Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

Mendengar kata irah, mungkin Anda akan beranggapan bahwa itu adalah sebuah nama yang tersematkan pada manusia yang memang menjadi nama yang cukup popular. Hanya saja, tebakan Anda salah. Sebab, istilah irah ternyata banyak terpakai di lingkungan kehakiman. Bagaimana Istilah Filosofi Irah dalam Hukum dan seperti apa arti irah-irah secara filosofi?

 

Sebagaimana yang kami katakan di atas bahwa kata irah-irah masih terbilang asing bagi masyarakat umum, namun Irah-irah menjadi hal yang popular bagi kalangan kehakiman.  Irah-irah secara filosofis  adalah representasi dan  kesadaran penuh hakim, bahwa pemeriksaan perkara hingga pengambilan putusan yang dilakukan oleh para  hakim yang melaksanakannya berdasarkan  nilai keadilan Tuhan Yang Maha Esa. Yaitu keadilan yang hendak ditegakkan adalah yang bernilai Ketuhanan.

 

Istilah Filosofi | Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

 

Tentang Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

Dalam sebuah diskusi tentang “Peran Putusan Hakim dalam Pembentukan Hukum Nasional”, Mahfud MD hadir sebagai pembicara. Dan memberi tanggapan atas pertanyaannya sendiri mengenai arti hakim membuat hukum. Pada diskusi ini, Mahfud MD menerangkan betapa pentingnya putusan hakim dalam membentuk hukum. Bahkan menurutnya, putusan yang terambil oleh para hakim itu menjadi hukum yang setara dengan undang-undang.

 

Mahfud memberi pandangan, jika di negara Anglo Saxon, putusan yang terambil oleh para hakim, dapat dia anggap lebih tinggi dari UU. Jika misalnya, hasil putusan hakim bertentangan dengan undang-undang, maka yang dia ikuti adalah putusan hakim. Dapat menyimpulkan jika sangat penting putusan di mata hukum yang telah terambil oleh para hakim, bahkan sebagai mahkota hakim.

 

Tentang Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

 

MAKNA IRAH-IRAH DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

  Bentuk Perlindungan Konsumen Pengguna Asuransi Elektronik

Memaknai putusan Irah-irah atau putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana dalam buku yang ditulis oleh Yahya Harahap tentang Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (2002), berpendapat jika segala penetapan atau putusan yang jatuh oleh pengadilan, harus berkeadilan, tanpa terkecuali hal ini demi keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa.

 

Sehingga harapan M. Yahya Harahap, ketentuan pemidanaan juga berlaku untuk putusan pembebasan, putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum,  teramasuk putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum.

 

Yang harus menjadi perhatian pula adalah persoalan Irah-irah, bukan hanya karena menjadi sumber kekuatan eksekutorial suatu putusan, tetapi karena memuat nilai-nilai moralitas hakim ketika mengadili perkara kepadanya.

 

 

MAKNA IRAH-IRAH | Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

 

LATAR BELAKANG MUNCULNYA Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

Pada pasal dua ayat satu Undang-undang nomor 48 tahun 2009 menyebutkan tentang kekuasaan kehakiman meneguhkan: ‘Peradilan melakukannya Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan YME’. Sementara  hal senada juga terdapat di Undang-undang  Nmor 14 Tahun 1970  tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

 

Dalam payung hukum kekuasaan kehakiman masa Nasakom, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964, juga telah jelas jika irah-irah itu sesuai dengan Pasal 29 Undang undang dasar.

 

Undang-undang dasar tersebut mengandung dua poin antara lain : 

– Bahwa ketuhanan yang maha Esa merupakan hal yang menjadi dasar negara

– Negara juga menjamin kemerdekaan setiap penduduknya dalam memeluk agama masing-masing. Tidak hanya itu, juga menjamin dalam beribadat menurut agama serta kepercayaan itu.

 

Sementara itu, dalam undang-undang nomor 19 tahun 1964 menyebutkan bahwa rumusan irah-irah ini berlaku bagi semua pengadilan di semua lingkungan peradilan. Hal inilah yang menjadi latar belakang munculnya istilah irah-irah.

 

LATAR BELAKANG MUNCULNYA Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

 

PANDANGAN HAKIM TENTANG Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

Dalam sebuah buku Hermeneutika Putusan Hakim tahun terbit 2014, yang ditulis oleh M Natsir Asnawi, seorang hakim, menyebutkan jika hal pertama dan yang paling utama dalam konstruksi suatu putusan yaitu kepala putusan.  Di dalamnya terdiri dari nomor putusan, identitas para pihak , paragraf pembuka, keterangan proses pemeriksaan perkara, dan irah-irah. Sehingga Irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ merupakan hal yang wajib tertera dalam suatu putusan.

