Sistematika Undang-Undang Kepabeanan: Materi PPJK

Akhmad Fauzi

Direktur Utama Jangkar Goups

DAFTAR ISI

Undang-Undang Kepabeanan

Semua barang masuk di perlakukan barang impor dan terutang bea masuk ?

Meskipun benar bahwa semua barang yang masuk ke dalam daerah pabean Indonesia diperlakukan sebagai barang impor, tidak semua barang impor terutang bea masuk.

Ada beberapa pengecualian, di antaranya:

  1. Barang impor yang dibebaskan dari bea masuk:
  2. Barang untuk keperluan diplomatik atau konsuler.
  3. Barang keperluan pertahanan dan keamanan negara.
  4. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan.
  5. Barang bantuan untuk bencana alam.
  6. Barang kiriman hadiah dengan nilai tertentu.
  7. Barang penumpang dan awak sarana pengangkut dengan nilai tertentu.
  8. Barang impor yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk:
  9. Barang impor untuk tujuan ekspor kembali.
  10. Barang impor untuk keperluan industri tertentu.
  11. Barang impor dalam rangka investasi.
  12. Selain itu, terdapat juga barang impor yang dikenakan tarif bea masuk 0%.

Semua barang masuk di perlakukan barang impor dan terutang bea masuk

Siapa yang bertanggung jawab atas utang bea masuk

Pada dasarnya, importir adalah pihak yang bertanggung jawab atas utang bea masuk. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Namun, ada beberapa kondisi yang membuat pihak lain bertanggung jawab atas utang bea masuk, yaitu:

  1. Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK): Jika importir memberikan kuasa kepada PPJK untuk mengurus proses impor, maka PPJK bertanggung jawab atas utang bea masuk jika importir tidak dapat ditemukan.
  2. Pengusaha Tempat Penimbunan Sementara/Berikat: Jika barang impor yang wajib bea masuk hilang dari Tempat Penimbunan Sementara atau Tempat Penimbunan Berikat, maka pengusaha tempat penimbunan tersebut bertanggung jawab atas utang bea masuk, selain dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
  3. Tanggung jawab atas utang bea masuk muncul sejak tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor.

 

Bea masuk yang harus dibayar dihitung berdasarkan:

  • Tarif yang berlaku pada tanggal Pemberitahuan Pabean atas Impor.
  • Nilai pabean dari barang impor.

 

Penting untuk diingat:

  • Penundaan atau pengangsuran pembayaran bea masuk dapat dimungkinkan dalam kondisi tertentu, sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  • Kantor Bea dan Cukai adalah tempat di mana importir atau pihak yang bertanggung jawab melunasi utang bea masuk.

 

Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat merujuk pada:

  1. Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
  2. Peraturan Menteri Keuangan terkait kepabeanan
  3. Situs web resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai: https://ecd.beacukai.go.id/

Apakah Pemilik sarana pengangkut yang bertanggung jawab bea masuk ?

Apakah Pemilik sarana pengangkut yang bertanggung jawab bea masuk ?

Meskipun importir umumnya bertanggung jawab atas bea masuk, ada beberapa situasi di mana pemilik sarana pengangkut dapat ikut bertanggung jawab atas bea masuk.

Berikut beberapa kondisi di mana pemilik sarana pengangkut bertanggung jawab atas bea masuk:

  • Barang impor hilang dari sarana pengangkut: Jika barang impor yang wajib bea masuk hilang dari sarana pengangkut sebelum tiba di kantor pabean, pemilik sarana pengangkut dapat dimintai pertanggungjawaban atas bea masuk yang terutang.
  • Sarana pengangkut digunakan untuk menyelundupkan barang: Jika sarana pengangkut digunakan untuk mengangkut barang impor secara ilegal atau menyelundupkan barang, pemilik sarana pengangkut dapat dikenakan sanksi, termasuk bertanggung jawab atas bea masuk dan denda.
  • Pelanggaran ketentuan kepabeanan: Jika pemilik sarana pengangkut melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kepabeanan, seperti tidak melaporkan barang impor dengan benar atau tidak mengikuti prosedur kepabeanan yang berlaku, mereka dapat dikenakan sanksi, termasuk bertanggung jawab atas bea masuk yang terutang.

 

Perlu diingat bahwa:

  • Tanggung jawab pemilik sarana pengangkut biasanya bersifat tambahan. Artinya, importir tetap menjadi penanggung jawab utama atas bea masuk.
  • Pemilik sarana pengangkut dapat dibebaskan dari tanggung jawab jika dapat membuktikan bahwa mereka tidak terlibat dalam pelanggaran kepabeanan atau kehilangan barang impor.

 

Dasar hukum:

Ketentuan mengenai tanggung jawab pemilik sarana pengangkut atas bea masuk dapat ditemukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan peraturan pelaksanaannya.

 

Contoh:

Sebuah kapal kargo mengangkut barang impor dari luar negeri. Beberapa barang tersebut hilang selama perjalanan. Dalam hal ini, pemilik kapal kargo dapat dimintai pertanggungjawaban atas bea masuk dari barang yang hilang, meskipun importir tetap menjadi penanggung jawab utama.

Kesimpulan:

Pemilik sarana pengangkut memiliki peran penting dalam proses impor dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas bea masuk dalam situasi tertentu. Oleh karena itu, penting bagi pemilik sarana pengangkut untuk mematuhi ketentuan kepabeanan dan memastikan keamanan barang impor yang diangkut.

Sampai Kapan Si Pengangkut Bertanggung Jawab Bea Masuk ?

Sampai kapan si pengangkut bertanggung jawab bea masuk ?

Tanggung jawab pemilik sarana pengangkut atas bea masuk umumnya berakhir saat barang impor diserahkan ke tempat penimbunan yang ditunjuk oleh Bea Cukai atau kepada importir di tempat tujuan.

Berikut penjelasan lebih rinci mengenai batasan tanggung jawab pemilik sarana pengangkut:

 

Penyerahan Barang ke Tempat Penimbunan:

Tempat Penimbunan Sementara (TPS): Ketika sarana pengangkut tiba di pelabuhan, barang impor biasanya dibongkar dan disimpan di TPS. Setelah barang diserahkan ke TPS dan Bea Cukai menerbitkan dokumen penerimaan, tanggung jawab pemilik sarana pengangkut atas bea masuk umumnya berakhir.
Tempat Penimbunan Berikat (TPB): Jika barang impor ditujukan untuk TPB, pemilik sarana pengangkut bertanggung jawab hingga barang tersebut diserahkan dan diterima oleh pengelola TPB.

 

Penyerahan Barang ke Importir:

Pengiriman Langsung: Dalam beberapa kasus, barang impor dapat dikirim langsung ke importir tanpa melalui TPS. Tanggung jawab pemilik sarana pengangkut berakhir saat barang tersebut diserahkan kepada importir di tempat tujuan dan ada bukti serah terima yang sah.

Penting untuk diingat:

  • Bukti Serah Terima: Penting bagi pemilik sarana pengangkut untuk memiliki bukti serah terima barang yang sah, baik ke TPS/TPB maupun langsung ke importir, untuk menghindari potensi sengketa di kemudian hari.
  • Kondisi Tertentu: Dalam kondisi tertentu, seperti kehilangan barang atau pelanggaran kepabeanan, tanggung jawab pemilik sarana pengangkut dapat diperpanjang hingga masalah tersebut diselesaikan.

 

Kesimpulan:

Tanggung jawab pemilik sarana pengangkut atas bea masuk memiliki batasan waktu dan kondisi tertentu. Penting bagi pemilik sarana pengangkut untuk memahami batasan tanggung jawab mereka dan mematuhi semua ketentuan kepabeanan untuk menghindari potensi masalah.

 

Barang yang telah dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari Daerah Pabean dianggap telah di ekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor?

Berdasarkan peraturan kepabeanan di Indonesia, barang yang telah dimuat di sarana pengangkut untuk dikeluarkan dari Daerah Pabean dianggap telah diekspor dan diperlakukan sebagai barang ekspor.

Ketentuan ini berlaku jika:

  • Barang tersebut telah diberitahukan dalam Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah didaftarkan sesuai ketentuan.
  • PEB telah mendapatkan nomor pendaftaran dari sistem komputer pelayanan Bea dan Cukai.

 

Dasar Hukum:

Ketentuan ini dapat Anda temukan dalam:

  • Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Ekspor
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.04/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Ekspor

 

Penting untuk diingat:

Meskipun barang dianggap telah diekspor saat dimuat di sarana pengangkut, proses ekspor belum sepenuhnya selesai. Eksportir tetap harus memenuhi kewajiban kepabeanan lainnya, seperti:

  1. Melengkapi dokumen ekspor: Menyerahkan dokumen-dokumen pendukung ekspor kepada Bea Cukai, seperti invoice, packing list, dan dokumen pengangkutan.
  2. Memenuhi ketentuan larangan dan pembatasan (Lartas): Memastikan barang ekspor tidak termasuk dalam barang yang dilarang atau dibatasi ekspornya.
  3. Melakukan pemeriksaan pabean: Jika diperlukan, barang ekspor akan diperiksa oleh petugas Bea Cukai sebelum diizinkan keluar dari Daerah Pabean.

 

Kesimpulan:

Pemuatan barang ke sarana pengangkut merupakan tahapan penting dalam proses ekspor. Meskipun barang dianggap telah diekspor pada saat itu, eksportir tetap harus memenuhi kewajiban kepabeanan lainnya untuk menyelesaikan proses ekspor secara legal.

Apa itu Free On Board (FOB) diatas kapal

Apa itu Free On Board (FOB) diatas kapal?

FOB (Free On Board) diatas kapal adalah salah satu istilah dalam perdagangan internasional yang termasuk dalam Incoterms. Istilah ini mendefinisikan tanggung jawab dan biaya antara penjual dan pembeli dalam pengiriman barang melalui laut.

FOB diatas kapal berarti penjual bertanggung jawab untuk mengirimkan barang dan menanggung semua biaya serta risiko sampai barang tersebut dimuat dan melewati pagar kapal di pelabuhan yang telah ditentukan. Setelah barang melewati pagar kapal, risiko dan tanggung jawab berpindah ke pembeli.

Berikut rincian tanggung jawab penjual dan pembeli dalam FOB diatas kapal:

 

Tanggung Jawab Penjual:

  1. Menyediakan barang sesuai dengan kontrak penjualan.
  2. Mengurus izin ekspor dan dokumen terkait.
  3. Mengangkut barang ke pelabuhan muat yang telah ditentukan.
  4. Memuat barang ke atas kapal.
  5. Menanggung semua biaya dan risiko sampai barang melewati pagar kapal.
  6. Memberitahukan pembeli bahwa barang telah dimuat di kapal.

 

Tanggung Jawab Pembeli:

  1. Memilih kapal dan mengurus kontrak pengangkutan.
  2. Menanggung semua biaya dan risiko setelah barang melewati pagar kapal, termasuk biaya pengangkutan, asuransi, bongkar muat di pelabuhan tujuan, dan bea masuk.
  3. Mengurus izin impor dan dokumen terkait di negara tujuan.

 

Contoh:

PT A di Indonesia menjual barang ke PT B di Singapura dengan syarat FOB Jakarta. PT A bertanggung jawab mengirimkan barang ke Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, mengurus dokumen ekspor, dan memuat barang ke atas kapal yang ditunjuk PT B. Setelah barang melewati pagar kapal di Tanjung Priok, tanggung jawab berpindah ke PT B yang menanggung biaya pengangkutan ke Singapura, asuransi, bongkar muat di Singapura, dan bea masuk.

 

Keuntungan FOB diatas kapal bagi penjual:

  • Lebih mudah dalam pengurusan ekspor karena tanggung jawab berakhir di pelabuhan muat.
  • Mengurangi risiko kerusakan atau kehilangan barang selama pengangkutan laut.

 

Keuntungan FOB diatas kapal bagi pembeli:

  • Lebih leluasa dalam memilih kapal dan jasa pengangkutan.
  • Dapat mengontrol biaya pengangkutan dan asuransi.

 

Penting untuk diperhatikan:

FOB diatas kapal hanya berlaku untuk pengangkutan laut atau perairan pedalaman.
Pastikan kesepakatan yang jelas antara penjual dan pembeli mengenai detail FOB diatas kapal, termasuk pelabuhan muat, waktu pengiriman, dan dokumen yang diperlukan.

Incoterm adalah

Incoterm adalah

Incoterms (International Commercial Terms) adalah seperangkat istilah perdagangan internasional yang diterbitkan oleh Kamar Dagang Internasional (ICC). Istilah-istilah ini mendefinisikan tanggung jawab dan kewajiban antara penjual dan pembeli dalam transaksi internasional, terutama yang berkaitan dengan pengiriman barang.

 

Tujuan utama Incoterms:

  • Menghindari kesalahpahaman: Incoterms memberikan interpretasi yang jelas dan seragam tentang tugas, biaya, dan risiko yang terkait dengan pengiriman barang, sehingga mengurangi potensi sengketa antara penjual dan pembeli.
  • Memfasilitasi perdagangan internasional: Dengan memberikan kerangka kerja yang baku, Incoterms mempermudah proses negosiasi dan pelaksanaan kontrak perdagangan internasional.

 

Aspek-aspek yang diatur dalam Incoterms:

  1. Pengiriman barang: Siapa yang bertanggung jawab atas pengangkutan barang, pengurusan dokumen, dan asuransi.
  2. Biaya: Siapa yang menanggung biaya-biaya terkait, seperti biaya angkut, asuransi, bea masuk, dan pajak.
  3. Risiko: Siapa yang menanggung risiko kerusakan atau kehilangan barang selama proses pengiriman.

 

Kategori Incoterms:

Incoterms dibagi menjadi dua kategori utama:

  • Incoterms untuk semua moda transportasi: Dapat digunakan untuk pengiriman barang melalui darat, laut, udara, atau kombinasi dari beberapa moda transportasi. Contohnya: EXW, FCA, CPT, CIP, DAP, DPU, DDP.
  • Incoterms khusus untuk angkutan laut dan perairan pedalaman: Hanya digunakan untuk pengiriman barang melalui laut atau perairan pedalaman. Contohnya: FAS, FOB, CFR, CIF.

 

Versi Incoterms:

ICC secara berkala memperbarui Incoterms untuk menyesuaikan dengan perkembangan praktik perdagangan internasional. Versi terbaru adalah Incoterms 2020.

Contoh penggunaan Incoterms:

  • “FOB Jakarta Incoterms 2020” berarti penjual bertanggung jawab atas pengiriman barang dan menanggung semua biaya serta risiko sampai barang melewati pagar kapal di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
  • “CIF Singapore Incoterms 2020” berarti penjual bertanggung jawab atas pengiriman barang, asuransi, dan biaya angkut sampai pelabuhan tujuan di Singapura.

 

Penting untuk diingat:

Penggunaan Incoterms harus disepakati secara eksplisit dalam kontrak penjualan antara penjual dan pembeli.
Incoterms tidak mengatur semua aspek kontrak penjualan. Aspek-aspek lain, seperti harga, pembayaran, dan penyelesaian sengketa, perlu diatur secara terpisah dalam kontrak.

Consignee adalah

Consignee adalah

Consignee adalah istilah dalam dunia logistik yang merujuk pada penerima barang.

Dalam konteks pengiriman barang, consignee adalah pihak yang namanya tercantum dalam dokumen pengiriman sebagai pihak yang berhak menerima barang kiriman. Consignee bisa berupa individu, perusahaan, atau organisasi.

 

Peran Consignee:

  • Menerima barang: Consignee bertanggung jawab untuk menerima barang dari pengirim atau pihak yang ditunjuk oleh pengirim (misalnya, perusahaan jasa pengiriman).
  • Memeriksa barang: Consignee harus memeriksa kondisi barang saat diterima dan memastikan barang sesuai dengan yang dipesan. Jika ada kerusakan atau kekurangan, consignee harus segera melaporkannya kepada pengirim atau perusahaan jasa pengiriman.
  • Menandatangani bukti penerimaan: Setelah menerima dan memeriksa barang, consignee menandatangani bukti penerimaan sebagai tanda bahwa barang telah diterima dengan baik.

 

Istilah lain yang terkait dengan Consignee:

  • Shipper: Pengirim barang.
  • Consignor: Istilah lain untuk pengirim barang, sering digunakan dalam konteks konsinyasi.
  • Notify Party: Pihak yang akan dihubungi oleh perusahaan jasa pengiriman saat barang tiba di tujuan. Notify party bisa sama dengan consignee, tetapi bisa juga pihak lain yang ditunjuk oleh consignee.

 

Contoh:

Anda memesan barang secara online dari sebuah toko. Dalam hal ini, Anda adalah consignee karena Anda adalah penerima barang tersebut. Nama dan alamat Anda akan tercantum sebagai consignee dalam dokumen pengiriman.

Penting untuk diingat:

  1. Kejelasan informasi consignee sangat penting untuk memastikan barang sampai ke tujuan dengan benar. Pastikan nama, alamat, dan informasi kontak consignee tercantum dengan lengkap dan akurat dalam dokumen pengiriman.
  2. Consignee memiliki hak untuk menolak menerima barang jika barang tersebut rusak, tidak sesuai pesanan, atau tidak dilengkapi dengan dokumen yang diperlukan.

Jika barang sampai di TPS barang rusak, tanggung jawabnya siapa

Jika barang sampai di TPS barang rusak, tanggung jawabnya siapa ?

Jika barang sampai di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) dalam keadaan rusak, menentukan siapa yang bertanggung jawab bisa jadi rumit karena melibatkan beberapa pihak.

Berikut ini beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan untuk menentukan tanggung jawab:

 

Kondisi Barang Saat Pemuatan:

  • Bukti Kondisi Awal: Penting untuk memiliki bukti kondisi barang saat dimuat di sarana pengangkut. Dokumen seperti foto, video, atau laporan pemeriksaan kondisi barang sebelum pengiriman dapat menjadi bukti penting.
  • Jenis Kerusakan: Apakah kerusakan terjadi karena sifat barang itu sendiri (misalnya, barang mudah rusak), karena pengemasan yang tidak memadai, atau karena penanganan yang buruk selama proses pengiriman.

 

Pihak-pihak yang Terlibat:

  1. Pengirim (Shipper): Bertanggung jawab atas pengemasan barang dengan baik dan memastikan barang dalam kondisi baik saat diserahkan ke pengangkut.
  2. Pengangkut (Carrier): Bertanggung jawab atas penanganan barang dengan hati-hati selama proses pengiriman.
  3. TPS: Bertanggung jawab atas keamanan dan penyimpanan barang setelah diterima dari pengangkut.
  4. Importir (Consignee): Berhak memeriksa kondisi barang saat tiba di TPS dan melaporkan kerusakan jika ada.

 

Asuransi:

Asuransi Pengiriman: Jika ada asuransi pengiriman, perusahaan asuransi akan menanggung kerusakan sesuai dengan polis asuransi. Penting untuk memeriksa syarat dan ketentuan polis asuransi.

 

Langkah-langkah yang Harus Dilakukan Jika Barang Rusak:

  1. Melaporkan Kerusakan: Segera laporkan kerusakan kepada pihak TPS dan pengangkut. Dokumentasikan kerusakan dengan foto dan video.
  2. Mengajukan Klaim: Ajukan klaim kepada pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kerusakan. Sertakan bukti-bukti pendukung seperti dokumen pengiriman, foto kerusakan, dan laporan pemeriksaan.
  3. Negosiasi: Upayakan untuk mencapai kesepakatan dengan pihak terkait mengenai tanggung jawab dan ganti rugi.
  4. Mediasi atau Arbitrase: Jika negosiasi gagal, pertimbangkan untuk menggunakan jasa mediator atau arbiter untuk menyelesaikan sengketa.
  5. Jalur Hukum: Jika semua upaya penyelesaian di luar pengadilan gagal, Anda dapat menempuh jalur hukum.

 

Tips Tambahan:

  1. Pastikan pengemasan barang dilakukan dengan baik dan sesuai standar.
  2. Gunakan jasa pengangkut yang terpercaya dan memiliki reputasi baik.
  3. Asuransikan barang Anda untuk melindungi dari risiko kerusakan atau kehilangan.
  4. Dokumentasikan semua proses pengiriman, termasuk kondisi barang saat pemuatan dan penerimaan.

 

Kesimpulan:

Menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan barang di TPS memerlukan pemeriksaan yang cermat terhadap berbagai faktor. Penting untuk memiliki bukti yang kuat dan memahami hak dan kewajiban masing-masing pihak yang terlibat.

 

Jika barang rusak Bukan tanggung jawab consigne?

Jika barang rusak di TPS sebelum di-declare, maka consignee (penerima barang) umumnya tidak bertanggung jawab.

 

Berikut alasan bukan tanggung jawab consigne:

  1. Risiko dan Tanggung Jawab: Sebelum proses deklarasi (pengajuan pemberitahuan pabean impor), risiko dan tanggung jawab atas barang masih berada di pihak pengirim atau pengangkut.
  2. Belum Ada Serah Terima: Consignee belum secara resmi menerima barang tersebut karena proses impor belum selesai.
  3. Kewajiban Pemeriksaan: Meskipun consignee berhak memeriksa barang, kerusakan yang terjadi sebelum deklarasi bukan menjadi tanggung jawabnya.

 

Namun, ada beberapa pengecualian:

  1. Kesengajaan atau Kelalaian Consignee: Jika consignee terbukti melakukan kesengajaan atau kelalaian yang menyebabkan kerusakan barang sebelum deklarasi, maka mereka dapat dimintai pertanggungjawaban.
  2. Perjanjian Khusus: Jika ada perjanjian khusus antara consignee dan pengirim atau pengangkut yang menyatakan bahwa consignee bertanggung jawab atas kerusakan barang sebelum deklarasi, maka perjanjian tersebut yang akan berlaku.

 

Yang perlu dilakukan jika terjadi kerusakan sebelum deklarasi:

  1. Laporkan Kerusakan: Consignee harus segera melaporkan kerusakan kepada pihak TPS dan pengangkut. Dokumentasikan kerusakan dengan foto dan video.
  2. Libatkan Surveyor: Jika kerusakan signifikan, libatkan surveyor independen untuk menilai kerusakan dan penyebabnya.
  3. Ajukan Klaim: Pengirim atau pengangkut (tergantung siapa yang bertanggung jawab berdasarkan Incoterms dan bukti-bukti) harus mengajukan klaim kepada pihak yang dianggap bertanggung jawab (misalnya, perusahaan asuransi atau pihak lain yang terlibat dalam proses pengiriman).

 

Penting untuk diingat:

  • Incoterms: Istilah Incoterms yang digunakan dalam transaksi akan menentukan titik di mana risiko dan tanggung jawab berpindah dari penjual ke pembeli.
  • Asuransi: Asuransi pengiriman sangat penting untuk melindungi dari risiko kerusakan atau kehilangan barang selama proses pengiriman.

 

Kesimpulan:

Kerusakan barang di TPS sebelum di-declare umumnya bukan tanggung jawab consignee. Namun, penting untuk melakukan pemeriksaan dan melaporkan kerusakan segera agar dapat dilakukan tindakan yang tepat dan klaim dapat diajukan kepada pihak yang bertanggung jawab.

Barang dari TPS ke TPP kemudian menjadi Barang Milik Negara menjadi tanggung jawabnya siapa ?

Barang dari TPS ke TPP kemudian menjadi Barang Milik Negara menjadi tanggung jawabnya siapa ?

Jika barang yang awalnya disimpan di TPS dipindahkan ke Tempat Penimbunan Pabean (TPP) dan kemudian ditetapkan menjadi Barang Milik Negara (BMN), maka tanggung jawab atas barang tersebut beralih kepada Kementerian Keuangan.

 

Prosesnya kira-kira seperti ini:

  1. Barang Masuk TPS: Barang impor yang masuk ke Indonesia akan disimpan sementara di TPS.
  2. Lewat Batas Waktu: Jika dalam jangka waktu tertentu (biasanya 30 hari) barang di TPS tidak di-declare atau tidak memenuhi persyaratan kepabeanan, maka barang tersebut akan dipindahkan ke TPP.
  3. Penetapan BMN: Setelah ditimbun di TPP dan melewati jangka waktu tertentu, barang tersebut dapat ditetapkan menjadi BMN melalui proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  4. Pengelolaan BMN: Setelah ditetapkan sebagai BMN, Kementerian Keuangan, melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), akan bertanggung jawab atas pengelolaan barang tersebut. DJKN dapat melakukan penjualan lelang, hibah, atau pemanfaatan BMN sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Dasar Hukum:

Ketentuan mengenai penetapan BMN dan pengelolaannya dapat ditemukan dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.04/2008 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 557/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Ekspor
  4. Peraturan Menteri Keuangan lainnya yang terkait dengan pengelolaan BMN

 

Penting untuk diingat:

  • Penyebab Barang Menjadi BMN: Ada beberapa alasan mengapa barang di TPS bisa berakhir menjadi BMN, antara lain: tidak di-declare, tidak diambil oleh importir, ditolak impornya, atau merupakan hasil penyitaan.
  • Hak Importir: Sebelum barang ditetapkan sebagai BMN, importir masih memiliki hak untuk mengajukan permohonan pengeluaran barang dengan memenuhi persyaratan kepabeanan yang berlaku.

 

Kesimpulan:

Barang yang berada di TPS dan kemudian dipindahkan ke TPP dapat menjadi BMN jika tidak diselesaikan kewajibannya sesuai ketentuan. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan bertanggung jawab atas pengelolaan BMN tersebut.

Kalau sudah 60 hari maka barang milik negara dan apakah bisa diselesaikan dengan PIB ?

Kalau sudah 60 hari maka barang milik negara dan apakah bisa diselesaikan dengan PIB ?

Jika barang telah melewati batas waktu 60 hari di TPP dan telah ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN), maka tidak dapat lagi diselesaikan dengan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

Namun, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan:

 

Penetapan BMN:

Tidak otomatis: Barang yang telah berada di TPP selama 60 hari tidak secara otomatis menjadi BMN.
Proses Penetapan: Terdapat proses penetapan BMN yang dilakukan oleh Bea Cukai, melibatkan pemberitahuan kepada pemilik barang dan penilaian terhadap barang tersebut.

Batas Waktu 60 Hari:

Bukan Patokan Mutlak: Batas waktu 60 hari merupakan jangka waktu maksimal bagi Bea Cukai untuk menetapkan barang menjadi BMN.
Dapat Lebih Cepat: Dalam kondisi tertentu, barang dapat ditetapkan sebagai BMN sebelum 60 hari, misalnya jika barang tersebut merupakan barang terlarang, barang yang membahayakan, atau barang yang pemiliknya tidak diketahui.

 

Penyelesaian Sebelum Penetapan BMN:

Masih Dimungkinkan: Sebelum barang ditetapkan sebagai BMN, pemilik barang masih memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kewajiban kepabeanan dan mengeluarkan barang tersebut dari TPP.
Syarat dan Ketentuan: Pemilik barang harus memenuhi semua persyaratan kepabeanan yang berlaku, termasuk pembayaran bea masuk, pajak, dan denda jika ada.

 

Setelah Penetapan BMN:

Tidak Bisa Dikeluarkan dengan PIB: Setelah barang ditetapkan sebagai BMN, pemilik barang tidak dapat lagi mengeluarkannya dengan PIB.
Pengelolaan oleh DJKN: BMN akan dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan.

Kesimpulan:

Batas waktu 60 hari di TPP merupakan faktor penting dalam penetapan BMN. Namun, proses penetapan BMN melibatkan beberapa tahapan dan pemilik barang masih memiliki kesempatan untuk menyelesaikan kewajiban kepabeanan sebelum barang tersebut ditetapkan sebagai BMN.

Pemeriksaan Pabean (Import)

Pemeriksaan Pabean (Import)

Pemeriksaan pabean dalam proses impor memang meliputi dua jenis pemeriksaan utama, yaitu pemeriksaan fisik barang (behandel) dan penelitian dokumen. Keduanya penting untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan dan melindungi kepentingan negara.

 

Penelitian Dokumen:

  • Tujuan: Memastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen pabean yang diajukan oleh importir atau Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).
  • Dokumen yang Diperiksa: Meliputi Pemberitahuan Impor Barang (PIB), invoice, packing list, bill of lading, sertifikat asal barang, dan dokumen pelengkap lainnya.
  • Proses: Petugas Bea Cukai akan meneliti dokumen-dokumen tersebut untuk memastikan kesesuaian antara data yang tercantum dalam dokumen dengan ketentuan yang berlaku.

 

Hasil:

  1. Jika dokumen lengkap dan benar, proses impor dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya.
  2. Jika ada kekurangan atau kesalahan, importir atau PPJK akan diminta untuk melengkapi atau memperbaiki dokumen tersebut.

 

Pemeriksaan Fisik Barang (Behandel):

Tujuan: Memverifikasi kesesuaian antara data dalam dokumen dengan kondisi fisik barang yang diimpor.

  1. Proses: Petugas Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang impor, meliputi:
    Identifikasi: Memeriksa jenis, jumlah, dan spesifikasi barang.
  2. Pencocokan: Mencocokkan kondisi fisik barang dengan data yang tercantum dalam dokumen.
  3. Penilaian: Menentukan nilai pabean barang untuk menghitung bea masuk dan pajak impor.

 

Metode:

  1. Pemeriksaan menyeluruh: Semua barang dalam satu kontainer atau kemasan diperiksa secara detail.
  2. Pemeriksaan acak: Hanya sebagian barang yang dipilih secara acak untuk diperiksa.
  3. Pemeriksaan dengan alat bantu: Menggunakan alat bantu seperti X-ray, scanner, atau anjing pelacak untuk mendeteksi barang terlarang atau barang yang tidak sesuai dengan dokumen.

 

Hasil:

  1. Jika barang sesuai dengan dokumen, proses impor dapat dilanjutkan.
  2. Jika ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran, barang dapat ditahan, disita, atau dikenakan sanksi.

 

Jalur Pemeriksaan:

Bea Cukai menggunakan sistem jalur untuk menentukan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan:

  1. Jalur Hijau: Tidak dilakukan pemeriksaan fisik, hanya penelitian dokumen.
  2. Jalur Kuning: Dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik secara terbatas.
  3. Jalur Merah: Dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.

 

Dasar Hukum Pemeriksaan:

Ketentuan mengenai pemeriksaan pabean di bidang impor diatur dalam:

  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.04/2022 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor

 

Kesimpulan:

Penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang merupakan dua komponen penting dalam pemeriksaan pabean impor. Keduanya bertujuan untuk menjamin kelancaran arus barang, melindungi kepentingan negara, dan mencegah pelanggaran kepabeanan.

Hs Code adalah

Hs Code adalah

HS Code (Harmonized System Code) adalah sistem standarisasi internasional untuk mengklasifikasikan produk perdagangan. Kode ini dikembangkan oleh World Customs Organization (WCO) dan digunakan oleh lebih dari 200 negara di seluruh dunia.

 

Tujuan HS Code:

  • Mempermudah perdagangan internasional: HS Code memberikan bahasa yang sama untuk mengidentifikasi barang di seluruh dunia, sehingga memudahkan proses perdagangan, pengangkutan, dan statistik.
  • Memperjelas pengenaan tarif: HS Code digunakan sebagai dasar untuk menentukan tarif bea masuk, pajak, dan aturan larangan atau pembatasan (lartas) yang berlaku untuk suatu barang.
  • Mempermudah pengumpulan data: HS Code membantu dalam pengumpulan data statistik perdagangan internasional yang akurat dan terstruktur.

 

Struktur HS Code:

HS Code terdiri dari 6 digit angka yang mewakili kategori dan subkategori barang. Banyak negara menambahkan digit tambahan untuk keperluan nasional. Di Indonesia, HS Code terdiri dari 10 digit.

2 digit pertama: Chapter (bab) yang menunjukkan kategori umum barang.
2 digit berikutnya: Heading (pos) yang menunjukkan subkategori barang dalam bab tersebut.
2 digit selanjutnya: Subheading (subpos) yang menunjukkan jenis barang secara lebih spesifik.
4 digit terakhir: Pos tarif nasional yang menunjukkan tarif bea masuk, pajak, dan lartas yang berlaku di Indonesia.

 

Contoh HS Code:

0401.10.10.00 – Susu sapi segar

04: Chapter untuk produk susu dan produk olahan susu; telur unggas; madu alami; produk yang dapat dimakan yang berasal dari hewan, tidak disebutkan atau termasuk di tempat lain.
0401: Heading untuk susu dan krim, tidak terkonsentrasi atau tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lainnya.
0401.10: Subheading untuk susu sapi segar.
0401.10.10.00: Pos tarif nasional untuk susu sapi segar di Indonesia.

 

Cara Menemukan HS Code:

  1. Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI): Referensi utama untuk HS Code di Indonesia.
  2. Website Bea Cukai: Situs web resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyediakan informasi tentang HS Code dan BTKI.
  3. Website WCO: Situs web WCO menyediakan database HS Code internasional.
  4. Jasa Konsultan Kepabeanan: Konsultan kepabeanan dapat membantu Anda menentukan HS Code yang tepat untuk barang Anda.

 

Pentingnya HS Code:

  • Mengklasifikasikan barang dengan benar: HS Code yang salah dapat mengakibatkan pengenaan tarif yang tidak tepat, penundaan pengiriman, bahkan sanksi dari Bea Cukai.
  • Mematuhi peraturan: HS Code membantu importir dan eksportir untuk mematuhi peraturan kepabeanan yang berlaku di negara asal dan negara tujuan.

 

Kesimpulan:

HS Code adalah sistem klasifikasi barang yang penting dalam perdagangan internasional. Dengan menggunakan HS Code yang tepat, Anda dapat memperlancar proses impor dan ekspor, memastikan pengenaan tarif yang benar, dan mematuhi peraturan kepabeanan.

Lartas Adalah

Lartas adalah

Lartas adalah singkatan dari Larangan dan Pembatasan.

Dalam konteks perdagangan internasional, lartas merujuk pada kebijakan pemerintah untuk melarang atau membatasi impor dan ekspor barang tertentu.

