Nikah Mutah Dalam Ajaran Islam Tinjauan Komprehensif

Akhmad Fauzi

Updated on:

Direktur Utama Jangkar Goups

Nikah Mut’ah

Nikah Mut Ah Dalam Ajaran Islam – Nikah mut’ah, atau pernikahan sementara, merupakan suatu bentuk pernikahan yang memiliki jangka waktu tertentu dan telah menjadi perdebatan panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Perbedaan pendapat yang signifikan di antara mazhab-mazhab fiqh Islam mengenai hukumnya menjadikan pemahaman yang komprehensif sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman.

Pelajari aspek vital yang membuat Ekspor Ban Bekas Ke Jepang Apa Saja Syarat Dokumennya ? menjadi pilihan utama.

DAFTAR ISI

Definisi Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah secara harfiah berarti “kenikmatan” atau “kesenangan”. Dalam konteks pernikahan, ini merujuk pada suatu akad nikah yang disepakati untuk jangka waktu tertentu, dengan ketentuan-ketentuan yang disetujui kedua belah pihak. Setelah masa tersebut berakhir, pernikahan secara otomatis berakhir tanpa memerlukan proses perceraian. Nikah mut’ah berbeda dengan nikah permanen (nikah da’im) yang bertujuan untuk membangun keluarga jangka panjang.

Sejarah dan Perkembangan Praktik Nikah Mut’ah

Praktik nikah mut’ah telah ada sejak masa Rasulullah SAW, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai validitas dan kelanjutannya setelah masa beliau. Beberapa riwayat menyebutkan adanya praktik nikah mut’ah pada masa awal Islam, terutama dalam konteks kondisi peperangan dimana banyak laki-laki muslim yang jauh dari keluarga mereka. Namun, setelah masa sahabat, pendapat yang melarang nikah mut’ah semakin dominan, terutama di kalangan mazhab-mazhab yang mayoritas.

Pandangan Berbagai Mazhab Islam Terhadap Nikah Mut’ah

Perbedaan pendapat mengenai hukum nikah mut’ah mencerminkan kompleksitas hukum Islam dan berbagai interpretasi terhadap dalil-dalil yang ada. Perbedaan ini terutama berpusat pada pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang relevan, serta konteks historis dan sosial di masa turunnya wahyu.

Perbandingan Pandangan Mazhab Terhadap Nikah Mut’ah

Mazhab Hukum Nikah Mut’ah Alasan
Syafi’i Haram Berlandaskan pada interpretasi hadits dan ijma’ ulama setelah masa sahabat.
Hanafi Mubah (diperbolehkan) Berlandaskan pada beberapa riwayat yang menunjukkan adanya praktik nikah mut’ah pada masa Rasulullah SAW dan sahabat.
Maliki Haram Pendapat yang lebih dominan di kalangan Malikiyah adalah haram, mengikuti pendapat yang lebih kuat dari hadits dan ijma’
Hanbali Haram Berlandaskan pada interpretasi hadits dan pertimbangan menjaga kesucian dan kehormatan pernikahan.

Ilustrasi Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Nikah Mut’ah

Perbedaan pendapat mengenai nikah mut’ah dapat diilustrasikan sebagai berikut: Bayangkan sebuah peta yang menggambarkan perjalanan hukum Islam. Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali cenderung menempuh jalur yang menghindari praktik nikah mut’ah, berlandaskan pada interpretasi hadits yang mereka anggap lebih kuat dan pertimbangan menjaga kesucian pernikahan dalam konteks sosial masyarakat masa kini. Sebaliknya, mazhab Hanafi cenderung mengarah pada interpretasi yang lebih longgar, mempertimbangkan konteks historis dan sosial masa turunnya wahyu. Perbedaan ini bukan berarti salah satu mazhab salah, melainkan mencerminkan keragaman interpretasi terhadap teks-teks agama dalam konteks zaman yang berbeda.

Dapatkan rekomendasi ekspertis terkait Legalisir dokumen Kenya Terpercaya yang dapat menolong Anda hari ini.

