Hak korban perampasan aset – Kasus sebuah travel yang merugikan puluhan ribu jamaah umrah menjadi saksi kasus hak korban yang justru diambil alih Negara padahal Negara tidak merugi, melainkan ada warga yang justru menjadi korban.
Baca juga : beberapa macam tindakan dan juga beberapa pidana untuk anak anak
Akibat pelanggaran hukum pidana yang dilakukan tersangka, hak korban tidak dikembalikan, tetapi biasanya hanya sekadar menjadi saksi saja. Sedangkan tindak pidana di artikan sebagai tindakan pelakunya melawan Negara.
Mengenai hak korban perampasan aset
Yang terjadi adalah korban harus menanggung semua kerugiannya. Karena itu, biasanya korban akan merasa tidak puasa dengan tuntutan pidana yang di ajukan Jaksa ataupun hakim. Hal ini tentu saja anda anggap sebagai bentuk ketidakadilan. Hanya saja, system peradilan pidana memang anda buat untuk mengadili pelakunya, dan bukan untuk melayani korban secara personal.
Karena masyarakat yang awam tidak tahu menahu, mereka justru hanya akan merasa puasa jika pelaku adil dan di jatuhi hukuman. Meski demikian, tidak bisa anda pungkiri ada sakit hati, karena kerugian mereka tidak bisa kembali. Pengembalian dana akan semakin pelik apabila tersangka disangkakan dakwaan tidak hanya pidana penggelapan dana, tetapi sudah di dakwa pencucian uang. Maka semua barang bukti bisa di ambil Negara. Padahal logisnya ada hak korban di sana.
Korban dalam hak korban perampasan aset
Seperti apa hak korban perampasan aset pidana untuk Negara yang seharusnya di terima korban yang mengalami tindak penipuan? Tidak adakah cara lain bisa di tempuh para korban untuk mendapatkan haknya? Simak penjelasan cara lain mendapatkan hak korban perampasan asset pidana untuk Negara.
MENGAJUKAN PENGGABUNGAN PERKARA DAN RESTITUSI
Untuk mendapatkan hak korban perampasana asset pidana untuk Negara, maka korban bisa melakukan jalan lain. Pasal 98 ayat 1 KUHAP bisa menjadi angina segar bagi para korban untuk mendapatkan haknya kembali. Korban bisa mengajukan penggabungan perkara gugatan ganti rugi dengan perkara pidana agar hak-haknya terpulihkan. Hal ini juga bisa anda lakukan tanpa harus melewati gugatan perdata.
Hal ini sejalan dengan isi pasal 1365 KUHPerdata yang pada intinya mengatakan bahwa apapun yang menjadi pelanggaran hukum yang merugikan pihak lain baik secara materiil dan immaterial, maka orang yang mengalami kerugian atas perbuatan melawan hukum tersebut memiliki hak untuk menuntut ganti rugi.
Pidana dalam hak korban perampasan aset
Sehingga ganti rugi perdata ini kemudian di gabungkan ke dalam pemeriksaan pidana. Meski yang harus anda ketahui, ada syarat untuk melakukan penggabungan perkara pidana dan perdata. Syaratnya adalah gugatan ganti rugi yang diminta korban hanyalah uang pengganti biaya yang dikeluarkan saksi korban yang dirugikan. Nantinya, putusan ini dengan sendirinya memperoleh kekuatan tetap jika putusan pidananya mendapat kekuatan hukum tetap.
Putusan yang di maskud di atas dapat anda lihat pada yurisprudensi melalui putusan Mahkamah Agung bernomor 976/K/PID/1988. Tidak hanya itu, penggabungan juga bisa anda ajukan paling lambat sebelum jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan pidana pada terdakwa.
Penuntutan umum dalam hak korban perampasan aset
Bagaimana jika penuntut umum tidakk datang? Maka pengajuan penggabungan perkara dapat anda ajukan sebelum hakim menjatuhkan putusan pada tersangka. Cara lain mendapatkan hak korban perampasan asset pidana untuk Negara adalah dengan mengajukan restitusi. Caranya dengan membuat laporan ke lembaga perlindungan saksi dan korban.
Apa yang di maksud restitusi? Mungkin Anda akan bertanya-tanya. Jawabannya dapat anda lihat pada pasal 1 no 11 undang-undang nomor 31 tahun 2014. Dalam pasal tersebut menjelaskan tentang restitusi yang anda artikan sebagai ganti rugi yang anda berikan pada korban atau anda lakukan keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga.
Proses restitusi di kenal dengan prinsip restutio in integrum, maksudnya adalah mengedepankan prinsip pemulihan keadaan korban ke keadaan semula atau sebelum kejahatan tindak pidana itu terjadi.