 

Tujuan Lartas:

  1. Melindungi keamanan nasional: Mencegah masuknya barang yang dapat membahayakan keamanan negara, seperti senjata api ilegal, bahan peledak, dan narkotika.
  2. Melindungi kesehatan masyarakat: Mencegah masuknya barang yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, seperti obat-obatan terlarang, makanan dan minuman yang tidak memenuhi standar kesehatan, dan bahan kimia berbahaya.
  3. Melindungi lingkungan: Mencegah masuk dan keluarnya barang yang dapat merusak lingkungan, seperti limbah berbahaya, spesies hewan dan tumbuhan yang dilindungi, dan bahan perusak ozon.
  4. Melindungi industri dalam negeri: Mencegah masuknya barang impor yang dapat merugikan industri dalam negeri.
  5. Menerapkan perjanjian internasional: Melaksanakan kewajiban Indonesia dalam perjanjian internasional terkait perdagangan, seperti kesepakatan perdagangan bebas dan konvensi internasional.

 

Jenis Lartas:

Larangan: Barang dilarang untuk diimpor atau diekspor sama sekali.
Pembatasan: Impor atau ekspor barang diperbolehkan dengan persyaratan tertentu, seperti izin khusus, kuota, atau standar kualitas.

 

Contoh Barang Lartas:

  1. Narkotika dan psikotropika
  2. Senjata api dan amunisi
  3. Bahan peledak
  4. Limbah B3
  5. Hewan dan tumbuhan yang dilindungi
  6. Barang-barang yang melanggar hak kekayaan intelektual
  7. Barang-barang yang membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat

 

Ketentuan Lartas:

Ketentuan lartas diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
  • Peraturan Menteri Perdagangan dan peraturan menteri terkait lainnya

 

Informasi Lartas:

  • Situs web INSW: Indonesia National Single Window (INSW) menyediakan informasi tentang lartas dan perizinan impor dan ekspor.
  • Situs web Kementerian/Lembaga terkait: Kementerian Perdagangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan kementerian/lembaga terkait lainnya menyediakan informasi tentang lartas di bidang masing-masing.

 

Penting untuk diingat:

Mematuhi ketentuan lartas: Importir dan eksportir wajib mematuhi ketentuan lartas yang berlaku. Pelanggaran lartas dapat dikenakan sanksi administrasi, pidana, bahkan pencabutan izin usaha.
Mencari informasi terkini: Ketentuan lartas dapat berubah sewaktu-waktu, sehingga penting untuk selalu memperbarui informasi tentang lartas dari sumber-sumber yang terpercaya.

Apa yang dimaksud Pemeriksaan pabean dilakukan secara selektif

Apa yang dimaksud Pemeriksaan pabean dilakukan secara selektif?

Pemeriksaan pabean memang dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan manajemen risiko. Tidak semua barang yang masuk atau keluar wilayah pabean diperiksa secara fisik dan mendalam. Bea Cukai menerapkan sistem seleksi dengan mempertimbangkan berbagai faktor risiko untuk menentukan tingkat pemeriksaan yang diperlukan.

 

Manajemen Risiko dalam Pemeriksaan Pabean:

Bea Cukai menggunakan pendekatan manajemen risiko untuk mengidentifikasi dan menilai risiko yang terkait dengan barang impor atau ekspor. Beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam analisis risiko antara lain:

  1. Jenis barang: Beberapa jenis barang memiliki risiko lebih tinggi daripada yang lain, misalnya barang-barang yang mudah disalahgunakan, barang berbahaya, atau barang yang memiliki nilai tinggi.
  2. Asal dan tujuan pengiriman: Negara asal dan tujuan pengiriman dapat mempengaruhi tingkat risiko.
  3. Riwayat importir/eksportir: Importir atau eksportir yang memiliki riwayat kepatuhan yang baik akan memiliki risiko lebih rendah.
  4. Data dan informasi intelijen: Bea Cukai menggunakan data dan informasi intelijen untuk mengidentifikasi potensi risiko penyelundupan, pelanggaran kepabeanan, atau kegiatan ilegal lainnya.

 

Sistem Jalur:

Berdasarkan analisis risiko, Bea Cukai menerapkan sistem jalur untuk menentukan jenis pemeriksaan yang akan dilakukan:

  • Jalur Hijau: Risiko rendah. Tidak dilakukan pemeriksaan fisik, hanya penelitian dokumen.
  • Jalur Kuning: Risiko sedang. Dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik secara terbatas.
  • Jalur Merah: Risiko tinggi. Dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.

 

Tujuan Pemeriksaan Selektif:

  1. Efisiensi: Mengoptimalkan sumber daya Bea Cukai dengan fokus pada pemeriksaan barang yang memiliki risiko tinggi.
  2. Memperlancar arus barang: Meminimalkan hambatan dalam proses impor dan ekspor, terutama untuk barang-barang yang memiliki risiko rendah.
  3. Meningkatkan kepatuhan: Mendorong importir dan eksportir untuk mematuhi peraturan kepabeanan.

 

Dasar Hukum Pemeriksaan:

Pemeriksaan pabean secara selektif dengan mempertimbangkan manajemen risiko diatur dalam:

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.04/2022 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 222/PMK.01/2021 tentang Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Keuangan

 

Kesimpulan:

Pemeriksaan pabean secara selektif dengan mempertimbangkan manajemen risiko merupakan pendekatan yang efektif untuk meningkatkan efisiensi, memperlancar arus barang, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan.

 

Perbedaan jalur kuning dengan jalur hijau itu apa ?

Sampai tahun 2022, jalur kuning memang berbeda dengan jalur hijau dalam proses pemeriksaan pabean di Indonesia. Namun, sejak tahun 2022, jalur kuning telah dihapus.

Jadi, saat ini hanya ada jalur hijau dan jalur merah.

Sebelumnya (sebelum tahun 2022), perbedaan antara jalur kuning dan jalur hijau adalah sebagai berikut:

Jalur Kuning:

  • Dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
  • Dilakukan pemeriksaan fisik secara terbatas.

Artinya, petugas bea cukai akan memeriksa dokumen impor terlebih dahulu. Jika dokumen lengkap dan benar, SPPB akan diterbitkan. Setelah itu, akan dilakukan pemeriksaan fisik barang secara terbatas.

 

Jalur Hijau:

  • Dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan SPPB.
  • Tidak dilakukan pemeriksaan fisik.

Artinya, petugas bea cukai akan menerbitkan SPPB terlebih dahulu. Setelah barang keluar, dokumen impor akan diteliti. Tidak ada pemeriksaan fisik barang.

 

Mengapa jalur kuning dihapus?

  • Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan.
  • Menghindari duplikasi pemeriksaan.
  • Mempercepat proses pengeluaran barang impor.

 

Saat ini, perbedaan jalur hijau dan merah:

Jalur Hijau:

  1. Risiko rendah.
  2. Tidak dilakukan pemeriksaan fisik.
  3. Hanya dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
  4. Jalur hijau dilakukan penelitian dokumen setelah pengeluaran barang

 

Jalur Merah:

  1. Risiko tinggi.
  2. Dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
  3. Dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB.

 

Jalur prioritas (diatasnya jalur hijau)

Jalur prioritas adalah jalur khusus dalam proses pemeriksaan pabean di Indonesia yang diberikan kepada importir tertentu yang memenuhi kriteria tertentu. Jalur ini memang berada “di atas” jalur hijau, artinya lebih cepat dan mudah dibandingkan jalur hijau.

 

Keuntungan Jalur Prioritas:

  1. SPPB langsung terbit: Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) diterbitkan tanpa dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen.
  2. Proses cepat: Barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean dengan lebih cepat.
  3. Efisiensi waktu dan biaya: Mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan untuk proses impor.
  4. Pemeriksaan ketika pos clearance

 

Kriteria Importir Jalur Prioritas:

Mitra Utama (MITA) Kepabeanan: Importir yang telah mendapatkan status MITA dari Bea Cukai. Status MITA diberikan kepada importir yang memenuhi persyaratan tertentu, seperti:
Memiliki reputasi baik dan kepatuhan tinggi terhadap peraturan kepabeanan.
Memiliki sistem manajemen yang baik.
Memiliki volume impor yang signifikan.
Importir yang ditetapkan oleh pemerintah: Pemerintah dapat menetapkan importir tertentu untuk mendapatkan jalur prioritas, misalnya importir barang-barang strategis atau importir yang mendukung program pemerintah.

 

Jenis Jalur Prioritas:

  • MITA Prioritas: Untuk importir yang telah mendapatkan status MITA Kepabeanan.
  • MITA Non-Prioritas: Untuk importir yang telah mendapatkan status MITA Kepabeanan, tetapi tetap dilakukan pemeriksaan untuk barang re-impor, barang yang terkena pemeriksaan acak, dan barang berisiko tinggi.

Status MITA Kepabeanan adalah

Status MITA Kepabeanan adalah

Status MITA Kepabeanan adalah status istimewa yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) kepada importir dan/atau eksportir yang memenuhi kriteria tertentu. MITA merupakan singkatan dari Mitra Utama Kepabeanan.

 

Tujuan Pemberian Status MITA:

  1. Meningkatkan kepatuhan: Mendorong importir/eksportir untuk meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan.
  2. Memperlancar arus barang: Memberikan kemudahan dan percepatan layanan kepabeanan bagi importir/eksportir yang terpercaya.
  3. Meningkatkan daya saing: Membantu importir/eksportir meningkatkan daya saing di pasar internasional.

 

Kriteria Importir/Eksportir MITA:

Secara umum, kriteria yang harus dipenuhi antara lain:

  1. Kepatuhan: Memiliki riwayat kepatuhan yang baik terhadap peraturan kepabeanan dan cukai.
  2. Sistem manajemen: Menerapkan sistem manajemen yang baik dalam kegiatan impor/ekspor.
  3. Keuangan: Memiliki kondisi keuangan yang sehat.
  4. Keamanan: Menerapkan sistem keamanan yang memadai untuk mencegah penyelundupan dan pelanggaran kepabeanan.
  5. Tanggung jawab sosial: Memiliki komitmen terhadap tanggung jawab sosial perusahaan.

 

Kriteria Khusus Importir:

  • Jenis barang: Tidak mengimpor barang larangan dan pembatasan (lartas) tertentu.
  • Nilai impor: Memiliki nilai impor tertentu dalam periode tertentu.
  • Penggunaan sistem IT: Menggunakan sistem IT yang terintegrasi dengan sistem Bea Cukai.

 

Kriteria Khusus Eksportir:

  • Jenis barang: Tidak mengekspor barang larangan dan pembatasan (lartas) tertentu.
  • Nilai ekspor: Memiliki nilai ekspor tertentu dalam periode tertentu.
  • Pemenuhan kewajiban: Memenuhi kewajiban ekspor, seperti penyerahan dokumen dan pelaporan.

 

Manfaat Status MITA:

  1. Kemudahan layanan: Mendapatkan layanan prioritas dan percepatan dalam proses kepabeanan.
  2. Pengurangan pemeriksaan: Kemungkinan lebih kecil untuk menjalani pemeriksaan fisik.
  3. Jalur khusus: Akses ke jalur khusus di pelabuhan/bandara.
  4. Contact person: Memiliki contact person khusus di Bea Cukai.
  5. Reputasi: Meningkatkan reputasi dan citra perusahaan.

 

Cara Mendapatkan Status MITA:

  1. Memenuhi kriteria: Pastikan perusahaan Anda memenuhi semua kriteria yang telah ditetapkan.
  2. Mengajukan permohonan: Ajukan permohonan secara online melalui portal Bea Cukai.
  3. Verifikasi dan validasi: Bea Cukai akan melakukan verifikasi dan validasi data dan dokumen perusahaan.
  4. Penetapan: Jika memenuhi persyaratan, Bea Cukai akan menerbitkan surat keputusan penetapan sebagai MITA Kepabeanan.

 

Dasar Hukum MITA:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.04/2023 tentang Mitra Utama Kepabeanan

Status MITA Kepabeanan adalah bentuk apresiasi dari Bea Cukai kepada importir/eksportir yang memiliki kepatuhan tinggi dan berkontribusi positif terhadap perekonomian Indonesia. Dengan mendapatkan status MITA, perusahaan dapat menikmati berbagai kemudahan dan fasilitas dalam proses kepabeanan.

 

Perbedaan Jalur Prioritas dengan Jalur Hijau:

Jalur Hijau:
Dilakukan penelitian dokumen setelah penerbitan SPPB.
Tidak dilakukan pemeriksaan fisik.

 

Jalur Prioritas:
Tidak dilakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik.
SPPB langsung terbit.

 

Dasar Hukum Jalur Prioritas:

Ketentuan mengenai jalur prioritas diatur dalam:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.04/2022 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-25/BC/2007 tentang Penetapan Importir Jalur Prioritas

 

Kesimpulan:

Jalur prioritas merupakan fasilitas yang diberikan kepada importir tertentu untuk mempercepat proses impor. Jalur ini memberikan kemudahan dan efisiensi bagi importir yang telah terbukti memiliki kepatuhan tinggi terhadap peraturan kepabeanan.

Jalur kuning sudah tidak ada lagi dalam proses pemeriksaan pabean di Indonesia. Saat ini, hanya ada jalur hijau dan jalur merah yang dibedakan berdasarkan tingkat risiko dan jenis pemeriksaan yang dilakukan.

 

Pos clearance adalah

Pos clearance adalah tahap akhir dalam proses impor atau ekspor, di mana Bea Cukai melakukan pemeriksaan akhir untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan sebelum barang dilepaskan atau dikirim.

 

Pemeriksaan ketika pos clearance meliputi:

  1. Verifikasi dokumen: Memeriksa kesesuaian dokumen yang diajukan dengan data dalam sistem Bea Cukai.
  2. Pemeriksaan fisik selektif: Melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang secara selektif, berdasarkan analisis risiko.
  3. Pencocokan data: Memastikan kesesuaian antara data dokumen, hasil pemeriksaan fisik, dan data dalam sistem.

 

AEO (Authorized Economic Operator) adalah

AEO adalah program sertifikasi yang diberikan oleh Bea Cukai kepada pelaku usaha yang memenuhi standar kepabeanan tertentu. AEO mendapatkan berbagai kemudahan dan fasilitas dalam proses kepabeanan, termasuk saat pos clearance. AEO (Autorize Economic Operator) untuk importir dengan tingkat kepatuhan tinggi dan resiko rendah.

  Undang-Undang Kepabeanan No 17 Tahun 2006: Materi PPJK

 

Keuntungan AEO saat pos clearance:

  1. Prioritas pemeriksaan: AEO mendapatkan prioritas dalam proses pemeriksaan, sehingga waktu tunggu lebih singkat.
  2. Pengurangan pemeriksaan fisik: AEO memiliki kemungkinan lebih kecil untuk menjalani pemeriksaan fisik karena dianggap memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi.
  3. Jalur khusus: Beberapa kantor Bea Cukai menyediakan jalur khusus untuk AEO, sehingga proses pos clearance lebih cepat.
  4. Contact person: AEO memiliki contact person khusus di Bea Cukai untuk memudahkan komunikasi dan koordinasi.

 

Jenis Pemeriksaan untuk AEO:

Meskipun AEO mendapatkan kemudahan, Bea Cukai tetap melakukan pemeriksaan pada pos clearance untuk AEO, antara lain:

  1. Pemeriksaan dokumen: Memastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen.
  2. Pemeriksaan fisik selektif: Pemeriksaan fisik dapat dilakukan secara acak atau jika terdapat indikasi risiko.
  3. Audit pos clearance: Bea Cukai dapat melakukan audit setelah barang dilepaskan untuk memverifikasi kepatuhan AEO.

 

Dasar Hukum AEO:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/PMK.04/2023 tentang Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator)

Kesimpulan:

AEO mendapatkan kemudahan dan prioritas dalam proses pemeriksaan pada pos clearance. Namun, Bea Cukai tetap melakukan pemeriksaan untuk menjamin kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan.

 

Apa itu penerbitan SPPB

SPPB adalah singkatan dari Surat Persetujuan Pengeluaran Barang.

Dalam konteks kepabeanan di Indonesia, SPPB adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bea Cukai sebagai persetujuan untuk mengeluarkan barang dari kawasan pabean. Dokumen ini menjadi bukti bahwa barang impor telah memenuhi persyaratan kepabeanan dan diizinkan untuk beredar di dalam negeri.

 

Penerbitan SPPB:

SPPB diterbitkan setelah importir atau Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) :

  1. Mengajukan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
  2. Melengkapi dokumen-dokumen pendukung.
  3. Memenuhi kewajiban pembayaran bea masuk, pajak impor, dan pungutan lainnya.
  4. Barang telah melalui proses pemeriksaan pabean dan dinyatakan memenuhi persyaratan.

 

Jenis SPPB:

  1. SPPB untuk Impor Konsumsi: Untuk barang yang akan digunakan di dalam negeri.
  2. SPPB untuk Impor Sementara: Untuk barang yang akan digunakan di dalam negeri untuk sementara waktu, kemudian akan diekspor kembali.
  3. SPPB untuk Re-ekspor: Untuk barang yang akan diekspor kembali setelah menjalani proses tertentu di dalam negeri, seperti perbaikan atau pengolahan.

 

Fungsi SPPB:

  1. Bukti legalitas: SPPB merupakan bukti bahwa barang impor telah masuk ke Indonesia secara legal dan telah memenuhi semua ketentuan kepabeanan.
  2. Dokumen pengeluaran barang: SPPB digunakan untuk mengeluarkan barang dari kawasan pabean, seperti pelabuhan, bandara, atau Tempat Penimbunan Sementara (TPS).
  3. Dokumen pengangkutan: SPPB dapat digunakan sebagai dokumen pengangkutan untuk memindahkan barang dari tempat penimbunan ke tempat tujuan.
  4. Bukti pembayaran: SPPB mencantumkan informasi tentang pembayaran bea masuk, pajak, dan pungutan lainnya yang telah dilunasi oleh importir.

 

Informasi dalam SPPB:

  1. Nomor SPPB
  2. Tanggal penerbitan
  3. Identitas importir
  4. Jenis barang
  5. Jumlah dan nilai barang
  6. Bea masuk dan pajak yang dibayar
  7. Nomor PIB
  8. Masa berlaku SPPB

 

Pentingnya SPPB:

SPPB merupakan dokumen penting dalam proses impor. Tanpa SPPB, barang impor tidak dapat dikeluarkan dari kawasan pabean dan tidak dapat beredar di dalam negeri. Penerbitan SPPB menandakan selesainya proses kepabeanan di bidang impor dan memberikan izin kepada importir untuk mengeluarkan barang dari kawasan pabean.

 

Apa yang dimaksud dengan SPTNP duluan STPNP belakangan ?

Dalam proses penerbitan surat ketetapan pabean, SPTNP (Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean) memang umumnya terbit lebih dulu daripada STPNP (Surat Tagihan Pajak dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak).

 

Berikut alur penerbitannya:

 

SPTNP:

  • Diterbitkan setelah Bea Cukai melakukan penelitian dokumen dan/atau pemeriksaan fisik barang impor.
  • Berisi penetapan tentang tarif dan/atau nilai pabean yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor.
  • Menjadi dasar untuk menghitung jumlah kekurangan pembayaran yang harus dilunasi oleh importir.

 

STPNP:

  • Diterbitkan berdasarkan SPTNP.
  • Berisi tagihan atas kekurangan pembayaran bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi yang harus dibayar importir.
  • Merupakan dokumen yang digunakan untuk melakukan pembayaran ke kas negara.

 

Misalkan, setelah memeriksa dokumen dan barang impor, Bea Cukai menemukan bahwa importir menggunakan HS Code yang salah, sehingga bea masuk yang dibayar kurang. Bea Cukai akan menerbitkan SPTNP untuk menetapkan tarif yang benar dan menghitung jumlah kekurangan bea masuk. Setelah itu, Bea Cukai akan menerbitkan STPNP sebagai tagihan resmi yang harus dibayar oleh importir.

 

Mengapa SPTNP terbit lebih dulu?

  • SPTNP merupakan dasar perhitungan: STPNP tidak dapat diterbitkan tanpa adanya SPTNP karena SPTNP menetapkan tarif dan/atau nilai pabean yang menjadi dasar perhitungan kekurangan pembayaran.
  • Memberikan kesempatan kepada importir: Dengan diterbitkannya SPTNP terlebih dahulu, importir diberikan kesempatan untuk memahami alasan kekurangan pembayaran dan melakukan koreksi jika diperlukan.

 

Apa yang dimaksud STPNP tidak dapat diterbitkan tanpa adanya SPTNP ?

SPTNP memang menjadi dasar perhitungan bagi STPNP, sehingga STPNP tidak dapat diterbitkan tanpa adanya SPTNP.

Berikut penjelasan lebih detailnya:

 

SPTNP (Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean):

  • Menetapkan tarif dan/atau nilai pabean yang benar atas barang impor.
  • Menunjukkan adanya kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor.
  • Menjadi dasar hukum untuk menagih kekurangan pembayaran tersebut.

 

STPNP (Surat Tagihan Pajak dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak):

  • Merupakan tagihan resmi atas kekurangan pembayaran bea masuk, pajak, dan/atau sanksi administrasi.
  • Dihitung berdasarkan SPTNP.
  • Digunakan sebagai dasar untuk melakukan pembayaran ke kas negara.

 

Tanpa SPTNP, Bea Cukai tidak memiliki dasar hukum untuk menerbitkan STPNP. SPTNP adalah dokumen yang menyatakan bahwa terdapat kekurangan pembayaran dan menetapkan jumlah yang harus dibayar.

 

Analogi SPTNP dan STPNP:

Bayangkan Anda makan di restoran. Setelah selesai makan, Anda meminta tagihan (STPNP). Namun, restoran tidak bisa memberikan tagihan begitu saja tanpa mengetahui apa yang Anda pesan dan berapa harga setiap menu (SPTNP).

 

Kesimpulan:

  • SPTNP merupakan dokumen yang krusial dalam proses penetapan dan penagihan bea masuk dan pajak impor. Ia menjadi dasar perhitungan bagi STPNP dan memberikan landasan hukum bagi Bea Cukai untuk menagih kekurangan pembayaran dari importir.
  • SPTNP dan STPNP merupakan dua dokumen penting dalam proses penetapan dan penagihan bea masuk dan pajak impor. SPTNP terbit lebih dulu sebagai dasar perhitungan, sedangkan STPNP merupakan tagihan resmi yang harus dibayar oleh importir.

 

TEU adalah

TEU adalah singkatan dari Twenty-foot Equivalent Unit. Ini adalah satuan ukuran standar yang digunakan untuk mengukur kapasitas kapal kontainer dan terminal kontainer. Satu TEU setara dengan satu kontainer standar dengan panjang 20 kaki (6,1 meter). Meskipun kontainer hadir dalam berbagai ukuran, seperti 40 kaki, 45 kaki, bahkan 53 kaki, kapasitasnya tetap diukur dalam TEU. Misalnya, satu kontainer 40 kaki setara dengan 2 TEU.

Penggunaan TEU:

  • Kapasitas kapal: Kapasitas kapal kontainer diukur dalam TEU, menunjukkan berapa banyak kontainer 20 kaki yang dapat diangkut oleh kapal tersebut.
  • Kapasitas terminal: Kapasitas terminal kontainer juga diukur dalam TEU, menunjukkan berapa banyak kontainer 20 kaki yang dapat ditampung oleh terminal tersebut.
  • Statistik perdagangan: TEU digunakan dalam statistik perdagangan internasional untuk mengukur volume perdagangan barang yang diangkut dengan kontainer.
  • Biaya pengiriman: Biaya pengiriman kontainer seringkali dihitung berdasarkan jumlah TEU.

 

Contoh:

Sebuah kapal kontainer dengan kapasitas 10.000 TEU dapat mengangkut 10.000 kontainer 20 kaki atau 5.000 kontainer 40 kaki.
Sebuah terminal kontainer dengan kapasitas 1 juta TEU dapat menampung 1 juta kontainer 20 kaki.

 

Keuntungan menggunakan TEU:

  • Standarisasi: TEU menyediakan satuan ukuran standar yang diakui secara internasional, sehingga memudahkan perbandingan kapasitas dan perhitungan biaya.
  • Kemudahan: TEU menyederhanakan perhitungan kapasitas meskipun kontainer memiliki berbagai ukuran.

 

TEU adalah satuan ukuran penting dalam industri pelayaran dan perdagangan internasional. Dengan menggunakan TEU, kita dapat mengukur kapasitas kapal dan terminal kontainer, serta mengukur volume perdagangan barang yang diangkut dengan kontainer.

 

Notul (Nota Pembetulan) adalah

Notul, atau yang lebih formal disebut Nota Pembetulan, adalah dokumen yang digunakan dalam proses kepabeanan di Indonesia untuk membetulkan kesalahan atau kekurangan dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Meskipun istilah “notul” sering digunakan dalam praktik, istilah resmi yang digunakan dalam peraturan kepabeanan adalah “nota pembetulan”.

 

Kapan Notul Digunakan?

Notul digunakan ketika terdapat kesalahan atau kekurangan dalam PIB yang telah mendapat nomor pendaftaran, tetapi belum diterbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

 

Kesalahan atau kekurangan tersebut dapat berupa:

  • Kesalahan data: Kesalahan dalam pengisian data importir, jenis barang, jumlah barang, HS Code, nilai pabean, dan sebagainya.
  • Kekurangan dokumen: Kekurangan dokumen pelengkap pabean yang dipersyaratkan.
  • Ketidaksesuaian: Ketidaksesuaian antara data dalam PIB dengan dokumen pelengkap atau kondisi fisik barang.

 

Tujuan Notul:

  • Memperbaiki PIB: Memungkinkan importir untuk memperbaiki kesalahan atau kekurangan dalam PIB sebelum SPPB diterbitkan.
  • Memperlancar proses impor: Mencegah penolakan PIB dan mempercepat proses pengeluaran barang.
  • Meminimalkan risiko: Mengurangi risiko kesalahan yang dapat mengakibatkan penundaan, sanksi, atau permasalahan hukum di kemudian hari.

 

Prosedur Pengajuan Notul:

  1. Identifikasi kesalahan: Importir atau PPJK mengidentifikasi kesalahan atau kekurangan dalam PIB.
  2. Pengajuan notul: Importir atau PPJK mengajukan permohonan notul kepada Bea Cukai dengan melampirkan dokumen-dokumen pendukung yang diperlukan.
  3. Penelitian notul: Bea Cukai meneliti permohonan notul dan dokumen pendukung.
  4. Persetujuan/penolakan: Bea Cukai menyetujui atau menolak permohonan notul.
  5. Penerbitan notul: Jika disetujui, Bea Cukai menerbitkan notul yang berisi perbaikan atau penambahan data dalam PIB.

 

Hal yang Perlu Diperhatikan Notul:

  1. Batas waktu: Notul harus diajukan sebelum SPPB diterbitkan.
  2. Jenis kesalahan: Tidak semua kesalahan dapat diperbaiki dengan notul. Kesalahan yang bersifat fundamental atau mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak harus diselesaikan dengan mekanisme lain, seperti pembetulan PIB atau SPTNP (Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean).
  3. Dokumen pendukung: Pastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen pendukung yang diajukan bersama notul.

 

Dasar Hukum Notul:

Ketentuan mengenai notul diatur dalam:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.04/2022 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor

Notul adalah mekanisme penting dalam proses impor yang memungkinkan importir untuk memperbaiki kesalahan atau kekurangan dalam PIB. Dengan memanfaatkan notul secara tepat, importir dapat memperlancar proses impor dan meminimalkan risiko permasalahan kepabeanan.

 

DNP (deklarasi Nilai Pabean) adalah

DNP (Deklarasi Nilai Pabean) adalah pernyataan yang dibuat oleh importir tentang fakta-fakta yang berkaitan dengan transaksi barang yang diimpor. Pernyataan ini disertai dengan dokumen pendukung yang membuktikan kebenaran nilai transaksi tersebut.

 

Tujuan DNP:

  1. Menentukan nilai pabean: DNP digunakan sebagai dasar untuk menentukan nilai pabean barang impor, yang selanjutnya digunakan untuk menghitung bea masuk dan pajak impor.
  2. Mencegah undervaluasi: DNP membantu mencegah praktik undervaluasi, yaitu menyatakan nilai barang impor lebih rendah dari nilai sebenarnya untuk menghindari pembayaran bea masuk dan pajak.
  3. Transparansi: DNP meningkatkan transparansi dalam transaksi impor dan membantu Bea Cukai dalam melakukan pengawasan.

 

Kapan DNP Diperlukan?

DNP diperlukan ketika Bea Cukai meragukan kebenaran atau keakuratan nilai pabean yang dinyatakan oleh importir dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB). DNP terkait dengan penelitian dokumen.

 

Beberapa kondisi yang dapat memicu keraguan Bea Cukai antara lain:

  • Harga barang tidak wajar: Harga barang impor jauh lebih rendah dari harga pasar.
  • Hubungan istimewa: Terdapat hubungan istimewa antara importir dan eksportir, seperti perusahaan induk dan anak perusahaan.
  • Informasi yang tidak konsisten: Terdapat ketidaksesuaian antara informasi dalam dokumen impor.

 

Isi DNP:

  1. Identitas importir
  2. Nomor dan tanggal PIB
  3. Jenis barang
    Rincian transaksi: harga barang, biaya pengiriman, asuransi, dan biaya lainnya
    Dokumen pendukung: invoice, packing list, bill of lading, kontrak penjualan, dan dokumen lainnya yang relevan

 

Metode Penentuan Nilai Pabean:

Dalam menentukan nilai pabean, Bea Cukai menggunakan 6 metode yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.04/2022 tentang Nilai Pabean. Metode pertama adalah nilai transaksi, yaitu harga yang sebenarnya dibayar atau harus dibayar untuk barang yang dijual untuk diekspor ke Indonesia. Jika nilai transaksi tidak dapat digunakan, maka Bea Cukai akan menggunakan metode lainnya secara berurutan.

 

Pentingnya DNP:

  • Akurasi nilai pabean: DNP membantu memastikan akurasi nilai pabean, sehingga bea masuk dan pajak dihitung dengan benar.
  • Kepatuhan: DNP mendorong importir untuk mematuhi peraturan kepabeanan dan menghindari praktik undervaluasi.
  • Kelancaran proses impor: DNP yang lengkap dan akurat dapat memperlancar proses impor dan mencegah penundaan.

 

Kesimpulan:

DNP adalah dokumen penting dalam proses impor yang berfungsi untuk menyatakan nilai pabean barang secara transparan dan akurat. Dengan menyampaikan DNP yang benar, importir dapat memenuhi kewajibannya dan memperlancar proses impor.

 

INP (Informasi Nilai Pabean) adalah

INP (Informasi Nilai Pabean) adalah pemberitahuan dari Bea Cukai kepada importir untuk menyerahkan pernyataan dan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam rangka penentuan nilai pabean barang impor. INP Tambahan dokumen terutama nilai pabean.

 

Tujuan INP:

  • Meminta klarifikasi: Bea Cukai menerbitkan INP ketika mereka meragukan kebenaran atau keakuratan nilai pabean yang dinyatakan oleh importir dalam PIB.
  • Memperoleh informasi tambahan: INP meminta importir untuk memberikan informasi lebih lanjut tentang transaksi impor, seperti harga barang, biaya pengiriman, asuransi, dan dokumen pendukung.
  • Mencegah undervaluasi: INP membantu Bea Cukai mencegah praktik undervaluasi, yaitu menyatakan nilai barang impor lebih rendah dari nilai sebenarnya untuk menghindari pembayaran bea masuk dan pajak.

 

Kapan INP Diterbitkan?

INP diterbitkan ketika Bea Cukai menemukan indikasi:

  1. Harga barang tidak wajar: Harga barang impor jauh lebih rendah dari harga pasar.
  2. Hubungan istimewa: Terdapat hubungan istimewa antara importir dan eksportir.
  3. Informasi tidak konsisten: Terdapat ketidaksesuaian antara informasi dalam dokumen impor.
  4. Dokumen tidak lengkap: Importir tidak menyertakan dokumen pendukung yang cukup untuk membuktikan nilai transaksi.

 

Isi INP:

  1. Identitas importir
  2. Nomor dan tanggal PIB
  3. Jenis barang
  4. Alasan penerbitan INP
  5. Informasi dan dokumen yang diminta
  6. Batas waktu penyampaian

 

Kewajiban Importir:

Setelah menerima INP, importir wajib:

  1. Menyampaikan DNP (Deklarasi Nilai Pabean): Memberikan pernyataan tertulis tentang fakta-fakta yang berkaitan dengan transaksi barang impor.
  2. Melengkapi dokumen: Menyerahkan dokumen pendukung yang diminta oleh Bea Cukai, seperti invoice, packing list, bill of lading, kontrak penjualan, dan bukti pembayaran.
  3. Memenuhi batas waktu: Menyerahkan DNP dan dokumen pendukung dalam batas waktu yang ditentukan dalam INP.

 

Hubungan INP dan DNP:

  • INP adalah permintaan dari Bea Cukai kepada importir.
  • DNP adalah tanggapan dari importir atas INP.

 

Dasar Hukum Nilai Pabean:

Ketentuan mengenai INP diatur dalam:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.04/2022 tentang Nilai Pabean

INP merupakan instrumen Bea Cukai untuk memastikan kebenaran nilai pabean barang impor dan mencegah praktik undervaluasi. Importir wajib menanggapi INP dengan menyampaikan DNP dan dokumen pendukung yang diperlukan.

 

Ketika Pemeriksaan Pabean ditemukan barangnya A 10 unit kedapatan A 15 unit maka penyelesaiannya bagaimana ?

Jika dalam pemeriksaan pabean ditemukan kelebihan barang dibandingkan yang diberitahukan dalam dokumen impor, maka importir dapat dikenakan sanksi berupa denda atau bahkan pidana.

Dalam kasus Anda, di mana barang A yang diberitahukan 10 unit ternyata ditemukan 15 unit, terdapat kelebihan barang sebanyak 5 unit.

Penyelesaiannya:

Denda:

  1. Bea Cukai akan menghitung bea masuk yang seharusnya dibayar untuk 5 unit barang A yang tidak diberitahukan.
  2. Importir dikenakan denda sebesar 100% sampai dengan 1000% dari bea masuk yang seharusnya dibayar untuk kelebihan barang tersebut.
  3. Persentase denda ditentukan berdasarkan tingkat kesalahan dan faktor-faktor lain yang dipertimbangkan oleh Bea Cukai.

 

Pidana:

  1. Dalam kasus tertentu, kelebihan barang dapat dianggap sebagai tindak pidana penyelundupan.
  2. Importir dapat dijerat dengan Undang-Undang Kepabeanan dengan ancaman pidana penjara dan denda yang lebih berat.
  3. Pidana umumnya dikenakan jika kelebihan barang cukup signifikan, terdapat indikasi kesengajaan untuk menyelundupkan barang, atau barang tersebut termasuk dalam kategori barang larangan atau pembatasan.