Hukum Nikah Mut’ah dalam Al-Quran dan Hadits

Nikah mut’ah, atau pernikahan sementara, merupakan praktik yang pernah ada dalam sejarah Islam. Namun, status hukumnya hingga kini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Perbedaan interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang relevan menjadi akar perbedaan pendapat tersebut. Berikut uraian lebih lanjut mengenai hukum nikah mut’ah berdasarkan sumber-sumber utama ajaran Islam.

  Persyaratan Nikah Di KUA 2023 Panduan Lengkap

Ayat-Ayat Al-Quran Terkait Nikah Mut’ah

Tidak ada ayat Al-Quran yang secara eksplisit dan tegas mengizinkan atau melarang nikah mut’ah secara umum. Pendapat yang menyatakan adanya izin nikah mut’ah biasanya merujuk pada beberapa ayat yang ditafsirkan secara kontekstual. Namun, tafsir tersebut seringkali menjadi titik perdebatan di kalangan para mufassir.

Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat-ayat yang membahas pernikahan pada umumnya dapat diinterpretasikan mencakup nikah mut’ah, sementara yang lain berpendapat sebaliknya. Oleh karena itu, penting untuk memahami konteks dan latar belakang turunnya ayat-ayat tersebut.

Periksa apa yang dijelaskan oleh spesialis mengenai Apa Itu GACC General Administration Of Customs China ? dan manfaatnya bagi industri.

Hadits-Hadits Shahih Terkait Nikah Mut’ah

Beberapa hadits meriwayatkan praktik nikah mut’ah pada masa Rasulullah SAW. Namun, keaslian dan keshahihan hadits-hadits tersebut menjadi pusat perdebatan. Banyak ulama yang meragukan keshahihan hadits-hadits yang mendukung nikah mut’ah, sementara sebagian lainnya menganggapnya shahih.

Perbedaan penilaian keshahihan hadits ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk sanad (silsilah periwayatan) dan kualitas perawi. Oleh karena itu, kajian mendalam terhadap ilmu hadits sangat krusial untuk menentukan status hukum nikah mut’ah berdasarkan hadits.

Temukan bagaimana Bagaimana cara impor kurma saudi arabia ke indonesia ? telah mentransformasi metode dalam hal ini.

Perbedaan Interpretasi Ayat dan Hadits Terkait Nikah Mut’ah

Perbedaan interpretasi ayat Al-Quran dan hadits menjadi faktor utama perbedaan pendapat mengenai hukum nikah mut’ah. Perbedaan ini muncul karena berbagai faktor, antara lain perbedaan metodologi tafsir, perbedaan pemahaman terhadap konteks historis, dan perbedaan dalam menilai keshahihan hadits.

Beberapa ulama menggunakan pendekatan tekstual, menekankan pada makna harfiah ayat dan hadits, sementara yang lain menggunakan pendekatan kontekstual, mempertimbangkan latar belakang turunnya ayat dan hadits. Perbedaan pendekatan ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda mengenai hukum nikah mut’ah.

Kutipan Ayat Al-Quran dan Hadits yang Relevan, Nikah Mut Ah Dalam Ajaran Islam

(Contoh Kutipan Ayat Al-Quran dan Terjemahannya, serta Penjelasannya – harus diisi dengan kutipan ayat yang relevan dan terjemahannya yang akurat, beserta penjelasan dari sumber terpercaya) Misalnya, jika ada ayat yang sering dirujuk dalam perdebatan ini, masukkan ayat tersebut beserta terjemahannya di sini dan berikan penjelasan singkat terkait relevansi ayat tersebut dengan nikah mut’ah. Penjelasan harus didasarkan pada sumber-sumber terpercaya dalam ilmu tafsir.

Tingkatkan wawasan Kamu dengan teknik dan metode dari HACCP Pengertian Pentingnya Persyaratan yang Harus Dipenuhi.

(Contoh Kutipan Hadits dan Terjemahannya, serta Penjelasannya – harus diisi dengan kutipan hadits yang relevan dan terjemahannya yang akurat, beserta penjelasan dari sumber terpercaya) Misalnya, jika ada hadits yang sering dirujuk dalam perdebatan ini, masukkan hadits tersebut beserta terjemahannya di sini dan berikan penjelasan singkat terkait relevansi hadits tersebut dengan nikah mut’ah. Penjelasan harus didasarkan pada sumber-sumber terpercaya dalam ilmu hadits. Sebutkan juga derajat keshahihan hadits tersebut menurut para ahli hadits.

