PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

Adi

Updated on:

PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI
Direktur Utama Jangkar Goups

PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

Seperti bunga layu sebelum berkembang, kelihatannya itu yang berlangsung pada mediasi. Jadi pilihan penyelesaian perselisihan di persidangan. Basuki Rekso Wibowo, Guru Besar Fakultas Hukum Kampus Airlangga. Yang memegang Kepala Pusat Riset serta Peningkatan Hukum serta Peradilan (Puslitbang Kumdil) Mahkamah Agung menjelaskan : jika data mediasi di persidangan yang sukses dengan nasional tidaklah sampai 4%. Mediasi yang diinginkan jadi jalan keluar pilihan nyatanya sepi prestasi.

 

Ini diterangkan Basuki di celah serangkaian Pertemuan Nasional Hukum Acara Perdata V yang diadakan Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) di Jember, Jawa Timur pada 10-12 Agustus kemarin. Walau sebenarnya menurut Basuki, usaha mediasi sebenarnya telah diketahui dalam ketetapan perdamaian yang ada di pasal 130 HIR.

 

MEDIASI, PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

 

Ketetapan yang sama ada di dalam pasal 154 RBg. Dan juga pasal 130 HIR memperjelas bila di hari yang dipastikan itu, kedua pihak menghadap, karena itu pengadilan negeri dengan mediasi ketuanya, akan coba memperdamaikan mereka. Ada di dalam pasal 154 RBg memperjelas Jika di hari yang sudah dipastikan beberapa faksi hadir menghadap, karena itu pengadilan negeri dengan perantaraan ketua berupaya mendamaikannya.

 

Ketetapan perdamaian ini dirasa kurang jelas bagaimana realisasinya. S/d diundangkannya UU No.30 Tahun 1999 mengenai Arbitrase serta Pilihan Penyelesaian Perselisihan (UU Pilihan Penyelesaian Perselisihan), bentuk perdamaian dengan mediasi sebenarnya masih belum mempunyai kepastian. mediasi cuma sebatas diterangkan dalam undang-undang itu.

 

Ketetapan perdamaian, PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

 

Persidangan bukan pemecah masalah mediasi

Mahkamah Agung lalu keluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) diikuti Ketentuan Mahkamah Agung (Perma) masalah perantaraan. Yang paling baru dikeluarkan pada tahun 2016 kemarin.

 

NO Bentuk Penataan Mahkamah Agung mengenai Perantaraan
1 SEMA No.1 Tahun 202 mengenai Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Mengaplikasikan Instansi Damai

 

 

2 Perma No.2 Tahun 2003 mengenai Mekanisme Perantaraan di Pengadilan

 

 

3 Perma No.1 Tahun 2008 mengenai Mekanisme Perantaraan di Pengadilan

 

 

4 Perma No.1 Tahun 2016 mengenai Mekanisme Perantaraan di Pengadilan

 

 

  PENYELESAIAN SUATU SENGKETA PERTANAHAN YANG ADA DI INDONESIA

 

Perma No 1 Tahun 2008

Semenjak Perma No.1 Tahun 2003, dalam melakukan mediasi ditekankan jadi keharusan sebelum meneruskan ke step litigasi dalam hukum acara perdata. Dalam Perma No.1 Tahun 2008 bahkan juga dikatakan bahwa melakukan mediasi terlebih dahulu jika gagal baru memasuki perantara hukum.

 

Di Perma paling baru, keputusan yang diserahkan banding atau kasasi tanpa ada melalui perantaraan akan dikembalikan ke pengadilan tingkat pertama untuk lakukan proses perantaraan. Jadi, mediasi itu sudah lama ada di dalam ataupun terintregasi sebagai bagian yang ada dari hukum acara perdata nasional.

 

proses perantaraan, PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

 

Lalu apa yang membuat usaha perdamaian dengan mediasi di persidangan tidak kerja efisien sesuai dengan keinginan? Otto Hasibuan memberi keterangan singkat di depan peserta pertemuan berdasar pengalamannya jadi advokat. “Selama pengadilan tidak berjalan dengan baik, mediasi akan tetap di sangsikan,” katanya.

 

Pandangan Otto berdasar pada anggapan jika warga ingin lakukan mediasi sebab mengharap win-win solution. Bila pengadilan mempunyai rekam jejak mengenai kestabilan serta ketegasan putusannya, faksi yang bersengketa akan pilih menghindarkan litigasi yang berbuntut kalah-menang.

 

Kenyataannya, menurut Otto telah jadi hal yang umum di dapati jika masih ada mafia peradilan yang dapat memengaruhi keputusan hakim. Belum juga proses eksekusi keputusan yang tidak gampang.

PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

Lain yang di utarakan Yaswirman. Guru Besar Fakultas Hukum Kampus Andalas ini memiliki pendapat usaha perdamaian telah lama tidak mempunyai daya tarik dalam peradilan sebab nilai-nilai budaya musyawarah serta mufakat warga Indonesia telah luntur semenjak masuknya mode peradilan skema kolonial.

 

Pendapat Yaswirman

Dengan anggapan demikian, Yaswirman lihat perdamaian tidak di pandang seperti penyelesaian. Warga memang hadir ke pengadilan untuk memperoleh keputusan kalah-menang dari hakim. Dia memperbandingkan dengan kesuksesan mediasi jadi pilihan penyelesaian perselisihan di Jepang sebab nilai budaya serta komunalisme yang terus terpelihara.