 

Faktor yang Mempengaruhi Jenis Sanksi:

  1. Jumlah kelebihan barang: Semakin banyak kelebihan barang, semakin besar kemungkinan dikenakan sanksi pidana.
  2. Jenis barang: Barang-barang tertentu, seperti narkotika, senjata api, atau barang yang dilarang atau dibatasi, akan lebih berisiko dikenakan sanksi pidana.
  3. Kesengajaan: Jika terdapat indikasi kesengajaan untuk menyelundupkan barang, maka sanksi pidana akan lebih mudah dikenakan.
  4. Riwayat importir: Importir yang memiliki riwayat kepatuhan yang baik kemungkinan besar hanya akan dikenakan denda.

 

Dasar Hukum Denda dan Pidana:

Ketentuan mengenai sanksi denda dan pidana dalam kasus kelebihan barang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.04/2022 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor

 

Kelebihan barang dalam impor merupakan pelanggaran kepabeanan yang dapat dikenakan sanksi berupa denda atau pidana. Bea Cukai akan mempertimbangkan berbagai faktor untuk menentukan jenis sanksi yang tepat.

 

Jika salah kirim barang, salah jenis barang atau importir tidak diketahui bagaimana prosesnya ?

Mari kita bahas satu per satu bagaimana prosesnya jika terjadi salah kirim barang, salah jenis barang, atau importir tidak diketahui dalam proses impor.

 

Salah Kirim Barang:

  • Identifikasi: Pertama, perlu dipastikan apakah kesalahan terjadi di pihak pengirim (shipper), pengangkut (carrier), atau pihak lain yang terlibat dalam proses pengiriman.
  • Koordinasi: Importir harus segera menghubungi pengirim dan pengangkut untuk mengklarifikasi kesalahan dan mencari solusi.

 

Pilihan: Beberapa pilihan yang mungkin diambil:

  1. Pengembalian barang: Barang dikembalikan ke pengirim.
  2. Penjualan barang: Jika memungkinkan, barang dijual di Indonesia dengan persetujuan Bea Cukai.
  3. Re-ekspor: Barang diekspor kembali ke negara asal atau negara lain.
  4. Peran Bea Cukai: Bea Cukai akan membantu memfasilitasi proses penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  5. Biaya: Biaya yang timbul akibat kesalahan pengiriman umumnya ditanggung oleh pihak yang bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.

 

Salah Jenis Barang:

  • Identifikasi: Sama seperti salah kirim barang, perlu diidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas kesalahan tersebut.
  • Koordinasi: Importir harus segera menghubungi pengirim dan pengangkut.

 

Pilihan:

  1. Pengembalian: Barang dikembalikan ke pengirim.
  2. Penjualan: Jika memungkinkan, barang dijual di Indonesia dengan persetujuan Bea Cukai.
  3. Re-ekspor: Barang diekspor kembali.
  4. Pemusnahan: Dalam kasus tertentu, barang mungkin harus dimusnahkan jika tidak memenuhi persyaratan atau berbahaya.
  5. Peran Bea Cukai: Bea Cukai akan mengawasi proses penyelesaian dan memastikan kesesuaian dengan peraturan.

 

Importir Tidak Diketahui:

  • Penelusuran: Bea Cukai akan mencoba menelusuri importir yang sebenarnya melalui data dan informasi yang tersedia, seperti data pengiriman, dokumen pengangkutan, dan lain-lain.
  • Pengumuman: Jika importir tidak dapat ditemukan, Bea Cukai akan mengumumkan barang tersebut melalui media massa atau website resmi.
  • Penetapan BMN: Jika dalam jangka waktu tertentu importir tetap tidak diketahui, barang tersebut dapat ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN) dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

 

Dokumentasi: Dokumentasi yang lengkap dan akurat sangat penting dalam menghadapi situasi seperti ini.
Komunikasi: Komunikasi yang baik antara importir, pengirim, pengangkut, dan Bea Cukai sangat penting untuk mencari solusi yang tepat.
Kepatuhan: Mematuhi peraturan kepabeanan dan prosedur impor yang benar dapat membantu mencegah terjadinya kesalahan dan permasalahan dalam proses impor.

 

Apakah Periksa fisik ekspor/impor hanya untuk barang-barang tertentu saja ?

Pemeriksaan fisik barang ekspor memang dilakukan secara selektif dan tidak semua barang ekspor diperiksa. Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang ekspor dalam hal-hal tertentu, di antaranya:

 

Barang ekspor yang akan diimpor kembali (reimpor):

  • Barang yang diekspor untuk tujuan diperbaiki, diproses, atau dirakit di luar negeri, dan kemudian akan diimpor kembali ke Indonesia.
  • Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi barang tersebut dan mencatat kondisinya sebelum diekspor, sehingga memudahkan proses reimpor nantinya.

 

Barang ekspor yang pada saat impornya ditujukan untuk diekspor kembali (re-ekspor):

  • Barang yang diimpor dengan tujuan untuk diekspor kembali, misalnya barang yang transit di Indonesia.
  • Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memverifikasi kesesuaian barang dengan dokumen impor dan memastikan tidak ada perubahan pada barang tersebut selama berada di Indonesia.

 

Barang ekspor yang mendapatkan fasilitas:

  • Barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan tertentu, seperti pembebasan bea masuk atau keringanan pajak.
  • Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memverifikasi kesesuaian barang dengan persyaratan fasilitas yang diberikan.

 

Barang ekspor yang terkena larangan dan pembatasan (lartas):

  • Barang yang termasuk dalam kategori lartas, seperti barang yang dilarang atau dibatasi ekspornya.
  • Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan barang tersebut memenuhi ketentuan lartas dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

 

Barang ekspor berdasarkan rekomendasi instansi terkait:

  • Barang yang memerlukan pemeriksaan fisik berdasarkan rekomendasi dari instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, atau Kementerian Kesehatan.
  • Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan barang tersebut memenuhi standar dan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi terkait.

 

Barang ekspor yang dipilih secara acak (random):

  • Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik secara acak terhadap barang ekspor, meskipun tidak termasuk dalam kategori di atas.
  • Hal ini dilakukan untuk meningkatkan pengawasan dan mencegah pelanggaran kepabeanan.

 

Tujuan Pemeriksaan Fisik Ekspor:

  1. Memverifikasi kesesuaian: Memastikan kesesuaian antara data dalam dokumen ekspor dengan kondisi fisik barang.
  2. Mencegah pelanggaran: Mencegah penyelundupan, undervaluasi, dan pelanggaran kepabeanan lainnya.
  3. Melindungi kepentingan nasional: Melindungi keamanan, kesehatan, dan lingkungan.
  4. Memenuhi ketentuan lartas: Memastikan barang ekspor memenuhi ketentuan lartas.

 

Pemeriksaan fisik barang ekspor dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan manajemen risiko. Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang ekspor dalam hal-hal tertentu, seperti barang reimpor, re-ekspor, barang yang mendapatkan fasilitas, barang lartas, dan barang berdasarkan rekomendasi instansi terkait.

 

Apakah periksa fisik untuk ekspor ?

Pemeriksaan fisik untuk ekspor tidak selalu dilakukan. Bea Cukai menerapkan sistem selektif berdasarkan manajemen risiko dalam melakukan pemeriksaan fisik barang ekspor. Artinya, hanya barang-barang ekspor tertentu yang akan diperiksa secara fisik. Untuk ekspor menambah devisa negara sehingga jarang dihambat kecuali eksport untuk pembatasan

 

Kriteria Barang Ekspor yang Diperiksa Fisik:

Berikut beberapa kriteria barang ekspor yang akan diperiksa fisik oleh Bea Cukai:

 

Barang ekspor yang akan diimpor kembali (reimpor):

Contoh: Barang yang diekspor untuk diperbaiki di luar negeri dan akan diimpor kembali ke Indonesia.

 

Barang ekspor yang pada saat impornya ditujukan untuk diekspor kembali (re-ekspor):

Contoh: Barang transit yang hanya melewati Indonesia.

 

Barang ekspor yang mendapatkan fasilitas:

Contoh: Barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk.

 

Barang ekspor yang terkena larangan dan pembatasan (lartas):

Contoh: Barang-barang yang dilarang atau dibatasi ekspornya.

 

Barang ekspor berdasarkan rekomendasi instansi terkait:

Contoh: Barang yang memerlukan pemeriksaan dari Kementerian Pertanian.

 

Barang ekspor yang dipilih secara acak (random):

Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik secara acak untuk meningkatkan pengawasan.

 

Apakah Barang kena bea keluar biasanya barang habis pakai seperti sumber daya alam?

Memang benar bahwa sumber daya alam merupakan salah satu jenis barang yang dikenakan bea keluar. Namun, tidak semua barang kena bea keluar adalah barang habis pakai.

Bea keluar dikenakan pada barang-barang ekspor tertentu dengan tujuan:

  1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri: Bea keluar dapat digunakan untuk mengendalikan ekspor barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri, sehingga pasokannya tetap terjaga.
  2. Melindungi kelestarian sumber daya alam: Bea keluar dapat diterapkan pada ekspor sumber daya alam untuk mendorong pemanfaatan yang berkelanjutan dan mencegah eksploitasi berlebihan.
  3. Mengendalikan harga komoditas: Bea keluar dapat digunakan untuk mengendalikan harga komoditas di pasar domestik, terutama saat harga komoditas tersebut melonjak di pasar internasional.
  4. Meningkatkan nilai tambah: Bea keluar dapat mendorong pengolahan sumber daya alam di dalam negeri sebelum diekspor, sehingga meningkatkan nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja.

 

Contoh Barang Kena Bea Keluar:

Sumber daya alam:

  1. Mineral logam (nikel, bauksit, tembaga)
  2. Batu bara
  3. Minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya
  4. Kulit dan kayu

 

Barang setengah jadi:

Produk hasil pengolahan mineral logam (misalnya, besi baja)

 

Barang jadi:

Dalam beberapa kasus, bea keluar juga dapat diterapkan pada barang jadi untuk melindungi industri dalam negeri atau mengendalikan ekspor.

 

Perlu diingat:

  • Tidak semua sumber daya alam dikenakan bea keluar. Pemerintah dapat memilih jenis sumber daya alam tertentu yang dikenakan bea keluar berdasarkan pertimbangan ekonomi dan kebijakan.
  • Tarif bea keluar dapat bervariasi. Tarif bea keluar dapat berbeda-beda tergantung pada jenis barang, harga komoditas di pasar internasional, dan kebijakan pemerintah.
    Bea keluar dapat dihapuskan atau diubah. Pemerintah dapat menghapuskan atau mengubah tarif bea keluar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi ekonomi.

 

Barang kena bea keluar tidak selalu berupa barang habis pakai. Bea keluar dapat dikenakan pada berbagai jenis barang ekspor, termasuk sumber daya alam, barang setengah jadi, dan barang jadi, dengan tujuan untuk mengendalikan ekspor, melindungi sumber daya alam, dan mendukung perekonomian nasional.

 

Penelitian dokumen selama 30 hari tapi janji internal bea cukai (KPI) pemeriksaan dokumen 3 hari. kalau jalur merah sampai dokumen lengkap?

Secara formal, memang benar bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.04/2022 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor menyebutkan batas waktu penelitian dokumen selama 30 hari.

Namun, Bea Cukai juga memiliki KPI (Key Performance Indicator) internal yang menargetkan penyelesaian penelitian dokumen dalam waktu 3 hari. Hal ini menunjukkan komitmen Bea Cukai untuk memberikan pelayanan yang cepat dan efisien kepada para pelaku usaha.

 

Bagaimana dengan jalur merah?

Untuk jalur merah, di mana dilakukan penelitian dokumen sebelum penerbitan SPPB, prosesnya memang dapat memakan waktu lebih lama karena Bea Cukai perlu memastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen sebelum barang dilepaskan. Namun, selama dokumen lengkap dan benar, penelitian dokumen biasanya dapat diselesaikan dalam waktu 3 hari sesuai dengan KPI internal Bea Cukai.

 

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Waktu Penelitian Dokumen:

  1. Kelengkapan dokumen: Jika dokumen lengkap dan benar, proses penelitian akan lebih cepat.
  2. Kompleksitas transaksi: Transaksi yang kompleks, seperti impor barang dengan lartas atau barang dengan nilai tinggi, mungkin memerlukan waktu penelitian lebih lama.
  3. Ketersediaan petugas: Ketersediaan petugas Bea Cukai juga dapat mempengaruhi waktu penelitian.
  4. Sistem IT: Gangguan pada sistem IT Bea Cukai dapat memperlambat proses penelitian dokumen.

 

Tips untuk Mempercepat Penelitian Dokumen:

  1. Pastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen: Periksa dengan teliti semua dokumen impor sebelum diserahkan ke Bea Cukai.
  2. Ajukan dokumen secara online: Manfaatkan sistem online Bea Cukai untuk mengajukan dokumen impor.
  3. Komunikasi dengan Bea Cukai: Jika terdapat kendala atau pertanyaan, segera komunikasikan dengan petugas Bea Cukai.
  4. Gunakan jasa PPJK: Jika Anda kurang familiar dengan prosedur kepabeanan, gunakan jasa PPJK yang berpengalaman.

 

Meskipun batas waktu penelitian dokumen secara formal adalah 30 hari, Bea Cukai berkomitmen untuk menyelesaikannya dalam waktu 3 hari sesuai dengan KPI internal. Namun, waktu penelitian dapat bervariasi tergantung pada berbagai faktor. Dengan memastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen serta berkomunikasi dengan baik dengan Bea Cukai, Anda dapat membantu mempercepat proses penelitian dokumen.

 

Bagaimana RCO Kalau pemeriksaan fisik jalur merah sudah selesai tapi status belum turun ke NPD DPNP atau SPPB ?

RCO (Responsiveness, Clarity, dan Organization) dalam konteks pertanyaan Anda merujuk pada bagaimana tanggapan, kejelasan, dan pengaturan yang seharusnya dilakukan Bea Cukai ketika menghadapi situasi pemeriksaan fisik jalur merah yang telah selesai, tetapi status barang impor belum juga berubah menjadi NPD (Nota Pemeriksaan Dokumen), DPNP (Data Penentuan Nilai Pabean), atau SPPB (Surat Persetujuan Pengeluaran Barang). Berikut penjelasannya dengan pendekatan RCO:

 

Responsiveness (Tanggapan):

  1. Proaktif: Bea Cukai seharusnya proaktif dalam memberikan informasi kepada importir atau PPJK mengenai status barang impor. Jangan menunggu importir bertanya, tetapi Bea Cukai yang seharusnya menginformasikan perkembangan proses pemeriksaan.
  2. Komunikatif: Bea Cukai harus mudah dihubungi dan responsif terhadap pertanyaan dari importir atau PPJK. Sediakan saluran komunikasi yang jelas dan mudah diakses, misalnya melalui helpdesk, telepon, email, atau website.
  3. Cepat: Tanggapi pertanyaan dan permintaan informasi dari importir atau PPJK dengan cepat. Jangan biarkan importir menunggu terlalu lama tanpa kepastian.

 

Clarity (Kejelasan):

  1. Transparan: Bea Cukai harus transparan dalam menjelaskan alasan mengapa status barang impor belum berubah meskipun pemeriksaan fisik telah selesai. Jelaskan tahapan proses selanjutnya dan estimasi waktu penyelesaiannya.
  2. Informatif: Berikan informasi yang jelas dan lengkap kepada importir atau PPJK tentang status barang, kendala yang dihadapi, dan langkah-langkah yang perlu dilakukan.
  3. Mudah dipahami: Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh importir atau PPJK. Hindari penggunaan istilah teknis yang membingungkan.

 

Organization (Pengaturan):

  1. Standar Operasional Prosedur (SOP): Bea Cukai harus memiliki SOP yang jelas dan terukur untuk proses pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen.
  2. Sistem monitoring: Terapkan sistem monitoring yang efektif untuk melacak status barang impor dan memastikan proses pemeriksaan berjalan lancar.
  3. Koordinasi internal: Tingkatkan koordinasi internal antara petugas Bea Cukai yang terlibat dalam proses pemeriksaan.

 

Contoh penerapan RCO:

Misalkan, importir telah menyelesaikan pemeriksaan fisik jalur merah, tetapi status barang belum berubah. Bea Cukai dapat mengirimkan notifikasi kepada importir yang berisi informasi:

  1. Status barang saat ini.
  2. Tahapan proses selanjutnya (misalnya, penelitian dokumen atau penetapan nilai pabean).
  3. Estimasi waktu penyelesaian.
  4. Contact person yang dapat dihubungi jika ada pertanyaan.

 

Kesimpulan:

Dengan menerapkan prinsip RCO, Bea Cukai dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada importir, meningkatkan transparansi, dan mempercepat proses penyelesaian kepabeanan.

 

Apakah bisa tanya status RCO ke Client Coordinator dan siapa petugas yang berwenang ?

Menanyakan status RCO (Responsiveness, Clarity, dan Organization) kepada Client Coordinator adalah langkah yang tepat. Client Coordinator berperan sebagai penghubung antara importir/PPJK dengan Bea Cukai, sehingga mereka dapat membantu menanyakan status barang dan memberikan informasi yang dibutuhkan.

 

Kewenangan Client Coordinator:

Meskipun Client Coordinator tidak memiliki kewenangan untuk mengubah status barang atau mempercepat proses pemeriksaan, mereka dapat:

  1. Melakukan pengecekan status: Client Coordinator dapat mengakses sistem Bea Cukai untuk melihat status terkini barang impor.
  2. Berkomunikasi dengan pejabat terkait: Client Coordinator dapat berkomunikasi dengan pejabat fungsional pemeriksa dokumen atau pejabat lain yang menangani proses pemeriksaan untuk menanyakan perkembangan dan kendala yang dihadapi.
  3. Memberikan informasi kepada importir/PPJK: Client Coordinator dapat memberikan informasi yang jelas dan akurat kepada importir/PPJK tentang status barang, estimasi waktu penyelesaian, dan langkah-langkah yang perlu dilakukan.

 

Kewenangan Pejabat Fungsional Pemeriksa Dokumen:

Pejabat fungsional pemeriksa dokumen memiliki kewenangan penuh dalam proses penelitian dokumen impor. Tugas dan wewenangnya meliputi:

  1. Meneliti dokumen impor: Memeriksa kelengkapan dan kebenaran dokumen PIB dan dokumen pelengkap.
  2. Menerbitkan NPD (Nota Pemeriksaan Dokumen): Jika ditemukan kekurangan atau kesalahan dalam dokumen, pejabat akan menerbitkan NPD.
  3. Menerbitkan SPPB: Jika dokumen lengkap dan benar, pejabat akan menerbitkan SPPB.
  4. Melakukan pemeriksaan fisik selektif: Dalam beberapa kasus, pejabat pemeriksa dokumen juga dapat melakukan pemeriksaan fisik terbatas untuk memverifikasi data dalam dokumen.
  5. Menentukan nilai pabean: Jika terdapat keraguan terhadap nilai pabean yang dinyatakan, pejabat pemeriksa dokumen dapat melakukan penyelidikan dan menetapkan nilai pabean yang benar.

 

Client Coordinator dapat membantu importir/PPJK dalam menanyakan status RCO dan berkomunikasi dengan Bea Cukai. Namun, kewenangan untuk meneliti dokumen, menerbitkan NPD atau SPPB, dan menetapkan nilai pabean ada di tangan pejabat fungsional pemeriksa dokumen.

 

Bagaimana audit kepabeanan berdasarkan profiling eksportir/importir?

Audit kepabeanan berdasarkan profiling eksportir/importir adalah suatu proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Bea Cukai untuk menilai kepatuhan eksportir/importir terhadap peraturan kepabeanan.

Profiling adalah suatu metode analisis risiko yang digunakan Bea Cukai untuk mengidentifikasi dan menilai risiko eksportir/importir. Berdasarkan hasil profiling, Bea Cukai akan menentukan tingkat risiko eksportir/importir dan menetapkan apakah mereka perlu diaudit.

 

Tujuan Audit Kepabeanan Berdasarkan Profiling:

  1. Mencegah pelanggaran: Mencegah terjadinya pelanggaran kepabeanan, seperti penyelundupan, undervaluasi, dan penyalahgunaan fasilitas.
  2. Meningkatkan kepatuhan: Mendorong eksportir/importir untuk meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan.
  3. Melindungi penerimaan negara: Memastikan negara menerima bea masuk dan pajak ekspor/impor yang seharusnya.
  4. Meningkatkan efisiensi: Mengoptimalkan sumber daya Bea Cukai dengan fokus pada pemeriksaan eksportir/importir yang memiliki risiko tinggi.

 

Proses Audit Kepabeanan Berdasarkan Profiling:

Profiling:

  1. Bea Cukai melakukan profiling eksportir/importir dengan menganalisis berbagai faktor risiko, seperti:
  2. Jenis barang yang diekspor/diimpor
  3. Riwayat kepatuhan
  4. Negara tujuan/asal ekspor/impor
  5. Nilai transaksi
  6. Informasi intelijen

 

Penentuan Risiko:

Berdasarkan hasil profiling, Bea Cukai akan menentukan tingkat risiko eksportir/importir (rendah, sedang, atau tinggi).

 

Pemilihan Eksportir/Importir untuk Audit:

Bea Cukai akan memprioritaskan audit terhadap eksportir/importir yang memiliki risiko tinggi.

 

Pelaksanaan Audit:

Bea Cukai akan memeriksa dokumen, catatan, dan sistem eksportir/importir untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan.

 

Hasil Audit:

  1. Jika ditemukan pelanggaran, Bea Cukai akan mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  2. Jika tidak ditemukan pelanggaran, Bea Cukai akan memberikan feedback positif kepada eksportir/importir.

 

Manfaat Audit Kepabeanan Bagi Eksportir/Importir:

  1. Meningkatkan kepatuhan: Audit membantu eksportir/importir untuk mengidentifikasi dan memperbaiki kelemahan dalam sistem dan prosedur kepabeanan mereka.
  2. Mengurangi risiko: Dengan meningkatkan kepatuhan, eksportir/importir dapat mengurangi risiko pelanggaran kepabeanan dan sanksi.
  3. Meningkatkan efisiensi: Proses kepabeanan yang lebih efisien dapat menghemat waktu dan biaya.
  4. Meningkatkan reputasi: Eksportir/importir yang patuh terhadap peraturan kepabeanan akan memiliki reputasi yang baik di mata Bea Cukai dan mitra bisnis.

 

Kesimpulan:

Audit kepabeanan berdasarkan profiling merupakan upaya Bea Cukai untuk meningkatkan kepatuhan eksportir/importir terhadap peraturan kepabeanan. Proses ini bermanfaat bagi Bea Cukai maupun eksportir/importir dalam menciptakan iklim perdagangan yang lebih baik.

 

Berapakah Jangka waktu Audit Kepabeanan

Ada dua jenis audit kepabeanan dengan jangka waktu yang berbeda:

 

Audit Dalam Rangka Pemeriksaan Pabean (30 hari setelah PIB):

  1. Ini adalah audit yang dilakukan selama proses pemeriksaan pabean, yaitu sebelum barang dikeluarkan dari kawasan pabean.
    Jangka waktunya adalah 30 hari sejak tanggal pendaftaran PIB.
  2. Fokus audit ini adalah untuk memverifikasi kebenaran dan kelengkapan dokumen PIB, serta menilai kepatuhan importir terhadap peraturan kepabeanan.
  3. Jika ditemukan kesalahan atau pelanggaran, Bea Cukai dapat menerbitkan nota pemeriksaan dokumen (NPD), surat penetapan tarif dan/atau nilai pabean (SPTNP), atau bahkan melakukan penahanan/penyitaan barang.

 

Audit Pasca Pemeriksaan Pabean (2 tahun setelah PIB):

  1. Ini adalah audit yang dilakukan setelah barang dikeluarkan dari kawasan pabean (post-clearance audit).
    Jangka waktunya adalah 2 tahun sejak tanggal pendaftaran PIB.
  2. Fokus audit ini adalah untuk menguji kepatuhan importir terhadap ketentuan kepabeanan secara keseluruhan, termasuk:
    Kebenaran nilai pabean: Memastikan nilai pabean yang dinyatakan dalam PIB sudah benar.
    Ketepatan penggunaan tarif: Memastikan penggunaan tarif HS Code sudah tepat.
    Pemenuhan kewajiban: Memastikan importir telah memenuhi semua kewajiban kepabeanan, seperti pembayaran bea masuk dan pajak.
    Ketepatan pembukuan: Memeriksa pembukuan importir terkait kegiatan impor.
  3. Jika ditemukan kesalahan atau pelanggaran, Bea Cukai dapat menerbitkan surat tagihan pajak (STP) atau mengenakan sanksi administrasi.

 

Dasar Hukum Audit Kepabeanan:

Ketentuan mengenai jangka waktu audit kepabeanan diatur dalam:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 185/PMK.04/2022 tentang Pemeriksaan Pabean di Bidang Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-35/BC/2017 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan

 

Apakah Importir atau PPJK yang memberitahukan ke bea cukai barang sudah siap?

Importir atau PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) yang memiliki kewajiban untuk memberitahukan kepada Bea Cukai bahwa barang impor sudah siap. Pemberitahuan ini menandai dimulainya proses penyelesaian kepabeanan di bidang impor.

 

Bagaimana cara memberitahukannya?

Pemberitahuan dilakukan dengan menyampaikan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) kepada Bea Cukai. PIB dapat disampaikan secara elektronik melalui sistem CEISA (Customs-Excise Information System and Automation) atau secara manual.

 

Isi PIB:

PIB memuat informasi penting tentang barang impor, antara lain:

  1. Identitas importir
  2. Jenis barang
  3. Jumlah dan nilai barang
  4. HS Code (Harmonized System Code)
  5. Negara asal barang
  6. Sarana pengangkut
  7. Tujuan penggunaan barang

 

Dokumen Pelengkap PIB:

Selain PIB, importir atau PPJK juga harus melampirkan dokumen pelengkap, seperti:

  1. Invoice (faktur)
  2. Packing list (daftar kemasan)
  3. Bill of lading (konosemen)
  4. Sertifikat asal barang
  5. Dokumen lartas (jika ada)

 

Setelah PIB Disampaikan:

  1. Penelitian dokumen: Bea Cukai akan meneliti PIB dan dokumen pelengkap.
  2. Pemeriksaan fisik: Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang impor.
  3. Penentuan tarif dan nilai pabean: Bea Cukai akan menentukan tarif bea masuk dan nilai pabean barang impor.
  4. Pembayaran bea masuk dan pajak: Importir atau PPJK harus membayar bea masuk, pajak impor, dan pungutan lainnya.
  5. Penerbitan SPPB: Setelah semua persyaratan dipenuhi, Bea Cukai akan menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

 

Kewajiban Importir/PPJK:

  • Memberitahukan dengan benar: Importir atau PPJK wajib memberitahukan barang impor dengan benar, lengkap, dan akurat.
  • Memenuhi kewajiban: Importir atau PPJK wajib memenuhi semua kewajiban kepabeanan, termasuk pembayaran bea masuk dan pajak.
  • Menyediakan dokumen: Importir atau PPJK wajib menyediakan dokumen yang diperlukan oleh Bea Cukai.

 

Pemberitahuan bahwa barang impor sudah siap dilakukan oleh importir atau PPJK dengan menyampaikan PIB dan dokumen pelengkap kepada Bea Cukai. Hal ini merupakan langkah awal dalam proses penyelesaian kepabeanan di bidang impor.

 

Apa itu Pemeritahuan Pabean : PIB input di komputer (aplikasi), PIBK, BC 01-04 BC1-2-3, BC2

beberapa istilah penting dalam proses penyampaian Pemberitahuan Pabean di Indonesia. Mari kita bahas satu per satu:

 

PIB Input di Komputer (Aplikasi)

Saat ini, penyampaian Pemberitahuan Impor Barang (PIB) umumnya dilakukan secara elektronik melalui aplikasi komputer yang disediakan oleh Bea Cukai. Aplikasi ini terintegrasi dengan sistem CEISA (Customs-Excise Information System and Automation).

 

Beberapa aplikasi yang digunakan untuk input PIB antara lain:

  1. Modul PIB dalam sistem CEISA.
  2. Aplikasi portal INSW (Indonesia National Single Window).

 

Keuntungan input PIB melalui aplikasi:

  1. Efisiensi: Lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan cara manual.
  2. Akurasi: Mengurangi risiko kesalahan dalam pengisian data.
  3. Transparansi: Memudahkan pelacakan status PIB.
  4. Integrasi: Terintegrasi dengan sistem Bea Cukai dan sistem instansi terkait lainnya.

 

PIBK

PIBK adalah singkatan dari Pemberitahuan Impor Barang Khusus. PIBK digunakan untuk mengimpor barang-barang tertentu yang memerlukan perlakuan khusus, seperti:

  1. Barang kiriman: Barang yang dikirim melalui jasa pos atau perusahaan jasa titipan.
  2. Barang penumpang dan awak sarana pengangkut: Barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut.
  3. Barang pindahan: Barang-barang rumah tangga milik orang yang pindah ke Indonesia.
  4. Barang contoh: Barang yang diimpor sebagai contoh untuk tujuan pemasaran atau penelitian.
  5. Barang hadiah: Barang yang diimpor sebagai hadiah dan tidak untuk diperdagangkan.

PIBK juga dapat disampaikan secara elektronik melalui aplikasi atau secara manual dengan menggunakan formulir BC 2.3.

 

 BC 01-04, BC 1.2.3,

Ini adalah kode-kode formulir yang digunakan dalam Pemberitahuan Pabean sebelum sistem elektronik diterapkan secara luas. Meskipun saat ini sudah jarang digunakan, beberapa formulir ini masih relevan dalam situasi tertentu.

  1. BC 01-04: Formulir untuk PIB (sudah tidak digunakan).
  2. BC 1.2.3: Formulir untuk PIBK (masih digunakan dalam situasi tertentu).
  3. BC 2: Formulir induk untuk Pemberitahuan Pabean (sudah tidak digunakan).

 

Penyampaian Pemberitahuan Pabean, baik PIB maupun PIBK, saat ini didorong untuk dilakukan secara elektronik melalui aplikasi komputer yang terintegrasi dengan sistem CEISA. Hal ini meningkatkan efisiensi, akurasi, dan transparansi dalam proses kepabeanan.

 

BC 2

BC 2 adalah formulir induk untuk Pemberitahuan Pabean di Indonesia. Meskipun saat ini sudah jarang digunakan karena sebagian besar Pemberitahuan Pabean dilakukan secara elektronik, formulir BC 2 masih relevan dalam situasi tertentu dan memiliki nilai historis dalam perkembangan sistem kepabeanan di Indonesia.

 

Fungsi Formulir BC 2:

Formulir BC 2 digunakan untuk memberitahukan kepada Bea Cukai tentang maksud kegiatan kepabeanan yang akan dilakukan, baik itu impor, ekspor, atau kegiatan lainnya yang berkaitan dengan kepabeanan.

 

Isi Formulir BC 2:

Formulir BC 2 memuat informasi penting tentang:

  1. Jenis Pemberitahuan Pabean:
  2. Impor (BC 2.0)
  3. Ekspor (BC 2.1)
  4. Transit (BC 2.2)
  5. Pemasukan (BC 2.4)
  6. Pengeluaran (BC 2.5)

 

Dan jenis pemberitahuan lainnya.

  1. Identitas Pengusaha: Nama, alamat, dan NPWP importir/eksportir atau PPJK.
  2. Data Barang: Jenis barang, jumlah, berat, nilai, HS Code, dan informasi lainnya.
  3. Sarana Pengangkut: Nama sarana pengangkut, nomor voyage/flight, dan informasi lainnya.
  4. Tujuan Penggunaan Barang: Misalnya, untuk dipakai, dijual, atau diolah.

 

Penggunaan Formulir BC 2 Saat Ini:

Meskipun sebagian besar Pemberitahuan Pabean telah dilakukan secara elektronik, formulir BC 2 masih digunakan dalam beberapa situasi, di antaranya:

  1. PIBK (Pemberitahuan Impor Barang Khusus): Formulir BC 2.3 masih digunakan untuk PIBK dalam situasi tertentu.
  2. Situasi darurat: Ketika sistem elektronik mengalami gangguan atau dalam kondisi darurat lainnya, formulir BC 2 dapat digunakan sebagai alternatif.
  3. Arsip: Formulir BC 2 yang telah diisi dan disahkan oleh Bea Cukai menjadi dokumen arsip yang penting bagi importir/eksportir.

 

Perkembangan Formulir BC 2:

Formulir BC 2 telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyederhanaan seiring dengan perkembangan sistem kepabeanan di Indonesia. Saat ini, Bea Cukai terus mendorong penggunaan sistem elektronik untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam proses kepabeanan.

Formulir BC 2 merupakan formulir induk untuk Pemberitahuan Pabean di Indonesia. Meskipun penggunaannya sudah berkurang dengan adanya sistem elektronik, formulir ini masih relevan dalam situasi tertentu dan memiliki nilai historis dalam perkembangan sistem kepabeanan di Indonesia.

 

BC 3.0 (ekpor umum) BC.3.2 (membawa Uang)

BC 3.0 dan BC 3.2 adalah dua jenis formulir Pemberitahuan Pabean yang digunakan dalam kegiatan ekspor.

Mari kita bahas lebih detail:

 

BC 3.0 (Pemberitahuan Ekspor Barang)

  1. Fungsi: Digunakan untuk memberitahukan ekspor barang umum kepada Bea Cukai.
  2. Penggunaan: Digunakan oleh eksportir atau PPJK untuk mengekspor barang yang diperdagangkan, baik barang mentah, barang setengah jadi, maupun barang jadi.
  3. Informasi yang dimuat:
    Identitas eksportir
    Jenis barang
    Jumlah dan nilai barang
    HS Code
    Negara tujuan ekspor
    Sarana pengangkut
  4. Penyampaian: Dapat disampaikan secara elektronik melalui sistem CEISA atau secara manual dengan menggunakan formulir BC 3.0.
    Contoh penggunaan: Mengekspor tekstil, produk elektronik, atau komoditas pertanian.

