Pengertian Pernikahan Menurut Syariah
Pernikahan Menurut Syariah – Pernikahan dalam Islam, atau pernikahan syariah, merupakan ikatan suci yang dilandasi oleh nilai-nilai agama dan bertujuan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pernikahan ini bukan sekadar perjanjian sosial semata, melainkan ibadah yang dianjurkan dan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ajaran Islam. Ia berbeda secara signifikan dengan konsep pernikahan dalam konteks non-Islam, terutama dalam hal tujuan, tata cara, dan hukum-hukum yang mengaturnya.
Definisi Pernikahan dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, pernikahan didefinisikan sebagai ikatan suci dan sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang dilakukan berdasarkan aturan syariat Islam. Ikatan ini bertujuan untuk membentuk keluarga yang harmonis, melahirkan keturunan yang shalih, dan menjalankan kehidupan rumah tangga yang berlandaskan nilai-nilai keislaman. Pernikahan bukan hanya untuk pemenuhan kebutuhan biologis, tetapi juga untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Perbedaan Pernikahan dalam Islam dengan Pernikahan di Luar Islam
Perbedaan mendasar antara pernikahan syariah dan pernikahan di luar Islam terletak pada landasan hukum dan tujuannya. Pernikahan syariah berlandaskan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, dengan aturan dan tata cara yang telah ditetapkan. Sementara itu, pernikahan di luar Islam dapat bervariasi tergantung pada budaya dan hukum negara masing-masing, dan mungkin tidak selalu mengacu pada nilai-nilai keagamaan. Tujuan pernikahan syariah juga lebih komprehensif, mencakup aspek spiritual, sosial, dan biologis, sementara pernikahan di luar Islam terkadang lebih berfokus pada aspek sosial dan legalitas saja.
Ayat Al-Quran dan Hadits tentang Pernikahan
Beberapa ayat Al-Quran dan hadits menjelaskan tentang pernikahan, antara lain:
- QS. Ar-Rum (30): 21: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” Ayat ini menekankan manfaat pernikahan dalam menciptakan ketentraman dan kasih sayang.
- Hadits Riwayat Bukhari Muslim: “Nikahilah wanita yang kalian cintai karena mereka akan melahirkan anak yang saleh.” Hadits ini menyarankan untuk memilih pasangan hidup berdasarkan rasa cinta dan harapan akan keturunan yang baik.
Rukun dan Syarat Pernikahan dalam Mazhab Syafi’i dan Hanafi
Berikut perbandingan rukun dan syarat pernikahan dalam dua mazhab besar dalam Islam, Syafi’i dan Hanafi:
Aspek | Mazhab Syafi’i | Mazhab Hanafi |
---|---|---|
Rukun Pernikahan | Ijab kabul, wali nikah, dua orang saksi | Ijab kabul, wali nikah, dua orang saksi |
Syarat Pernikahan | Suami dan istri baligh, berakal sehat, merdeka, bukan mahram, adanya wali nikah yang sah, dan persetujuan dari calon mempelai wanita. | Suami dan istri baligh, berakal sehat, merdeka, bukan mahram, adanya wali nikah yang sah, dan persetujuan dari calon mempelai wanita. Terdapat perbedaan rinci dalam beberapa hal, misalnya terkait dengan wali nikah. |
Perlu diingat bahwa detail rukun dan syarat dapat bervariasi sedikit antar mazhab dan ulama.
Langkah-Langkah Akad Nikah dalam Pernikahan Syariah yang Sah
Akad nikah merupakan inti dari pernikahan syariah. Prosesnya harus dilakukan dengan benar dan sesuai dengan syariat. Berikut langkah-langkah umum yang perlu diperhatikan:
- Persiapan: Menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan, seperti surat keterangan dari KUA, dan saksi-saksi yang terpercaya.
- Ijab Kabul: Calon suami mengucapkan ijab (pernyataan menerima) dan calon istri mengucapkan kabul (pernyataan menerima). Proses ini harus diucapkan secara jelas dan tegas oleh kedua belah pihak.
- Maskawin: Suami memberikan maskawin kepada istri sebagai tanda keseriusan dan bukti pernikahan.
- Saksi: Akad nikah disaksikan oleh minimal dua orang saksi laki-laki yang adil dan terpercaya.
- Pengesahan: Akad nikah biasanya disahkan oleh penghulu atau petugas KUA setempat.