  Hibah Ahli Waris

 

Opini Yaswirman ini sama juga dengan apa yang diterangkan Guru Besar Fakultas Hukum Kampus Airlangga, Yohanes Sogar Simamora. Yohannes yakini jika kesuksesan mediasi benar-benar berkaitan dengan budaya. Faktanya, budaya hukum yang dimengerti warga dalam bersengketa sampai kini tidak ingin kalah sedikitpun.

 

Tetapi dia tidak menolak peluang ada peranan advokat yang kurang menasehati hukum yang pas pada client-nya. “Tidak siap kalah, tiap ada kesempatan usaha hukum di coba terus. Selain pengacaranya (juga) tidak memberi dukungan (damai), memiliki kepentingan masalah masih lanjut,” katanya.

 

Opini Yaswirman serta Sogar ini di kuatkan keterangan Basuki mengenai perubahan skema nilai nenek moyang warga Indonesia yang dulu di ketahui memprioritaskan musyawarah mufakat jadi senang berperkara. “Kearifan lokal yang menyukai musyawarah telah berubah, wakai (proses mediasi-red.) di Jepang sukses sebab skema nilai mereka terpelihara. Ini masalah budaya,” tuturnya.

 

Walau demikian, Basuki memandang ada banyak peluang masalah tehnis yang membuat perantaraan di persidangan gagal. Pertama, mungkin saja mediator yang ada dari beberapa hakim mediator kurang ahli untuk mendamaikan beberapa faksi.

 

MEDIATOR, PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

 

Mediator Profesional

Beberapa faksi condong akan pilih hakim mediator yang ada gratis daripada layanan mediator profesional berbayar untuk melalui step mediasi yang ada di persidangan. “Dia harus punyai softskill. Potensi tehnis saja kurang, harus punyai kepaiawaian segi psikologi, sosiologi budaya mengenai faksi yang di mediasi,” tutur Basuki.

 

Ke-2, kemungkinan besar jika perselisihan telah di usahakan berdamai di luar pengadilan tetapi gagal. Hingga waktu hadir ke pengadilan telah merencanakan tempuh jalan litigasi. Proses mediasi memang juga bisa di kerjakan di luar persidangan. Tetapi sepanjang belum di tuangkan dalam Akta Perdamaian, masalah masih dapat di serahkan jadi tuntutan ke pengadilan. Sebab pada Akta Perdamaian tidak bisa di kerjakan usaha hukum .

  TINDAKAN KURANG MENYENANGKAN BERAKIBAT FATAL

 

Ketua Dewan Pembina Instansi Konsultasi serta Pertolongan Hukum Fakultas Hukum Kampus Indonesia (LKBH FHUI), Yoni Agus Setyono yang memiliki pengalaman mengatasi masalah lebih dari 20 tahun lewat LKBH FHUI membetulkan pandangan Basuki. “Kalau telah ke pengadilan bermakna telah coba perantaraan. Jika telah litigasi bermakna siap pasang tubuh,” kata Yoni

 

Berdasar pengalaman Yoni berpraktik memberi pertolongan hukum, tanda-tanda di warga Indonesia ialah masalah harga diri dalam hadapi tuntutan. Mereka pilih menyerahkan pada pengadilan yang putuskan kalah atau menang. “Lu jual, gue beli,” katanya.

 

Peluang paling akhir yang di kemukakan Basuki jika perantaraan tidak berhasil saat beberapa faksi di wakilkan oleh kuasanya. “Lawyer itu sebagan besar semangatnya litigator, bertanding sampai darah penghabisan,” kata Basuki.

 

Perma No 1 Tahun 2016

Dia menerangkan jika di Perma No.1 Tahun 2016 sudah mengendalikan supaya beberapa faksi hadir sendiri tanpa ada di wakilkan kuasanya. Harapannya mediator dapat dengar langsung apa yang di harapkan beberapa faksi. “Mereka merasakan sendiri, mengungkapkan apa yang ada. Jika lawyer kan beda pikirannya,” sambungnya.

 

Selanjutnya Basuki meyakini jika perantaraan cuma akan sukses bila skema nilai sosial warga kembali ke niat baik warisan kearifan lokal Indonesia. Karena Sampai di sini, peranan beberapa pemangku kebutuhan di perlukan untuk menyosialisasikan pada warga jika ada jalan lain dalam mengakhiri perselisihan perdata. Di tambah lagi Akta Perdamaian dari pengadilan berkekuatan eksekutorial.

 

Sangat menarik untuk di tunggu petuah Yohanes Sogar Simamora waktu di beri pertanyaan mengenai langkah apa yang dapat di ambil untuk menggerakkan kembali mediasi jadi jalan keluar penyelesaian perselisihan, “Lebih penting ada contoh teladan dari pemimpin. Jika contohnya ada konflik selekasnya di tuntaskan lewat cara damai. Itu kanakan menyebar ke warga, terhitung di bagian politik, tidak cuma acara perdata.”

 

Pengacara Mediasi, PERSIDANGAN BUKAN PEMECAHAN MASALAH MEDIASI

YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,

HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN

 

Perusahaan didirikan pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.

KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI

 

 

Email : [email protected]

Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852

Pengaduan Pelanggan : +6287727688883

Google Maps : PT Jangkar Global Groups

Website : Jangkargroups.co.id

Adi

penulis adalah ahli di bidang pengurusan jasa pembuatan visa dan paspor dari tahun 2000 dan sudah memiliki beberapa sertifikasi khusus untuk layanan jasa visa dan paspor