 

BC 3.2 (Pemberitahuan Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain)

  1. Fungsi: Digunakan untuk memberitahukan kepada Bea Cukai tentang pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain (seperti cek, wesel) ke luar Daerah Pabean.
  2. Penggunaan: Wajib diisi oleh pelaku perjalanan yang membawa uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain dengan jumlah tertentu (sesuai ketentuan yang berlaku).
  3. Informasi yang dimuat:
    Identitas pelaku perjalanan
    Jumlah uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain
    Mata uang
    Tujuan pembawaan
  4. Penyampaian: Dapat disampaikan secara elektronik melalui aplikasi atau secara manual dengan menggunakan formulir BC 3.2.
  5. Contoh penggunaan: Seseorang yang membawa uang tunai dalam jumlah besar untuk perjalanan bisnis atau wisata ke luar negeri.

 

Kepatuhan: Eksportir dan pelaku perjalanan wajib mematuhi ketentuan yang berlaku dalam pengisian dan penyampaian Pemberitahuan Pabean.
Sanksi: Pelanggaran terhadap ketentuan kepabeanan dapat dikenakan sanksi administrasi atau pidana.

 

Berapa maksimal jumlah uang cash yang dibawa ke luar negeri?

Jumlah maksimal uang cash yang dapat dibawa ke luar negeri dari Indonesia adalah Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) atau valuta asing dengan nilai setara.

Ketentuannya:

  • Wajib lapor: Jika Anda membawa uang tunai Rp100 juta atau lebih, Anda wajib melapor kepada Bea Cukai dengan mengisi formulir BC 3.2 (Pemberitahuan Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain).
  • Tidak perlu izin Bank Indonesia: Untuk jumlah di bawah Rp1 miliar, Anda tidak perlu mendapatkan izin dari Bank Indonesia, cukup melapor ke Bea Cukai.
    Jika ingin membawa lebih dari Rp100 juta:

Anda dapat membawa uang tunai lebih dari Rp100 juta, tetapi tidak boleh melebihi Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) atau valuta asing yang setara.

 

Ketentuannya:

  • Wajib izin Bank Indonesia: Anda wajib mendapatkan izin dari Bank Indonesia sebelum membawa uang tunai lebih dari Rp100 juta.
  • Wajib lapor Bea Cukai: Anda tetap wajib melapor ke Bea Cukai dengan mengisi formulir BC 3.2.

 

Dasar Hukum Membawa Uang Tunai:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.04/2018 tentang Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain ke Dalam atau ke Luar Daerah Pabean Indonesia.

  • Tujuan pembawaan: Pastikan Anda dapat menjelaskan tujuan pembawaan uang tunai tersebut kepada Bea Cukai.
  • Bukti sumber dana: Anda mungkin diminta untuk menunjukkan bukti sumber dana yang sah.
  • Sanksi: Pembawaan uang tunai yang tidak dilaporkan atau melebihi batas yang diizinkan dapat dikenakan sanksi administrasi atau pidana.

 

Tips:

  • Laporkan uang tunai Anda: Selalu laporkan uang tunai yang Anda bawa ke Bea Cukai, meskipun jumlahnya di bawah Rp100 juta, untuk menghindari masalah di kemudian hari.
  • Gunakan alternatif: Pertimbangkan untuk menggunakan alternatif lain, seperti kartu kredit, transfer bank, atau cek perjalanan, untuk transaksi dalam jumlah besar.

 

Nomor Aju Dokumen di BC menghitung BEA impor,

Nomor Aju Dokumen memang merupakan nomor penting dalam proses penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (bukan bea ekspor, karena bea keluar hanya dikenakan pada barang-barang tertentu). Namun, nomor aju dokumen bukan penentu munculnya kode pembayaran.

Mari kita bahas tahapannya dengan lebih detail:

 

Input Data Impor:

Importir atau PPJK menginput data impor melalui sistem CEISA atau portal INSW. Sistem akan secara otomatis menghasilkan nomor aju dokumen.

 

Penghitungan Bea Masuk dan Pajak:

  • Sistem CEISA akan menghitung bea masuk dan pajak berdasarkan data yang diinput, termasuk jenis barang, nilai pabean, dan tarif yang berlaku.
  • Kode billing (kode pembayaran) akan muncul secara otomatis setelah sistem selesai menghitung bea masuk dan pajak.
  • Kode billing muncul tanpa harus menunggu pembayaran. Ini memungkinkan importir untuk mengetahui jumlah yang harus dibayar sebelum melakukan pembayaran.

 

Pembayaran:

Importir melakukan pembayaran bea masuk dan pajak melalui bank atau kanal pembayaran lainnya dengan menggunakan kode billing yang telah diperoleh.

Penelitian Dokumen dan Pemeriksaan Fisik: Setelah pembayaran diterima, Bea Cukai akan melakukan penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik (jika diperlukan).

 

Penerbitan PIB:

Jika semua persyaratan dipenuhi, Bea Cukai akan menerbitkan PIB (Pemberitahuan Impor Barang) dengan nomor pendaftaran PIB yang unik.

Jadi, alur prosesnya adalah:

Input data impor –> Nomor aju dokumen –> Penghitungan bea masuk dan pajak –> Kode billing –> Pembayaran –> Penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik –> PIB

  • Nomor aju dokumen dihasilkan secara otomatis saat input data impor.
  • Kode billing muncul setelah sistem menghitung bea masuk dan pajak, tanpa harus menunggu pembayaran.
  • PIB diterbitkan setelah semua persyaratan dipenuhi, termasuk pembayaran bea masuk dan pajak.

 

Apa itu nomer aju dokumen ?

Nomor aju dokumen adalah nomor unik yang dihasilkan oleh sistem komputer Bea Cukai (CEISA) saat importir atau PPJK menginput data impor melalui aplikasi. Nomor ini digunakan untuk mengidentifikasi dan melacak PIB (Pemberitahuan Impor Barang) selama proses kepabeanan.

 

Fungsi Nomor Aju Dokumen:

Identifikasi unik: Setiap PIB memiliki nomor aju dokumen yang berbeda, sehingga memudahkan Bea Cukai dalam mengidentifikasi dan membedakan satu PIB dengan PIB lainnya.
Pelacakan: Nomor aju dokumen digunakan untuk melacak status PIB, mulai dari pendaftaran, penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, hingga penerbitan SPPB.
Referensi: Nomor aju dokumen menjadi referensi dalam komunikasi antara importir/PPJK dengan Bea Cukai.

 

Format Nomor Aju Dokumen:

Nomor aju dokumen terdiri dari 26 digit angka dengan format sebagai berikut:

000000xxxxxxxxxxYYYYMMDDHHMMSS
6 digit pertama (000000): Kode kantor Bea Cukai tempat PIB didaftarkan.
10 digit berikutnya (xxxxxxxxxx): Nomor urut PIB.
8 digit berikutnya (YYYYMMDD): Tanggal pendaftaran PIB (tahun, bulan, tanggal).
6 digit terakhir (HHMMSS): Waktu pendaftaran PIB (jam, menit, detik).

 

Contoh Nomor Aju Dokumen:

000000123456789020231106102030

 

Kapan Nomor Aju Dokumen Dihasilkan?

Nomor aju dokumen dihasilkan secara otomatis oleh sistem CEISA saat importir atau PPJK menginput data impor melalui aplikasi.

Pentingnya Nomor Aju Dokumen:

  • Memudahkan pelacakan: Importir/PPJK dapat menggunakan nomor aju dokumen untuk melacak status PIB mereka secara online.
  • Memperlancar komunikasi: Nomor aju dokumen mempermudah komunikasi antara importir/PPJK dengan Bea Cukai, terutama saat menanyakan status PIB atau menyampaikan informasi tambahan.
  • Meminimalisir kesalahan: Nomor aju dokumen yang unik membantu mencegah kesalahan dalam identifikasi dan pengolahan data impor.

 

Kesimpulan:

Nomor aju dokumen adalah nomor penting dalam proses kepabeanan di bidang impor. Nomor ini berfungsi sebagai identitas unik PIB dan digunakan untuk pelacakan, referensi, dan komunikasi.

 

Perusahaan jastip /EMS Pos harus teregistrasi PJP/PPJK kalau perorangan akan dikenakan tarif 2 kali.

Perusahaan jastip /EMS Pos harus teregistrasi PJP/PPJK kalau perorangan akan dikenakan tarif 2 kali.
Untuk perusahaan jasa titipan (jastip) yang melakukan kegiatan impor, memang diwajibkan untuk teregistrasi sebagai PJT (Pengusaha Jasa Titipan) di Bea Cukai.

Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.010/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman.

 

Kewajiban Perusahaan Jasa Titipan:

  1. Memiliki izin sebagai PJT dari Bea Cukai.
  2. Melakukan registrasi di sistem CEISA.
  3. Mematuhi ketentuan kepabeanan, cukai, dan pajak yang berlaku.
  4. Menyampaikan data manifest barang kiriman secara elektronik.
  5. Memberikan pelayanan yang baik kepada pengguna jasa.
  6. Perusahaan jastip yang tidak teregistrasi sebagai PJT dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Bagaimana dengan Jasa Titipan Perorangan?

Untuk perorangan yang melakukan kegiatan jastip, tidak diwajibkan untuk teregistrasi sebagai PJT atau PPJK.

Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

  1. Barang kiriman: Barang yang diimpor melalui jastip perorangan akan dikenakan ketentuan impor barang kiriman.
  2. Tarif: Tarif bea masuk dan pajak impor untuk barang kiriman dapat berbeda dengan tarif untuk impor umum.
  3. Pembebasan: Barang kiriman dengan nilai FOB (Free On Board) sampai dengan USD3 mendapatkan pembebasan bea masuk dan pajak impor.
  4. Pengawasan: Bea Cukai akan melakukan pengawasan terhadap kegiatan jastip perorangan untuk mencegah penyalahgunaan dan pelanggaran kepabeanan.

 

Tarif 2 kali lipat Untuk Perorangan:

Tarif 2 kali lipat dikenakan khusus untuk PPh Pasal 22 jika importir tidak memiliki NPWP.

Jadi, jika perorangan yang melakukan jastip tidak memiliki NPWP, maka PPh Pasal 22 yang harus dibayar akan dikenakan tarif 2 kali lipat.

  • Perusahaan jastip wajib teregistrasi sebagai PJT di Bea Cukai.
  • Perorangan yang melakukan jastip tidak wajib teregistrasi sebagai PJT atau PPJK, tetapi harus mematuhi ketentuan impor barang kiriman.
  • Tarif 2 kali lipat dikenakan untuk PPh Pasal 22 jika importir tidak memiliki NPWP, baik perusahaan maupun perorangan.

 

Apa itu Personal effect impor (barang bekas untuk hadiah)

Personal effect impor, atau sering disebut juga sebagai barang pindahan, merujuk pada barang-barang keperluan rumah tangga milik seseorang yang semula berdomisili di luar negeri dan kemudian dibawa pindah ke Indonesia. Barang-barang ini umumnya adalah barang bekas yang telah dipakai di luar negeri dan bukan barang baru.

 

Kategori Personal Effect:

  1. Barang keperluan rumah tangga: Meliputi perabotan, pakaian, buku, alat elektronik, dan barang-barang lainnya yang digunakan untuk keperluan sehari-hari.
  2. Bukan barang dagangan: Barang-barang tersebut bukan untuk diperdagangkan atau dikomersialkan.
  3. Bukan barang baru: Barang-barang tersebut adalah barang bekas yang telah dipakai sebelumnya.
  4. Bukan kendaraan bermotor: Kendaraan bermotor tidak termasuk dalam kategori personal effect.

 

Ketentuan Impor Personal Effect:

Pembebasan bea masuk: Impor personal effect dibebaskan dari bea masuk.

 

Syarat Import Personal Effect:

Pemilik barang pernah berdomisili di luar negeri lebih dari 1 tahun
Pemilik barang telah/akan tiba di Indonesia.
Barang tiba bersama pemilik atau maksimal 3 bulan sebelum/sesudah pemilik tiba.

 

Dokumen Import Personal Effect:

  1. Paspor
  2. Boarding pass/tiket
  3. Packing list
  4. PIBK (Pemberitahuan Impor Barang Khusus)

 

Barang Bekas untuk Hadiah:

  1. Barang bekas untuk hadiah tidak termasuk dalam kategori personal effect. Barang tersebut akan dikenakan ketentuan impor barang kiriman dan terutang bea masuk dan pajak impor, kecuali jika nilainya FOB (Free On Board) sampai dengan USD3.
  2. Personal effect impor adalah barang-barang keperluan rumah tangga bekas milik orang yang pindah domisili ke Indonesia. Impor personal effect dibebaskan dari bea masuk.
  3. Barang bekas untuk hadiah tidak termasuk dalam kategori personal effect dan akan dikenakan ketentuan impor barang kiriman.

 

Barang hibah ada nilai bea masuk walaupun seken?

Tetep harus di nilai seperti barang import tapi nilai harganya berbeda karena seken. Pada dasarnya, barang hibah memang terutang bea masuk, meskipun barang tersebut bekas. Namun, ada beberapa pengecualian di mana barang hibah bisa mendapatkan pembebasan bea masuk.

 

Kapan barang hibah terutang bea masuk?

  • Barang hibah untuk umum:
    Barang hibah yang diberikan oleh pihak luar negeri kepada pemerintah atau lembaga di Indonesia untuk kepentingan umum, seperti pembangunan infrastruktur, bantuan bencana alam, atau program sosial.
    Barang hibah jenis ini dibebaskan dari bea masuk sesuai dengan PMK 171/PMK.04/2019.

 

  • Barang hibah untuk pribadi:
    Barang hibah yang diberikan oleh perorangan di luar negeri kepada perorangan di Indonesia.
    Barang hibah jenis ini terutang bea masuk, kecuali jika nilainya FOB (Free On Board) sampai dengan USD3.
    Ketentuannya sama seperti impor barang kiriman.

 

Penilaian Barang Hibah Bekas:

Meskipun barang hibah tersebut bekas, Bea Cukai tetap akan melakukan penilaian untuk menentukan nilai pabeannya.

Penilaian ini bertujuan untuk:

  1. Menghitung bea masuk: Jika barang hibah terutang bea masuk, maka nilai pabean akan digunakan sebagai dasar perhitungan.
  2. Mencegah penyalahgunaan: Penilaian membantu mencegah penyalahgunaan fasilitas pembebasan bea masuk dan praktik penyelundupan.

 

Metode Penilaian:

Bea Cukai akan menggunakan metode penilaian yang sesuai dengan kondisi barang hibah, dengan mempertimbangkan:

  • Kondisi barang: Keausan, kerusakan, dan faktor lain yang mempengaruhi nilai barang.
  • Harga pasar: Harga barang sejenis di pasar Indonesia, dengan penyesuaian untuk kondisi bekas.
  • Dokumen pendukung: Invoice, bukti pembelian, atau dokumen lain yang dapat membuktikan nilai barang.
  Undang-Undang Kepabeanan No 17 Tahun 2006: Materi PPJK

 

Kesimpulan:

  1. Barang hibah untuk umum dibebaskan dari bea masuk.
  2. Barang hibah untuk pribadi terutang bea masuk, kecuali jika nilai FOB sampai dengan USD3.
  3. Bea Cukai tetap melakukan penilaian terhadap barang hibah bekas untuk menentukan nilai pabeannya.
  4. Nilai pabean barang hibah bekas akan berbeda dengan barang baru karena memperhitungkan kondisi dan keausan barang.

 

Apakah harus ada izin KBRI terhadap barang personal effect

Meskipun tidak selalu diwajibkan, izin atau surat keterangan dari KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) memang diperlukan dalam beberapa kasus impor personal effect ke Indonesia.

 

Kapan izin KBRI diperlukan?

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.04/2008, izin atau surat keterangan dari KBRI diperlukan untuk impor personal effect oleh:

  • Warga Negara Indonesia (WNI) yang karena pekerjaannya pindah dan berdiam di luar negeri paling singkat 1 (satu) tahun secara terus menerus.
    Surat keterangan ini harus menjelaskan alasan kepindahan dan mencantumkan rincian barang yang akan dibawa.
  • Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang ditempatkan pada perwakilan Indonesia di luar negeri paling singkat 1 (satu) tahun secara terus menerus, berdasarkan perjanjian kerja dengan Kementerian Luar Negeri.
    Selain surat keterangan dari KBRI, juga diperlukan surat perjanjian kerja dengan Kementerian Luar Negeri.

 

Kapan izin KBRI tidak diperlukan?

Izin KBRI tidak diwajibkan untuk impor personal effect oleh:

  1. Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI/POLRI yang menjalankan tugas ke luar negeri atau tugas belajar paling singkat 1 tahun.
    Cukup melampirkan surat keputusan penempatan ke luar negeri dan surat penarikan kembali ke Indonesia dari instansi yang bersangkutan.
  2. Pelajar/mahasiswa yang belajar di luar negeri paling singkat 1 tahun.
    Cukup melampirkan surat keterangan telah selesai belajar.
  3. Warga Negara Asing (WNA) yang karena pekerjaannya pindah ke Indonesia.
    Cukup melampirkan KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas) dan IMTA (Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing).

 

Tujuan Izin KBRI:

  1. Memastikan keabsahan: Memastikan bahwa barang-barang yang diimpor sebagai personal effect memang benar-benar milik orang yang pindah ke Indonesia dan bukan barang dagangan.
  2. Mencegah penyalahgunaan: Mencegah penyalahgunaan fasilitas pembebasan bea masuk untuk personal effect.
  3. Memperlancar proses: Membantu Bea Cukai dalam memverifikasi data dan mempercepat proses impor personal effect.

 

Izin atau surat keterangan dari KBRI diperlukan dalam beberapa kasus impor personal effect, terutama untuk WNI yang pindah dari luar negeri karena pekerjaan atau TKI yang bekerja di perwakilan Indonesia di luar negeri. Tujuannya adalah untuk memastikan keabsahan, mencegah penyalahgunaan, dan memperlancar proses impor personal effect.

 

Apakah semua barang yang di impor harus dalam keadaan baru (UU Perdagangan)

Undang-Undang Perdagangan di Indonesia tidak mengharuskan semua barang impor dalam keadaan baru.

 

Ada beberapa jenis barang impor yang boleh dalam keadaan bekas, di antaranya:

Barang modal:

Mesin, peralatan produksi, dan barang-barang lain yang digunakan untuk keperluan produksi.

 

Barang bekas pakai:

Barang-barang konsumsi yang telah dipakai sebelumnya, seperti pakaian, buku, dan perabotan rumah tangga. Impor barang bekas pakai diatur dalam Permendag Nomor 18 Tahun 2021.

 

Suku cadang:

Komponen-komponen yang digunakan untuk memperbaiki atau mengganti bagian dari barang jadi.

 

Barang antik:

Barang-barang kuno yang memiliki nilai sejarah atau seni.

 

Barang pindahan:

Barang-barang keperluan rumah tangga milik orang yang pindah domisili ke Indonesia (personal effect).

 

Ketentuan Impor Barang Bekas:

Meskipun diperbolehkan, impor barang bekas tetap harus memenuhi ketentuan yang berlaku, di antaranya:

  • Tidak termasuk dalam barang larangan dan pembatasan (lartas): Barang bekas yang dilarang atau dibatasi impornya tidak boleh diimpor.
  • Memenuhi standar: Barang bekas harus memenuhi standar kualitas dan keamanan yang ditetapkan oleh pemerintah.
  • Memiliki izin: Importir barang bekas harus memiliki izin dari instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan.

 

Tujuan Diperbolehkannya Impor Barang Bekas:

  1. Memenuhi kebutuhan industri: Impor barang modal bekas dapat membantu industri dalam negeri mendapatkan mesin dan peralatan dengan harga yang lebih terjangkau.
  2. Memenuhi kebutuhan masyarakat: Impor barang bekas pakai dapat memberikan alternatif bagi masyarakat untuk mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah.
  3. Mengurangi limbah: Impor barang bekas dapat membantu mengurangi limbah dan mendorong pemanfaatan barang yang masih layak pakai.

 

Undang-Undang Perdagangan di Indonesia tidak mengharuskan semua barang impor dalam keadaan baru. Impor barang bekas diperbolehkan dengan memenuhi ketentuan yang berlaku.

 

Apakah mesin-mesin seken untuk proyek bisa di Reexport ?

Mesin-mesin bekas untuk proyek memang bisa diimpor ke Indonesia dengan skema impor sementara dan di-re-ekspor maksimal 3 tahun. Hal ini diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.

 

Skema Impor Sementara:

Impor sementara adalah pemasukan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk diekspor kembali dalam jangka waktu tertentu. Skema ini memberikan fasilitas penangguhan bea masuk. Artinya, importir tidak perlu membayar bea masuk di muka, selama barang tersebut diekspor kembali sesuai ketentuan.

 

Mesin Bekas untuk Proyek:

Mesin-mesin bekas yang digunakan untuk proyek, seperti konstruksi, pertambangan, atau infrastruktur, dapat diimpor dengan skema impor sementara karena mesin tersebut biasanya hanya dibutuhkan untuk jangka waktu tertentu dan akan diekspor kembali setelah proyek selesai.

 

Jangka Waktu dan Jaminan:

  • Jangka waktu: Jangka waktu impor sementara untuk mesin bekas proyek maksimal 3 tahun.
  • Jaminan: Importir wajib memberikan jaminan kepada Bea Cukai untuk menjamin bahwa barang impor sementara akan diekspor kembali. Jaminan dapat berupa uang tunai, jaminan bank, atau jaminan perusahaan asuransi.

 

Ketentuan Impor Sementara Mesin Bekas untuk Proyek:

  1. Permohonan izin: Importir harus mengajukan permohonan izin impor sementara kepada Bea Cukai.
  2. Dokumen: Melampirkan dokumen pendukung, seperti kontrak proyek, spesifikasi mesin, dan rencana ekspor kembali.
  3. Pemeriksaan: Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan dokumen dan fisik terhadap mesin yang diimpor.
  4. Pengawasan: Bea Cukai akan melakukan pengawasan terhadap mesin impor sementara untuk memastikan diekspor kembali sesuai ketentuan.

 

Manfaat Impor Sementara:

  1. Efisiensi biaya: Importir tidak perlu membayar bea masuk di muka, sehingga dapat menghemat biaya.
  2. Fleksibilitas: Memberikan fleksibilitas bagi importir untuk menggunakan mesin bekas sesuai kebutuhan proyek.
  3. Mendukung proyek: Membantu kelancaran proyek dengan memudahkan impor mesin yang dibutuhkan.

 

Impor sementara mesin bekas untuk proyek dengan skema re-ekspor merupakan solusi yang efisien dan fleksibel bagi perusahaan yang membutuhkan mesin untuk jangka waktu tertentu. Dengan mematuhi ketentuan yang berlaku, importir dapat memanfaatkan fasilitas ini untuk mendukung kelancaran proyek mereka.

 

Kalau barang Replacemen misal mesin diganti, jika ada sparepart baru maka apakah sparepart tersebut bayar bea masuk ?

Dalam konteks impor barang, jika terjadi penggantian mesin (replacement) dan ada sparepart baru yang disertakan, maka hanya sparepart baru tersebut yang terutang bea masuk dan pajak impor.

 

Ketentuannya Replacemen:

  1. Mesin sebagai barang utama: Mesin yang diganti dianggap sebagai barang utama yang telah diimpor sebelumnya.
  2. Sparepart sebagai pelengkap: Sparepart baru dianggap sebagai barang pelengkap yang menyertai mesin pengganti.
  3. Pembebasan bea masuk untuk mesin: Mesin pengganti tidak terutang bea masuk karena menggantikan mesin lama yang telah diimpor sebelumnya.
  4. Bea masuk untuk sparepart: Sparepart baru terutang bea masuk dan pajak impor sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  5. Penilaian: Bea Cukai akan melakukan penilaian terhadap sparepart baru untuk menentukan nilai pabean dan menghitung bea masuk.
  6. Dokumen: Importir harus melampirkan dokumen pendukung yang membuktikan bahwa sparepart tersebut merupakan bagian dari mesin pengganti, seperti invoice, packing list, dan dokumen lainnya.

 

Contoh kasus Replacemen:

PT A mengimpor mesin produksi dari Jepang. Setelah beberapa tahun, mesin tersebut mengalami kerusakan dan harus diganti. PT A kemudian mengimpor mesin baru dari Jepang sebagai pengganti. Mesin baru tersebut disertai dengan beberapa sparepart baru.

Dalam hal ini, PT A hanya perlu membayar bea masuk dan pajak impor untuk sparepart baru tersebut. Mesin pengganti tidak terutang bea masuk.

 

Manfaat Replacement:

  • Efisiensi biaya: Importir dapat menghemat biaya dengan tidak membayar bea masuk untuk mesin pengganti.
  • Kemudahan: Mempermudah proses penggantian mesin yang rusak dengan memudahkan impor mesin baru.
  • Mendukung industri: Membantu industri dalam negeri untuk mempertahankan produktivitas dengan memudahkan penggantian mesin yang rusak.

 

Jika terjadi penggantian mesin (replacement) dan ada sparepart baru yang disertakan, maka hanya sparepart baru tersebut yang terutang bea masuk dan pajak impor. Mesin pengganti tidak terutang bea masuk karena menggantikan mesin lama yang telah diimpor sebelumnya.

 

RKSP adalah

RKSP adalah singkatan dari Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut. RKSP merupakan pemberitahuan awal yang wajib disampaikan oleh pengangkut kepada Bea Cukai sebelum sarana pengangkut tiba di pelabuhan Indonesia.

 

Tujuan RKSP:

  1. Memudahkan pengawasan: Bea Cukai dapat mempersiapkan proses pengawasan dan pemeriksaan sejak sarana pengangkut masih dalam perjalanan.
  2. Mencegah penyelundupan: Membantu Bea Cukai dalam mencegah penyelundupan dan pelanggaran kepabeanan lainnya.
  3. Memperlancar arus barang: Mempercepat proses bongkar muat barang dan kelancaran arus logistik.
  4. Meningkatkan efisiensi: Membantu Bea Cukai mengoptimalkan sumber daya dan meningkatkan efisiensi pelayanan.

 

Siapa yang menyampaikan RKSP?

RKSP disampaikan oleh pengangkut, yaitu orang atau badan yang bertanggung jawab atas pengoperasian sarana pengangkut. Pengangkut dapat berupa:

  1. Maskapai penerbangan (untuk pesawat udara)
  2. Perusahaan pelayaran (untuk kapal laut)
  3. Perusahaan angkutan darat (untuk truk atau kereta api)

 

Kapan RKSP disampaikan?

RKSP harus disampaikan sebelum sarana pengangkut tiba di pelabuhan Indonesia. Batas waktu penyampaian bervariasi tergantung pada jenis sarana pengangkut dan rute perjalanan.

 

Bagaimana cara menyampaikan RKSP?

RKSP disampaikan secara elektronik melalui sistem Indonesia National Single Window (INSW).

Informasi yang dimuat dalam RKSP:

  1. Data sarana pengangkut: Jenis, nama, kebangsaan, nomor identifikasi, dan informasi lainnya.
  2. Data perjalanan: Pelabuhan asal, pelabuhan tujuan, tanggal dan waktu kedatangan.
  3. Data muatan: Jenis dan jumlah barang yang diangkut.
  4. Data awak sarana pengangkut: Nama dan kewarganegaraan awak sarana pengangkut.

 

Dasar Hukum RKSP:

Ketentuan mengenai RKSP diatur dalam:

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2017 tentang Tatalaksana Penyerahan Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Kedatangan Sarana
  • Pengangkut, dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut

 

RKSP merupakan pemberitahuan penting yang wajib disampaikan oleh pengangkut kepada Bea Cukai sebelum sarana pengangkut tiba di Indonesia. RKSP bertujuan untuk memudahkan pengawasan, mencegah penyelundupan, memperlancar arus barang, dan meningkatkan efisiensi pelayanan kepabeanan.

 

IMPORT untuk di pakai adalah

Istilah “Impor untuk Dipakai” merujuk pada kegiatan impor barang ke Indonesia dengan tujuan untuk dipakai atau dimiliki secara terus menerus oleh individu atau badan usaha yang berdomisili di Indonesia. Barang-barang ini tidak dimaksudkan untuk dijual kembali atau diekspor.
Berikut adalah beberapa poin penting terkait impor untuk dipakai:

 

Peraturan yang Mengatur:

  • Impor untuk dipakai diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-02/BC/2023.
  • Peraturan ini **tidak** mencakup impor untuk dipakai dari Tempat Penimbunan Berikat (TPB).
  • Juga tidak mengatur impor barang pindahan, barang bawaan penumpang/awak sarana pengangkut, barang kiriman, barang yang mendapatkan pelayanan segera, bantuan bencana alam, dan barang impor lain yang diatur secara terpisah.

 

Kewajiban Importir:

  • Menyampaikan dokumen pengeluaran (biasanya Pemberitahuan Impor Barang/PIB).
  • Membayar bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor.
  • Memenuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor.

 

Penyampaian PIB:

PIB disampaikan secara elektronik melalui Sistem Komputer Pelayanan (SKP) ke kantor Bea Cukai tempat importir berdomisili.

Contoh Barang Impor untuk Dipakai:

  • Mesin produksi untuk pabrik.
  • Kendaraan bermotor untuk penggunaan pribadi.
  • Barang elektronik untuk keperluan rumah tangga.
  • Bahan baku untuk keperluan industri.

 

Hal yang Perlu Diperhatikan:

  • Pastikan barang yang diimpor tidak termasuk dalam kategori barang larangan dan/atau pembatasan.
  • Lengkapilah semua dokumen persyaratan impor dengan benar dan tepat waktu.
  • Pahami prosedur dan ketentuan impor yang berlaku untuk menghindari masalah di kemudian hari.

 

Informasi Tambahan:

  • Anda dapat menemukan informasi lebih lanjut tentang impor untuk dipakai di situs web resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (www.beacukai.go.id).
  • Anda juga dapat berkonsultasi dengan konsultan kepabeanan untuk mendapatkan bantuan dalam proses impor.

 

Import Sementara adalah

Impor Sementara adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean Indonesia dengan tujuan untuk diekspor kembali dalam jangka waktu tertentu, paling lama 3 tahun. Untuk melakukan impor sementara, Anda perlu memenuhi beberapa syarat dan ketentuan.

Berikut penjelasan lebih rinci tentang impor sementara:

 

Syarat Barang:

  1. Tidak habis dipakai: Barang tersebut harus tetap ada dan dapat diidentifikasi setelah digunakan. Contoh: mesin industri, peralatan konstruksi, alat-alat pameran.
  2. Mudah diidentifikasi: Barang harus memiliki nomor seri, tanda, atau karakteristik khusus yang membedakannya dari barang lain.
  3. Tidak mengalami perubahan bentuk secara hakiki: Kecuali aus karena penggunaan normal.

 

Tujuan Impor Sementara:

  1. Sewa: Barang disewa oleh pihak di Indonesia untuk jangka waktu tertentu.
  2. Event/Pameran: Barang digunakan untuk pameran, seminar, konferensi, atau kegiatan serupa.
  3. Perbaikan/Perawatan: Barang dikirim ke Indonesia untuk diperbaiki atau dirawat, kemudian diekspor kembali.
  4. Penelitian: Barang digunakan untuk keperluan penelitian dan pengembangan.
  5. Tujuan lain: Selama disetujui oleh otoritas kepabeanan.

 

Jangka Waktu:

  • Maksimal 3 tahun sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
  • Dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan sebelum jangka waktu habis.

 

Jaminan:

  • Importir wajib memberikan jaminan kepada Bea Cukai untuk menjamin pembayaran bea masuk, pajak, dan denda jika barang tidak diekspor kembali.
  • Jaminan dapat berupa uang tunai, bank garansi, atau jaminan perusahaan.

 

Dokumen Pendukung:

  1. PIB
  2. Dokumen pelengkap pabean (invoice, packing list, bill of lading, dll.)
  3. Surat permohonan impor sementara yang menyebutkan alasan dan jangka waktu impor.
  4. Dokumen yang membuktikan bahwa barang akan diekspor kembali (kontrak sewa, surat perjanjian, dll.)
  5. Dokumen lain yang dipersyaratkan oleh Bea Cukai.

 

Kewajiban Importir:

  1. Mengekspor kembali barang dalam jangka waktu yang ditentukan.
  2. Melaporkan perubahan kondisi barang kepada Bea Cukai.
  3. Memenuhi semua ketentuan impor sementara yang berlaku.

 

Keuntungan Impor Sementara:

  • Penghematan biaya: Importir tidak perlu membayar bea masuk dan pajak impor secara penuh.
  • Fleksibilitas: Memungkinkan penggunaan barang impor untuk jangka waktu tertentu tanpa harus membelinya.

Informasi Tambahan:

* Ketentuan impor sementara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.04/2019.
* Anda dapat mencari informasi lebih lanjut di situs web resmi Direktorat Jenden Bea Cukai

 

Pengecualian Import sementara

Prinsipnya, dalam impor sementara, importir diwajibkan untuk mengekspor kembali barang yang diimpor dalam jangka waktu yang ditentukan. Namun, ada pengecualian jika terjadi keadaan kahar atau force majeure.

 

Keadaan Kahar (Force Majeure)

Keadaan kahar adalah suatu kejadian di luar kemampuan manusia yang terjadi secara tiba-tiba, tidak dapat dihindari, dan mengakibatkan importir tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk mengekspor kembali barang impor sementara.

 

Contoh Keadaan Kahar:

  1. Bencana alam: gempa bumi, banjir, tsunami, letusan gunung berapi.
  2. Kerusuhan, perang, atau konflik bersenjata.
  3. Kebakaran yang tidak disengaja.
  4. Kecelakaan kapal atau pesawat yang mengangkut barang.
  5. Pencairan Jaminan dalam Keadaan Kahar
  6. Contoh pesawat penumpang sukoy nabrak gunung salak karena kelalaian pilot maka barang import tersebut jaminannya di cairkan tapi kena sangsi dan membayar bea masuk.

Jika barang impor sementara tidak dapat diekspor kembali karena keadaan kahar, importir dapat mengajukan permohonan pencairan jaminan kepada Bea Cukai.

 

Prosedur  kahar:

  1. Importir mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Bea Cukai tempat PIB didaftarkan.
  2. Permohonan harus disertai dengan bukti-bukti yang sah tentang terjadinya keadaan kahar, seperti:
  3. Surat keterangan dari instansi yang berwenang (misalnya, BMKG untuk bencana alam, kepolisian untuk kecelakaan).
  4. Foto atau video dokumentasi.
  5. Laporan kejadian.
  6. Bea Cukai akan melakukan penelitian dan verifikasi atas permohonan tersebut.

Jika permohonan disetujui, jaminan akan dicairkan untuk membayar bea masuk, pajak, dan denda yang terutang (jika ada).