Ada beberapa bentuk kerugian dalam pasal 7a undang-undang nomor 31 tahun 2014 yang bisa di pulihkan antara lain sebagi berikut:
- Melakukan ganti rugi karena kehilangan kekayaan atau penghasilan;
- Karena penderitaan yang berkaitan secara langsung sebagai akibat dari tindak pidana;
- Adanya penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis korban.
Kapan restitusi bisa di ajukan? Tentu sebelu putusan di jatuhkan. Pasalnya, restitusi di kabulkan atau tidak nantinya akan di ketahui bersamaan dengan di jatuhkannya amar putusan yang mengadili tersangka.
Pelaku juga anda berikan batas waktu sebanyak 14 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan di titip ke pengadilan negeri. Apabila lewat dari waktu yang sudah di tentukan, tersangka belum memenuhi restitusi, maka korban bisa melapor ke pengadilan.
Alur selanjutnya antara lain:
- Jika pengadilan sudah menerima laporan korban, selanjutnya pengadilan akan mengambil langkah membuat surat peringatan tertulis.
- Apabila tidak di gubris, Jaksa penuntut umum atas perintah pengadilan melakukan penyitaan dan melelang barang
Tetapi, jika akhirnya tersangka memang tidak punya dana untuk mengembalikan dana korban, kurungannya bisa di ganti hanya setahun. Padahal sebenarnya hal ini menjadi dilematis, Karena korban biasanya hanya ingin mendapatkan ganti rugi saja, namun apa daya jika semua dana atau barang sudah tidak ada yang bisa jadi jaminan.
DAMPAK ‘DAKWAAN PENCUCIAN UANG’ PADA KORBAN
Fakta yang terjadi dalam pengadilan memang menunjukkan adanya ketidak adilan bagi korban perampasan aset pidana yang kemudian di gabung dengan dakwaan pencucian uang. Mengenai adanya kelemahan pada system peradilan pidana ini, menjadikan legislative menjadi sorotan karena tidak memeberi penegasan mengenai hukum korban kejahatan dalam hukum pidana serta hukum acara pidana.
Tidak adanya aturan yang memihak pada hak korban tentu saja sangat merugikan, aplagi semakin tidak jelas dengan adanya tambahan dakwaan yakni pencucian uang. Terbukti dengan banyaknya kasus yang di putus pengadilan yang melibatkan dakwaan pencucian uang padahal bisa saja dalam harta tersebut tidak memiliki unsur merugikan keuangan Negara. Alhasil dana korban pun menjadi rampasan Negara.
Putusan KUHP dalam hak korban perampasan aset
Hanya saja tidak semua tuntunan pidana bisa di gabungkan dalam tuntutan pencucian uang. Bisa di gabungkan apabila terpenuhi unsur-unsur dalam pasal tiga, empat, dan lima TPPU. Dalam KUHP tepatnya dalam pasal 46 ayat 2 juga memberikan ruang pada pengambil putusan agar memutuskan dan menetapkan asset-aset yang telah disita itu tidak sekadar di jadikan barang bukti, tetapi bisa dikemablikan para korba. Sehingga menjadi Catatan, tidak serta merta bisa ‘di rampas’ negara.
Diakui bahwa hukum di Indonesia memang mengharuskan smeua putusan merujuk pada perturan perundang-undangan yang sudah teratur. Hanya saja keadilan yang bersifat substansial cenderung melewati garis hukum tertulis.
Karena kerapkali hanya mengikuti hukum secara substansial dan mengikuti norma hukum secara baku, hal inipun kemudain dijadikan sebagai landasan atau corong undang-undang, karena tidak ada yang memang berani mengubahnya.
Dampaknya, tentu saja korban akan mendapatkan ketidakjelasan hukum karena semua diserahkan pada keadilan yang bersifat substansial saja tanpa ada norma batasan yang jelas dan tegas.
Korban pasti akan dibuat bingung. Keburuntungan akan berpihak jika saja hakim tak sekadar melihat hukum secara substansial saja tetapi melihat adanya hak korban sebagai pemenuhan keadilan substantive atau justru akan menemukan hakim yang memilki sikap sebaliknya.
Tentang cara lain mendapatkan hak korban perampasan aset pidana untuk Negara hingga saat ini masih jauh panggang dari api perwujudannya. Yang bisa dilakukan hanya menempuh dua cara yang sudah dijelaskan sebelumnya. Bersama penasehat hukum dari tim PT Jangkar Global Groups siap mendampingi proses pengajuan restitusi Anda untuk mendapatkan hak Anda kembali, silahkan kontak kami lewat nomor yang tertera dalam artikel ini.
Baca Juga: Bagaimana Hukum Memandang Tawaran Perdamaian Debitor Pailit