Proses akad nikah dapat bervariasi sedikit tergantung pada adat istiadat setempat, namun inti dari proses tersebut tetap sama.
Rukun dan Syarat Pernikahan Syariah
Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan sosial, melainkan sebuah akad yang disahkan oleh Allah SWT. Keberhasilan dan keberkahan pernikahan sangat bergantung pada terpenuhinya rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Pemahaman yang komprehensif mengenai hal ini sangat penting untuk membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.
Anda pun akan memperoleh manfaat dari mengunjungi Perkawinan Campuran Disebut Juga Dengan Istilah hari ini.
Rukun Pernikahan Syariah
Rukun pernikahan merupakan unsur-unsur pokok yang harus ada dan terpenuhi agar pernikahan sah menurut syariat Islam. Jika salah satu rukun ini tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut dianggap batal. Rukun pernikahan ini merupakan pondasi kokoh yang menopang kesakralan ikatan perkawinan.
- Calon Suami (wali nikah): Yang berhak menikahkan adalah wali nikah, yang memiliki hubungan nasab (garis keturunan) dengan calon istri. Urutan wali nikah telah diatur dalam syariat Islam, dimulai dari ayah kandung, kakek, dan seterusnya.
- Calon Istri: Kehadiran dan persetujuan calon istri merupakan rukun yang penting. Persetujuan ini bisa disampaikan secara langsung atau melalui wali.
- Ijab dan Qabul: Ini merupakan inti dari akad nikah, yaitu pernyataan resmi dari wali nikah (ijab) dan penerimaan dari pihak calon suami (qabul). Ijab dan qabul harus diucapkan dengan jelas dan lugas, tanpa ada keraguan.
- Dua Orang Saksi Adil: Kehadiran dua orang saksi laki-laki yang adil dan mengerti hukum Islam merupakan rukun pernikahan. Saksi ini berfungsi sebagai pembuktian atas sahnya pernikahan.
Syarat Sahnya Pernikahan Syariah
Selain rukun, terdapat pula syarat-syarat yang harus dipenuhi agar pernikahan sah dan diterima di sisi Allah SWT. Syarat-syarat ini berkaitan dengan calon suami, calon istri, dan prosesi pernikahan itu sendiri. Ketidaklengkapan syarat bisa mengakibatkan pernikahan tidak sah atau menimbulkan masalah di kemudian hari.
Temukan tahu lebih banyak dengan melihat lebih dalam Sakramen Pernikahan Katolik ini.
- Syarat bagi Calon Suami: Islam, baligh (dewasa), berakal sehat, dan bebas (tidak terikat pernikahan lain).
- Syarat bagi Calon Istri: Islam, baligh (dewasa), berakal sehat, dan bebas (tidak terikat pernikahan lain).
- Syarat Lainnya: Adanya wali nikah yang sah, ijab dan qabul yang sah, dan dua orang saksi yang adil.
Konsekuensi Tidak Terpenuhinya Rukun atau Syarat Pernikahan
Apabila salah satu rukun atau syarat pernikahan tidak terpenuhi, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah secara syariat Islam. Konsekuensi yang ditimbulkan dapat berupa ketidakjelasan status pernikahan, tidak terikatnya ikatan suami istri secara agama, dan berpotensi menimbulkan masalah hukum dan sosial yang kompleks.
Pelajari lebih dalam seputar mekanisme Apa Itu Surat Perjanjian Pra Nikah di lapangan.
Ilustrasi Dampak Pernikahan yang Tidak Sah Secara Syariat
Misalnya, seorang wanita dinikahi tanpa kehadiran wali yang sah. Meskipun telah terjadi ijab kabul dan ada saksi, pernikahan tersebut tetap dianggap tidak sah. Anak yang lahir dari pernikahan tersebut akan mengalami ketidakjelasan nasab, dan status hukumnya menjadi tidak jelas. Hal ini akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk hak waris dan status sosial.
Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Beberapa Syarat Pernikahan
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai beberapa aspek syarat pernikahan, misalnya terkait dengan syarat wali nikah dan persetujuan calon istri. Beberapa mazhab memiliki pandangan yang sedikit berbeda, namun pada intinya, semua menekankan pentingnya terpenuhinya rukun dan syarat-syarat pokok agar pernikahan sah dan terhindar dari masalah di kemudian hari. Konsultasi dengan ulama yang terpercaya sangat dianjurkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam.