 

Pengecualian Kahar:

Penting untuk diingat bahwa pencairan jaminan tidak berlaku jika barang impor sementara tidak dapat diekspor kembali karena kelalaian importir, seperti:

  1. Barang hilang karena dicuri atau tidak disimpan dengan baik.
  2. Barang rusak atau hancur karena kesalahan importir.
  3. Barang tidak diekspor kembali karena importir lalai atau lupa.

Dalam kasus kelalaian, jaminan akan digunakan untuk membayar bea masuk, pajak, dan denda sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Informasi Tambahan:

Ketentuan mengenai keadaan kahar dalam impor sementara diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.04/2019.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat berkonsultasi dengan Bea Cukai atau konsultan kepabeanan.

 

Apa konsekuensi yang harus ditanggung importir jika tidak melaksanakan kewajiban ekspor kembali barang yang diimpor sementara?

Terlambat Mengekspor Kembali

Denda 100%: Jika importir terlambat mengekspor kembali barang impor sementara melebihi jangka waktu yang diizinkan, maka akan dikenakan denda sebesar 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
Jangka Waktu: Jangka waktu impor sementara umumnya maksimal 3 tahun dan dapat diperpanjang dengan mengajukan permohonan.

Tidak Mengekspor Kembali

Bayar Bea Masuk + Denda 100%: Jika importir tidak mengekspor kembali barang impor sementara dalam jangka waktu yang diizinkan, maka wajib membayar bea masuk dan dikenakan denda 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
Alasan: Ketidakmampuan mengekspor kembali bisa disebabkan berbagai hal, seperti:
Barang hilang: karena dicuri, rusak berat, atau force majeure (bencana alam).
Kecelakaan akibat sendiri: kerusakan barang akibat kelalaian importir.
Kepailitan atau likuidasi perusahaan: importir tidak mampu lagi melanjutkan kegiatan usahanya.

 

Contoh Kasus Impor Sementara:

Anda mengimpor mesin produksi dengan nilai pabean Rp 1 miliar dan bea masuk yang seharusnya dibayar adalah Rp 100 juta.

Jika Anda terlambat mengekspor kembali mesin tersebut, Anda akan dikenakan denda Rp 100 juta (100% dari bea masuk).
Jika Anda tidak mengekspor kembali mesin tersebut karena hilang atau rusak, Anda harus membayar bea masuk Rp 100 juta dan denda Rp 100 juta, total Rp 200 juta.

 

Pengecualian Impor Sementara:

Dalam kondisi tertentu, importir dapat dibebaskan dari kewajiban ekspor kembali dan denda, antara lain:

  • Force Majeure: Terjadi bencana alam atau kejadian di luar kemampuan manusia yang mengakibatkan barang impor sementara tidak dapat diekspor kembali.
  • Persetujuan Bea Cukai: Importir mendapat persetujuan dari Bea Cukai untuk mengganti barang impor sementara dengan barang lain yang setara.
  • Ketentuan Lain: Dalam hal lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Dasar Hukum Denda Impor:

Ketentuan mengenai denda impor sementara diatur dalam:

  • PMK 106/PMK.04/2019 tentang Ketentuan Impor Sementara

Importir harus mematuhi kewajiban ekspor kembali barang impor sementara untuk menghindari denda. Jika terjadi kendala yang mengakibatkan ketidakmampuan mengekspor kembali, segera komunikasikan dengan Bea Cukai dan ajukan permohonan keringanan sesuai ketentuan yang berlaku.

 

Pengeluaran Barang Impor untuk di pakai oleh Bea Cukai

Bea Cukai akan mengeluarkan barang impor setelah importir memenuhi kewajiban kepabeanan, yaitu:

  • Menyampaikan PIB (Pemberitahuan Impor Barang): PIB adalah dokumen yang digunakan untuk memberitahukan impor barang kepada Bea Cukai. PIB harus diisi dengan lengkap dan benar, serta dilampiri dengan dokumen pelengkap pabean (invoice, packing list, bill of lading, dll.).
  • Membayar Bea Masuk dan Pajak: Importir wajib membayar bea masuk, cukai (jika ada), dan pajak dalam rangka impor (PPN, PPnBM, PPh Pasal 22) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Alternatif Selain Pembayaran Penuh:

Dalam kondisi tertentu, importir dapat mengajukan penangguhan bea masuk dengan memberikan jaminan kepada Bea Cukai. Penangguhan ini diberikan dalam hal:

  1. Importir mengajukan keberatan: Jika importir tidak setuju dengan penetapan bea masuk dan pajak, mereka dapat mengajukan keberatan dan memberikan jaminan untuk menangguhkan pembayaran.
  2. Barang menunggu proses penelitian: Jika barang impor memerlukan penelitian lebih lanjut oleh Bea Cukai, importir dapat memberikan jaminan untuk menangguhkan pembayaran.
  3. Ketentuan lain: Dalam hal lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Jaminan:

  • Jenis Jaminan: Jaminan dapat berupa uang tunai, bank garansi, atau jaminan perusahaan.
  • Besaran Jaminan: Besaran jaminan minimal sama dengan jumlah bea masuk dan pajak yang terutang.

 

Denda:

Keterlambatan Pembayaran: Jika importir tidak melunasi bea masuk dan pajak atau tidak memperpanjang jangka waktu penangguhan sesuai waktu yang ditentukan, akan dikenakan denda administrasi sebesar 10% dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

 

Dasar Hukum impor untuk di pakai:

Ketentuan mengenai impor untuk dipakai dan denda keterlambatan pembayaran diatur dalam:

  • PMK 190/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Impor

Barang impor untuk dipakai akan dikeluarkan oleh Bea Cukai setelah importir menyampaikan PIB dan melunasi bea masuk dan pajak. Alternatifnya, importir dapat menangguhkan pembayaran dengan memberikan jaminan. Namun, jika tidak dilunasi tepat waktu, akan dikenakan denda.

 

CARNET adalah

Carnet adalah dokumen pabean internasional yang memungkinkan impor sementara barang tanpa membayar bea masuk dan pajak impor. Dokumen ini sering disebut sebagai “paspor barang” karena memungkinkan barang melintasi batas negara dengan mudah.

Ada dua jenis Carnet yang umum digunakan:

ATA Carnet:

Singkatan dari Admission Temporaire/Temporary Admission Carnet.

Digunakan untuk impor sementara barang seperti:

  1. Barang untuk dipamerkan atau digunakan dalam pameran.
  2. Peralatan profesional (contoh: peralatan fotografi, peralatan medis).
  3. Barang untuk keperluan pendidikan, ilmiah, atau budaya.
  4. Berlaku di lebih dari 78 negara.
  5. Masa berlaku umumnya 1 tahun.

 

CPD Carnet:

Singkatan dari Carnet de Passages en Douane.

  • Digunakan khusus untuk impor sementara kendaraan bermotor, seperti mobil, motor, dan kapal pesiar.
  • Memudahkan perjalanan kendaraan melintasi batas negara tanpa harus membayar bea masuk dan pajak di setiap negara.

 

Keuntungan Menggunakan Carnet:

  1. Mempermudah prosedur kepabeanan: Carnet menyederhanakan proses impor sementara, mengurangi dokumen yang diperlukan, dan mempercepat proses di perbatasan.
  2. Menghemat biaya: Anda tidak perlu membayar bea masuk dan pajak impor selama masa berlaku Carnet.
  3. Jaminan internasional: Carnet menjamin pembayaran bea masuk dan pajak jika barang tidak diekspor kembali sesuai ketentuan.

 

Cara Mendapatkan Carnet:

Di Indonesia, Carnet diterbitkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.
Anda perlu mengajukan permohonan ke KADIN dan memenuhi persyaratan yang ditentukan.

Informasi Tambahan:

Carnet diatur dalam konvensi internasional yang diadministrasikan oleh World Customs Organization (WCO).
Anda dapat menemukan informasi lebih lanjut tentang Carnet di situs web KADIN Indonesia atau WCO.

 

Bagaimana cara mengurus CARNET ?

Carnet diurus di negara asal barang. Jadi, jika Anda dari Indonesia dan akan membawa barang ke luar negeri menggunakan Carnet, Anda harus mengurusnya di Indonesia sebelum berangkat.

Berikut proses penggunaan Carnet secara umum:

  1. Pengurusan Carnet: Anda mengajukan permohonan Carnet ke penerbit Carnet di negara asal barang (di Indonesia, penerbitnya adalah KADIN).
  2. Persetujuan: Setelah permohonan disetujui, Anda akan menerima dokumen Carnet.
  3. Keberangkatan: Saat Anda membawa barang keluar negeri, petugas bea cukai di negara asal akan memeriksa Carnet dan barang Anda, lalu membubuhkan stempel keberangkatan.
  4. Kedatangan: Setibanya di negara tujuan, petugas bea cukai akan memeriksa Carnet dan barang Anda, lalu membubuhkan stempel kedatangan.
  5. Kepulangan: Saat Anda kembali ke negara asal, petugas bea cukai akan memeriksa Carnet dan barang Anda, lalu membubuhkan stempel kepulangan.
  6. Penutupan Carnet: Setelah barang kembali ke negara asal, Anda harus mengembalikan Carnet ke penerbit Carnet untuk ditutup.

 

Jika terjadi kecelakaan atau kehilangan barang di luar negeri, berikut yang terjadi:

  1. Laporkan kejadian: Segera laporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang setempat (misalnya, polisi) dan ke penerbit Carnet di negara asal.
  2. Klaim asuransi: Jika barang diasuransikan, ajukan klaim asuransi.
  3. Tanggung jawab penerbit Carnet: Penerbit Carnet akan menanggung bea masuk dan pajak impor yang terutang di negara asing tempat kejadian.
  4. Penggantian kerugian: Penerbit Carnet akan menuntut ganti rugi kepada Anda sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang biasanya meliputi bea masuk, pajak impor, dan biaya administrasi. Tidak selalu 100% dari bea masuk.

 

Penting untuk diingat:

  • Carnet berfungsi sebagai jaminan bahwa barang akan diekspor kembali atau akan diselesaikan kewajiban pabeannya jika terjadi sesuatu pada barang tersebut di luar negeri.
  • Besarnya denda atau ganti rugi yang harus dibayar jika terjadi kecelakaan atau kehilangan barang bergantung pada ketentuan yang berlaku di negara tersebut dan perjanjian dengan penerbit Carnet.
  • Selalu pastikan Anda memahami syarat dan ketentuan penggunaan Carnet sebelum menggunakannya.

 

Apa perbedaan Impor sementara dengan Carnet ?

Ada beberapa perbedaan penting antara klaim dalam impor sementara dan Carnet, terutama terkait penagihan dan fleksibilitas pelabuhan.

 

Klaim dan Penagihan:

  • Impor Sementara: Jika terjadi keadaan kahar (force majeure) dalam impor sementara, importir mengajukan klaim ke kantor Bea Cukai setempat di Indonesia. Bea Cukai akan memproses klaim dan mencairkan jaminan untuk menutupi kewajiban importir.
  • Carnet: Jika terjadi kehilangan atau kerusakan barang yang diimpor sementara dengan Carnet, importir mengajukan klaim ke penerbit Carnet di negara asal. Penerbit Carnet yang akan menanggung kewajiban bea cukai di negara tempat kejadian dan kemudian menagihkan biaya tersebut kepada importir.

 

Fleksibilitas Pelabuhan:

  • Impor Sementara: Umumnya, barang yang diimpor sementara harus diekspor kembali melalui pelabuhan yang sama dengan tempat barang tersebut diimpor.
  • Carnet: Memberikan fleksibilitas lebih besar. Anda tidak harus keluar-masuk melalui pelabuhan yang sama. Ini sangat menguntungkan jika Anda membawa barang melintasi beberapa negara.

 

Kesimpulan:

Carnet menawarkan beberapa keuntungan dibandingkan impor sementara, terutama dalam hal kemudahan, fleksibilitas, dan cakupan negara. Namun, penting untuk memahami syarat dan ketentuan penggunaan Carnet, termasuk prosedur klaim dan tanggung jawab jika terjadi kehilangan atau kerusakan barang.

 

Bagaimana cara mengurus ATA Carnet dan CPD Carnet ?

Berikut ringkasan perbedaan dan contoh kasusnya:

ATA Carnet (KADIN):

Diurus di KADIN.
Untuk barang non-kendaraan bermotor, seperti barang pameran, peralatan profesional (alat musik, peralatan fotografi), sampel dagang, dll.
Contoh: Membawa peralatan fotografi untuk pemotretan di luar negeri.

 

CPD Carnet (IMI):

Diurus di IMI (Ikatan Motor Indonesia).
Khusus untuk kendaraan bermotor: mobil, motor, karavan, dll.
Contoh: Turing motor ke luar negeri seperti yang Anda sebutkan.

 

Pengurusan Carnet di IMI untuk Turing ke Luar Negeri:

Syarat Pengeurusan CPD Carnet:

  1. Menjadi anggota IMI (individu atau klub).
  2. Memiliki Kartu Anggota IMI yang masih berlaku.
  3. Melengkapi formulir permohonan.
  4. Membawa dokumen kendaraan (STNK, BPKB, faktur).
  5. Membayar biaya administrasi dan deposit.

 

Proses CPD Carnet:

  • Ajukan permohonan ke IMI.
  • IMI akan memeriksa kelengkapan dokumen dan kendaraan.
  • Setelah disetujui, IMI akan menerbitkan CPD Carnet.

 

Pemeriksaan Motor saat Pulang ke Indonesia:

  1. Saat kembali ke Indonesia, Anda wajib melaporkan diri ke Bea Cukai dan menunjukkan CPD Carnet serta motor Anda.
  2. Bea Cukai akan memeriksa kesesuaian motor dengan data di Carnet dan memastikan tidak ada perubahan yang melanggar ketentuan.
  3. Jika semua sesuai, Bea Cukai akan membubuhkan stempel kepulangan pada Carnet.

 

Keuntungan Menggunakan Carnet untuk Turing:

  1. Mempermudah perjalanan: Tidak perlu mengurus dokumen impor sementara di setiap negara yang dikunjungi.
  2. Menghemat biaya: Bebas bea masuk dan pajak impor di negara-negara yang mengakui Carnet.
  3. Jaminan: Carnet menjamin bahwa kendaraan akan diekspor kembali dari negara-negara yang dikunjungi.

 

Ingat:

Masa berlaku Carnet umumnya 1 tahun.
Pastikan Carnet selalu dibawa bersama kendaraan selama perjalanan.
Pahami rute perjalanan dan negara-negara yang akan dikunjungi, karena tidak semua negara mengakui Carnet.

 

Apa itu Bea masik yang Advalorum dan Bea masuk spesifik

Bea masuk di Indonesia memang dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

Bea Masuk Ad Valorem

Dikenakan berdasarkan persentase tertentu dari nilai impor barang.
Contoh: Bea masuk 10% untuk barang dengan nilai impor Rp 10.000.000, maka bea masuk yang harus dibayar adalah Rp 1.000.000.
Umumnya diterapkan untuk barang-barang dengan nilai yang fluktuatif, seperti elektronik, kendaraan bermotor, dan produk fashion.

Bea Masuk Spesifik

Dikenakan berdasarkan jumlah atau satuan barang, bukan nilai barang. Seperti gula/beras perkilo, film permenit dan Minuman Mengandung Alkohol (minol) perliter.

Contoh: Bea masuk Rp 5.000 per kilogram untuk gula impor. Jika Anda mengimpor 1 ton (1000 kg) gula, maka bea masuk yang harus dibayar adalah Rp 5.000 x 1000 kg = Rp 5.000.000.
Biasanya diterapkan untuk barang-barang yang mudah diukur jumlah atau satuannya, seperti beras, gula, dan minyak goreng.

 

Tujuan Pemberlakuan Bea Masuk:

Melindungi industri dalam negeri dari persaingan barang impor.
Meningkatkan penerimaan negara.
Mengendalikan impor barang-barang tertentu.

Informasi Tambahan:

Besaran tarif bea masuk untuk setiap jenis barang diatur dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
Selain bea masuk, importir juga wajib membayar pajak-pajak lain dalam rangka impor, seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

 

Bagaimana cara pengenaan tarif Bea Masuk ?

mari kita bahas lebih lanjut mengenai pengenaan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional, barang bawaan penumpang, dan FTA.

 

Tarif Bea Masuk Berdasarkan Perjanjian Internasional

Indonesia telah menandatangani berbagai perjanjian perdagangan internasional, baik bilateral maupun multilateral, yang mengatur ketentuan tarif bea masuk bagi barang-barang yang diperdagangkan antar negara anggota. Beberapa contoh perjanjian tersebut antara lain:

  1. ASEAN Free Trade Area (AFTA): Menerapkan tarif bea masuk 0% untuk sebagian besar produk yang diperdagangkan antar negara ASEAN.
  2. Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA): Memberikan preferensi tarif bea masuk untuk berbagai produk antara Indonesia dan Australia.
  3. Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP): Perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia yang mencakup negara-negara ASEAN, Australia, Selandia Baru, China, Jepang, dan Korea Selatan.
  4. Dalam perjanjian-perjanjian tersebut, terdapat skema preferensi tarif, di mana barang impor dari negara mitra akan dikenakan tarif bea masuk yang lebih rendah atau bahkan 0% dibandingkan tarif normal.

 

Untuk mendapatkan fasilitas tarif preferensi, importir harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:

  • Barang berasal dari negara mitra perjanjian.
  • Memenuhi ketentuan asal barang (rules of origin).
  • Memiliki dokumen pendukung yang sah, seperti Surat Keterangan Asal (SKA).

 

Barang Impor Bawaan Penumpang (PAX), Awak Sarana Pengangkut (ASP), dan Barang Kiriman

  1. Penumpang (PAX): Diberikan pembebasan bea masuk untuk barang pribadi dengan nilai pabean FOB (Free on Board) sampai dengan USD 500 per orang untuk setiap kedatangan.
    Jika nilai barang melebihi batas tersebut, maka kelebihannya akan dikenakan bea masuk dan pajak impor.
  2. Awak Sarana Pengangkut (ASP): Diberikan pembebasan bea masuk untuk barang pribadi dengan nilai pabean FOB sampai dengan USD 50 per orang untuk setiap kedatangan.
    Barang Kiriman (PBX) dan Jasa Titipan:
  3. Pengiriman melalui pos: Diberikan pembebasan bea masuk untuk barang kiriman dengan nilai pabean FOB sampai dengan USD 3.
  4. Pengiriman melalui jasa titipan: Dikenakan bea masuk dan pajak impor sesuai ketentuan yang berlaku, tanpa batasan nilai.

 

Free Trade Agreement (FTA)

FTA adalah perjanjian antara dua negara atau lebih untuk mengeliminasi atau mengurangi hambatan perdagangan, termasuk tarif bea masuk.

 

Manfaat FTA:

  • Meningkatkan akses pasar bagi produk ekspor.
  • Menurunkan harga barang impor.
  • Mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.

 

Contoh FTA yang diikuti Indonesia:

  1. AFTA
  2. IA-CEPA
  3. RCEP
  4. Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA)
  5. Indonesia-Korea Comprehensive Economic Partnership Agreement (IK-CEPA)

 

Kesimpulan:

Pengenaan tarif bea masuk dapat bervariasi tergantung pada jenis barang, asal barang, dan perjanjian internasional yang berlaku. Dengan memahami ketentuan-ketentuan tersebut, importir dapat meminimalkan biaya impor dan memaksimalkan keuntungan.

 

HS Code adalah

HS Code (Harmonized System Code) adalah sistem klasifikasi barang yang distandarisasi secara internasional. Kode ini digunakan oleh otoritas kepabeanan di seluruh dunia untuk mengidentifikasi jenis barang yang diperdagangkan.

 

Perubahan HS Code di Indonesia:

  • Sebelum tahun 2017, Indonesia menggunakan HS Code 6 digit.
  • Sejak 1 Maret 2017, Indonesia mengadopsi ASEAN Harmonized Tariff Nomenclature (AHTN) 2017 yang menggunakan HS Code 8 digit.
  • AHTN merupakan pengembangan dari HS Code 6 digit yang disusun oleh World Customs Organization (WCO).

 

Tujuan Penggunaan HS Code:

  1. Mempermudah identifikasi barang.
  2. Menghindari kesalahan interpretasi dalam perdagangan internasional.
  3. Memudahkan pengumpulan data statistik perdagangan.
  4. Menentukan tarif bea masuk, pajak, dan ketentuan impor lainnya.

 

Nilai Pabean

Nilai pabean adalah nilai yang digunakan sebagai dasar untuk penghitungan bea masuk dan pajak impor lainnya.

 

Penentuan Nilai Pabean:

Di Indonesia, penentuan nilai pabean diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 144/PMK.04/2022.

Metode utama yang digunakan adalah Nilai Transaksi, yaitu harga yang sebenarnya dibayar atau harus dibayar untuk barang yang dinilai pada saat impor.

 

Komponen Nilai Transaksi:

Nilai transaksi meliputi:

  1. Harga barang itu sendiri.
  2. Biaya-biaya yang terkait dengan transaksi impor, seperti:
  3. Biaya komisi dan brokerage.
  4. Biaya pengepakan dan handling.
  5. Biaya royalti dan lisensi.
  6. Biaya transportasi dan asuransi sampai pelabuhan tujuan di Indonesia.

 

Metode Alternatif:

Jika nilai transaksi tidak dapat ditentukan, maka dapat digunakan metode alternatif secara berurutan, yaitu:

  1. Nilai transaksi barang identik.
  2. Nilai transaksi barang serupa.
  3. Nilai deduktif.
  4. Nilai komputasi.
  5. Metode terakhir (fallback method).

 

Penting untuk diingat:

  • HS Code yang tepat sangat penting untuk menentukan tarif bea masuk dan pajak impor yang berlaku.
  • Penentuan nilai pabean harus dilakukan dengan benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk menghindari masalah dengan Bea Cukai.

 

Kenapa Kena SPTNP atau NOTUL bisa menjadi jalur merah (pemeriksaan fisik)

Penerbitan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) atau Nota Pembetulan (NOTUL) memang bisa menjadi salah satu penyebab barang impor Anda masuk jalur merah dan menjalani pemeriksaan fisik.

 

Jalur Merah dalam Impor

Dalam proses impor di Indonesia, terdapat tiga jalur yang menentukan mekanisme pemeriksaan barang, yaitu:

  • Jalur Hijau: Tidak dilakukan pemeriksaan fisik. Barang langsung dikeluarkan setelah dokumen diperiksa dan disetujui.
  • Jalur Kuning: Dilakukan pemeriksaan dokumen secara mendalam.
  • Jalur Merah: Dilakukan pemeriksaan fisik dan dokumen secara menyeluruh.

 

SPTNP dan NOTUL

  • SPTNP: Diterbitkan oleh Bea Cukai jika terdapat perbedaan tarif dan/atau nilai pabean antara yang diajukan importir dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan hasil penelitian Bea Cukai.
  • NOTUL: Diterbitkan oleh Bea Cukai jika terdapat kesalahan atau kekurangan dalam pengisian PIB yang perlu diperbaiki oleh importir.

 

Mengapa SPTNP/NOTUL Memicu Jalur Merah?

  • Potensi Risiko: Penerbitan SPTNP/NOTUL mengindikasikan adanya potensi risiko ketidakpatuhan, sehingga Bea Cukai perlu melakukan pemeriksaan fisik untuk memastikan kebenaran data dan mencegah pelanggaran kepabeanan.
  • Verifikasi Fisik: Pemeriksaan fisik bertujuan untuk memverifikasi kesesuaian antara data dalam PIB dengan kondisi fisik barang, seperti jenis, jumlah, dan spesifikasi barang.
  • Pencegahan Penyelundupan: Pemeriksaan fisik juga membantu Bea Cukai dalam mencegah penyelundupan barang terlarang atau barang yang tidak sesuai dengan dokumen.

 

Prosedur Jalur Merah:

  1. Penerbitan SPJM: Sistem Komputer Pelayanan (SKP) Bea Cukai akan menerbitkan Surat Pemberitahuan Jalur Merah (SPJM).
  2. Penyiapan Barang: Importir atau Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) menyiapkan barang dan dokumen pendukung sesuai SPJM.
  3. Pemeriksaan Fisik: Pejabat Bea Cukai melakukan pemeriksaan fisik barang di tempat penimbunan sementara atau tempat lain yang ditentukan.
  4. Penerbitan SPPB: Jika hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan dokumen, Bea Cukai akan menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

 

Tips Menghadapi Jalur Merah:

  1. Pastikan data dalam PIB diisi dengan lengkap, benar, dan sesuai dengan dokumen pendukung.
  2. Gunakan HS Code yang tepat untuk barang impor Anda.
  3. Lampirkan dokumen pendukung yang sah dan lengkap.
  4. Kooperatif dan responsif terhadap pertanyaan dari petugas Bea Cukai.
  5. Jika terjadi SPTNP/NOTUL, segera lakukan perbaikan dan penyesuaian sesuai petunjuk Bea Cukai.

 

Kesimpulan:

Meskipun SPTNP/NOTUL dapat memicu jalur merah, hal ini merupakan bagian dari proses pengawasan kepabeanan untuk melindungi kepentingan negara dan mencegah pelanggaran. Dengan memahami prosedur dan bersikap kooperatif, Anda dapat menghadapi jalur merah dengan lancar.

 

Kalau ada kesalahan tarif HS Code apa yang bea cukai tagih ?

Jika terjadi kesalahan tarif HS Code, Bea Cukai akan menagih selisih bea masuk dan pajak impor yang seharusnya dibayar.

 

Ilustrasi Kasus:

Misalkan Anda mengimpor barang dengan HS Code yang salah, sehingga tarif bea masuk yang Anda bayar lebih rendah dari yang seharusnya.

HS Code yang salah: 0% bea masuk
HS Code yang benar: 5% bea masuk

 

Konsekuensi:

Bea Cukai akan menerbitkan SPTNP untuk mengoreksi kesalahan tersebut. Anda akan dikenakan tagihan atas:

  • Selisih Bea Masuk: 5% (tarif yang benar) – 0% (tarif yang salah) = 5% dari nilai impor barang.
  • Selisih Pajak Impor: Karena bea masuk merupakan dasar pengenaan pajak impor (PPN, PPnBM, PPh), maka selisih bea masuk juga akan mempengaruhi jumlah pajak impor yang harus dibayar. Anda akan dikenakan selisih pajak impor yang terutang.

 

Tambahan Biaya:

Selain selisih bea masuk dan pajak impor, Anda mungkin juga akan dikenakan:

  • Denda: Jika kesalahan HS Code dianggap sebagai pelanggaran, Anda mungkin akan dikenakan denda sesuai ketentuan yang berlaku. Besarnya denda bervariasi tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat kesalahannya.
  • Bunga: Jika terdapat keterlambatan pembayaran, Anda mungkin akan dikenakan bunga atas tunggakan bea masuk dan pajak impor.

 

Penting untuk Diperhatikan:

  • Ketepatan HS Code: Pastikan Anda menggunakan HS Code yang tepat untuk barang impor Anda. Anda dapat berkonsultasi dengan Bea Cukai atau konsultan kepabeanan jika ragu.
  • Koreksi Kesalahan: Jika Anda menyadari adanya kesalahan HS Code, segera laporkan ke Bea Cukai untuk dilakukan koreksi. Melaporkan kesalahan secara sukarela dapat meringankan sanksi yang dikenakan.
  • Pembukuan yang Baik: Simpan semua dokumen impor dengan baik dan rapi untuk memudahkan pemeriksaan dan audit di kemudian hari.

 

Kesalahan HS Code dapat mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak impor. Oleh karena itu, ketelitian dan kepatuhan dalam pengisian dokumen impor sangat penting untuk menghindari masalah dengan Bea Cukai.

 

Kalau lebih bayar apakah uang Bea masuk dikembalikan oleh BC?

Jika Anda sebagai importir ternyata kelebihan membayar bea masuk, Bea Cukai akan mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut. Proses ini disebut restitusi.

 

Kapan Restitusi Bea Masuk Dapat Dilakukan?

Ada beberapa kondisi yang memungkinkan restitusi bea masuk, antara lain:

  1. Kelebihan bayar karena penetapan tarif/nilai pabean:
    Jika setelah penelitian, Bea Cukai menetapkan tarif atau nilai pabean yang lebih rendah dari yang Anda bayarkan di awal, maka selisihnya akan dikembalikan.
  2. Kelebihan bayar karena penetapan kembali tarif/nilai pabean oleh Direktur Jenderal:
    Jika Direktur Jenderal Bea Cukai menetapkan kembali tarif atau nilai pabean yang mengakibatkan bea masuk lebih rendah, Anda berhak atas restitusi.
  3. Kelebihan bayar akibat keputusan keberatan atau putusan pengadilan:
    Jika Anda mengajukan keberatan atau gugatan atas penetapan bea masuk dan menang, kelebihan bea masuk yang sudah dibayar akan dikembalikan.
  4. Impor barang yang mendapat pembebasan/keringanan:
    Jika barang impor Anda seharusnya mendapatkan pembebasan atau keringanan bea masuk, tetapi Anda sudah terlanjur membayar penuh, Anda dapat mengajukan restitusi.
  5. Impor barang yang harus diekspor kembali/dimusnahkan:
    Jika barang impor Anda harus diekspor kembali atau dimusnahkan karena alasan tertentu, bea masuk yang sudah dibayar dapat dikembalikan.
  6. Cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah:
    Jika barang impor Anda ternyata cacat, bukan barang yang dipesan, atau berkualitas lebih rendah dari yang seharusnya, dan Anda harus mengembalikannya ke penjual, bea masuk yang sudah dibayar dapat dikembalikan.

 

Prosedur Restitusi:

  1. Ajukan permohonan restitusi: Anda harus mengajukan permohonan restitusi secara tertulis ke kantor Bea Cukai tempat PIB didaftarkan.
  2. Lampirkan dokumen pendukung: Sertakan dokumen-dokumen yang membuktikan kelebihan pembayaran bea masuk, seperti:
  3. SPTNP
  4. NOTUL
  5. Keputusan keberatan
  6. Putusan pengadilan
  7. Bukti pembayaran bea masuk
  8. Pemeriksaan dan verifikasi: Bea Cukai akan memeriksa permohonan dan dokumen pendukung Anda.
  9. Pengembalian kelebihan pembayaran: Jika permohonan disetujui, Bea Cukai akan mengembalikan kelebihan pembayaran bea masuk ke rekening Anda.

 

Ketentuan restitusi bea masuk diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022.
Anda dapat mencari informasi lebih lanjut tentang restitusi di situs web resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (www.beacukai.go.id) atau menghubungi kantor Bea Cukai terdekat.

 

Bea cukai menetapkan bea masuk, pajak dan sangsi administrasi ?

Bea Cukai memiliki wewenang untuk menetapkan bea masuk, pajak, dan sanksi administrasi berupa denda dalam rangka impor barang.
Jika dokumen ada 1000 item ada 100 item yang salah maka yang di bayar adalah 100 item tersebut.

 

Dasar Hukum Bea Masuk, Denda:

Ketentuan mengenai penetapan bea masuk, pajak, dan denda diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) dan peraturan pelaksanaannya.

 

Bea Masuk dan Pajak:

  1. Bea Masuk: Dikenakan atas barang impor yang masuk ke wilayah pabean Indonesia. Besaran bea masuk bervariasi tergantung jenis barang dan diatur dalam Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
  2. Pajak: Selain bea masuk, importir juga wajib membayar pajak dalam rangka impor, seperti:
    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
    Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor

 

Sanksi Administrasi:

Jika importir melakukan pelanggaran terhadap ketentuan kepabeanan, Bea Cukai dapat mengenakan sanksi administrasi berupa denda.

 

Contoh Pelanggaran yang Dapat Dikenakan Denda:

Kesalahan dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB):

  • Memberikan keterangan tidak benar atau tidak lengkap.
  • Tidak menyampaikan PIB.
  • Terlambat menyampaikan PIB.

 

Kesalahan dalam Penetapan Nilai Pabean:

Memberitahukan nilai pabean yang tidak benar, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk.

 

Pelanggaran terhadap Ketentuan Impor Sementara:

  • Tidak mengekspor kembali barang impor sementara.
  • Melanggar ketentuan penggunaan barang impor sementara.

Penyelundupan:

Memasukkan barang secara ilegal ke wilayah Indonesia.

Besaran Denda:

UU Kepabeanan dan peraturan pelaksanaannya mengatur besaran denda untuk berbagai jenis pelanggaran.

Contoh:

  • Kesalahan Nilai Pabean (Pasal 16 ayat 4 UU Kepabeanan): Denda paling sedikit 100% dan paling banyak 1000% dari bea masuk yang kurang dibayar.
  • Keterlambatan Ekspor Kembali Barang Impor Sementara (PMK 106/PMK.04/2019): Denda 100% dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

 

Faktor yang Mempengaruhi Besaran Denda:

  1. Jenis pelanggaran
  2. Tingkat kesalahan
  3. Nilai barang
  4. Dampak pelanggaran
  5. Riwayat kepatuhan importir

 

Apakah Dirjen BC dapat menetapkan SPKTNP ?

Direktur Jenderal Bea dan Cukai (Dirjen BC) memang memiliki wewenang untuk menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean dalam jangka waktu 2 tahun sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Hal ini diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.

 

Tujuan Penetapan Kembali:

  1. Memastikan kebenaran dan keakuratan: Dirjen BC dapat melakukan penelitian ulang atau audit kepabeanan untuk memastikan kebenaran dan keakuratan tarif dan/atau nilai pabean yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pejabat Bea Cukai.
  2. Mencegah kerugian negara: Penetapan kembali bertujuan untuk mencegah potensi kerugian negara akibat kesalahan atau manipulasi dalam penetapan tarif dan/atau nilai pabean.
  3. Menghindari sengketa: Dengan adanya mekanisme penetapan kembali, diharapkan dapat meminimalisir sengketa antara importir dan Bea Cukai terkait penetapan tarif dan/atau nilai pabean.

 

Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP)

Hasil penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean oleh Dirjen BC akan dituangkan dalam SPKTNP.

 

Isi SPKTNP:

  1. Tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan kembali.
  2. Dasar hukum penetapan kembali.
  3. Perhitungan bea masuk dan pajak impor yang terutang.
  4. Jangka waktu pembayaran.

 

Konsekuensi SPKTNP:

  • Kekurangan bayar: Jika penetapan kembali mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau pajak impor, importir wajib melunasi kekurangan tersebut.
  • Kelebihan bayar: Jika penetapan kembali mengakibatkan kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak impor, importir berhak mendapatkan restitusi (pengembalian).

