Kasus hukuman mati di Indonesia menimpah sejumlah pelaku kriminal. Teranyar kasus gladiator anak di bawah umur Harry Wirawan. Atas perbuatannya menelan 13 korban santriwati. Kasus ini menyita perhatian publik, hingga akhirnya saat ini pemerintah mengesahan Undang-undang tentang kasus kekerasan seksual demi meminimalisir kasus ini terus terjadi. Kasus ini membuat pelakunya mendapat hukuman mati namun menimbulkan polemik. Ada sejumlah alasan menolak hukuman mati yang Mensuarakan para pihak.
Dari berbagai pelosok nusantara, kasus kekerasan seksual hingga pemerkosaan memang menimpa banyak anak. Celakanya, hampir semua kasus yang terpublis di media adalah korbannya anak di bawah umur. Tentu hal ini menjadi ironis untuk tumbuh kembang generasi emas Indonesia.
Terlepas dari hal ini, kasus pidana hukuman mati pun muncul sebagai hal yang menjadi perdebatan argument kalangan golongan tertentu. Ada yang sepakat, adapula yang menolak dengan lantang. Ada sejumlah alasan menolak hukuman mati yang membahas mereka.
TUNTUTAN MENOLAK HUKUMAN MATI SESUAI ATURAN
Mengenai hukuman mati yang menimpa pelaku kekerasan seksual dan pemerkosaan, tuntutan kejaksaan tinggi (kejati) Jawa barat Asep N Mulyana telah membacakan tuntutannya. Ia mengaku, hukuman mati itu memberikan efek jera ke pelaku.
Menurutnya, tuntutan hukuman mati sudah sesuai aturan peundang-undangan yakni sesuai Pasal 81 ayat satu, tiga dan dan ayat lima, Jo pasal 76 D UU nomor 17 tahun 2016. UU ini berisi perubahan undang-undang tahun 2002 mengenai Perlindungan Anak junto pasal enam lima ayat satu KUHP seperti pada dakawaan pertama.
Selain kasus pemerkosaan yang berujung hukuman mati, Heru Hidayat mengalami tuntutan mati atas kasus asuransi Asabri. Heru menyebutkan bahwa terbukti melakukan korupsi hingga mengakibatkan kerugian negara cukup fantastis, yaitu Rp22,788 triliun.
KORUPSI DALAM Menolak Hukuman Mati
Korupsi ini datang dari pengelolaan dana PT Asabri Persero serta tindak pidana pencucian uang (TPPU). Pelaku juga mendapat keuntungan mencapai Rp12,343 Triliun Rupiah. Tentu nilai ini di luar dari akal sehat manusia karena angkanya yang cukup gila.
Atas kasus di atas, masih menjadi perdebatan publik. Majelis hakim dalam putusan Nomor 400/Pid.Sus/2020/PN Bls menyatakan pidana mati di Indonesia masih terus menjadi bahan perdebatan kendati hukuman berupa pidana mati telah tercantum dalam hukum positif.
Majelis Hakim mengaku perdebatan ini terkuak karena pidana hukuman mati sangat erat dengan nyawa manusia, dan menyebutkannya sebagai pidana yang paling menakutkan dalam memberi efek jera dan membandingkan dengan hukuman yang ada lainnya.
MENOLAK HUKUMAN MATI YANG SELALU MENGAITKAN DENGAN HAM
Hukuman mati yang menimpa pelaku , tentu selalu mengaitkannya dengan Hak asasi manusia (HAM). Namun menurut Majelis hakim, hal yang mendasar adalah antara HAM dengan kewajiban asasi manusia meski berjalan beriringan.
Majelis hakim juga memberi penilaian jika hukuman positif yang menimpah seseorang tidak mungkin bisa masuk sebelum aturannya muncul. Sementara, hukuman yang muncul adalah hukuman mati, pada kasus tertentu tengah mengatur hukuman tertinggi karena masih berlaku dan sah.
Adapun Lembaga yang menolak adanya huKuman mati terhadap pelaku kriminal tertentu, tentunya datang dari Komisi Nasional HAM, atau Komisi Nasional hak Asasi manusia, hukuman mati menilainya yang bertentangan dengan prinsip Hak asasi manusia.
Beka Ulung Hapsara yang merupakan Komisioner Komnas HAM mengaku, hak hidup seseorang tidak bisa mengurangi dalam situasi apapun termasuk pada hukuman mati. Alasan ini lah yang membuat Komnas HAM menolak adanya hukuman mati, terutama yang menimpa pelaku predator anak.
KOMISI NASIONAL HAM
Ia menilai kesempatan hidup adalah menawarkan hak yang tidak bisa meski dalam situasi apapun atau mengenal dengan Nonderogable rights.
