Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura memang menjadi bukti perjuangan panjang yang sudah rilis sejak 1998 Polemik FIR dan Tafsir Konstitusional, itu akhirnya ditandatangani Indonesia dan Singapura di Bintan Kepri, pada 25 Januari 2023 silam dengan masa retroaktif 1 tahun.
Sehingga lewat perjanjian ini diharapkan pelaku tindak pidana korupsi, Bandar narkoba, maupun pelaku tindak pidana lainnya sudah tidak lagi menjadikan Singapura sebagai tempat persembunyian.
Megenal Polemik FIR dan Tafsir Konstitusional
Tidak hanya itu, melalui kesepakatan area navigasi penerbangan antara Indonesia dan Singapura membawa efek positif. Yakni dengan meluasnya wilayah FIR Indonesia yang mendapat pengakuan dunia Internasional dengan luas 249.575 kilometer persegi.
Hanya saja perjanjian tersebut justru menuai polemic terutama mengenai Flight Information Region atau FIR. Lantas seperti apa bentuk polemik FIR dan tafsir konstitusional wilayah udara Negara Indonesia dan Singapura?
APA ITU FLIGHT INFORMATION REGION?
Flight Information Region (FIR) sebagai kawasan yang memberi pelayanan berupa informasi mengenai keselamatan penerbangan. Memakai penggunaan FIR ini untuk mengatur lalu lintas udara dan mengontrol pergerakan pesawat terbang.
Manajemen ini sudah mengontrol mulai dari wilayah parkir, bahkan di saat menyalakan mesin, selanjutnya saat menuju aerodrome, saat take off, hingga menanjak di ketinggian tertentu. Selanjutnya melakukan control saat terbang di udara dengan ketinggian tertentu, saat landing juga tetap harus ada pengawasan, menuju taxy way, sampai kembali ke tempat parkir dan saat mesin sudah mati semua harus terkontrol dengan baik.
SETIAP NEGARA PUNYA FIR
Membahas tentang FIR, maka sudah pasti yang harus jadi Catatan setiap Negara memiliki aturan FIR nya masing-masing. Pedoman penggunaan FIR mengatur dalam ICAO (International Civil Aviation Organization).
Meski Negara memiliki aturannya masing-masing, tetap ada pengecualian. Yakni pada kondisi tertentu Negara menyerahkan pengelolaan FIR kepada tetangganya.
POLEMIK FLIGHT INFORMATION REGION
perluasan wilayah udara Indonesia yang terjadi di atas Natuna dan melakukan setelah adanya Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.Hal ini terjadi jauh sebelum meresmikan FIR ke Singapura tahun 1946.
Soal FIR selalu mengaitkan dengan kedaulatan sebuah Negara. Sehingga, pengelolaan wilayah udara suatu Negara tidak melakukan dengan kedaulatan Negara tersebut tentu dipertanyakan.
Polemik FIR dan Tafsir Konstitusional
Lalu kemudian muncul polemik Flight Information Region atau FIR. Seperti yang dikatakan Syarif Hasan, Wakil Ketua MPR RI. Dia mengatakan perjanjian Indonesia dan Singapura tenteang FIR justru dianggap menunjukkan titik lemahnya diplomasi Indonesia. Paslanya, Singapura tetap memiliki ruang kendali atas udara di Wilayah Kepri terutama di ketinggian 0,37 ribu kaki.
Kuasa ini dapat dilihat dari kebijakan bahwa pesawat sipil tetap harus mendarat di wilayah Kepri dan harus mendapat clearance dari Singapura dan pendelegasian Indonesia-Singapura tentang pengendalian wilayah udara sebagian wilayah Indonesia kepada Singapura sesuai perjanjian berlangsung selama 25 tahun.
Perbedaan pandangan juga datang dari Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Hikmahanto bahkan mengkritik perjanjian soal FIR ini karena menganggap melanggar undang-undang nomor 1 tahun 2009 tentang penerbangan.
TAFSIR KONSTITUSIONAL WILAYAH NEGARA
Menyoal wilayah Negara memang sejak lama sudah jadi perdebatan. Hal ini terjadi karena, wilayah Negara tidak membahas secara jelas dalam undang-undang dasar 1945.
Dalam kutipan laman hukum online dijelaskan bahwa Ahli Hukum Tata Negara Jimly Asshiddiqie memberikan penjelasan tentang pasal 25 A undang-undang dasar 1945 mengenai sejarah konstitusi. Menyebutkan bahwa pembahasan mengenai perdebatan wilayah Negara yang menyelesaikan secara voting. Itu artinya terjadi perdebatan di antara penyusun konstitusi itu.