 

Penting untuk diingat:

  • Jangka waktu 2 tahun: Dirjen BC hanya dapat menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean dalam jangka waktu 2 tahun sejak tanggal pendaftaran PIB.
  • Hak importir: Importir memiliki hak untuk mengajukan keberatan atau banding jika tidak setuju dengan penetapan kembali yang dilakukan oleh Dirjen BC.

 

Kewenangan Dirjen BC untuk menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean merupakan bagian dari upaya pengawasan kepabeanan untuk menjamin keadilan, kepastian hukum, dan penerimaan negara.

 

Berapa lama Importir harus menyimpan dokumen (retensi)?

Importir di Indonesia memang diwajibkan untuk menyimpan dokumen impor selama 10 tahun.

Kewajiban Retensi Dokumen Impor

  • Dasar Hukum: Kewajiban ini diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
  • Jangka Waktu: Importir wajib menyimpan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan impor selama 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
  • Tujuan: Penyimpanan dokumen bertujuan untuk:
    Memudahkan pemeriksaan dan audit kepabeanan oleh Bea Cukai.
    Menyediakan bukti transaksi impor yang sah.
    Membantu importir dalam pengelolaan administrasi dan pemenuhan kewajiban perpajakan.

 

Dokumen yang Harus Disimpan:

Dokumen-dokumen yang wajib disimpan antara lain:

  1. PIB dan dokumen pelengkap pabean (invoice, packing list, bill of lading, surat keterangan asal, dll.)
  2. Bukti pembayaran bea masuk dan pajak impor
  3. Kontrak impor
  4. Dokumen izin impor (jika diperlukan)
  5. Dokumen lain yang terkait dengan kegiatan impor

 

Penyimpanan Dokumen Secara Digital:

  1. Tren Digitalisasi: Sejalan dengan perkembangan teknologi dan digitalisasi, Bea Cukai mendorong penyimpanan dokumen impor secara digital.
  2. Keuntungan: Penyimpanan digital memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
    Lebih efisien dan mudah diakses.
    Mengurangi penggunaan kertas (paperless).
    Meminimalisir risiko kerusakan atau kehilangan dokumen.
  3. Sistem Elektronik: Bea Cukai telah menyediakan berbagai sistem elektronik untuk mendukung penyimpanan dokumen secara digital, seperti:
    Sistem Komputer Pelayanan (SKP)
    Portal Indonesia National Single Window (INSW)

 

Penting untuk Diperhatikan:

  • Keamanan Data: Pastikan dokumen digital disimpan dengan aman dan terlindungi dari akses yang tidak sah.
  • Keaslian Dokumen: Simpan dokumen digital dalam format yang dapat dijamin keasliannya dan dapat diakses sewaktu-waktu.
  • Backup Data: Lakukan backup data secara berkala untuk mencegah kehilangan data akibat kerusakan sistem atau bencana.

 

Kewajiban retensi dokumen impor merupakan hal yang penting bagi importir. Dengan menyimpan dokumen secara lengkap dan benar, importir dapat memenuhi kewajiban kepabeanan, menghindari sanksi, dan memperlancar proses bisnis.

 

Keberatan dan Banding SPTNP/SPKTNP maksimal berapa hari ?

Keberatan dan Banding atas SPTNP/SPKTNP

Jika Anda sebagai importir tidak setuju dengan isi SPTNP atau SPKTNP yang diterbitkan oleh Bea Cukai, Anda memiliki hak untuk mengajukan keberatan dan banding.

 

Jangka Waktu Pengajuan:

Keberatan: Diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai paling lama 60 hari sejak tanggal penerbitan SPTNP/SPKTNP.
Banding: Jika keberatan ditolak, Anda dapat mengajukan banding ke Pengadilan Pajak paling lama 60 hari sejak tanggal diterimanya keputusan keberatan.

 

Dasar Hukum Keberatan dan Banding:

Hak importir untuk mengajukan keberatan dan banding diatur dalam:

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 tentang Tata Cara Keberatan di Bidang Kepabeanan

 

Kewajiban Membayar (Legowo):

Meskipun Anda mengajukan keberatan atau banding, Anda tetap wajib membayar bea masuk dan pajak impor yang terutang dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penerbitan SPTNP/SPKTNP.

 

Konsekuensi Tidak Membayar:

Jika Anda tidak membayar dalam jangka waktu 60 hari, maka:

  • Keberatan/banding Anda akan dianggap gugur.
  • Anda akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga.

 

Pengembalian Kelebihan Bayar:

Jika keberatan atau banding Anda dikabulkan, dan Anda telah membayar bea masuk dan pajak impor sesuai SPTNP/SPKTNP, maka Anda berhak mendapatkan restitusi (pengembalian) atas kelebihan pembayaran tersebut.

 

Penting untuk Diperhatikan:

  • Alasan Keberatan/Banding: Ajukan keberatan atau banding dengan alasan yang jelas dan disertai bukti-bukti yang kuat.
  • Bantuan Profesional: Jika Anda merasa kesulitan dalam proses keberatan atau banding, Anda dapat menggunakan jasa konsultan kepabeanan.

 

Mekanisme keberatan dan banding merupakan hak importir untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum dalam penetapan bea masuk dan pajak impor. Namun, penting untuk diingat bahwa Anda tetap wajib membayar bea masuk dan pajak impor yang terutang meskipun sedang mengajukan keberatan atau banding.

 

Bagaimana cara mengurus Penetapan Klasifikasi Sebelum Impor (PKSI) ?

Penetapan Klasifikasi Sebelum Impor (PKSI) adalah proses di mana importir dapat meminta Bea Cukai untuk menetapkan klasifikasi barang (HS Code) sebelum barang tersebut diimpor.

 

Tujuan PKSI:

  • Kepastian HS Code: Memberikan kepastian kepada importir mengenai HS Code yang tepat untuk barang yang akan diimpor.
  • Memperlancar proses impor: Dengan mengetahui HS Code di awal, importir dapat mempersiapkan dokumen impor dengan lebih baik dan menghindari potensi kesalahan yang dapat menghambat proses impor.
  • Memperkirakan bea masuk: HS Code menentukan tarif bea masuk, sehingga importir dapat memperkirakan biaya impor dengan lebih akurat.

 

Dasar Hukum PKSI:

PKSI diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 194/PMK.04/2016 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penetapan Klasifikasi Barang Impor Sebelum Penyerahan Pemberitahuan Pabean.

 

Prosedur PKSI:

  1. Pengajuan permohonan: Importir mengajukan permohonan PKSI secara tertulis kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  2. Melampirkan dokumen: Permohonan harus disertai dengan dokumen-dokumen pendukung, seperti:
    Deskripsi barang yang lengkap dan detail
    Spesifikasi teknis barang
    Brosur, katalog, atau gambar barang
    Contoh barang (jika diperlukan)
  3. Penelitian dan pemeriksaan: Bea Cukai akan melakukan penelitian dan pemeriksaan atas permohonan PKSI.
  4. Penerbitan keputusan: Dirjen BC akan menerbitkan keputusan yang berisi penetapan HS Code untuk barang yang dimohonkan.

 

Manfaat PKSI:

  1. Mengurangi risiko kesalahan HS Code: Kesalahan HS Code dapat mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pengenaan denda.
  2. Mempercepat proses impor: PIB dengan HS Code yang sudah ditetapkan melalui PKSI cenderung lebih cepat diproses oleh Bea Cukai.
  3. Meningkatkan kepatuhan: PKSI membantu importir untuk mematuhi ketentuan kepabeanan.

 

Informasi Tambahan:

  • PKSI berlaku untuk semua jenis barang impor.
  • Keputusan PKSI berlaku selama 3 tahun sejak tanggal ditetapkan.
  • Importir dapat mengajukan keberatan jika tidak setuju dengan keputusan PKSI.

PKSI merupakan fasilitas yang disediakan oleh Bea Cukai untuk membantu importir dalam menentukan HS Code yang tepat dan memperlancar proses impor.

 

Dimanakah Titik Ekspor itu ?

Dalam kegiatan ekspor, titik ekspor adalah saat di mana barang dianggap telah keluar dari wilayah pabean Indonesia.

 

Barang di TPS Naik ke Sarana Pengangkut = Ekspor

Salah satu ketentuan yang menentukan titik ekspor adalah ketika barang yang berada di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) telah dimuat ke dalam sarana pengangkut (misalnya, kapal) yang tujuannya ke luar daerah pabean. Pada saat itu, barang tersebut dianggap telah diekspor.

 

Dasar Hukum Kepabeanan Ekspor:

Ketentuan ini diatur dalam:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor

Mengapa demikian?

  • Pengawasan Bea Cukai: Setelah barang dimuat ke sarana pengangkut yang akan keluar dari Indonesia, Bea Cukai sulit untuk melakukan pengawasan lebih lanjut.
  • Efisiensi: Menetapkan titik ekspor pada saat pemuatan ke sarana pengangkut mempermudah proses administrasi dan mempercepat arus barang.
  • Kepastian Hukum: Memberikan kepastian hukum bagi eksportir dan Bea Cukai mengenai status barang.

 

Konsekuensi Ekspor:

  1. Pemberitahuan Pabean Ekspor (PEB): Eksportir wajib menyampaikan PEB sebelum barang dimuat ke sarana pengangkut.
  2. Pemeriksaan Fisik Selektif: Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik secara selektif terhadap barang ekspor sebelum dimuat, berdasarkan analisis risiko.
  3. Tanggung Jawab Pengangkut: Setelah barang dimuat, pengangkut bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan barang sampai tiba di negara tujuan.

 

Informasi Tambahan:

  • TPS: Tempat Penimbunan Sementara adalah tempat yang disediakan untuk menimbun barang impor yang akan diekspor kembali atau barang ekspor yang menunggu pemberangkatan.
  • Sarana Pengangkut: Meliputi kapal laut, pesawat udara, kereta api, dan kendaraan bermotor.
  • Daerah Pabean: Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku UU Kepabeanan.

 

Penetapan titik ekspor pada saat barang dimuat ke sarana pengangkut yang tujuannya ke luar daerah pabean merupakan ketentuan penting dalam kegiatan ekspor. Hal ini memudahkan pengawasan, meningkatkan efisiensi, dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat.

 

Apakah Barang ekspor dapat dikenakan bea keluar (bisa juga tidak) ?

Tidak semua barang ekspor dikenakan bea keluar. Bea keluar dikenakan secara selektif dengan tujuan tertentu. Berikut penjelasan lebih lengkap mengenai bea keluar:

Bea Keluar

Bea keluar adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang ekspor yang keluar dari daerah pabean Indonesia.

 

Tujuan Pengenaan Bea Keluar:

  1. Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri: Bea keluar dapat digunakan untuk mengendalikan ekspor barang-barang yang dibutuhkan di dalam negeri, sehingga pasokan dalam negeri tetap terjaga dan harga stabil.
  2. Melindungi kelestarian sumber daya alam (SDA): Bea keluar dapat dikenakan pada ekspor SDA untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan mendorong pengelolaan SDA yang berkelanjutan.
  3. Mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditas ekspor tertentu di pasar internasional: Bea keluar dapat membantu menstabilkan harga komoditas ekspor di pasar internasional dengan mengurangi volume ekspor.
  4. Menjaga stabilitas harga komoditas tertentu di dalam negeri: Dengan mengendalikan ekspor, bea keluar dapat mencegah kelangkaan barang di dalam negeri yang dapat menyebabkan lonjakan harga.

 

Barang yang Dikenakan Bea Keluar:

Pemerintah menetapkan jenis barang yang dikenakan bea keluar melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Saat ini, beberapa jenis barang yang dikenakan bea keluar antara lain:

  1. Kulit dan kayu
  2. Biji kakao
  3. Kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya
  4. Produk hasil pengolahan mineral logam
  5. Produk mineral logam dengan kriteria tertentu

 

Tarif Bea Keluar:

Tarif bea keluar ditetapkan dalam PMK dan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebijakan pemerintah. Besaran tarif bea keluar bervariasi tergantung jenis barang dan harga komoditas di pasar internasional.

Contoh Penerapan Bea Keluar:

CPO: Pemerintah mengenakan bea keluar progresif terhadap CPO dan produk turunannya. Semakin tinggi harga CPO di pasar internasional, semakin tinggi pula tarif bea keluar yang dikenakan. Hal ini bertujuan untuk:

  • Menjaga pasokan CPO di dalam negeri untuk kebutuhan industri dan masyarakat.
  • Mendorong hilirisasi industri kelapa sawit di Indonesia.
  • Meningkatkan penerimaan negara.
  Undang-Undang Kepabeanan No 17 Tahun 2006: Materi PPJK

 

Bea keluar merupakan instrumen kebijakan yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan ekspor, menjaga stabilitas harga, dan melindungi kepentingan nasional.

 

Apakah eksportir baru/importir baru masuk jalur merah atau hijau ?

Pemeriksaan pabean terhadap barang impor memang dilakukan secara selektif, tidak semua barang diperiksa secara fisik. Bea Cukai menggunakan sistem jalur untuk menentukan mekanisme pemeriksaan.

 

Jalur Merah untuk Eksportir/Importir Baru

Eksportir/importir baru memang cenderung masuk ke jalur merah karena Bea Cukai perlu melakukan pemeriksaan lebih mendalam untuk menilai tingkat kepatuhan dan risiko.

 

Alasan Eksportir/Importir Baru Masuk Jalur Merah:

  1. Belum ada track record: Bea Cukai belum memiliki data dan informasi mengenai riwayat kepatuhan eksportir/importir baru.
  2. Profil risiko: Eksportir/importir baru dianggap memiliki profil risiko yang lebih tinggi karena belum teruji kepatuhannya terhadap ketentuan kepabeanan.
  3. Potensi kesalahan: Kemungkinan terjadi kesalahan dalam pengisian dokumen atau prosedur impor lebih tinggi pada eksportir/importir baru.
  4. Mitigasi risiko: Pemeriksaan fisik dan dokumen secara menyeluruh membantu Bea Cukai untuk memitigasi risiko pelanggaran kepabeanan, seperti penyelundupan, undervaluasi, atau kesalahan klasifikasi barang.

 

Tujuan Pemeriksaan Pabean:

  1. Memverifikasi data: Memastikan kesesuaian antara data dalam dokumen dengan kondisi fisik barang.
  2. Mencegah pelanggaran: Mencegah penyelundupan, undervaluasi, dan pelanggaran kepabeanan lainnya.
  3. Melindungi industri dalam negeri: Memastikan barang impor memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku di Indonesia.
  4. Mengumpulkan data statistik: Data hasil pemeriksaan digunakan untuk keperluan statistik perdagangan dan analisis kebijakan.

 

Proses Pemeriksaan Jalur Merah:

  1. Penetapan jalur: Sistem komputer Bea Cukai akan menetapkan jalur merah berdasarkan profil importir, jenis barang, dan faktor risiko lainnya.
  2. Pemberitahuan jalur merah: Importir akan menerima pemberitahuan bahwa barangnya masuk jalur merah.
  3. Penyiapan barang dan dokumen: Importir harus menyiapkan barang dan dokumen pendukung untuk pemeriksaan fisik.
  4. Pemeriksaan fisik: Pejabat Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan fisik barang di tempat penimbunan sementara (TPS) atau tempat lain yang ditentukan.
  5. Penelitian dokumen: Pejabat Bea Cukai juga akan melakukan penelitian dokumen secara mendalam.
  6. Penerbitan SPPB: Jika hasil pemeriksaan fisik dan dokumen sesuai, Bea Cukai akan menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

 

Tips untuk Eksportir/Importir Baru:

  1. Pelajari regulasi: Pahami dengan baik peraturan kepabeanan yang berlaku di Indonesia.
  2. Lengkap dan akurat: Pastikan dokumen impor diisi dengan lengkap, benar, dan sesuai dengan ketentuan.
  3. Gunakan jasa PPJK: Jika belum berpengalaman, gunakan jasa Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) yang profesional.
  4. Kooperatif: Bekerja sama dengan petugas Bea Cukai selama proses pemeriksaan.
  5. Jaga track record baik: Patuhi semua ketentuan kepabeanan untuk membangun track record yang baik.

Dengan memahami prosedur dan bersikap kooperatif, eksportir/importir baru dapat menghadapi pemeriksaan jalur merah dengan lancar.

 

Apa itu Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP)

LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) adalah dokumen yang berisi ikhtisar dan kesimpulan dari suatu pemeriksaan yang dilakukan oleh suatu instansi atau lembaga.

Dalam konteks kepabeanan, LHP biasanya dikeluarkan oleh Bea Cukai setelah melakukan pemeriksaan terhadap barang impor atau ekspor, atau audit kepabeanan terhadap importir/eksportir.

 

Isi LHP Kepabeanan:

LHP Kepabeanan umumnya memuat informasi berikut:

  1. Identitas importir/eksportir: Nama, alamat, NPWP, dll.
  2. Jenis pemeriksaan: Pemeriksaan fisik barang, penelitian dokumen, atau audit kepabeanan.
  3. Tujuan pemeriksaan: Misalnya, untuk memverifikasi kebenaran data PIB, menentukan nilai pabean, atau menilai kepatuhan importir.
  4. Waktu dan tempat pemeriksaan: Tanggal dan lokasi pemeriksaan.
  5. Hasil pemeriksaan: Temuan-temuan yang diperoleh selama pemeriksaan, termasuk:
    Kesesuaian antara dokumen dan fisik barang
    Ketepatan HS Code
    Ketepatan nilai pabean
    Kepatuhan terhadap ketentuan impor/ekspor
  6. Kesimpulan: Kesimpulan dari hasil pemeriksaan, misalnya:
    Sesuai dengan ketentuan
    Terdapat kekurangan pembayaran bea masuk
    Terdapat pelanggaran kepabeanan
  7. Rekomendasi: Rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan oleh importir/eksportir, misalnya:
    Melunasi kekurangan pembayaran
    Memperbaiki dokumen
    Memenuhi ketentuan impor/ekspor

 

Jenis LHP Kepabeanan:

  • LHP Pemeriksaan Fisik Barang: Dibuat setelah Bea Cukai melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang impor/ekspor.
  • LHP Penelitian Dokumen: Dibuat setelah Bea Cukai melakukan penelitian terhadap dokumen impor/ekspor.
  • LHP Audit Kepabeanan: Dibuat setelah Bea Cukai melakukan audit terhadap importir/eksportir.

 

Fungsi LHP Kepabeanan:

  1. Dokumentasi: LHP menjadi dokumen resmi yang mencatat hasil pemeriksaan kepabeanan.
  2. Bukti: Dapat digunakan sebagai bukti dalam proses keberatan, banding, atau penyelesaian sengketa.
  3. Evaluasi: Membantu Bea Cukai dalam mengevaluasi efektivitas pengawasan kepabeanan.
  4. Pembinaan: Memberikan informasi dan masukan kepada importir/eksportir untuk meningkatkan kepatuhan terhadap ketentuan kepabeanan.

 

Penting untuk Diperhatikan:

  1. Simpan LHP: Importir/eksportir harus menyimpan LHP dengan baik sebagai bagian dari dokumen kepabeanan.
  2. Teliti LHP: Pastikan isi LHP sesuai dengan hasil pemeriksaan dan tidak ada kesalahan atau kekurangan.
  3. Tindak Lanjuti: Lakukan tindak lanjut sesuai rekomendasi yang tercantum dalam LHP.

 

LHP merupakan dokumen penting dalam kegiatan kepabeanan. Dengan memahami isi dan fungsinya, importir/eksportir dapat memanfaatkan LHP untuk meningkatkan kepatuhan dan meminimalisir risiko sengketa dengan Bea Cukai.

Apa itu SPJM ?

SPJM adalah surat yang diterbitkan oleh sistem komputer Bea Cukai kepada importir atau Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) yang memberitahukan bahwa barang impor yang mereka ajukan masuk ke jalur merah.

Jalur Merah artinya barang impor tersebut akan menjalani pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen secara menyeluruh oleh petugas Bea Cukai.

 

Isi SPJM:

SPJM biasanya berisi informasi berikut:

  1. Nomor dan tanggal SPJM
  2. Identitas importir/PPJK
  3. Nomor pendaftaran PIB (Pemberitahuan Impor Barang)
  4. Jenis barang impor
  5. Jumlah dan nilai barang
  6. Tempat dan waktu pemeriksaan fisik
  7. Petugas Bea Cukai yang bertanggung jawab atas pemeriksaan

 

Tujuan Penerbitan SPJM:

  1. Memberi tahu importir/PPJK: Agar mereka mengetahui bahwa barang impornya akan diperiksa secara fisik.
  2. Memberi instruksi: Memberikan instruksi kepada importir/PPJK untuk menyiapkan barang dan dokumen pendukung untuk pemeriksaan.
  3. Mengatur proses pemeriksaan: Membantu Bea Cukai dalam mengatur dan mengendalikan proses pemeriksaan fisik barang impor.

 

Kapan SPJM Diterbitkan?

SPJM diterbitkan ketika sistem komputer Bea Cukai menetapkan bahwa barang impor masuk ke jalur merah.

 

Beberapa faktor yang dapat memicu jalur merah:

  1. Profil risiko importir: Importir baru, importir yang pernah melakukan pelanggaran, atau importir yang memiliki profil risiko tinggi.
  2. Jenis barang: Barang yang memiliki risiko tinggi untuk diselundupkan, undervalued, atau tidak memenuhi standar.
  3. Nilai barang: Barang dengan nilai yang tinggi.
  4. Asal negara: Barang yang berasal dari negara tertentu yang dianggap berisiko tinggi.
  5. Inkonsistensi data: Terdapat ketidaksesuaian antara data dalam dokumen impor dengan informasi lain yang dimiliki Bea Cukai.

 

Prosedur Setelah Menerima SPJM:

  1. Siapkan barang dan dokumen: Importir/PPJK harus menyiapkan barang impor dan dokumen pendukung sesuai dengan instruksi dalam SPJM.
  2. Hadir di tempat pemeriksaan: Importir/PPJK harus membawa barang dan dokumen ke tempat pemeriksaan yang ditentukan dalam SPJM pada waktu yang telah dijadwalkan.
  3. Ikuti proses pemeriksaan: Bekerja sama dengan petugas Bea Cukai selama proses pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen.

 

SPJM merupakan bagian penting dari proses pemeriksaan pabean di Indonesia. Dengan memahami prosedur dan bersikap kooperatif, importir dapat menghadapi pemeriksaan jalur merah dengan lancar.

 

Untuk ekspor apakah penelitian dokumen saja atau dengan pemeriksaan fisik ?

Dalam kegiatan ekspor, pemeriksaan pabean umumnya dilakukan terhadap dokumen saja. Namun, dalam hal tertentu, Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik terhadap barang ekspor.

Pemeriksaan Dokumen Ekspor:

Tujuan: Memastikan kelengkapan dan kebenaran dokumen ekspor, seperti Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), invoice, packing list, dan dokumen pelengkap lainnya.
Proses: Petugas Bea Cukai akan meneliti dokumen ekspor untuk memastikan kesesuaian data, ketepatan HS Code, dan pemenuhan persyaratan ekspor.

 

Pemeriksaan Fisik Ekspor:

Meskipun lebih jarang dilakukan dibandingkan impor, pemeriksaan fisik barang ekspor dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, antara lain:

  1. Barang re-ekspor: Barang yang sebelumnya diimpor dan akan diekspor kembali. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan kesesuaian barang dengan dokumen impor dan ekspor.
  2. Barang re-impor: Barang yang sebelumnya diekspor dan akan diimpor kembali. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan kesesuaian barang dengan dokumen ekspor dan impor.
  3. Barang yang dikenakan bea keluar: Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memverifikasi jenis, jumlah, dan spesifikasi barang yang dikenakan bea keluar.
  4. Barang yang dikenakan Nomor Hasil Identifikasi (NHI): NHI adalah nomor unik yang diberikan oleh Bea Cukai untuk mengidentifikasi barang tertentu. Pemeriksaan fisik dilakukan untuk memastikan kesesuaian barang dengan NHI.
  5. Barang yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan: Menteri Keuangan dapat menetapkan jenis barang ekspor tertentu yang wajib diperiksa secara fisik.

 

Dasar Hukum Pemeriksaan Fisik:

Ketentuan mengenai pemeriksaan fisik barang ekspor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor.

 

Tujuan Pemeriksaan Fisik Ekspor:

  1. Memverifikasi data: Memastikan kesesuaian antara data dalam dokumen dengan kondisi fisik barang.
  2. Mencegah pelanggaran: Mencegah penyelundupan, ekspor barang terlarang, atau pelanggaran ketentuan ekspor lainnya.
  3. Melindungi sumber daya alam: Memastikan ekspor SDA dilakukan sesuai dengan ketentuan dan tidak merusak lingkungan.
  4. Mengendalikan ekspor: Membantu pemerintah dalam mengendalikan ekspor barang-barang tertentu.

 

Pemeriksaan pabean dalam kegiatan ekspor lebih difokuskan pada penelitian dokumen. Namun, pemeriksaan fisik tetap dilakukan dalam kondisi tertentu untuk menjamin kepatuhan terhadap ketentuan ekspor dan melindungi kepentingan nasional.

 

Mengapa Uraian Barang didalam PIB harus spesifik ?

Dalam mengisi PIB (Pemberitahuan Impor Barang), uraian barang harus jelas, spesifik, dan tidak boleh bersifat umum.

Contoh Kasus HP:

Alih-alih hanya menulis “HP” atau “Smartphone”, Anda harus mencantumkan informasi detail seperti:

  1. Merk: Misalnya, Samsung, Apple, Xiaomi
  2. Tipe/Model: Misalnya, Samsung Galaxy S23 Ultra, iPhone 15 Pro Max, Xiaomi Redmi Note 12
  3. Spesifikasi: Misalnya, RAM 12GB, ROM 256GB, Kamera 200MP, Layar 6.8 inci
  4. Nomor IMEI: Nomor identitas unik untuk setiap perangkat HP

 

Mengapa Uraian Barang Harus Spesifik?

  1. Identifikasi Barang: Memudahkan Bea Cukai dalam mengidentifikasi jenis barang yang diimpor.
  2. Penentuan HS Code: Informasi detail membantu dalam menentukan HS Code (kode klasifikasi barang) yang tepat. HS Code yang benar akan menentukan tarif bea masuk dan pajak impor yang berlaku.
  3. Penetapan Nilai Pabean: Spesifikasi barang mempengaruhi nilai pabean, yang digunakan sebagai dasar penghitungan bea masuk dan pajak impor.
  4. Pemeriksaan Fisik: Uraian barang yang jelas membantu petugas Bea Cukai dalam melakukan pemeriksaan fisik barang.
  5. Pengawasan Impor: Memudahkan Bea Cukai dalam melakukan pengawasan terhadap impor barang, termasuk pengawasan terhadap barang-barang yang dibatasi atau dilarang impor.

 

Selain Uraian Barang, Perhatikan Juga:

  1. Izin Impor: Pastikan Anda telah memenuhi semua izin impor yang dipersyaratkan untuk barang tersebut.
  2. HS Code: Gunakan HS Code yang tepat dan sesuai dengan ketentuan.
  3. NIB (Nomor Induk Berusaha): Pastikan NIB Anda sudah diupdate dan masih berlaku.

 

Konsekuensi Uraian Barang Tidak Jelas:

  1. PIB dapat ditolak: Bea Cukai dapat menolak PIB Anda jika uraian barang tidak jelas atau tidak lengkap.
  2. Penundaan proses impor: Proses impor Anda dapat tertunda karena Bea Cukai perlu meminta klarifikasi atau melakukan pemeriksaan tambahan.
  3. Potensi kesalahan HS Code: Dapat mengakibatkan kesalahan dalam penentuan HS Code dan berujung pada kekurangan pembayaran bea masuk.
  4. Sengketa dengan Bea Cukai: Dapat menimbulkan sengketa dengan Bea Cukai terkait klasifikasi barang, nilai pabean, atau ketentuan impor lainnya.

 

Kejelasan dan kespesifikan uraian barang dalam PIB sangat penting untuk kelancaran proses impor. Pastikan Anda mencantumkan semua informasi yang relevan dan dibutuhkan oleh Bea Cukai.

 

Apakah re ekspor harus lapor terlebih dahulu atau tidak ?

Ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses re-ekspor agar mendapatkan pembebasan bea masuk atau pengembalian bea masuk:

 

Lapor Terlebih Dahulu

Sebelum melakukan re-ekspor, Anda harus melaporkan rencana re-ekspor kepada Bea Cukai dengan mengajukan dokumen pemberitahuan pabean.
Hal ini bertujuan agar Bea Cukai dapat mencatat dan mengawasi proses re-ekspor, serta memastikan barang yang dire-ekspor adalah barang yang sama dengan yang diimpor sebelumnya.

Pembebasan Bea Masuk vs. Pengembalian Bea Masuk

  • Pembebasan Bea Masuk: Diberikan jika barang yang dire-ekspor dalam kualitas yang sama dengan saat diimpor. Artinya, barang tersebut tidak mengalami perubahan bentuk atau proses pengolahan di Indonesia.
  • Pengembalian Bea Masuk: Diberikan jika barang yang dire-ekspor telah mengalami perubahan bentuk atau proses pengolahan di Indonesia. Dalam hal ini, Anda tetap harus membayar bea masuk saat impor, tetapi bea masuk tersebut dapat dikembalikan (restitusi) saat re-ekspor.

Barang A Berubah Menjadi B

Jika barang A yang diimpor mengalami perubahan bentuk atau proses pengolahan di Indonesia menjadi barang B, maka saat re-ekspor barang B akan dikenakan bea masuk.
Besaran bea masuk yang dikenakan dihitung berdasarkan tarif bea masuk barang B pada saat re-ekspor.
Contoh: Anda mengimpor kain katun (barang A) dan di Indonesia kain tersebut dijahit menjadi baju (barang B). Saat re-ekspor baju (barang B), Anda akan dikenakan bea masuk sesuai tarif bea masuk baju.

Dokumen Pendukung

Untuk mendapatkan pembebasan atau pengembalian bea masuk, Anda perlu melengkapi dokumen pendukung, antara lain:

  1. Dokumen impor awal (PIB)
  2. Dokumen re-ekspor (PEB)
  3. Bukti pembayaran bea masuk (jika ada)
  4. Dokumen yang menunjukkan bahwa barang yang dire-ekspor adalah barang yang sama dengan yang diimpor (misalnya, nomor seri, foto, dll.)
  5. Dokumen yang menjelaskan proses pengolahan atau perubahan bentuk barang (jika ada)

 

Ketentuan Lain

  • Pastikan Anda memahami ketentuan re-ekspor yang berlaku, termasuk jangka waktu re-ekspor dan persyaratan lainnya.
  • Anda dapat berkonsultasi dengan Bea Cukai atau konsultan kepabeanan jika memiliki pertanyaan atau membutuhkan bantuan dalam proses re-ekspor.

 

Re-ekspor menawarkan fasilitas pembebasan atau pengembalian bea masuk. Namun, penting untuk memahami ketentuan dan prosedur yang berlaku agar Anda dapat memanfaatkan fasilitas ini dengan optimal.

 

Apakah Setiap eksportir dan importir wajib registrasi NIB?

setiap eksportir dan importir wajib memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha) sebagai identitas pelaku usaha. Namun, ada beberapa pengecualian untuk kewajiban registrasi NIB ini, yaitu:

 

Barang Bawaan Penumpang:

Tidak Wajib NIB: Penumpang yang membawa barang dari luar negeri untuk keperluan pribadi tidak wajib memiliki NIB.
Batasan Nilai dan Jenis Barang: Pembebasan ini berlaku untuk barang bawaan penumpang yang nilainya tidak melebihi batas yang ditetapkan dan jenis barangnya diperbolehkan untuk dibawa masuk oleh penumpang.

 

Barang Diplomatik:

Tidak Wajib NIB: Barang diplomatik yang masuk atau keluar Indonesia tidak memerlukan NIB.
Aturan Khusus: Barang diplomatik memiliki aturan dan prosedur kepabeanan tersendiri yang diatur dalam perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan nasional.

Barang Kiriman Pos dan Jasa Titipan:

  1. Tidak Wajib NIB (dengan syarat): Penerima barang kiriman pos atau jasa titipan tidak wajib memiliki NIB jika barang tersebut:
  2. Dikirim untuk keperluan pribadi dan bukan untuk diperdagangkan.
  3. Nilai pabean (FOB) tidak melebihi batas yang ditetapkan (saat ini USD 3 untuk barang kiriman melalui pos dan USD 100 untuk barang kiriman melalui jasa titipan).
  4. Wajib NIB (jika): Jika barang kiriman tersebut untuk tujuan komersial atau nilainya melebihi batas yang ditetapkan, maka penerima barang atau importir wajib memiliki NIB.

 

Mengapa Eksportir/Importir Wajib Memiliki NIB?

  1. Identitas Pelaku Usaha: NIB merupakan identitas resmi bagi pelaku usaha di Indonesia, termasuk eksportir dan importir.
  2. Kemudahan Perizinan: NIB digunakan untuk mengakses berbagai layanan perizinan berusaha secara elektronik melalui sistem Online Single Submission (OSS).
  3. Pengawasan dan Pembinaan: NIB memudahkan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha.
  4. Data Statistik: Data NIB digunakan untuk keperluan statistik dan analisis perkembangan dunia usaha.

Kewajiban registrasi NIB berlaku bagi eksportir dan importir, kecuali untuk barang bawaan penumpang, barang diplomatik, dan barang kiriman pos/jasa titipan dengan syarat dan ketentuan tertentu. NIB berperan penting dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif dan memudahkan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekspor dan impor.

 

Apakah PPJK wajib punya NIB dan No Pokok PPJK ?

Ya, PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) wajib memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha) dan NPPPJK (Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan).

 

NIB (Nomor Induk Berusaha)

Identitas Pelaku Usaha: NIB adalah identitas resmi bagi pelaku usaha di Indonesia, termasuk PPJK.
Diperoleh Melalui OSS: NIB diperoleh melalui sistem Online Single Submission (OSS) saat PPJK melakukan pendaftaran dan perizinan berusaha.
Fungsi: NIB berfungsi sebagai tanda legalitas dan izin usaha bagi PPJK.