Pengaruh Perbedaan Pemahaman terhadap Hukum Nikah Mut’ah

Perbedaan pemahaman terhadap redaksi ayat dan hadits secara signifikan memengaruhi hukum nikah mut’ah. Perbedaan ini menyebabkan munculnya berbagai mazhab dan pendapat di kalangan ulama. Sebagian besar mazhab dalam Islam, seperti mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, mengharamkan nikah mut’ah. Namun, ada juga sebagian kecil ulama yang masih memperbolehkannya dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Perbedaan ini bukan hanya sekadar perbedaan pendapat akademik, tetapi juga memiliki implikasi praktis dalam kehidupan umat Islam. Pemahaman yang berbeda mengenai hukum nikah mut’ah dapat berdampak pada praktik keagamaan, hukum keluarga, dan bahkan hubungan sosial di masyarakat.

Perbandingan Nikah Mut’ah dengan Nikah Permanen

Nikah mut’ah dan nikah permanen merupakan dua bentuk pernikahan dalam konteks Islam, namun dengan perbedaan mendasar dalam durasi dan implikasinya. Memahami perbedaan keduanya penting untuk menghindari kesalahpahaman dan memastikan pelaksanaan pernikahan sesuai dengan ajaran agama. Berikut perbandingan rinci kedua jenis pernikahan tersebut.

Rukun dan Syarat Nikah Mut’ah dan Nikah Permanen

Baik nikah mut’ah maupun nikah permanen memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan sah menurut hukum Islam. Namun, terdapat perbedaan signifikan dalam beberapa aspek. Nikah permanen, misalnya, mengharuskan adanya ijab kabul yang tegas dan jelas tanpa batasan waktu, sedangkan nikah mut’ah menentukan jangka waktu pernikahan. Syarat-syarat lainnya, seperti adanya wali bagi perempuan dan kesanggupan kedua mempelai, pada dasarnya berlaku untuk kedua jenis pernikahan, meskipun implementasinya mungkin berbeda dalam konteks budaya dan hukum masing-masing negara.

  Aturan Pernikahan Dalam Islam Panduan Lengkap

Hak dan Kewajiban Suami-Istri dalam Nikah Mut’ah dan Nikah Permanen

Perbedaan mendasar terletak pada hak dan kewajiban suami-istri. Dalam nikah permanen, hak dan kewajiban bersifat berkelanjutan sepanjang pernikahan berlangsung. Suami bertanggung jawab atas nafkah lahir dan batin istri, sementara istri berhak atas perlindungan dan kasih sayang suami. Dalam nikah mut’ah, hak dan kewajiban terbatas pada masa perjanjian yang telah disepakati. Setelah masa tersebut berakhir, hubungan suami-istri secara otomatis berakhir, dan kewajiban nafkah juga berakhir. Namun, hal ini juga bergantung pada kesepakatan yang tertera dalam akad nikah mut’ah.

Tabel Perbandingan Aspek Penting Nikah Mut’ah dan Nikah Permanen

Aspek Nikah Mut’ah Nikah Permanen
Durasi Terbatas, sesuai kesepakatan Seumur hidup, hingga kematian atau perceraian
Nafkah Terbatas pada masa perjanjian Berkelanjutan selama pernikahan
Waris Tidak ada hak waris secara otomatis Terdapat hak waris antara suami-istri
Perceraian Berakhir otomatis setelah masa perjanjian Membutuhkan proses perceraian resmi
Status Hukum Diperbolehkan di beberapa mazhab, namun diharamkan di sebagian besar negara Diperbolehkan dan diakui secara umum di sebagian besar negara

Dampak Sosial dan Ekonomi Nikah Mut’ah dan Nikah Permanen

Nikah permanen memiliki dampak sosial yang lebih luas dan stabil, membentuk keluarga inti yang berperan penting dalam struktur sosial masyarakat. Dampak ekonominya juga lebih kompleks, melibatkan tanggung jawab jangka panjang terhadap kebutuhan keluarga. Nikah mut’ah, karena sifatnya yang sementara, memiliki dampak sosial dan ekonomi yang lebih terbatas. Dampak sosialnya bisa menimbulkan kontroversi, sementara dampak ekonominya terbatas pada masa perjanjian.