Hal yang terkadang menimbulkan perdebatan adalah apa yang ada dalam pasal 25 A undang-undang dasar 1945. Dimana disebutkan tentang wilayah Negara hanya menyebut ‘bumi dan air’ dan kekayaan alam yang terkadnung di dalamnya, sehingga wilayah udara tidak termasuk di dalamnya.
Lebih dalam mengenai Polemik FIR dan Tafsir Konstitusional
Hanya saja menurut Jimly, pasal 25 A tidaklah lepas dengan apa yang tertuang dalam Pasal 33 maupun pasal 10 undang-undang dasar 1945.
Sangat jelas dalam pasal 10 undang-undang dasar 1945 mengatakan bahwa memang presiden memegang kekuasaan tertinggi mulai dai angkatan darat, angkatan laut, maupun angkatan udara. Karena itu, Jimly mengatakan bahwa pasal 33 tidak terlepas dari apa yang ada da;am rumusan pasal 10 UUD i945.
Sehingga kata Jimly, seseorang akan gagal memahami pesan yang tersirat dalam pasal 33 UUD 1945, jika membacanya hanya dalam bentuk letterlijk saja. Melainkan tetap harus dihubungkan dengan apa yang ditulis dalam pasal 10. Sehingga wilayah udara juga tetap milik Negara.
Tidak hanya itu, dalam undang-undang nomor 43 tahun 2008 juga jelas sudah menyinggung soal udara tetap bagian dari wilayah Negara. Seperti yang tertuang dalam pasal 4. Dalam pasal itu jelas dikatakan bahwa wilayah Negara ini antara lain wilayah darat, perairan, dasar laut, hingga tanah. Sedangkan di bawahnya juga masuk wilayah Negara termasuk ruang udara yang ada di atasnya antara lain juga sudah masuk di dalamnya semua sumber kekayaan yanga da di dalamnya.
Hal inilah yang kemudian yang menjadi polemik FIR dan tafsir konstitusional wilayah udara Negara yang menyertainya.
MASALAH UDARA JADI PERSOALAN SERIUS
Pandangan pakar hukum tampaknya memberikan perhatian serius mengenai wilayah udara Negara menjadi persoalan di masa depan dunia. Pasalnya, potensi konflik dinilai sangat besar jika persoalan lalu lintas di udara yang sangat luas tidak diatur dengan baik.
Sebagaimana pernah menjadi kajian Lemhanas yang pernah membahas urgensi pengaturan lalu lintas ruang udara di Indonesia demi pemantapan stabilitas keamanan wilayah udara nasional tentunya dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada 2013 silam.
PENYEBAB POLEMIK FIR
Jika sebelumnya dijelaskan soal terjadinya perbedaan pandangan mengenai FIR ini hingga menimbulkan polemic. Karena itu, Chappy Hakim sebagai mantan Kepala Staf Angkatan Udara, Chappy Hakim dalam karya bukunya dengan judul’FIR di Kepulauan Udara Kedaulatan NKRI’ menceritakan bahwa soal pendelegasian pengelolaan FIR yang ada di Kepulauan Riau tidak lepas dari sejarah masa lalu.
Tidak hanya itu, penyebab munculnya polemik FIR juga terjadi kata Cheppy, karena di satu sisi ada yang punya pandangan bahwa soal pengelolaan ruang udara nasional hanyalah menyangkut persoalan teknis. Sebalinya, ada juga yang punya pandangan bahwa mengenai pengelolaan ruang udara nasional erat kaitannya dengan kedaulatan Negara.
Lantas bagaimana pendapat ICAO? Hakikatnya ICAO sudah menegasakan bahwa soal pendelegasian pengeloaan lalu lintas penerbangan sipil merupakan persoalan bilateral di antara dua Negara tetangga. Sehingga kapasitas suatu Negara untuk mencabutnya atau memperpanjang perjanjian tersebut. Hanya saja penting untuk memahami persoalan ini secara mendalam apalagi yang menyangkut wilayah kedaulatan Negara.
Mengenai kedaulatan ini bisa mengambil pedoman pada Annex 11 to the Convention on International civil aviation. Seperti yang tertuang dalam poin 2.1.1.
Disebutkan dalam poin 2.1.1 bahwa Negara tersebut menentukan bagian dari wilayah udaranya serta Bandar udara yang menyediakan lalu lintas udara dengan tetap merujuk pada yurisdiksi serta aturan dalam Annex.
Wilayah negara tidak lepas juga dari persoalan hukum. Jika Anda membutuhkan bantuan penasehat hukum profesional dan terpercaya dalam menangani masalah Anda, serahkan pada kami di PT Jangkar Global groups. Unsur Kebaruan Desain Dari Industri