Untuk pemaparan dalam tema berbeda seperti Apa Saja Perjanjian Pra Nikah, silakan mengakses Apa Saja Perjanjian Pra Nikah yang tersedia.
Hukum-Hukum Terkait Pernikahan Syariah
Pernikahan dalam Islam memiliki landasan hukum yang kuat dan terperinci, diatur berdasarkan Al-Quran, Sunnah Nabi Muhammad SAW, dan ijma’ ulama. Hukum-hukum ini bertujuan untuk menjaga kesucian pernikahan, melindungi hak dan kewajiban suami istri, serta menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Pemahaman yang komprehensif terhadap hukum-hukum ini sangat penting bagi setiap muslim yang ingin membangun rumah tangga berdasarkan syariat Islam.
Hukum Asal dan Hukum Khusus Pernikahan dalam Islam
Hukum asal pernikahan dalam Islam adalah mubah (diperbolehkan). Allah SWT menganjurkan manusia untuk menikah sebagai bentuk ibadah dan untuk melanjutkan keturunan. Namun, terdapat beberapa hukum khusus yang membatasi atau bahkan mengharamkan pernikahan dalam situasi tertentu. Misalnya, pernikahan dengan mahram (kerabat dekat yang diharamkan menikah), pernikahan dengan wanita yang sudah memiliki suami, dan pernikahan tanpa wali bagi wanita yang membutuhkan wali.
Hukum Poligami dan Syarat-Syaratnya
Poligami, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan lebih dari satu istri, diperbolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat yang sangat ketat. Tujuan poligami bukan untuk memuaskan hawa nafsu semata, melainkan untuk menjaga keadilan dan kasih sayang kepada istri-istri, serta untuk memenuhi kebutuhan wanita yang membutuhkan perlindungan dan nafkah. Syarat-syarat poligami meliputi kemampuan untuk berlaku adil kepada semua istri dalam hal nafkah, tempat tinggal, dan kasih sayang; mendapatkan izin dari istri pertama; dan adanya alasan yang kuat, seperti istri yang mandul atau sakit parah yang menghalangi untuk memiliki keturunan.
- Keadilan dalam segala hal kepada semua istri.
- Izin dari istri yang sudah ada.
- Adanya alasan yang dibenarkan syariat.
Hukum Talak (Perceraian) dan Prosedurnya
Talak atau perceraian merupakan hal yang dibenci dalam Islam, namun tetap diperbolehkan sebagai jalan terakhir jika rumah tangga sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Proses talak harus dilakukan dengan bijak dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan syariat Islam untuk melindungi hak-hak istri dan anak-anak. Talak dapat dilakukan oleh suami dengan mengucapkan lafaz talak yang sah, namun dianjurkan untuk melalui jalur islah (mediasi) terlebih dahulu untuk menyelesaikan masalah rumah tangga.
Prosedur talak melibatkan beberapa tahapan, diantaranya rujuk (kembali rujuk), masa iddah (masa tunggu), dan pengadilan agama jika terdapat sengketa harta gono-gini atau hak asuh anak.
Contoh Kasus Pernikahan dan Solusi Menurut Syariat
Misalnya, kasus pernikahan yang melibatkan seorang wanita yang sudah menikah secara siri (pernikahan tidak tercatat secara resmi di negara) dan kemudian ingin menikah secara resmi menurut hukum negara. Dalam kasus ini, solusi menurut syariat Islam adalah melakukan pengesahan nikah siri terlebih dahulu, kemudian menceraikan suami siri, setelah itu baru dapat menikah dengan pasangan yang baru.
Pendapat Ulama Terkemuka Tentang Pernikahan Beda Agama
“Pernikahan antar umat beragama adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Perbedaan keyakinan akan menyebabkan kesulitan dalam menjalankan ibadah dan pendidikan anak-anak. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk menikah dengan sesama muslim agar tercipta keharmonisan dan keberkahan dalam rumah tangga.” – (Contoh pendapat ulama, perlu diganti dengan pendapat ulama yang sebenarnya dan rujukannya)
Mas Kawin dan Hak-Hak dalam Pernikahan Syariah
Pernikahan dalam Islam bukan sekadar ikatan sosial, melainkan ibadah yang dilandasi akad yang sah dan dilestarikan dengan komitmen bersama. Salah satu pilar penting dalam pernikahan syariah adalah mas kawin dan pemahaman hak serta kewajiban suami istri. Pemahaman yang komprehensif mengenai hal ini akan menciptakan keharmonisan rumah tangga yang berlandaskan ajaran Islam.
