunya amandemen. Pembahasan berikut akan mengulas perkembangan hukum perkawinan pasca-berlakunya UU tersebut, isu-isu terkini, dan usulan amandemen yang relevan.
Perkembangan Hukum Perkawinan Pasca UU 1974
Sejak disahkan, UU Perkawinan 1974 telah memicu berbagai dinamika hukum dan sosial. Penerapannya di lapangan mengungkap berbagai tantangan dan kebutuhan adaptasi terhadap realita masyarakat yang terus berubah. Interpretasi dan implementasi hukum perkawinan oleh pengadilan dan lembaga terkait juga turut membentuk perkembangan hukumnya. Contohnya, perkembangan hukum mengenai hak asuh anak pasca perceraian, perkembangan peraturan mengenai poligami, dan perkembangan pengakuan perkawinan antar agama menunjukkan adaptasi hukum terhadap perubahan sosial.
Isu-Isu Terkini Terkait UU Perkawinan 1974
Beberapa isu terkini yang menjadi sorotan publik dan memicu perdebatan terkait UU Perkawinan 1974 antara lain perlindungan hak perempuan dalam perkawinan, pengaturan poligami, perkawinan anak, dan pengakuan perkawinan sesama jenis. Isu-isu ini menunjukkan perlunya pengembangan dan penyesuaian UU agar lebih responsif terhadap perubahan nilai dan kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini.
Perubahan Signifikan pada UU Perkawinan 1974
Meskipun UU Perkawinan 1974 belum mengalami amandemen secara menyeluruh, interpretasi dan implementasinya telah mengalami perubahan seiring waktu. Putusan Mahkamah Konstitusi dan perkembangan yurisprudensi telah memberikan interpretasi baru terhadap beberapa pasal dalam UU tersebut. Contohnya, putusan MK mengenai hak asuh anak pasca perceraian telah memberikan kejelasan hukum yang lebih baik dibandingkan dengan interpretasi sebelumnya.
Usulan Amandemen UU Perkawinan 1974
Berbagai usulan amandemen telah diajukan untuk menyempurnakan UU Perkawinan 1974. Beberapa usulan berfokus pada peningkatan perlindungan hak perempuan, pengaturan yang lebih tegas mengenai perkawinan anak, dan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Usulan lain menyangkut pengaturan yang lebih jelas mengenai hak waris dan harta bersama dalam perkawinan. Semua usulan ini bertujuan untuk menciptakan sistem perkawinan yang lebih adil, setara, dan melindungi hak-hak semua pihak yang terlibat.
Poin-Poin Penting Perkembangan dan Amandemen UU Perkawinan 1974
- Perlunya adaptasi UU Perkawinan 1974 terhadap perubahan sosial dan budaya Indonesia.
- Pentingnya perlindungan hak perempuan dan anak dalam konteks perkawinan.
- Kebutuhan untuk menangani isu-isu terkini seperti perkawinan anak dan kekerasan dalam rumah tangga.
- Perlu dipertimbangkan usulan amandemen yang menyesuaikan UU dengan prinsip-prinsip HAM dan kesetaraan gender.
- Pentingnya partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam proses perumusan amandemen UU Perkawinan.
Pertanyaan Umum tentang UU Perkawinan 1974
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengatur berbagai aspek penting terkait perkawinan di Indonesia. Pemahaman yang baik terhadap UU ini krusial bagi setiap individu yang merencanakan pernikahan maupun yang telah menikah. Berikut penjelasan beberapa pertanyaan umum yang sering muncul terkait UU Perkawinan 1974.
Syarat Usia Minimal untuk Menikah
UU Perkawinan 1974 menetapkan syarat usia minimal untuk menikah. Bagi calon mempelai pria dan wanita, usia minimal yang ditentukan adalah 19 tahun. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan kematangan emosional dan fisik calon pasangan sebelum memasuki jenjang pernikahan, sehingga dapat membangun keluarga yang harmonis dan bertanggung jawab. Peraturan ini juga bertujuan untuk melindungi kepentingan anak dan mencegah perkawinan yang dipaksakan pada usia yang terlalu muda.
Tata Cara Pengajuan Dispensasi Nikah
Terdapat pengecualian terhadap syarat usia minimal tersebut. Jika calon mempelai belum memenuhi syarat usia minimal, mereka dapat mengajukan dispensasi nikah ke Pengadilan Agama. Proses ini memerlukan bukti-bukti yang meyakinkan pengadilan bahwa perkawinan tersebut penting dan mendesak, misalnya karena kehamilan di luar nikah atau alasan-alasan lain yang dipertimbangkan oleh pengadilan. Permohonan dispensasi nikah akan dipertimbangkan secara cermat oleh pengadilan dengan mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kesejahteraan calon mempelai dan anak yang mungkin lahir.
Perkawinan Campur (Beda Agama)
UU Perkawinan 1974 tidak secara eksplisit melarang perkawinan campur atau perkawinan beda agama. Namun, terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan. Salah satu hal penting adalah kesepakatan antara kedua calon mempelai terkait agama yang dianut oleh anak-anak hasil perkawinan tersebut. Hal ini perlu dibicarakan dan disepakati secara matang sebelum pernikahan dilakukan untuk menghindari konflik di masa mendatang.
Hak Asuh Anak dalam Kasus Perceraian
Dalam kasus perceraian, pengaturan hak asuh anak diatur dalam UU Perkawinan 1974 dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya. Kepentingan terbaik anak menjadi pertimbangan utama dalam menentukan hak asuh. Pengadilan akan mempertimbangkan berbagai faktor, seperti usia anak, kondisi kesehatan anak, serta kemampuan masing-masing orang tua dalam memberikan perawatan dan pendidikan yang baik. Tidak jarang, pengadilan menetapkan hak asuh bersama atau hak kunjung bagi orang tua yang tidak mendapatkan hak asuh penuh.
Pengurusan Harta Bersama Setelah Perceraian
Harta bersama yang diperoleh selama masa perkawinan akan dibagi secara adil dan merata antara kedua mantan pasangan setelah perceraian. Pembagian harta bersama ini dapat dilakukan melalui kesepakatan bersama atau melalui putusan pengadilan. Proses ini memerlukan pembuktian atas kepemilikan harta bersama dan proses penilaian aset yang dimiliki. Pengadilan akan mempertimbangkan kontribusi masing-masing pihak selama masa perkawinan dalam menentukan pembagian harta tersebut.