Kendati menolak hukuman mati, Komisi nasional HAM tetap menduku hukuman berat dan maksimal yang dapat menerimanya oleh Harry Wirawan. Ia pun mengakui jika memberi dukungan hukuman tertinggi sebeb kejahatan yang memperbuat korbannya banyak yang merupakan anak di bawah umur.
Beka berpendapat, jika hukuman mati yang menerpakan ke Heru Hidayat, tidak efektif mengurangi angka praktik korupsi di negeri ini. Ia juga mengumpamakan hukum mati yang menerapkan pada kasus korupsi, tidak dapat membuktikan pada negara di dunia jika hal itu efisien mengurangi para koruptor beraksi.
Danamik menilai, secara tidak tersirat pada pemerintahan ini, hukuman mati akhir-akhir ini sudah melakukannya, namun muncul keanehan atas pengajuan hukum mati Kembali.
Menurut Taufan, dalam pandangan hak asasi manusia, hukum mati mesti harus dihapuskan, dimana memunculkan Gerakan meyeluruh tentang upaya menghapus hukum mati di Indonesia termasuk negara yang sudah mendorong hukuman mati karena tidak sesuai ketentuan hak asasi manusia. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah moratorium hukuman mati.
ALASAN MENOLAK HUKUMAN MATI
Jika di atas sudah dijelaskan alasan menolak hukum mati, maka alasan lain munculnya penolakan hukuman mati dapat dilihat dalam laman resmi komnasham.go.id, dijelaskan secara tegas penolakam hukuman mati dan menuntut kepada pemerintah dan semua pihak di Indonesia.
Sandrayati Moniaga selaku Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, mengemukakan pada kegiatan pemutaran film dan diskursus hukum Mati dan ruang kekerasan Berbasis Gender serta Penyiksaan terhadap Perempuan pada 18 Oktober 2021 menyampaikan hal ini.
Sandra mengaku jika Komnas HAM berpendapat, hukuman mati adalah diluar dari dasar konstitusi semenjak adanya amandemen konstitusi. Telah diketahui Bersama jika Indonesia sudah membuat pasal hak asasi manusia dan hak memperoleh kehidupan tidak dapat diganggu gugat, sama halnya dengan hak memperoleh kebebesan hidup dari penyiksaan. Sehingga dengan prinsip tersebut,seharusnya undang-undang yang masih memberlaku hukuman mati meski harus diubah,
Sandra melanjutkan jika Kerja Sama untuk Pencegahan Penyiksaan alias KUPP terdiri dari lima Lembaga. Yaitu adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, KPAI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban alias LPSK menerbitkan satu policy brief atau kertas posisi berjudul Fenomena Deret Tunggu dan Rekomendasi Komutasi Hukuman Mati.
LEMBAGA KUPP DALAM MENOLAK HUKUMAN MATI
Adapun lima lembaga yang terangkum pada KUPP tersebut kata Sandra, menyepakati pada fenomena deret tunggu adalah tindakan penyiksaan yang sangat serius. Ketika seseorang harus menunggu satu keputusan kapan dirinya akan dibunuh atau dieksekusi, tetapi tidak mengetahui jangka waktunya termasuk, adanya fenomena ini memberi efek kejiwaan pada pelaku dan beberapa efek psikologis lainnya.
Dia pun berpendapat jika terdapat 30 jenis kejahatan yang ada di negeri ini yang potensi berujung hukuman mati. Sehingga Komisi nasional Perempuan menginventaris sejak 31 Mei 2021 setidaknya terdapat 386 terpidana hukuman mati dan 10 diantara hukuman mati adalah perempuan.
Sandra pun mengurai jika Indonesia meski menghapus hukuman mati dari semua Undang-undang yang ada yang paling berkaitan dengan RKUHP, sebagaimana penghapusan hukuman mati di negara luar. Termasuk menyelesaikan permasalahan yang ada tentang deret hukum saat ini.
Namun terlepas dari hal itu, Sandra pun memberi apresiasi khusus terhadap Komnas Perempuan yang memproduksi film documenter tentang pidana mati. Menurutnya, film terkait hukuman mati masih sedikit.
Dengan hadirnya film tentang hukuman mati kata Sandra, dapat memebri efek serius pada hati dan pikiran, sehingga hukuman mati adalah hal yang serius untuk disikapi, sehingga penggunaan media film menjadi alat yang bisa menjadui penting dalam mengawal upaya ini Bersama.
Menghadapi tuntutan hukum tentu butuh penasehat hukum, silahkan kontak kami di PT Jangkar Global Groups. Pengajuan Pengesahan Anak di Pengadilan