Mas Kawin (Mahar) dalam Pernikahan Syariah
Mas kawin atau mahar merupakan pemberian wajib dari suami kepada istri sebagai tanda keseriusan dan penghargaan atas ikatan pernikahan. Mahar bukan sekadar uang, melainkan bisa berupa barang berharga lainnya, sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Hukum mas kawin adalah sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan). Jenis mahar terbagi menjadi dua: mahar musamma (mahar yang telah ditentukan jumlah dan jenisnya) dan mahar mitsl (mahar yang nilainya disesuaikan dengan kondisi dan kebiasaan setempat). Pemberian mahar hendaknya dilakukan sebelum atau saat akad nikah.
Lihat Apa Saja Isi Perjanjian Pra Nikah untuk memeriksa review lengkap dan testimoni dari pengguna.
Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Pernikahan Syariah
Islam telah mengatur hak dan kewajiban suami istri secara seimbang untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Pemahaman yang baik tentang hal ini akan meminimalisir konflik dan memperkuat ikatan pernikahan.
Hak dan Kewajiban | Suami | Istri |
---|---|---|
Nafkah | Memberikan nafkah lahir dan batin kepada istri | Menjaga kehormatan dan harta suami |
Kesetiaan | Setia kepada istri dan menjaga kehormatannya | Setia kepada suami dan menjaga kehormatannya |
Perlakuan Baik | Berlaku adil dan baik kepada istri | Berlaku taat dan baik kepada suami |
Rumah Tangga | Memimpin dan mengayomi keluarga | Mengurus rumah tangga dan mendidik anak |
Pendidikan Anak | Bertanggung jawab atas pendidikan anak | Bertanggung jawab atas pendidikan anak |
Penyelesaian Konflik dalam Rumah Tangga Berdasarkan Ajaran Islam
Konflik dalam rumah tangga adalah hal yang wajar. Islam mengajarkan cara penyelesaian konflik dengan bijak, diantaranya melalui musyawarah, saling memaafkan, dan menghindari kekerasan. Al-Quran dan Hadits memberikan panduan untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara yang damai dan mengedepankan nilai-nilai keislaman. Salah satu contohnya adalah dengan melibatkan keluarga atau tokoh agama yang dipercaya sebagai mediator.
Contoh Kesepakatan Pranikah (Prenuptial Agreement) yang Sesuai Syariat Islam
Kesepakatan pranikah dapat dibuat untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan harta bersama, hak waris, dan hal-hal lain yang disepakati bersama sebelum pernikahan. Kesepakatan ini harus sesuai dengan syariat Islam dan tidak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku. Berikut contoh poin yang dapat dicantumkan dalam kesepakatan pranikah:
- Pembagian harta setelah perceraian.
- Pengaturan hak asuh anak jika terjadi perceraian.
- Penggunaan harta bersama untuk keperluan rumah tangga.
- Kewajiban masing-masing pihak dalam mengelola keuangan keluarga.
Contoh kesepakatan pranikah ini bersifat umum dan dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kesepakatan kedua calon pasangan. Konsultasi dengan ahli agama dan hukum sangat dianjurkan untuk memastikan kesepakatan pranikah sesuai syariat dan hukum yang berlaku.
Pernikahan Syariah dan Hukum Positif di Indonesia
Di Indonesia, terdapat interaksi kompleks antara hukum pernikahan menurut syariat Islam dan hukum perkawinan yang diatur dalam hukum positif. Pemahaman atas perbedaan dan keselarasan keduanya penting untuk memastikan pelaksanaan pernikahan yang sah dan sesuai dengan nilai-nilai keagamaan dan hukum negara.
Regulasi Pernikahan Syariah dan Hukum Perkawinan di Indonesia: Perbandingan
Hukum perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-undang ini mengatur berbagai aspek perkawinan, termasuk syarat-syarat sahnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, serta prosedur perceraian. Sementara itu, pernikahan syariah mengikuti kaidah-kaidah fiqh Islam, yang sumbernya berasal dari Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Perbedaan mendasar terletak pada sumber hukum dan penafsirannya, meskipun terdapat banyak kesamaan dalam prinsip-prinsip dasar seperti adanya wali nikah dan saksi.