 

NPPPJK (Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan)

Nomor Identitas Khusus PPJK: NPPPJK adalah nomor identitas khusus yang diberikan oleh Bea Cukai kepada PPJK yang telah memenuhi persyaratan.
Diperoleh Melalui Registrasi Kepabeanan: Untuk mendapatkan NPPPJK, PPJK harus melakukan registrasi kepabeanan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Fungsi: NPPPJK digunakan untuk mengakses sistem kepabeanan dan melakukan kegiatan pengurusan jasa kepabeanan.

 

Dasar Hukum Registrasi Kepabeanan:

Kewajiban PPJK untuk memiliki NIB dan NPPPJK diatur dalam:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 219/PMK.04/2019 tentang Registrasi Kepabeanan
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-13/BC/2011 tentang Petunjuk Pelaksanaan Registrasi Kepabeanan

 

Syarat Mendapatkan NPPPJK:

Selain memiliki NIB, PPJK juga harus memenuhi persyaratan lain untuk mendapatkan NPPPJK, antara lain:

  1. Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
  2. Memiliki struktur organisasi dan tenaga kerja yang kompeten di bidang kepabeanan
  3. Memiliki sistem administrasi dan keuangan yang baik
  4. Memiliki kantor dan peralatan yang memadai

 

Pentingnya NIB dan NPPPJK bagi PPJK:

  1. Legalitas: NIB dan NPPPJK menunjukkan bahwa PPJK telah terdaftar secara resmi dan memiliki izin untuk melakukan kegiatan pengurusan jasa kepabeanan.
  2. Kepercayaan: NIB dan NPPPJK meningkatkan kepercayaan klien terhadap PPJK.
  3. Akses Sistem Kepabeanan: NPPPJK diperlukan untuk mengakses sistem kepabeanan dan melakukan transaksi kepabeanan secara elektronik.
  4. Pembinaan dan Pengawasan: NIB dan NPPPJK memudahkan Bea Cukai dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap PPJK.

 

NIB dan NPPPJK merupakan syarat wajib bagi PPJK untuk beroperasi secara legal dan profesional di Indonesia. Dengan memiliki kedua nomor identitas tersebut, PPJK dapat memberikan layanan yang berkualitas dan terpercaya kepada kliennya.

 

Apakah NIB harus update mengajukan API dan akses kepabeanan. NIB ekspor/Impor?

Sejak berlakunya PP 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, NIB (Nomor Induk Berusaha) sudah sekaligus berlaku sebagai API (Angka Pengenal Importir) dan akses kepabeanan untuk kegiatan ekspor dan impor.

Artinya, Anda tidak perlu lagi mengajukan API dan akses kepabeanan secara terpisah jika sudah memiliki NIB.

NIB sebagai API dan Akses Kepabeanan:

PP 5/2021: Pasal 176 ayat (5) PP 5/2021 menyatakan bahwa NIB berlaku juga sebagai API sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai angka pengenal importir.

  1. Kemudahan bagi Pelaku Usaha: Ini merupakan penyederhanaan proses perizinan berusaha, sehingga pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan ekspor dan impor cukup memiliki NIB saja.
  2. Akses Sistem Kepabeanan: Dengan NIB, Anda dapat langsung mengakses sistem kepabeanan (CEISA) dan melakukan transaksi kepabeanan, seperti:
  3. Mendaftarkan PIB (Pemberitahuan Impor Barang)
  4. Mendaftarkan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang)
  5. Melakukan pembayaran bea masuk dan pajak impor
  6. Mengurus dokumen kepabeanan lainnya

 

NIB Ekspor dan NIB Impor:

  • Tidak Ada Perbedaan: Tidak ada perbedaan antara NIB ekspor dan NIB impor. Satu NIB dapat digunakan untuk kegiatan ekspor dan impor.
  • KBLI: Yang membedakan adalah KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) yang tercantum dalam NIB Anda. Pastikan KBLI Anda mencakup kegiatan ekspor dan/atau impor yang ingin Anda lakukan.

 

Bagaimana Jika Sudah Memiliki API/Akses Kepabeanan Sebelumnya?

  • Tetap Berlaku: API atau akses kepabeanan yang telah terbit sebelum berlakunya PP 5/2021 masih tetap berlaku.
  • NIB tetap diperlukan: Namun, Anda tetap perlu memiliki NIB karena merupakan identitas pelaku usaha yang sah di Indonesia.

Dengan adanya penyederhanaan perizinan berusaha, pelaku usaha yang ingin melakukan kegiatan ekspor dan impor cukup memiliki NIB. NIB sudah mencakup fungsi API dan akses kepabeanan, sehingga proses perizinan menjadi lebih mudah dan efisien.

 

Kapan paling lambat mengurus PEB/PIB ?

Batas waktu penyampaian PEB dan PIB berbeda dan tergantung pada beberapa faktor. Berikut penjelasannya:

 

PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang)

Paling lambat PEB disampaikan adalah sebelum barang ekspor dimuat ke sarana pengangkut (7 hari sebelum berangkat)

Namun, ada beberapa ketentuan khusus:

 

Ekspor Barang Tertentu:

  • Untuk ekspor barang curah, PEB dapat disampaikan sebelum sarana pengangkut berangkat.
  • Untuk ekspor barang melalui pipa atau transmisi, PEB disampaikan paling lambat sebelum penyampaian PEB berikutnya.

 

Pembetulan Data:

Pembetulan data PEB selain jenis, jumlah, dan harga barang dapat diajukan paling lambat 1 bulan sejak PEB didaftarkan.

 

PIB (Pemberitahuan Impor Barang)

Paling lambat PIB disampaikan adalah:

  1. Sebelum barang dibongkar: Untuk impor barang umum, PIB disampaikan sebelum barang dibongkar dari sarana pengangkut.
  2. Sesuai Ketentuan: Untuk impor barang dengan karakteristik tertentu, seperti barang yang mudah rusak atau membutuhkan penanganan khusus, waktu penyampaian PIB dapat berbeda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Konsekuensi Keterlambatan:

  1. PIB: Keterlambatan penyampaian PIB dapat mengakibatkan denda administrasi dan penundaan proses impor.
  2. PEB: Keterlambatan penyampaian PEB dapat mengakibatkan barang tidak dapat diekspor dan sanksi administrasi.

 

Tips:

  1. Siapkan Dokumen Lebih Awal: Mulailah mengurus PEB/PIB dan melengkapi dokumen pendukung jauh-jauh hari sebelum waktu pemuatan/pembongkaran barang.
  2. Gunakan Jasa PPJK: Jika Anda kurang familiar dengan prosedur kepabeanan, gunakan jasa PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) yang profesional.
  3. Pantau Batas Waktu: Perhatikan batas waktu penyampaian PEB/PIB dan jangan sampai terlambat.
  4. Hubungi Bea Cukai: Jika ada kendala atau pertanyaan, segera hubungi kantor Bea Cukai terdekat.

 

Informasi Lebih Lanjut:

Anda dapat merujuk pada peraturan berikut untuk informasi lebih detail:

PMK 155/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor
PMK 190/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Impor

 

Pasal pengangkutan Barang, Impor dan Ekspor

Berikut adalah rangkuman pasal-pasal dalam Undang-Undang Kepabeanan No. 17 Tahun 2006 yang berkaitan dengan pengangkutan barang, impor, dan ekspor:

BAB VII PENGANGKUTAN

Pasal 8
Pengangkutan barang impor hanya dapat dilakukan dengan menggunakan sarana pengangkut yang telah diizinkan oleh Menteri.
Pengangkutan barang ekspor dapat dilakukan dengan menggunakan sarana pengangkut yang telah diizinkan oleh instansi teknis terkait.

Pasal 9
Sarana pengangkut yang mengangkut barang impor wajib berlabuh atau singgah di tempat yang telah ditentukan.
Sarana pengangkut yang mengangkut barang ekspor wajib berangkat dari tempat yang telah ditentukan.

Pasal 10
Pemilik atau operator sarana pengangkut wajib memberitahukan kedatangan dan keberangkatan sarana pengangkut kepada Pejabat Bea dan Cukai.
Pemilik atau operator sarana pengangkut wajib menyampaikan manifes barang.

Pasal 11
Barang impor yang diangkut dengan sarana pengangkut yang tidak diizinkan dinyatakan sebagai barang yang dikuasai negara.
Barang ekspor yang diangkut dengan sarana pengangkut yang tidak diizinkan tidak dapat diberangkatkan keluar daerah pabean.

Pasal 12
Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan terhadap sarana pengangkut.
Pejabat Bea dan Cukai berwenang mengawasi bongkar muat barang.

 

BAB VIII IMPOR

Pasal 13
Setiap barang yang masuk ke daerah pabean dinyatakan sebagai barang impor.
Impor barang hanya dapat dilakukan di tempat yang telah ditentukan.

Pasal 14
Importir wajib memberitahukan impor barang kepada Pejabat Bea dan Cukai.
Importir wajib membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor.

Pasal 15
Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan terhadap barang impor.
Pejabat Bea dan Cukai berwenang menetapkan tarif dan nilai pabean.

Pasal 16
Importir yang memberikan keterangan tidak benar atau tidak lengkap dalam pemberitahuan impor barang dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 17
Direktur Jenderal Bea dan Cukai berwenang menetapkan kembali tarif atau nilai pabean.

 

BAB IX EKSPOR

Pasal 18
Setiap barang yang keluar dari daerah pabean dinyatakan sebagai barang ekspor.
Ekspor barang hanya dapat dilakukan di tempat yang telah ditentukan.

Pasal 19
Eksportir wajib memberitahukan ekspor barang kepada Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 20
Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan terhadap barang ekspor.

Pasal 21
Eksportir yang memberikan keterangan tidak benar atau tidak lengkap dalam pemberitahuan ekspor barang dikenai sanksi administrasi berupa denda.

Tambahan:

  • Pasal 7: Menjelaskan tentang kewajiban pabean, termasuk kewajiban menyampaikan dokumen, membayar bea masuk, dan mematuhi ketentuan larangan dan pembatasan.
  • Pasal 102: Mengatur tentang kewajiban menyimpan dokumen dan catatan selama 10 tahun.
  • Pasal 103: Menjelaskan tentang pengawasan atas pemenuhan kewajiban pabean setelah barang dikeluarkan.

 

Penting:

Pasal-pasal di atas hanyalah rangkuman. Untuk penjelasan lengkap dan detail, silakan merujuk pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan peraturan pelaksanaannya.

 

Apa yang dimaksud dengan RKSP/BC 1.0 ?

Kewajiban Penyampaian Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut (RKSP). Setiap pengangkut yang menggunakan sarana pengangkut untuk mengangkut barang impor, wajib menyampaikan RKSP (BC 1.0) kepada Bea Cukai. Namun, ada pengecualian untuk pengangkutan darat, di mana RKSP tidak dipersyaratkan.

RKSP (BC 1.0)

Definisi: RKSP adalah pemberitahuan tentang rencana kedatangan sarana pengangkut yang disampaikan oleh pengangkut kepada kantor pabean.
Tujuan: Memberikan informasi kepada Bea Cukai mengenai kedatangan sarana pengangkut, jenis barang yang diangkut, dan rencana kegiatan di pelabuhan.

Informasi dalam RKSP:

  1. Data sarana pengangkut (nama, jenis, kebangsaan)
  2. Pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan
  3. Data barang (jenis, jumlah, berat)
  4. Rencana waktu kedatangan
  5. Dan lain-lain

 

Sarana Pengangkut yang Wajib Menyampaikan RKSP:

Laut: Kapal laut
Udara: Pesawat udara

 

Pengecualian untuk Pengangkutan Darat:

Tidak Wajib RKSP: Sarana pengangkut darat (truk, kereta api) tidak diwajibkan menyampaikan RKSP.

 

Alasan:

  • Pengangkutan darat umumnya memiliki rute dan jadwal yang lebih fleksibel.
  • Pengawasan barang impor yang diangkut melalui darat dapat dilakukan di pos lintas batas negara (PLBN).

 

Dasar Hukum Ketentuan kepabeanan dibidang impor:

Ketentuan mengenai RKSP diatur dalam:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Impor
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-17/BC/2019 tentang Tatalaksana Penyampaian Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes

 

Manfaat RKSP:

  • Memperlancar Proses Impor: Bea Cukai dapat mempersiapkan proses pemeriksaan dan pengawasan barang impor dengan lebih baik.
  • Mencegah Penyelundupan: Membantu Bea Cukai dalam mencegah penyelundupan dan pelanggaran kepabeanan lainnya.
  • Efisiensi Waktu: Mempercepat proses bongkar muat barang dan clearance kepabeanan.

 

Penyampaian RKSP merupakan kewajiban penting bagi pengangkut yang menggunakan sarana pengangkut laut dan udara. Namun, pengangkutan darat tidak diwajibkan menyampaikan RKSP karena alasan kepraktisan dan fleksibilitas.

 

Apa tu inward Manives BC. 1,1?

Inward Manifest (BC 1.1) adalah dokumen yang digunakan dalam kegiatan impor untuk melaporkan daftar barang yang diangkut oleh sarana pengangkut dari luar daerah pabean ke dalam daerah pabean Indonesia.

Kewajiban Penyampaian Inward Manifest:

Sebelum Pembongkaran: Pengangkut wajib menyampaikan inward manifest kepada Bea Cukai sebelum melakukan pembongkaran barang dari sarana pengangkut.
Batas Waktu 24 Jam: Untuk sarana pengangkut laut, inward manifest harus disampaikan paling lambat 24 jam sejak kedatangan sarana pengangkut di pelabuhan Indonesia.

 

Pengecualian Inward Manifest:

Sarana Pengangkut Tanpa Bongkar Muat: Sarana pengangkut yang tidak melakukan bongkar muat barang dan berlabuh/lego jangkar paling lama 24 jam sejak kedatangan, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan inward manifest.

Isi Inward Manifest:

  1. Data sarana pengangkut (nama, jenis, kebangsaan)
  2. Pelabuhan muat dan pelabuhan bongkar
  3. Data barang (jenis, jumlah, berat, HS Code)
  4. Data pengirim dan penerima barang
  5. Dan lain-lain

 

Tujuan Penyampaian Inward Manifest:

  1. Pengawasan Barang Impor: Bea Cukai dapat mengawasi dan mengendalikan barang impor yang masuk ke Indonesia.
  2. Mencegah Penyelundupan: Membantu Bea Cukai dalam mencegah penyelundupan dan pelanggaran kepabeanan lainnya.
  3. Kelancaran Proses Impor: Memperlancar proses pemeriksaan, pengawasan, dan clearance kepabeanan.
  4. Data Statistik: Data inward manifest digunakan untuk keperluan statistik perdagangan dan analisis kebijakan.

 

Dasar Hukum Ketentuan Kepabeanan dibidang impor:

Ketentuan mengenai inward manifest diatur dalam:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-17/BC/2019 tentang Tatalaksana Penyampaian Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes

 

Keterlambatan Penyampaian Inward Manivest:

Keterlambatan penyampaian inward manifest dapat mengakibatkan:

  1. Denda administrasi
  2. Penundaan proses bongkar muat barang
  3. Penundaan proses impor

 

Penyampaian inward manifest merupakan kewajiban penting bagi pengangkut dalam kegiatan impor. Dokumen ini memudahkan Bea Cukai dalam melakukan pengawasan dan memperlancar proses impor.

 

Apa itu Tempat Lain Daerah Pabean (TLDP)

TLDP adalah singkatan dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean. TLDP adalah tempat selain kantor pabean dan Tempat Penimbunan Sementara (TPS) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan kegiatan kepabeanan tertentu.

 

Tujuan Penetapan TLDP:

  • Fleksibilitas: Memberikan fleksibilitas dalam pelaksanaan kegiatan kepabeanan.
  • Efisiensi: Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan kepabeanan.
  • Kebutuhan Khusus: Memenuhi kebutuhan khusus dalam kegiatan impor, ekspor, atau kegiatan kepabeanan lainnya.

 

Contoh Kegiatan yang Dapat Dilakukan di TLDP:

  1. Pemeriksaan fisik barang: Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik barang impor atau ekspor di TLDP.
  2. Penimbunan sementara: Barang impor atau ekspor dapat ditimbun sementara di TLDP sebelum proses clearance kepabeanan selesai.
  3. Pengeluaran barang: Barang impor dapat dikeluarkan dari TLDP setelah memenuhi persyaratan kepabeanan.
  4. Pemuatan barang ekspor: Barang ekspor dapat dimuat ke sarana pengangkut di TLDP.
  5. Kegiatan lain: TLDP juga dapat digunakan untuk kegiatan kepabeanan lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, seperti:
    Penyelenggaraan pameran
    Penyelenggaraan kegiatan olahraga
    Penyelenggaraan konser musik

 

Penetapan TLDP:

  1. Menteri Keuangan: TLDP ditetapkan oleh Menteri Keuangan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
  2. Persyaratan: Tempat yang akan ditetapkan sebagai TLDP harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti:
    Lokasi yang strategis
    Keamanan yang terjamin
    Fasilitas yang memadai

 

Contoh TLDP:

Hanggar: Hanggar pesawat dapat ditetapkan sebagai TLDP untuk pemeriksaan fisik barang impor yang diangkut dengan pesawat udara.
Gudang: Gudang milik importir atau PPJK dapat ditetapkan sebagai TLDP untuk penimbunan sementara barang impor.
Area Pameran: Area pameran dapat ditetapkan sebagai TLDP untuk kegiatan impor barang pameran.

TLDP memberikan fleksibilitas dan efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan kepabeanan. Dengan adanya TLDP, proses impor, ekspor, dan kegiatan kepabeanan lainnya dapat dilakukan di tempat selain kantor pabean dan TPS.

 

Apa itu BC 2.0 dan BC 3.0 ?

PIB BC 2.0

PIB BC 2.0 adalah dokumen yang digunakan untuk memberitahukan impor barang kepada Bea Cukai. Dokumen ini diisi oleh importir atau PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan) dan disampaikan secara elektronik melalui sistem komputer pelayanan Bea Cukai.

 

Isi PIB BC 2.0:

  1. Data Importir: Nama, alamat, NPWP, dan informasi lain tentang importir.
  2. Data Barang: Jenis barang, jumlah, berat, HS Code, nilai pabean, dan informasi lain tentang barang yang diimpor.
  3. Data Sarana Pengangkut: Nama sarana pengangkut, nomor voyage/flight, pelabuhan muat, dan pelabuhan bongkar.
  4. Data Dokumen: Nomor dan tanggal invoice, packing list, bill of lading/airway bill, dan dokumen pelengkap lainnya.
  5. Jenis Impor: Impor untuk dipakai, impor sementara, reimpor, dll.
  6. Tujuan Impor: Untuk dipakai sendiri, untuk dijual, untuk diolah, dll.

 

Fungsi PIB BC 2.0:

  1. Memberitahukan Impor Barang: Sebagai dokumen resmi untuk memberitahukan impor barang kepada Bea Cukai.
  2. Dasar Pengenaan Bea Masuk dan Pajak: Data dalam PIB digunakan untuk menghitung bea masuk dan pajak impor yang terutang.
  3. Pengawasan Impor: Membantu Bea Cukai dalam melakukan pengawasan terhadap barang impor yang masuk ke Indonesia.
  4. Data Statistik: Data PIB digunakan untuk keperluan statistik perdagangan dan analisis kebijakan.

 

PEB BC 3.0

BC 3.0 adalah dokumen yang dulu digunakan untuk memberitahukan ekspor barang kepada Bea Cukai. Namun, sejak tahun 2018, BC 3.0 telah digantikan dengan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang). PEB memiliki fungsi yang sama dengan BC 3.0, yaitu sebagai dokumen pemberitahuan ekspor barang.

Isi PEB:

  1. Data Eksportir: Nama, alamat, NPWP, dan informasi lain tentang eksportir.
  2. Data Barang: Jenis barang, jumlah, berat, HS Code, nilai FOB, dan informasi lain tentang barang yang diekspor.
  3. Data Sarana Pengangkut: Nama sarana pengangkut, nomor voyage/flight, pelabuhan muat, dan pelabuhan tujuan.
  4. Data Dokumen: Nomor dan tanggal invoice, packing list, dan dokumen pelengkap lainnya.
  5. Negara Tujuan: Negara tujuan ekspor.

 

Perbedaan PIB dan PEB:

  • Tujuan: PIB digunakan untuk impor, sedangkan PEB digunakan untuk ekspor.
  • Bea Masuk dan Pajak: PIB digunakan sebagai dasar penghitungan bea masuk dan pajak impor, sedangkan PEB tidak.
  • Data: PIB memuat informasi tentang nilai pabean dan jenis impor, sedangkan PEB memuat informasi tentang nilai FOB dan negara tujuan.

 

PIB BC 2.0 dan PEB (pengganti BC 3.0) merupakan dokumen penting dalam kegiatan impor dan ekspor. Dokumen-dokumen ini digunakan untuk memberitahukan kegiatan impor/ekspor kepada Bea Cukai, menghitung bea masuk dan pajak, serta memudahkan pengawasan barang yang masuk dan keluar dari Indonesia.

 

Outward Manifest (BC 1.1) adalah

Outward Manifest (BC 1.1) adalah dokumen yang wajib disampaikan oleh pengangkut kepada Bea Cukai sebelum sarana pengangkut berangkat keluar dari daerah pabean Indonesia.

 

Tujuan Outward Manifest:

  • Melaporkan Barang yang Dibawa: Memberikan informasi kepada Bea Cukai tentang daftar barang yang diangkut oleh sarana pengangkut keluar dari Indonesia.
  • Pengawasan Ekspor: Membantu Bea Cukai dalam melakukan pengawasan terhadap barang ekspor dan mencegah penyelundupan.
  • Data Statistik: Data outward manifest digunakan untuk keperluan statistik perdagangan dan analisis kebijakan.

 

Isi Outward Manifest:

  1. Data sarana pengangkut (nama, jenis, kebangsaan)
  2. Pelabuhan keberangkatan dan pelabuhan tujuan
  3. Data barang (jenis, jumlah, berat, HS Code)
  4. Data pengirim dan penerima barang
  5. Dan lain-lain

 

Kapan Harus Disampaikan?

Outward manifest harus disampaikan sebelum sarana pengangkut berangkat.

 

Ketentuan Khusus:

  • Sarana Pengangkut Laut: Untuk sarana pengangkut laut, outward manifest harus disampaikan paling lambat 1 x 24 jam sebelum keberangkatan.
  • Sarana Pengangkut Udara: Untuk sarana pengangkut udara, outward manifest harus disampaikan paling lambat 2 jam sebelum keberangkatan.

 

Pengecualian:

  • Sarana Pengangkut Tanpa Muatan: Sarana pengangkut yang tidak mengangkut barang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan outward manifest.
  • Sarana Pengangkut Tertentu: Sarana pengangkut yang hanya berlabuh/lego jangkar dalam waktu singkat dan tidak melakukan bongkar muat barang, juga dikecualikan.

 

Dasar Hukum Kepabeanan Bidang Ekspor:

Ketentuan mengenai outward manifest diatur dalam:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-17/BC/2019 tentang Tatalaksana Penyampaian Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes

 

Keterlambatan Penyampaian:

Keterlambatan penyampaian outward manifest dapat mengakibatkan:

  • Denda administrasi
  • Penundaan keberangkatan sarana pengangkut

 

Penyampaian outward manifest merupakan kewajiban penting bagi pengangkut sebelum sarana pengangkut meninggalkan daerah pabean Indonesia. Hal ini memudahkan Bea Cukai dalam melakukan pengawasan dan mendukung kelancaran arus barang ekspor.

 

Apa keterkaitan erat antara BC 1.1 (Inward Manifest) dan BC 2.0 (PIB)?

BC 1.1 maka importir bisa membuat BC 2.0 (PIB) Manives dan PIB akan di sandingkan. PIB yang di submit belum ada manives maka akan di reject.

Berikut alur prosesnya:

  1. Pengangkut menyampaikan BC 1.1 (Inward Manifest): Sebelum barang impor dibongkar dari sarana pengangkut, pengangkut wajib menyampaikan inward manifest (BC 1.1) ke Bea Cukai.
  2. Bea Cukai memproses BC 1.1: Bea Cukai akan memproses inward manifest dan mencocokkan data dengan data RKSP (Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut) yang telah disampaikan sebelumnya.
  3. Importir menyampaikan BC 2.0 (PIB): Setelah inward manifest diproses, importir atau PPJK dapat menyampaikan PIB (BC 2.0) ke Bea Cukai.
  4. Pencocokan Data ( cross check ): Sistem komputer Bea Cukai akan melakukan pencocokan data antara PIB dan inward manifest.
  5. Data yang dicocokkan: Nomor dan tanggal BC 1.1, data barang (jenis, jumlah, HS Code), dan data sarana pengangkut.
    PIB diterima atau ditolak:
  6. Diterima: Jika data PIB sesuai dengan inward manifest, PIB akan diterima dan diproses lebih lanjut oleh Bea Cukai.
  7. Ditolak: Jika data PIB tidak sesuai dengan inward manifest atau inward manifest belum disampaikan, PIB akan ditolak oleh sistem.

 

Mengapa PIB Ditolak Jika Belum Ada Inward Manifest?

  1. Validasi Data: Inward manifest menjadi sumber data validasi bagi PIB. Bea Cukai perlu memastikan bahwa barang yang diberitahukan dalam PIB benar-benar ada dan telah diangkut oleh sarana pengangkut yang sah.
  2. Mencegah Manipulasi Data: Mencegah importir memanipulasi data dalam PIB, misalnya mengurangi jumlah barang atau mengubah jenis barang.
  3. Pengawasan Impor: Memperkuat pengawasan barang impor yang masuk ke Indonesia dan mencegah penyelundupan.

 

Penyampaian inward manifest (BC 1.1) oleh pengangkut merupakan prasyarat bagi importir untuk dapat menyampaikan PIB (BC 2.0). Pencocokan data antara kedua dokumen ini sangat penting untuk menjamin validitas data, mencegah manipulasi, dan memperkuat pengawasan impor.

 

Apa itu uji eksistensi eksportir?

Bea Cukai memang melakukan uji eksistensi terhadap eksportir untuk memastikan mereka masih aktif melakukan kegiatan ekspor.

Uji Eksistensi Eksportir

  1. Tujuan: Memastikan data eksportir yang terdaftar di Bea Cukai valid dan aktif.
  2. Kriteria: Bea Cukai akan melakukan uji eksistensi terhadap eksportir yang tidak melakukan kegiatan ekspor selama 12 bulan berturut-turut.
  3. Metode: Bea Cukai akan mengirimkan surat pemberitahuan kepada eksportir yang memenuhi kriteria uji eksistensi. Eksportir wajib memberikan tanggapan dan bukti bahwa mereka masih aktif melakukan kegiatan ekspor.

 

Konsekuensi Uji Eksistensi:

  1. Tidak ada tanggapan: Jika eksportir tidak memberikan tanggapan, Bea Cukai akan menurunkan status eksportir menjadi “Tidak Aktif”.
  2. Tidak ada kegiatan: Jika setelah diturunkan statusnya, eksportir tetap tidak melakukan kegiatan ekspor, Bea Cukai akan memblokir akses kepabeanan eksportir tersebut.
  3. Tidak ada perusahaan: Jika Bea Cukai melakukan pemeriksaan lapangan dan menemukan bahwa perusahaan eksportir tersebut tidak ada atau fiktif, maka Bea Cukai akan merekomendasikan kepada BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) untuk mencabut NIB perusahaan tersebut.

 

Dasar Hukum Uji Eksistensi eksportir:

Ketentuan mengenai uji eksistensi eksportir diatur dalam:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor

 

Manfaat Uji Eksistensi:

  1. Memperbarui Data: Membantu Bea Cukai dalam memperbarui data eksportir dan memastikan data tersebut akurat.
  2. Mencegah Penyalahgunaan: Mencegah penyalahgunaan fasilitas ekspor oleh perusahaan fiktif atau perusahaan yang tidak aktif.
  3. Meningkatkan Efektivitas Pengawasan: Meningkatkan efektivitas pengawasan kegiatan ekspor.

 

Penting bagi Eksportir:

  1. Update Data: Pastikan data perusahaan Anda di Bea Cukai selalu update.
  2. Laporkan Kegiatan Ekspor: Laporkan setiap kegiatan ekspor yang Anda lakukan kepada Bea Cukai.
  3. Tanggapi Surat Pemberitahuan: Jika Anda menerima surat pemberitahuan uji eksistensi, segera berikan tanggapan dan bukti kegiatan ekspor Anda.

 

Uji eksistensi merupakan bagian dari upaya Bea Cukai untuk mempertahankan validitas data eksportir dan meningkatkan efektivitas pengawasan kegiatan ekspor.

 

Bagaimana cara buka blokir NIB di kantor BC ?

Untuk membuka blokir di kantor Bea Cukai, Anda perlu mengikuti prosedur dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Berikut langkah-langkah umumnya:

 

Identifikasi Penyebab Blokir

Ketahui alasan pemblokiran:

Hal pertama yang perlu Anda lakukan adalah mengetahui alasan mengapa akses kepabeanan Anda diblokir.

Beberapa alasan umum pemblokiran antara lain:

  1. Tidak aktif melakukan kegiatan kepabeanan (impor/ekspor) dalam jangka waktu tertentu.
  2. Tidak merespon surat pemberitahuan uji eksistensi dari Bea Cukai.
  3. Melakukan pelanggaran kepabeanan.
  4. Data perusahaan tidak valid atau tidak lengkap.
  5. Tidak melunasi tagihan bea masuk, pajak, atau denda.

 

Cek status di sistem:

Anda dapat mengecek status blokir dan alasan pemblokiran melalui sistem online Bea Cukai, seperti portal pengguna jasa atau CEISA.

 

Lengkapi Persyaratan

Penuhi persyaratan:

Persyaratan untuk membuka blokir bervariasi tergantung pada alasan pemblokiran. Beberapa persyaratan umum meliputi:

  1. Surat permohonan pembukaan blokir.
  2. Dokumen identitas perusahaan (NIB, NPWP, akta pendirian, dll.).
  3. Bukti telah melakukan perubahan data atau melunasi tagihan (jika diperlukan).
  4. Bukti telah aktif melakukan kegiatan kepabeanan (jika diblokir karena tidak aktif).

 

Cek persyaratan spesifik:

Anda dapat mengecek persyaratan spesifik untuk membuka blokir sesuai dengan jenis blokir yang Anda alami di situs web Bea Cukai atau menghubungi kantor Bea Cukai terdekat.

 

Ajukan Permohonan

  • Ajukan permohonan: Setelah melengkapi persyaratan, ajukan permohonan pembukaan blokir secara tertulis ke kantor Bea Cukai tempat Anda terdaftar.
  • Lampirkan dokumen: Lampirkan semua dokumen persyaratan yang telah Anda siapkan.
  • Proses verifikasi: Bea Cukai akan melakukan verifikasi terhadap permohonan dan dokumen Anda.

 

Tunggu Hasil

  • Keputusan Bea Cukai: Bea Cukai akan memproses permohonan Anda dan menerbitkan keputusan, apakah permohonan Anda disetujui atau ditolak.
  • Akses dibuka: Jika permohonan disetujui, akses kepabeanan Anda akan dibuka kembali.

Tips:

  1. Segera urus: Segera urus pembukaan blokir setelah mengetahui akses Anda diblokir.
  2. Komunikatif: Jalin komunikasi yang baik dengan petugas Bea Cukai dan berikan penjelasan yang jelas.
  3. Lengkap dan benar: Pastikan dokumen yang Anda sampaikan lengkap dan benar.
  4. Patuhi ketentuan: Patuhi semua ketentuan kepabeanan untuk menghindari pemblokiran di kemudian hari.

 

Informasi Lebih Lanjut:

  • Anda dapat mencari informasi lebih lanjut tentang pembukaan blokir di situs web resmi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (www.beacukai.go.id).
  • Anda juga dapat menghubungi kantor Bea Cukai terdekat untuk mendapatkan bantuan dan informasi lebih lanjut.

 

Apa yang dimaksud dengan TPB tujuan impor untuk di ekspor ?

TPB (Tempat Penimbunan Berikat) memang salah satu fasilitas kepabeanan yang memungkinkan impor barang dengan tujuan untuk diekspor kembali, di mana bea masuk dan pajak dalam rangka impor ditangguhkan.

 

Apa itu TPB?

TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu, yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu tanpa dikenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor.

 

Tujuan Impor ke TPB:

Barang yang diimpor ke TPB dapat ditujukan untuk:

  • Diekspor kembali: baik dalam kondisi sama seperti saat diimpor, maupun setelah diolah, dirakit, atau dipasang.
  • Diimpor untuk dipakai: setelah keluar dari TPB dan memenuhi kewajiban kepabeanan.

 

Penangguhan Bea Masuk dan Pajak:

  • Tidak Dibayar di Awal: Saat barang impor masuk ke TPB, importir tidak perlu membayar bea masuk dan pajak impor di muka.
  • Dibayar Saat Keluar: Bea masuk dan pajak impor baru akan dibayar jika barang tersebut dikeluarkan dari TPB untuk diimpor dipakai.
  • Bebas Bea Masuk: Jika barang tersebut diekspor kembali, maka importir tidak perlu membayar bea masuk dan pajak impor.

 

Manfaat TPB:

  1. Efisiensi Biaya: Importir dapat menghemat biaya karena tidak perlu membayar bea masuk dan pajak di awal.
  2. Fleksibilitas: Memberikan fleksibilitas bagi importir untuk mengolah, merakit, atau memasang barang di TPB sebelum diekspor kembali.
  3. Daya Saing: Meningkatkan daya saing produk ekspor Indonesia karena biaya produksi menjadi lebih rendah.
  4. Penciptaan Lapangan Kerja: TPB dapat mendorong investasi dan menciptakan lapangan kerja di Indonesia.

 

Persyaratan Mendirikan TPB:

Perusahaan yang ingin mendirikan TPB harus memenuhi persyaratan tertentu, antara lain:

  1. Memiliki izin usaha di bidang industri, perdagangan, atau jasa.
  2. Memiliki lokasi yang memenuhi persyaratan (keamanan, aksesibilitas, dll.).
  3. Memiliki sistem administrasi dan pembukuan yang baik.
  4. Memiliki modal yang cukup.

 

Pengawasan TPB:

Bea Cukai melakukan pengawasan yang ketat terhadap kegiatan di TPB untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan.

TPB merupakan fasilitas kepabeanan yang sangat bermanfaat bagi perusahaan yang berorientasi ekspor. Dengan memanfaatkan TPB, perusahaan dapat meningkatkan efisiensi, fleksibilitas, dan daya saing dalam kegiatan ekspor.