  Persyaratan Urus Cerai

 

Asnawi mengaku jika proses peradilan tak hanya sekedar permasalahan yuridis-moril semata, namun juga permasalahan transendental yang berisi kandungan makna dan tanggung jawab secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karenanya, seorang hakim tetap mendekatkan diri kepada Tuhan YME,agar bisa menyerap nilai keadilan Tuhan dalam setiap keputusannya. Sementara, biasanya Kalimat Basmalah menjadi tambahan sakralitas pengambilan keputusan di Pengadilan Agama (PA).

 

PANDANGAN HAKIM TENTANG Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

 

Mengenal Bismar Siregar dalam Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

Bismar Siregar  adalah salah satu praktisi hukum yang banyak menjadikan filosofi irah-irah menjadi perhatian. Hal ini tergambar dalam beberapa literatur yang ia tulis. Irah-irah menurut Bismar Siregar merupakan roh putusan; kepala putusan yang bermakna sumpah, yang dia kaitkan dengan posisi hakim sebagai wakil Tuhan.

 

Bismar Siregar berpendapat jika Kandungan dalam kalimat irah-irah, bak doa seorang hakim. Irah-irahlah yang membedakan peradilan di Indonesia dengan peradilan di luar  negeri. Di negeri pertiwi ini, membawa nama tuhan menjadi hukum wajib dalam penyelenggaraan peradilan. Kalimat yang terpakai dalam irah-irah menurut Bismar, menuangkan jika putusan pertama-tama harus mempertanggungjawabkannya kepada siapa. Sementara, dua orang hakim lainnya Bernama D.Y. Witanto dan Arya Putra Negara K, menuliskan kaitan irah-irah ini dengan pertanggungjawaban moral hakim.

 

Mengenal Bismar Siregar dalam Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

 

Diskresi Hakim Dalam Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

Tulisan ini tertuang dalam tentang ‘Diskresi Hakim, Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif dalam Perkara-Perkara Pidana’. Pada buku ini menyebutkan jika kepada Tuhan Yang maha Esa, menjadi tanggung jawab utama hakim, karena Tuhanlah yang mengetahui hal yang paling tersembunyi saat seorang hakim mengambil putusan dalam sebuah perkara.

  Tata Cara Untuk Mengubah Sertifikat Hak Guna Menjadi SHM

 

Menurut Witanto dan Arya Putra jabatan hakim sebagai wakil Tuhan Ketika menjatuhkan putusan atasnama Tuhan. Hal itu tercantum dalam Irah-irah. Hal ini menjadi anggapan, karena hanya hakim yang ada kewenangan mengambil putusan, jika seseorang salah atau tidak dan termasuk hukuman mati.

 

Hanya jabatan seorang hakim yang memberi kewenangan untuk menghilangkan nyawa manusia, sehingga tanggung jawab yang paling utama dalam fungsi mengadili adalah langsung kepada Tuhan YME.

 

Sementara pendapat mengenai Irah-irah juga datang dari Ahmad Zaenal Fanani (2014: 31). Ia juga seorang hakim di lingkungan Peradilan Agama. Dalam bukunya Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik), Ia menuliskan makna Irah-irah bahwa hakim harus menjadikan keadilan sebagai spirit utama dalam seluruh bagian putusan.

 

Diskresi Hakim Dalam Istilah Filosofi Irah dalam Hukum

 

Masih dalam buku yang sama ia tuliskan, jika keadilan harus di atas yang lainnya termasuk di atas kepastian hukum. Jika keadilan sebagai pisau analisis dalam setiap tahapan putusan, mulai dari tahap konstatir, tahap kualifikasi, hingga tahap konstituir.

 

Sementara itu, Hakim Agung Ahmad Kamil (2012) memberi pendapat tentang filsafat kebesan hakim, untuk menentukan suatu putusan pengadilan atas perkara yang adil. Selain itu, putusan yang harus terambil dan objektif tanpa tekanan dari pihak manapun.

 

3 Hal Pedoman Hakim Diberi Kebebasan

Menurut Ahmad Kamil (2012: 175), dalam mebuat putusan, hakim mmeberi kebebasan, namun dengan berpedoman pada tiga hal di bawah ini.

  1. Putusannya mengandung tanggung jawab, dalam arti putusan dapat dipertanggungjawabkan secara objektif atas tuntutan keadilan yang mengharapkan berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Dalam putusannya sudah ada pertimbangan moralitas otonom. Maksudnya adalah, putusan tersebut mendasari pada situasi otonom dan tidak mendapat tekanan dari pihak manapun
  3. Putusan yang telah mempertimbangkan suara hati, ini pandamgan yang bisa menunjukkan perasaan bersalah jika kemudian seorang hakim membuat putusan keliru.

 

3 Hal Pedoman Hakim Diberi Kebebasan

 

Demikian sejumlah pandangan hakim mengenai filosofi irah-irah yang membedakan hasil putusan hakim yang ada di Indonesia dan di luar negeri.

Adi