Akomodasi Nilai-Nilai Syariat dalam Hukum Positif Pernikahan
Hukum positif di Indonesia mengakomodasi nilai-nilai syariat Islam dalam beberapa hal, khususnya bagi pasangan yang beragama Islam. Misalnya, UU Perkawinan mensyaratkan adanya wali nikah bagi perempuan, yang sejalan dengan ajaran Islam. Selain itu, ketentuan mengenai mahar juga diakomodasi dalam hukum positif, meskipun besaran dan bentuknya diserahkan kepada kesepakatan kedua belah pihak. Namun, perlu diingat bahwa hukum positif tetap berlaku secara umum untuk semua warga negara, tanpa memandang agama.
Potensi Konflik antara Hukum Syariat dan Hukum Positif Terkait Pernikahan
Meskipun terdapat upaya akomodasi, potensi konflik antara hukum syariat dan hukum positif tetap ada. Perbedaan penafsiran terhadap beberapa hal, seperti poligami, perceraian, dan hak waris, dapat memicu konflik. Poligami, misalnya, diperbolehkan dalam syariat Islam dengan syarat-syarat tertentu, namun diatur secara ketat dalam hukum positif dan seringkali menjadi sumber perselisihan. Begitu pula dengan perceraian, di mana prosedur dan persyaratannya berbeda antara hukum syariat dan hukum positif.
Perbedaan Administrasi Pernikahan Syariah dan Sipil di Indonesia: Rangkuman
Aspek | Pernikahan Syariah | Pernikahan Sipil |
---|---|---|
Pendaftaran | Biasanya dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) setelah akad nikah dilakukan sesuai syariat. | Dilakukan di Kantor Catatan Sipil (KCS) sebelum pelaksanaan akad nikah. |
Syarat | Mencakup syarat sah menurut syariat Islam, seperti adanya wali nikah, dua orang saksi, dan ijab kabul. | Mencakup syarat sah menurut UU Perkawinan, seperti usia minimal, persetujuan kedua calon mempelai, dan tidak adanya halangan hukum. |
Dokumen | Sertifikat nikah dari KUA. | Akta nikah dari KCS. |
Contoh Kasus Interaksi Hukum Syariat dan Hukum Positif dalam Pernikahan, Pernikahan Menurut Syariah
Kasus perceraian yang melibatkan pasangan Muslim seringkali menunjukkan interaksi antara hukum syariat dan hukum positif. Misalnya, seorang istri mungkin mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama berdasarkan hukum syariat, namun putusan pengadilan harus tetap mengacu pada UU Perkawinan dan prosedur hukum yang berlaku. Dalam hal ini, putusan pengadilan akan mempertimbangkan aspek-aspek hukum syariat yang relevan, namun tetap berada dalam koridor hukum positif Indonesia. Perselisihan mengenai hak asuh anak dan harta gono-gini juga seringkali melibatkan penafsiran hukum syariat dan hukum positif yang berbeda.
Pertanyaan Umum Seputar Pernikahan Syariah: Pernikahan Menurut Syariah
Pernikahan dalam Islam merupakan akad yang suci dan memiliki aturan yang detail. Memahami syarat, hukum, dan tata cara pernikahan syariah sangat penting bagi setiap muslim yang ingin membangun keluarga berdasarkan ajaran agama. Berikut ini beberapa pertanyaan umum yang sering diajukan seputar pernikahan menurut syariat Islam beserta jawabannya.
Syarat Sahnya Pernikahan Menurut Syariat Islam
Syarat sahnya pernikahan dalam Islam terbagi menjadi dua, yaitu syarat sah akad dan syarat sah wali nikah. Syarat sah akad meliputi adanya ijab dan kabul yang sah, serta hadirnya dua orang saksi yang adil. Sementara syarat sah wali nikah meliputi adanya wali yang berhak menikahkan, wali tersebut harus mampu dan cakap hukum, serta persetujuan dari calon mempelai wanita.
- Ijab dan Kabul: Pernyataan penerimaan (qabul) dari wali dan pernyataan persetujuan (ijab) dari calon mempelai pria merupakan inti dari akad nikah. Rumusan ijab dan kabul harus jelas dan tidak ambigu.
- Saksi: Dua orang saksi laki-laki yang adil dan muslim wajib hadir sebagai penyaksian akad nikah. Jika sulit mendapatkan dua saksi laki-laki, maka dapat digantikan dengan empat orang saksi perempuan yang adil dan muslim.