Contoh Kasus Perbedaan Penerapan Hukum

Bayangkan seorang wanita yang menikah mut’ah dengan seorang pria selama enam bulan. Setelah masa tersebut berakhir, tidak ada kewajiban hukum bagi pria tersebut untuk menafkahi wanita tersebut lagi. Berbeda dengan pernikahan permanen, jika terjadi perceraian, suami biasanya memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah iddah dan mungkin juga nafkah lainnya tergantung hukum yang berlaku. Dalam kasus ini, perbedaan hukum yang mengatur kedua jenis pernikahan sangat jelas terlihat dalam hal tanggung jawab finansial dan perlindungan hukum bagi istri.

Pandangan Ulama Kontemporer tentang Nikah Mut’ah

Perdebatan seputar hukum nikah mut’ah dalam Islam terus berlanjut hingga masa kontemporer. Ulama kontemporer, dengan beragam latar belakang dan metodologi ijtihad, memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap praktik ini. Pemahaman mereka terhadap nash-nash (teks agama) dan konteks sosial-kultural turut mewarnai argumentasi yang diajukan. Berikut ini pemaparan mengenai pandangan ulama kontemporer yang mendukung dan menentang nikah mut’ah, beserta argumentasi yang mereka kemukakan.

Pendapat Ulama Kontemporer yang Mendukung Nikah Mut’ah

Sebagian ulama kontemporer berpendapat bahwa nikah mut’ah masih diperbolehkan dalam Islam berdasarkan penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadits yang relevan. Mereka menekankan aspek kemaslahatan (kebaikan) yang dapat ditimbulkan oleh nikah mut’ah, terutama dalam situasi tertentu seperti perjalanan jauh atau kondisi darurat. Argumentasi mereka seringkali didasarkan pada penafsiran literal terhadap teks-teks agama dan konteks historisnya saat wahyu diturunkan.

  • Mereka seringkali merujuk pada dalil-dalil yang menyebutkan kebolehan nikah mut’ah dalam Al-Quran dan hadits shahih.
  • Mereka menekankan aspek kemaslahatan nikah mut’ah dalam menjaga kehormatan dan mencegah zina.
  • Mereka berpendapat bahwa larangan nikah mut’ah hanya berlaku pada masa tertentu dan tidak berlaku secara universal.

Pendapat Ulama Kontemporer yang Menentang Nikah Mut’ah

Di sisi lain, banyak ulama kontemporer yang menentang praktik nikah mut’ah. Mereka berargumen bahwa nash-nash yang mendukung nikah mut’ah telah di-nasakh (dihapus) oleh ayat-ayat atau hadits lain yang melarang atau membatasi praktik tersebut. Mereka juga seringkali mengkritisi potensi penyalahgunaan dan dampak negatif nikah mut’ah terhadap perempuan dan keluarga. Argumentasi mereka seringkali didasarkan pada penafsiran kontekstual terhadap teks-teks agama dan pertimbangan moral-etika.

  • Mereka merujuk pada hadits-hadits yang menyatakan adanya pencabutan hukum nikah mut’ah.
  • Mereka menekankan potensi eksploitasi dan ketidakadilan yang dapat terjadi dalam nikah mut’ah.
  • Mereka khawatir akan dampak negatif nikah mut’ah terhadap stabilitas keluarga dan moralitas masyarakat.

Ringkasan Pendapat Ulama Kontemporer Terkemuka

Perbedaan pendapat ulama kontemporer mengenai nikah mut’ah mencerminkan kompleksitas isu ini. Tidak ada konsensus tunggal di antara mereka. Beberapa ulama terkemuka yang mendukung nikah mut’ah mungkin akan merujuk pada argumentasi berdasarkan ijtihad mereka terhadap nash dan konteks historis, sementara ulama yang menentangnya akan lebih menekankan pada pertimbangan moral dan konsekuensi sosial. Perbedaan metodologi ijtihad dan pemahaman terhadap teks agama menjadi faktor utama perbedaan pendapat tersebut.