 

OB Over brengen Adalah

OB atau Overbrengen adalah istilah dalam dunia kepabeanan yang merujuk pada pemindahan barang impor dari satu TPS (Tempat Penimbunan Sementara) ke TPS lainnya. Istilah resmi yang digunakan dalam peraturan Bea Cukai adalah PLP (Pindah Lokasi Penimbunan).

 

Kapan OB/PLP Dilakukan?

OB/PLP dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, antara lain:

  1. Kongesti di TPS asal: Jika TPS asal mengalami kongesti atau kelebihan kapasitas, sehingga tidak dapat menampung barang impor lagi.
  2. Kerusakan di TPS asal: Jika terjadi kerusakan pada TPS asal yang mengakibatkan barang impor tidak dapat disimpan dengan aman.
  3. Permintaan importir: Importir dapat meminta OB/PLP dengan alasan tertentu, misalnya untuk memudahkan proses pengeluaran barang atau konsolidasi barang.
  4. Alasan lain: Bea Cukai dapat memerintahkan OB/PLP jika dianggap perlu untuk kepentingan pengawasan atau keamanan.

 

Prosedur OB/PLP:

  1. Pengajuan permohonan: Importir atau PPJK mengajukan permohonan OB/PLP kepada Bea Cukai.
  2. Persetujuan Bea Cukai: Bea Cukai akan meneliti permohonan dan memberikan persetujuan jika memenuhi persyaratan.
  3. Pemindahan barang: Pemindahan barang dari TPS asal ke TPS tujuan dilakukan di bawah pengawasan Bea Cukai.
  4. Pemasangan tanda pengaman: Bea Cukai akan memasang tanda pengaman pada barang yang dipindahkan untuk mencegah penyalahgunaan.
  5. Penyampaian pemberitahuan: Setelah barang tiba di TPS tujuan, importir atau PPJK menyampaikan pemberitahuan kepada Bea Cukai.

 

Dasar Hukum OB/PLP:

Ketentuan mengenai OB/PLP diatur dalam:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-13/BC/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemindahan Lokasi Penimbunan

 

Manfaat OB/PLP:

  • Mengatasi kongesti: Membantu mengatasi kongesti di TPS dan memperlancar arus barang impor.
  • Menjaga keamanan barang: Memastikan barang impor disimpan di tempat yang aman dan terlindungi.
  • Fleksibilitas: Memberikan fleksibilitas bagi importir dalam mengelola barang impornya.

 

OB/PLP merupakan solusi untuk memindahkan barang impor antar TPS dengan alasan tertentu. Prosedur ini dilakukan di bawah pengawasan Bea Cukai untuk menjamin keamanan dan kepatuhan terhadap ketentuan.

 

Apa yang dimaksud dengan Angkut terus dan Angkut lanjut ?

Angkut Terus dan Angkut Lanjut adalah dua istilah dalam kepabeanan yang berkaitan dengan pengangkutan barang melalui lebih dari satu kantor pabean. Perbedaan utamanya terletak pada apakah ada barang yang dibongkar di kantor pabean transit atau tidak.

 

Angkut Terus

Transit Tanpa Bongkar: Barang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean tanpa dilakukan pembongkaran.
Tujuan: Barang tersebut akan dibongkar di kantor pabean tujuan akhir.
Contoh: Kapal laut dari Shanghai menuju Rotterdam mengangkut 1000 kontainer. Kapal tersebut transit di Singapura, tetapi tidak ada kontainer yang dibongkar di Singapura. Semua kontainer akan dibongkar di Rotterdam.

 

Angkut Lanjut

Transit dengan Bongkar: Barang diangkut dengan sarana pengangkut melalui kantor pabean dengan dilakukan pembongkaran sebagian atau seluruh barang.
Tujuan: Sebagian barang akan dibongkar di kantor pabean transit, sedangkan sisanya akan diangkut lanjut ke kantor pabean tujuan akhir.
Contoh:Kapal laut dari Jakarta menuju Surabaya mengangkut 1000 kontainer. Kapal tersebut transit di Tanjung Priok, di mana 500 kontainer dibongkar. Kemudian, kapal melanjutkan perjalanan ke Tanjung Perak dengan 500 kontainer sisanya.

 

Ketentuan Kepabeanan:

Pengawasan Bea Cukai: Baik angkut terus maupun angkut lanjut tetap berada di bawah pengawasan Bea Cukai.
Dokumen Pabean: Pengangkut wajib menyampaikan dokumen pabean yang lengkap dan benar, seperti manifes dan dokumen pengangkutan.
Pemeriksaan Pabean: Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan pabean terhadap barang yang diangkut terus atau diangkut lanjut.

 

Dasar Hukum Angkut terus dan angkut lanjut:

Ketentuan mengenai angkut terus dan angkut lanjut diatur dalam:

  • PMK 216/PMK.04/2019 tentang Angkut Terus atau Angkut Lanjut Barang Impor atau Barang Ekspor
  • PER-13/BC/2020 tentang Petunjuk Pelaksanaan Angkut Terus atau Angkut Lanjut Barang Impor atau Barang Ekspor

 

Manfaat Angkut Terus dan Angkut Lanjut:

  • Efisiensi: Meningkatkan efisiensi waktu dan biaya dalam pengangkutan barang.
  • Fleksibilitas: Memberikan fleksibilitas dalam mendistribusikan barang ke berbagai tujuan.
  • Memperlancar Arus Barang: Memperlancar arus barang dalam perdagangan internasional.

 

Angkut terus dan angkut lanjut merupakan mekanisme pengangkutan barang yang penting dalam perdagangan internasional. Dengan memahami perbedaan dan ketentuannya, pelaku usaha dapat mengoptimalkan proses pengangkutan barang.

 

Rush Handling adalah

Rush Handling adalah layanan kepabeanan yang memberikan pelayanan segera untuk pengeluaran barang impor tertentu yang karena karakteristiknya perlu segera dikeluarkan dari kawasan pabean.

 

Contoh Kasus Lumba-lumba:

Lumba-lumba hidup yang akan dipertunjukkan merupakan contoh tepat penerapan Rush Handling. Lumba-lumba membutuhkan penanganan khusus dan tidak dapat menunggu lama di bandara.

 

Perbedaan dengan Impor Biasa:

  • Impor Biasa: PIB diajukan, bea masuk dan pajak dibayar, lalu barang diperiksa sebelum dikeluarkan. Proses ini membutuhkan waktu.
  • Rush Handling: Karena barang harus segera dikeluarkan, maka PIB, pembayaran, dan pemeriksaan fisik ditangguhkan. Importir cukup mengajukan permohonan Rush Handling dengan melampirkan dokumen pelengkap pabean dan memberikan jaminan.

 

Jaminan Bea Masuk:

Jaminan berfungsi untuk menjamin pembayaran bea masuk dan pajak jika importir tidak memenuhi kewajibannya. Bentuk jaminan bisa berupa:

  1. Tunai
  2. Bank Garansi
  3. Jaminan Asuransi ( Custom Bond )

 

Batas Waktu Pengurusan PIB:

Setelah barang dikeluarkan dengan Rush Handling, importir wajib menyampaikan PIB dan melunasi bea masuk serta pajak paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan pengeluaran barang.

 

Dokumen yang Diperlukan:

  • Permohonan Rush Handling
  • Dokumen Pelengkap Pabean (Dokap): Invoice, packing list, bill of lading/airway bill, dll.
  • Bukti Jaminan

 

Alur Rush Handling (Udara):

  1. Kedatangan Barang: Lumba-lumba tiba di bandara.
  2. Pengajuan Permohonan: Importir mengajukan permohonan Rush Handling ke Bea Cukai.
  3. Penyerahan Jaminan: Importir menyerahkan jaminan.
  4. Pemeriksaan Dokumen: Bea Cukai memeriksa dokumen pelengkap.
  5. Persetujuan Pengeluaran: Jika dokumen lengkap dan jaminan sah, Bea Cukai menerbitkan persetujuan pengeluaran barang.
  6. Pengeluaran Barang: Lumba-lumba segera dikeluarkan dari bandara dan dibawa ke gudang.
  7. Penyampaian PIB: Importir menyampaikan PIB dan melunasi bea masuk & pajak maksimal 7 hari setelah pengeluaran barang.

 

Keuntungan Rush Handling:

  • Mempercepat pengeluaran barang yang membutuhkan penanganan segera.
  • Meminimalisir risiko kerusakan atau kematian barang akibat tertahan di kawasan pabean.

 

Rush Handling merupakan layanan yang sangat penting untuk memperlancar impor barang-barang yang peka waktu dan kondisi, seperti lumba-lumba hidup.

 

Apa itu Masterlis BKPM terkait pembebasanan dan keringanan Bea Masuk?

Masterlist BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) adalah daftar barang yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk dalam rangka penanaman modal. Fasilitas ini diberikan untuk mendorong investasi dan mempercepat pembangunan di Indonesia.

 

Dasar Hukum Fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk:

  • UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal: Mengatur tentang pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk bagi perusahaan yang melakukan penanaman modal.
  • PP No. 71 Tahun 2019 tentang Perizinan Berusaha: Melengkapi ketentuan mengenai fasilitas fiskal dalam rangka penanaman modal.
  • Peraturan Menteri Keuangan terkait: Menteri Keuangan menerbitkan peraturan untuk mengatur tata cara pemberian fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk, termasuk ketentuan mengenai Masterlist BKPM.

 

Jenis Barang dalam Masterlist BKPM:

Masterlist BKPM memuat daftar barang yang dapat diberikan fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk, antara lain:

  1. Mesin dan peralatan: Mesin-mesin produksi, peralatan pabrik, dan peralatan pendukung lainnya yang digunakan untuk kegiatan produksi.
  2. Barang modal: Barang-barang yang digunakan untuk menunjang kegiatan usaha, seperti kendaraan operasional, peralatan kantor, dan peralatan teknologi informasi.
  3. Bahan baku: Bahan baku yang diperlukan untuk proses produksi.
  4. Barang dan bahan untuk pembangunan: Barang dan bahan yang digunakan untuk konstruksi pabrik, gedung kantor, dan infrastruktur pendukung lainnya.

 

Syarat Mendapatkan Fasilitas Bea Masuk:

Perusahaan yang ingin mendapatkan fasilitas pembebasan atau keringanan Bea Masuk melalui Masterlist BKPM harus memenuhi persyaratan, antara lain:

  • Memiliki izin penanaman modal: Perusahaan harus memiliki izin penanaman modal yang diterbitkan oleh BKPM.
  • Melakukan impor barang yang tercantum dalam Masterlist: Barang yang diimpor harus sesuai dengan jenis dan spesifikasi yang tercantum dalam Masterlist BKPM.
  • Memenuhi ketentuan lain: Perusahaan harus memenuhi ketentuan lain yang diatur dalam peraturan Menteri Keuangan terkait, seperti menyampaikan permohonan dan laporan penggunaan barang.

 

Manfaat Masterlist BKPM:

  • Mengurangi Biaya Investasi: Dengan mendapatkan pembebasan atau keringanan Bea Masuk, investor dapat mengurangi biaya investasi di Indonesia.
  • Mendorong Investasi: Fasilitas ini mendorong investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
  • Mempercepat Pembangunan: Membantu mempercepat pembangunan industri dan infrastruktur di Indonesia.

 

Cara Mendapatkan Masterlist BKPM:

Anda dapat mengakses Masterlist BKPM dan informasi terkait melalui:

  • Situs web BKPM: www.bkpm.go.id
  • Situs web Kementerian Keuangan: www.kemenkeu.go.id
  • Kantor BKPM: Anda dapat mengunjungi kantor BKPM terdekat untuk mendapatkan informasi dan bantuan terkait Masterlist BKPM.

 

Masterlist BKPM merupakan instrumen penting dalam mendorong investasi di Indonesia. Dengan memanfaatkan fasilitas ini, perusahaan dapat mengurangi biaya investasi dan mempercepat pertumbuhan usahanya.

 

Kirim sampel lebih dari 30 kilo ke calon buyer apakah harus bikin PEB ?

Pengiriman sampel lebih dari 30 kilogram ke calon buyer di luar negeri wajib menggunakan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang).

 

Ketentuan Ekspor Sampel:

  • Sebelumnya: Sesuai peraturan lama (PMK 145/PMK.04/2007), ekspor barang contoh (sampel) dengan berat tidak lebih dari 100 kg dapat menggunakan PEB dengan tulisan tangan di atas formulir.
  • Perubahan: Namun, berdasarkan PMK 155/PMK.04/2022, ketentuan tersebut diubah. Semua barang ekspor, termasuk sampel, wajib menggunakan PEB, baik dalam bentuk elektronik maupun tertulis, kecuali barang kiriman dengan berat tidak melebihi 30 kg.

 

Jadi, jika Anda ingin mengirim sampel lebih dari 30 kg ke calon buyer, Anda harus:

  • Mengurus PEB: Buat dan sampaikan PEB ke Bea Cukai sebelum barang diekspor.
  • Melengkapi Dokumen: Lampirkan dokumen pelengkap pabean, seperti invoice, packing list, dan dokumen lain yang dipersyaratkan.
  • Memenuhi Ketentuan: Pastikan Anda memenuhi semua ketentuan ekspor yang berlaku, termasuk ketentuan larangan dan pembatasan ekspor.

 

Alasan Kewajiban PEB:

  • Pengawasan Ekspor: Bea Cukai perlu mengawasi semua barang yang keluar dari Indonesia, termasuk sampel, untuk mencegah penyelundupan dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan.
  • Data Statistik: Data PEB digunakan untuk keperluan statistik perdagangan dan analisis kebijakan ekspor.
  • Perlindungan: PEB juga memberikan perlindungan hukum bagi eksportir jika terjadi sengketa di kemudian hari.

 

Meskipun hanya berupa sampel, pengiriman barang ke luar negeri dengan berat lebih dari 30 kg wajib menggunakan PEB. Hal ini penting untuk menjamin pengawasan ekspor, akurasi data statistik, dan perlindungan hukum bagi eksportir.

 

Apa konsekwensi PEB Jika barang ekspor batal ekspor tapi tidak dilaporkan ke BC ?

Jika eksportir membatalkan ekspor barang yang telah diberitahukan dalam PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) tetapi tidak melaporkannya ke Bea Cukai, maka akan dikenakan denda sebesar Rp5.000.000.

Kewajiban Melaporkan Pembatalan Ekspor:

  • Pentingnya Laporan: Eksportir wajib melaporkan pembatalan ekspor kepada Bea Cukai, meskipun barang belum dimuat ke dalam sarana pengangkut.
  • Tujuan: Memperbarui data ekspor dan mencegah ketidaksesuaian data antara PEB dengan kondisi fisik barang.
  • Batas Waktu: Laporan pembatalan ekspor harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal keberangkatan sarana pengangkut yang seharusnya mengangkut barang ekspor tersebut.

 

Dasar Hukum Pembatalan ekspor:

Ketentuan mengenai denda pembatalan ekspor diatur dalam:

  • Pasal 10 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
  • PMK 155/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor

 

Sanksi tidak melaporkan pembatalan ekspor:

Denda Rp5.000.000: Eksportir yang tidak melaporkan pembatalan ekspor atau terlambat melaporkannya akan dikenakan denda sebesar Rp5.000.000.

 

Contoh Kasus pembatalan ekspor:

Seorang eksportir telah mengajukan PEB untuk mengekspor 100 ton kopi ke Amerika Serikat dengan kapal laut yang dijadwalkan berangkat tanggal 1 November 2024. Namun, karena alasan tertentu, eksportir tersebut membatalkan ekspornya pada tanggal 28 Oktober 2024.

  • Kewajiban: Eksportir wajib melaporkan pembatalan ekspor ke Bea Cukai paling lambat tanggal 3 November 2024 (3 hari kerja setelah 1 November 2024).
  • Konsekuensi: Jika eksportir tidak melaporkan pembatalan ekspor tersebut, maka akan dikenakan denda Rp5.000.000.

 

Penting untuk Diingat:

  • Melaporkan pembatalan ekspor merupakan kewajiban eksportir.
  • Ketidakpatuhan dapat mengakibatkan sanksi denda.
  • Selalu perbarui data ekspor Anda ke Bea Cukai.

 

Pembatalan ekspor harus dilaporkan kepada Bea Cukai untuk menjaga keakuratan data dan mencegah penyalahgunaan. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan ini dapat mengakibatkan sanksi denda yang cukup besar.

 

Bagaimana cara Bea Cukai menghitung Metode Komputasi dan Metode Deduksi ?

Metode Komputasi dan Deduksi dalam Penentuan Nilai Pabean

Bea Cukai menggunakan beberapa metode untuk menentukan nilai pabean, yaitu nilai transaksi, nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, metode deduksi, dan metode komputasi.

Dua metode terakhir, yaitu metode deduksi dan komputasi, digunakan ketika nilai transaksi tidak dapat ditentukan.

 

Metode Deduksi

Prinsip: Menentukan nilai pabean berdasarkan harga jual barang impor yang sama atau serupa di pasar dalam negeri, dikurangi dengan biaya-biaya yang timbul setelah impor.
Langkah-Langkah:

  1. Identifikasi harga jual: Cari harga jual barang impor yang sama atau serupa di pasar dalam negeri.
  2. Kurangi biaya: Kurangi harga jual tersebut dengan:
  3. Keuntungan dan biaya umum penjual.
  4. Biaya transportasi, asuransi, dan biaya lain setelah impor.
  5. Bea masuk, cukai, dan pajak.
  6. Hasil pengurangan: Hasil pengurangan tersebut menjadi nilai pabean.

 

Contoh Metode Deduksi:

Sebuah perusahaan mengimpor mainan. Karena tidak ada nilai transaksi, Bea Cukai menggunakan metode deduksi. Mainan serupa dijual di Indonesia seharga Rp 100.000. Setelah dikurangi keuntungan penjual (Rp 20.000), biaya transportasi (Rp 5.000), dan bea masuk (Rp 10.000), maka nilai pabean mainan tersebut adalah Rp 65.000.

 

Metode Komputasi

Prinsip: Menentukan nilai pabean dengan menghitung biaya produksi barang impor ditambah keuntungan dan biaya umum yang wajar.
Langkah-Langkah:

  1. Identifikasi biaya produksi: Hitung biaya bahan baku, tenaga kerja, dan biaya overhead pabrik.
  2. Tambahkan keuntungan dan biaya umum: Tambahkan keuntungan dan biaya umum yang wajar pada biaya produksi.
  3. Tambahkan biaya lain: Tambahkan biaya transportasi, asuransi, dan biaya lain sampai barang tiba di Indonesia.
  4. Hasil penjumlahan: Hasil penjumlahan tersebut menjadi nilai pabean.

 

Contoh Metode Komputasi:

Sebuah perusahaan mengimpor mesin. Bea Cukai menggunakan metode komputasi. Biaya produksi mesin tersebut adalah Rp 500 juta. Ditambah keuntungan (Rp 100 juta), biaya umum (Rp 50 juta), dan biaya transportasi (Rp 25 juta), maka nilai pabean mesin tersebut adalah Rp 675 juta.

 

Perbedaan Utama:

  • Metode Deduksi: Berfokus pada harga jual di pasar dalam negeri dan mengurangi biaya-biaya.
  • Metode Komputasi: Berfokus pada biaya produksi dan menambahkan keuntungan serta biaya-biaya.

 

Dasar Hukum Metode deduksi dan Komputasi:

Ketentuan mengenai metode deduksi dan komputasi diatur dalam:

  • PMK 144/PMK.04/2022 tentang Penetapan Nilai Pabean

Metode deduksi dan komputasi merupakan alternatif untuk menentukan nilai pabean ketika nilai transaksi tidak dapat ditentukan. Bea Cukai akan memilih metode yang paling sesuai dengan karakteristik barang impor dan data yang tersedia.

 

Ahli pabean adalah

Ahli Kepabeanan adalah seseorang yang memiliki pengetahuan dan pemahaman mendalam tentang seluruh aspek kepabeanan, termasuk peraturan, prosedur, dan praktiknya. Mereka telah lulus Ujian Sertifikasi Ahli Kepabeanan yang diselenggarakan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

 

Peran Ahli Kepabeanan:

Ahli Kepabeanan dapat berperan dalam berbagai hal, antara lain:

  1. Konsultan: Memberikan konsultasi dan nasihat kepada importir, eksportir, dan pelaku usaha lainnya mengenai peraturan dan prosedur kepabeanan.
  2. PPJK (Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan): Menjadi PPJK yang berwenang untuk mengurus dokumen dan prosedur kepabeanan atas nama importir atau eksportir.
  3. Kuasa Hukum: Mewakili importir atau eksportir dalam penyelesaian sengketa kepabeanan, baik melalui jalur keberatan, banding, maupun gugatan di pengadilan.
  4. Akademisi/Peneliti: Melakukan penelitian dan pengembangan di bidang kepabeanan.
  5. Internal Perusahaan: Bekerja di perusahaan impor/ekspor untuk menangani urusan kepabeanan perusahaan.

 

Syarat Menjadi Ahli Kepabeanan:

  • Warga Negara Indonesia: Berstatus Warga Negara Indonesia.
  • Pendidikan Minimal D3: Memiliki ijazah pendidikan minimal Diploma 3 (D3).
  • Lulus Ujian Sertifikasi: Lulus Ujian Sertifikasi Ahli Kepabeanan yang diselenggarakan oleh BPPK.

 

Manfaat Sertifikasi Ahli Kepabeanan:

  1. Pengakuan Kompetensi: Sertifikat Ahli Kepabeanan merupakan pengakuan kompetensi resmi dari pemerintah.
  2. Meningkatkan Kredibilitas: Meningkatkan kredibilitas dan profesionalisme di bidang kepabeanan.
  3. Peluang Karir: Membuka peluang karir yang lebih luas di bidang kepabeanan, baik di sektor pemerintah maupun swasta.
  4. Pengembangan Diri: Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kepabeanan.

 

Ahli Kepabeanan memiliki peran penting dalam memfasilitasi kelancaran arus barang dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan kepabeanan. Mereka adalah para profesional yang memiliki keahlian dan kompetensi di bidang kepabeanan.

 

Bagaimana cara Kaidah untuk membaca HS Code ?

Untuk membaca dan memahami HS Code dengan tepat, Anda bisa memanfaatkan beberapa sumber informasi, termasuk:

Google:

Pencarian Cepat: Google dapat membantu Anda menemukan informasi dasar tentang HS Code, seperti definisi, struktur, dan contoh-contohnya.
Website Terkait: Anda juga bisa menemukan website-website yang menyediakan informasi lebih detail tentang HS Code, seperti website Bea Cukai, Kementerian Perdagangan, atau konsultan kepabeanan.
Keterbatasan: Meskipun mudah diakses, informasi di Google mungkin tidak selalu akurat atau up-to-date.

 

BTKI (Buku Tarif Kepabeanan Indonesia):

Sumber Resmi: BTKI adalah dokumen resmi yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan yang memuat daftar lengkap HS Code beserta tarif bea masuknya.
Informasi Detail: BTKI memberikan informasi detail tentang deskripsi barang, aturan klasifikasi, dan catatan penjelasan untuk setiap HS Code.
Akses Online: BTKI dapat diakses secara online melalui website Bea Cukai atau website INSW (Indonesia National Single Window).
Paling Akurat: BTKI adalah sumber informasi yang paling akurat dan up-to-date tentang HS Code.

 

Layanan Konsultasi di Bea Cukai:

Klarifikasi: Jika Anda ragu atau membutuhkan klarifikasi tentang HS Code tertentu, Anda dapat berkonsultasi dengan petugas Bea Cukai.
Penetapan Klasifikasi: Bea Cukai juga menyediakan layanan penetapan klasifikasi barang impor sebelum impor (PKSI) untuk memberikan kepastian HS Code sebelum barang diimpor.
Keuntungan: Anda akan mendapatkan informasi dan penjelasan langsung dari sumber yang berwenang.

Kaidah Membaca HS Code:

Struktur 8 Digit: HS Code di Indonesia terdiri dari 8 digit angka.

  • 2 digit pertama: Bab ( Chapter )
  • 2 digit berikutnya: Pos ( Heading )
  • 2 digit berikutnya: Sub Pos ( Subheading )
  • 2 digit terakhir: Pos Tarif ( Tariff Item )
  • Interpretasi Hirarkis: HS Code dibaca secara hirarkis, dari bab yang paling umum hingga pos tarif yang paling spesifik.
  • Catatan Penjelasan: Perhatikan catatan penjelasan dan aturan klasifikasi yang terdapat dalam BTKI untuk memastikan HS Code yang Anda pilih sudah tepat.

 

Contoh HS Code:

HS Code untuk “Telepon genggam ( handphone ) jenis smartphone ” adalah 8517.12.00.00.

  • 85: Bab 85 (Peralatan penerima radio, peralatan pemancar radio, peralatan penerima dan pemancar radio gabungan, peralatan penerima televisi, apakah atau tidak digabungkan dengan peralatan penerima radio atau suara)
  • 17: Pos 17 (Telepon (termasuk telepon seluler untuk jaringan seluler))
  • 12: Sub Pos 12 (Telepon untuk jaringan seluler dan peralatan lainnya yang bekerja dengan sistem yang sama)
  • 00: Pos Tarif 00 ( Smartphone )

 

Memahami HS Code dengan benar sangat penting dalam kegiatan impor dan ekspor. Manfaatkan sumber informasi yang tersedia, seperti Google, BTKI, dan layanan konsultasi di Bea Cukai, untuk memastikan Anda menggunakan HS Code yang tepat.

 

Apa konsekwensi Incoterm DDP nilai invoicenya 100 tapi di PIB di declare nilainya 10% atau DAF ?

Melakukan deklarasi nilai barang impor yang tidak sesuai dengan nilai sebenarnya pada invoice, baik dalam skema DDP maupun DAF, adalah pelanggaran kepabeanan yang serius.

 

Konsekuensi DDP dan DAF:

  • Denda: Anda dapat dikenakan denda yang signifikan, bahkan mencapai 1000% dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
  • Sanksi Pidana: Dalam kasus tertentu, Anda dapat dikenakan sanksi pidana.
  • Reputasi: Merusak reputasi perusahaan Anda dan mempersulit proses impor di kemudian hari.

 

Penjelasan Mengenai DDP dan DAF:

  • DDP (Delivered Duty Paid): Dalam skema DDP, penjual bertanggung jawab atas seluruh biaya dan risiko pengiriman barang hingga tiba di tempat tujuan, termasuk bea masuk dan pajak. Nilai invoice pada DDP sudah mencakup semua biaya tersebut.
  • DAF (Delivered at Frontier): Dalam skema DAF, penjual bertanggung jawab atas pengiriman barang hingga titik perbatasan yang telah disepakati. Pembeli bertanggung jawab atas biaya dan risiko setelah barang melewati titik tersebut, termasuk bea masuk dan pajak.

 

Mengapa Mendeklarasikan Nilai yang Benar Itu Penting?

  • Kepatuhan: Mendeklarasikan nilai barang yang benar adalah kewajiban hukum importir.
  • Keadilan: Memastikan pengenaan bea masuk dan pajak yang adil dan sesuai dengan ketentuan.
  • Penerimaan Negara: Mendukung penerimaan negara dari sektor bea masuk dan pajak.
  • Perlindungan Industri Dalam Negeri: Mencegah unfair competition dari barang impor yang di- undervalue.

 

Apa yang Harus Dilakukan?

  • DDP: Jika Anda mengimpor barang dengan skema DDP, nilai yang dideklarasikan dalam PIB harus sesuai dengan nilai invoice. Anda tidak perlu menambahkan biaya bea masuk dan pajak karena sudah termasuk dalam nilai invoice.
  • DAF: Jika Anda mengimpor barang dengan skema DAF, nilai yang dideklarasikan dalam PIB harus sesuai dengan nilai invoice ditambah dengan biaya asuransi dan pengangkutan sampai pelabuhan tujuan di Indonesia. Anda juga perlu menghitung dan membayar bea masuk dan pajak secara terpisah.

 

Tips:

  1. Pahami Incoterms: Pahami dengan baik Incoterms yang digunakan dalam transaksi impor Anda.
  2. Hitung Nilai Pabean dengan Benar: Hitung nilai pabean sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
  3. Jujur dan Transparan: Bersikaplah jujur dan transparan dalam mendeklarasikan nilai barang impor.
  4. Konsultasi: Jika Anda ragu, konsultasikan dengan Bea Cukai atau konsultan kepabeanan.

 

Ingat: Kejujuran dan kepatuhan dalam mendeklarasikan nilai barang impor adalah kunci untuk menghindari masalah dengan Bea Cukai dan menjalankan kegiatan impor yang lancar.

 

Apa akibatnya jika mendeklarasikan nilai barang import hanya 10 % dari nilai invoice 100%?

Mendeklarasikan nilai barang impor hanya 10% dari nilai sebenarnya yang tertera di invoice adalah tindakan manipulasi yang melanggar hukum, terlepas dari siapa yang mengisi PIB, baik importir sendiri maupun PPJK.

Alasan Importir Mendeklarasikan Nilai Lebih Rendah:

Ada beberapa kemungkinan alasan mengapa importir melakukan hal tersebut:

  • Mengurangi Bea Masuk dan Pajak: Dengan mendeklarasikan nilai yang lebih rendah, importir berharap dapat membayar bea masuk dan pajak yang lebih kecil, sehingga menghemat biaya.
  • Menghindari Larangan/Pembatasan: Barang tertentu mungkin memiliki batasan nilai impor atau memerlukan izin khusus. Dengan mendeklarasikan nilai yang lebih rendah, importir mencoba menghindari batasan atau izin tersebut.
  • Ketidaktahuan: Meskipun jarang terjadi, importir mungkin tidak mengetahui atau tidak memahami aturan mengenai nilai pabean dan menganggap bahwa mereka bebas menentukan nilai barang impor.

 

Tanggung Jawab PPJK atau Importir ?

Meskipun PPJK membantu dalam pengurusan jasa kepabeanan dan pembuatan PIB, tanggung jawab akhir tetap berada di tangan importir.

  • Importir: Bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan data dalam PIB, termasuk nilai barang.
  • PPJK: Bertanggung jawab membantu importir dalam pengisian PIB dan memastikan dokumen lengkap sesuai ketentuan. Namun, PPJK tidak bertanggung jawab atas kebenaran nilai barang yang dideklarasikan oleh importir.

 

Kesalahan Importir:

Kesalahan utama importir dalam kasus ini adalah tidak mengecek PIB sebelum disampaikan ke Bea Cukai. Importir seharusnya memeriksa dengan teliti semua data dalam PIB, terutama nilai barang, dan memastikan kesesuaiannya dengan invoice dan dokumen pendukung lainnya.

 

Dampak Negatif:

  • Sanksi: Importir dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda, bahkan sanksi pidana jika terbukti melakukan pemalsuan data.
  • Kerugian Negara: Mendeklarasikan nilai barang yang lebih rendah merugikan negara karena mengurangi penerimaan bea masuk dan pajak.
  • Persaingan Tidak Sehat: Merugikan industri dalam negeri karena barang impor menjadi lebih murah secara tidak wajar.

Importir harus bertanggung jawab atas kebenaran data dalam PIB, termasuk nilai barang. Jangan tergiur untuk mendeklarasikan nilai yang lebih rendah demi menghindari bea masuk dan pajak, karena hal tersebut merupakan pelanggaran hukum yang dapat merugikan diri sendiri dan negara.

 

Bagaimana cara Bea cukai meneliti kesalahan nilai barang impor ?

Kesalahan dalam mendeklarasikan nilai barang impor, seperti yang Anda sebutkan di mana importir men-self assessment 10% padahal tertera di invoice 100%, dapat berakibat fatal.

 

Dokumen Pelengkap dan Bukti Bayar

Bea Cukai akan memeriksa dokumen pelengkap dan bukti bayar untuk memvalidasi nilai barang yang dideklarasikan dalam PIB.

 

Dokumen Pelengkap:

Invoice: Faktur penjualan yang mencantumkan nilai transaksi barang.
Packing List: Daftar rincian isi kemasan barang.
Bill of Lading/Airway Bill: Bukti pengangkutan barang.
Dokumen Asuransi: Bukti asuransi pengangkutan barang.
Surat Keterangan Asal (SKA): Jika mendapatkan fasilitas tarif preferensi.
Dokumen lain: Dokumen lain yang relevan dengan transaksi impor.

 

Bukti Bayar:

Bukti transfer: Bukti pembayaran kepada penjual ( supplier ).
Rekening Koran: Rekening koran yang menunjukkan aliran dana terkait transaksi impor.
Denda 100% sampai 1000%

Jika Bea Cukai menemukan ketidaksesuaian antara nilai yang dideklarasikan dalam PIB dengan nilai sebenarnya berdasarkan dokumen pelengkap dan bukti bayar, maka importir dapat dikenakan denda yang cukup besar.

Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang Kepabeanan: Mengatur bahwa kesalahan pemberitahuan nilai pabean yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% dan paling banyak 1000% dari bea masuk yang kurang dibayar.
Tingkat Kesalahan: Besaran denda disesuaikan dengan tingkat kesalahan dalam mendeklarasikan nilai pabean. Semakin besar selisih nilai, semakin besar pula denda yang dikenakan.

 

Contoh Deklarasi nilai lebih rendah:

Jika bea masuk yang seharusnya dibayar adalah Rp100 juta, dan importir mendeklarasikan nilai yang lebih rendah sehingga hanya membayar Rp10 juta, maka denda yang dapat dikenakan berkisar antara Rp100 juta hingga Rp1 miliar.

 

Pentingnya Kejujuran dan Ketelitian:

  1. Jujur: Importir harus jujur dan transparan dalam mendeklarasikan nilai barang impor.
  2. Teliti: Periksa kembali PIB dan pastikan semua data sudah benar dan sesuai dengan dokumen pendukung.
  3. Konsultasi: Jika Anda ragu atau membutuhkan bantuan, konsultasikan dengan Bea Cukai atau konsultan kepabeanan.

 

Kesalahan dalam mendeklarasikan nilai barang impor dapat berakibat fatal bagi importir. Oleh karena itu, penting untuk memastikan kebenaran data dalam PIB dan melampirkan dokumen pelengkap yang valid.

Akhmad Fauzi

Penulis adalah doktor ilmu hukum, magister ekonomi syariah, magister ilmu hukum dan ahli komputer. Ahli dibidang proses legalitas, visa, perkawinan campuran, digital marketing dan senang mengajarkan ilmu kepada masyarakat