- Wali Nikah: Wali nikah adalah orang yang berhak menikahkan calon mempelai wanita. Urutan wali nikah ditentukan oleh syariat Islam, dimulai dari ayah kandung, kakek, dan seterusnya.
- Kemampuan dan Kecakapan Hukum: Wali nikah harus mampu dan cakap hukum, artinya ia harus berakal sehat dan dewasa.
- Persetujuan Calon Mempelai Wanita: Persetujuan dari calon mempelai wanita merupakan syarat penting, meskipun ia berada di bawah wali.
Hukum Poligami dalam Islam
Poligami dalam Islam dibolehkan dengan syarat dan ketentuan yang ketat. Hal ini diatur dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 3 yang menyebutkan bolehnya menikahi hingga empat orang wanita dengan syarat adil dalam segala hal. Keadilan ini bukan hanya sebatas materi, tetapi juga meliputi perhatian, kasih sayang, waktu, dan pemenuhan hak-hak istri.
“Dan jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu menikahi mereka), maka nikahilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim.” (QS. An-Nisa: 3)
Kemampuan untuk berlaku adil merupakan syarat mutlak dalam poligami. Jika seseorang merasa tidak mampu berlaku adil, maka lebih baik ia hanya menikahi satu istri saja. Poligami bukan semata-mata untuk pemenuhan nafsu, tetapi lebih kepada tanggung jawab sosial dan kemanusiaan, misalnya untuk merawat dan membina keluarga yang membutuhkan perlindungan.
Mas Kawin dan Hukumnya
Mas kawin adalah pemberian dari suami kepada istri sebagai tanda kesungguhan dan penghargaan atas pernikahan. Mas kawin hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang dianjurkan), bukan wajib. Besarnya mas kawin disesuaikan dengan kemampuan suami dan kesepakatan kedua belah pihak. Mas kawin dapat berupa uang, barang, atau jasa. Contohnya, mas kawin dapat berupa uang tunai sejumlah Rp. 10.000.000,- atau seperangkat alat shalat.
Meskipun hukumnya sunnah, memberikan mas kawin yang layak dan sesuai kemampuan merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap istri. Pemberian mas kawin yang terlalu rendah atau bahkan tidak ada dapat mengurangi nilai pernikahan dan menunjukkan kurangnya keseriusan suami.
Penyelesaian Konflik Rumah Tangga Menurut Ajaran Islam
Konflik dalam rumah tangga merupakan hal yang lumrah. Islam mengajarkan beberapa cara untuk menyelesaikan konflik tersebut secara bijak dan damai. Prioritas utama adalah musyawarah dan saling pengertian antara suami dan istri. Jika musyawarah tidak berhasil, maka dapat ditempuh jalur ta’aruf (perundingan) dengan melibatkan keluarga atau tokoh agama yang disegani.
- Musyawarah: Saling berdiskusi dan mencari solusi bersama merupakan langkah pertama yang harus ditempuh.
- Ta’aruf: Mediasi oleh pihak ketiga yang dipercaya, seperti keluarga atau tokoh agama, untuk membantu menyelesaikan perselisihan.
- Hakim Syar’i: Sebagai upaya terakhir, dapat ditempuh jalur hukum syariat dengan melibatkan hakim syar’i untuk menyelesaikan perselisihan.
Islam sangat menekankan pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga. Saling memaafkan, sabar, dan berlapang dada merupakan kunci utama dalam menyelesaikan konflik.
Perbedaan Pernikahan Syariah dan Pernikahan Sipil di Indonesia
Di Indonesia, pernikahan syariah dan pernikahan sipil memiliki perbedaan utama dalam aspek legalitas. Pernikahan syariah adalah pernikahan yang dilangsungkan sesuai dengan ajaran agama Islam, sedangkan pernikahan sipil adalah pernikahan yang dicatat dan diakui oleh negara. Pernikahan syariah harus didaftarkan ke KUA (Kantor Urusan Agama) agar sah secara negara. Dengan demikian, pernikahan yang sah di Indonesia adalah pernikahan yang memenuhi syarat syariat Islam dan tercatat di KUA.
Perbedaannya terletak pada aspek legalitas negara. Pernikahan syariah yang sudah didaftarkan di KUA memiliki kekuatan hukum yang sama dengan pernikahan sipil. Pernikahan syariah tanpa pendaftaran di KUA hanya sah secara agama, namun tidak diakui negara.