Kutipan Pendapat Ulama Kontemporer

“Nikah mut’ah adalah suatu bentuk pernikahan yang sah menurut syariat Islam, asalkan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan. Namun, perlu diingat bahwa praktik ini harus dilakukan dengan bijak dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan masalah dikemudian hari.” – (Sumber: Nama Ulama dan Buku/Artikel)

“Saya berpendapat bahwa nikah mut’ah telah dihapuskan oleh syariat Islam. Praktik ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah sosial dan moral, sehingga sebaiknya dihindari.” – (Sumber: Nama Ulama dan Buku/Artikel)

*(Catatan: Sumber kutipan di atas perlu diganti dengan sumber yang akurat dan dapat diverifikasi. Contoh kutipan tersebut hanya ilustrasi.)*

  Perkawinan Campuran Antar Dua Budaya Lebih Memudahkan Terjadinya

Perbedaan Pendekatan Ulama Kontemporer dalam Memahami Teks Agama

Perbedaan pendekatan ulama kontemporer dalam memahami teks agama terkait nikah mut’ah dapat dilihat dari perbedaan metodologi ijtihad yang mereka gunakan. Beberapa ulama lebih menekankan pada penafsiran literal (tafwidh), sementara yang lain lebih menekankan pada penafsiran kontekstual (ta’wil). Perbedaan ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda mengenai hukum nikah mut’ah.

Dampak Sosial dan Hukum Nikah Mut’ah: Nikah Mut Ah Dalam Ajaran Islam

Nikah mut’ah, meskipun diperdebatkan keabsahannya dalam sebagian besar mazhab Islam, memiliki dampak sosial dan hukum yang signifikan. Pemahaman yang komprehensif terhadap dampak-dampak ini krusial untuk mengantisipasi potensi konflik dan merumuskan kebijakan yang tepat.

Dampak Sosial Nikah Mut’ah

Praktik nikah mut’ah berpotensi menimbulkan dampak sosial positif dan negatif. Dampak positifnya, secara teoritis, dapat berupa penurunan angka prostitusi dan penyediaan perlindungan hukum bagi perempuan dalam hubungan sementara. Namun, potensi dampak negatifnya jauh lebih kompleks dan perlu dipertimbangkan secara serius. Potensi eksploitasi perempuan, permasalahan status anak hasil nikah mut’ah, dan stigma sosial yang melekat pada pihak-pihak yang terlibat merupakan beberapa konsekuensi yang perlu diwaspadai.

Implikasi Hukum Nikah Mut’ah di Berbagai Negara Mayoritas Muslim

Status hukum nikah mut’ah bervariasi di berbagai negara mayoritas Muslim. Perbedaan ini dipengaruhi oleh interpretasi hukum Islam yang beragam dan konteks sosial budaya masing-masing negara. Beberapa negara mungkin melegalkannya, sementara yang lain secara tegas melarangnya. Hal ini menciptakan kompleksitas dalam penerapan hukum dan perlindungan bagi individu yang terlibat dalam praktik ini.

Hukum Positif di Indonesia Mengenai Nikah Mut’ah

Di Indonesia, nikah mut’ah tidak diakui sebagai bentuk pernikahan yang sah menurut hukum positif. Hal ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur secara detail persyaratan dan prosedur pernikahan yang sah. Praktik nikah mut’ah dianggap bertentangan dengan norma hukum dan nilai-nilai sosial yang berlaku di Indonesia.

Status Hukum Nikah Mut’ah di Beberapa Negara

Negara Status Hukum
Iran Diperbolehkan dalam Syiah
Indonesia Tidak Diperbolehkan
Arab Saudi Tidak Diperbolehkan
Lebanon Statusnya kompleks, bervariasi berdasarkan mazhab
Irak Statusnya kompleks, bervariasi berdasarkan mazhab dan wilayah

Catatan: Tabel ini memberikan gambaran umum dan status hukum dapat berubah. Informasi lebih rinci memerlukan kajian hukum yang lebih mendalam di masing-masing negara.

Potensi Konflik Sosial Akibat Nikah Mut’ah

Skenario potensi konflik sosial dapat terjadi jika praktik nikah mut’ah tidak diatur dengan baik. Misalnya, perselisihan mengenai hak asuh anak hasil nikah mut’ah, tuntutan materi dari pihak perempuan, dan konflik antar keluarga dapat muncul. Perbedaan interpretasi hukum dan norma sosial juga dapat memicu ketegangan di masyarakat. Sebuah kasus hipotetis misalnya, seorang perempuan yang melakukan nikah mut’ah kemudian mengalami kesulitan mendapatkan hak-haknya karena tidak adanya perlindungan hukum yang jelas, dapat memicu protes sosial dan ketidakpuasan publik.

Pertanyaan Umum Mengenai Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah, atau pernikahan sementara, merupakan praktik yang kontroversial dalam Islam. Pemahaman yang tepat mengenai hukum dan implikasinya sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan konsekuensi yang tidak diinginkan. Berikut penjelasan mengenai beberapa pertanyaan umum terkait nikah mut’ah.

Status Hukum Nikah Mut’ah dalam Islam

Pendapat mengenai diperbolehkannya nikah mut’ah dalam Islam terbagi menjadi dua kelompok utama. Mazhab Syiah mengakui dan memperbolehkan nikah mut’ah dengan syarat dan ketentuan tertentu yang tercantum dalam ajaran mereka. Mereka berpegang pada beberapa hadis dan riwayat yang mendukung praktik ini. Sebaliknya, sebagian besar mazhab Sunni menganggap nikah mut’ah sebagai haram (terlarang). Mereka berargumen bahwa Al-Quran dan hadis-hadis sahih tidak secara eksplisit mengizinkan praktik tersebut, dan bahkan ada beberapa riwayat yang menentang nikah mut’ah. Perbedaan interpretasi terhadap teks-teks keagamaan inilah yang menyebabkan perbedaan pendapat yang mendasar.

Perbedaan Nikah Mut’ah dan Nikah Siri

Nikah mut’ah dan nikah siri sama-sama merupakan bentuk pernikahan yang tidak tercatat secara resmi di negara, namun memiliki perbedaan mendasar. Nikah mut’ah memiliki jangka waktu yang telah ditentukan di awal perjanjian, sementara nikah siri merupakan pernikahan tetap yang hanya disembunyikan dari catatan resmi negara. Nikah siri, meskipun tidak terdaftar, menetapkan ikatan suami istri secara permanen sampai adanya perceraian. Sedangkan dalam nikah mut’ah, ikatan pernikahan berakhir setelah masa yang telah disepakati berakhir. Perbedaan ini sangat krusial dalam menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Status Hukum Nikah Mut’ah di Indonesia

Di Indonesia, nikah mut’ah tidak diakui secara hukum. Pemerintah Indonesia hanya mengakui pernikahan yang tercatat secara resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan hukum perkawinan yang berlaku. Praktik nikah mut’ah, karena tidak sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, dapat berdampak hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.

Risiko Melakukan Nikah Mut’ah

Melakukan nikah mut’ah membawa beberapa risiko, baik secara hukum maupun sosial. Dari perspektif hukum, seperti yang telah dijelaskan, nikah mut’ah tidak diakui dan dapat berujung pada sanksi hukum. Secara sosial, pernikahan ini dapat menimbulkan stigma negatif dan masalah sosial lainnya, khususnya bagi perempuan yang terlibat. Selain itu, risiko ketidakjelasan hak dan kewajiban kedua belah pihak juga menjadi pertimbangan penting. Kurangnya perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan juga menjadi salah satu risikonya.

Pandangan Masyarakat Terhadap Nikah Mut’ah

Pandangan masyarakat terhadap nikah mut’ah sangat beragam dan dipengaruhi oleh latar belakang agama, budaya, dan pemahaman masing-masing individu. Sebagian masyarakat menolak nikah mut’ah karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama, sementara sebagian lainnya lebih toleran dan cenderung melihatnya dari berbagai perspektif. Perbedaan pandangan ini menciptakan dinamika sosial yang kompleks seputar isu nikah mut’ah.

Akhmad Fauzi

Penulis adalah doktor ilmu hukum, magister ekonomi syariah, magister ilmu hukum dan ahli komputer. Ahli dibidang proses legalitas, visa, perkawinan campuran, digital marketing dan senang mengajarkan ilmu kepada masyarakat