Pernah Anda dengar istilah tanah Swapraja? Swapraja merupakan kata yang berasal dari kata swa da praja. Swa berarti sendiri dan praja adalah kota atau negeri jadi swpraja secara kata adalah daerah yang memiliki pemerintahan sendiri.
Hukum Tanah Swapraja
Menurut Prof. Boedi Harsono swapraja adalah suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah hindia belanda yang kepala wilayahnya berdasarkan perjanjian dengan pemerintahan hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta adat istiadat daerahnya masing-masing.
Wilayah tersebut sangat umum di Indonesia, karena beberapa daerah menerapkan peraturan tersebut sejak dahulu. Misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta yang diperintah Sultan, sehingga wilayah disana memiliki aturan khusus walaupun tetap menggunakan patokan UU nasional. Terutama aturan tentang penguasaan tanah beserta batasannya.
Indonesia memang negara unik sebab pemerintah tidak hanya mempertimbangkan UU nasional tentang pertanahan, melainkan berbagai sumber hukum lainnya. Swapraja seringkali dikaitkan dengan hukum adat daerah, karena seluruh kebijakannya bersifat tradisional mengikuti aturan zaman nenek moyang terdahulu. Peraturan tersebut masih dilestarikan bahkan ditaati oleh masyarakat setempat.
Masih banyak sekali keunikan daerah Swapraja akan dibahas dalam artikel berikut. Namun kita memahami pengertian umumnya, supaya tidak membingungkan ketika mulai mencari berbagai contoh peraturan istimewa tersebut. Tanah Swapraja berlaku sejak masa kolonialisme hingga pendudukan Jepang. Bahkan bangsa tersebut turut menerapkannya di wilayah jajahan tanpa mengganti kebijakan sebelumnya.
Selain Yogyakarta, daerah Kesultanan Surakarta hingga sekarang masih menerapkan hukum Swapraja. Masyarakat pribumi percaya hukum tersebut memengaruhi sekaligus mengatur kehidupan mereka sehari-hari. Tak hanya tergolong sebagai hukum adat melainkan punya legalitas tertulis berbentuk Lembaran Negara (Staatsblad). Istilah tersebut muncul setelah Indonesia merdeka dan mendapatkan pengakuan dunia.
Tanah Magersari
Di Yogyakarta rakyat hanyalah punya hak sewa atau hak pakai terhadap tanah di sebut dengan istilah magersari tentunya dengan seizin pihak Keraton, Sultan merupakan pemilik penuh atas tanah atau di sebut dengan tanah Keraton. Dengan status seperti itu maka kapanpun Sultan bisa mencabut hak pemakaian tanah.
Tanah milik kerton Yogyakarta atau Sultan Ground dan tanah Puro Paku Alam atau Paku Alam Ground salah satu tanah keraton yang di berdayakan oleh masyarakat sebagai tempat pemukiman dan berbudiraya.
Kewenangan-kewenangan keraton sebagai pemilik atas Sultan Ground dan Paku Alam Ground di antaranya adalah:
- Pemberian hak-hak penggunaan tanah keraton kepada kerabat-sentono, kawulo, orang-orang maupun lembaga asing dan lain-lain.
- Tahun 1863, sebagian tanah di kuasakan kepada kerabat sentono dengan ketentuan sebagai berikut:
- Dua bagian untuk kerabat sentono dalam.
- Dua bagian untuk penduduk petani penggarap.
- Satu bagian untuk orang yang di kuasakan untuk mengurus oleh bekel atau demang, di kenal dengan sistem kebekelen atau kepatuhan.
- Reorganisasi bidang politik, ekonomi termasuk pertanahan di mulai pada tahun 1914, di akibatkan karena menurunnya kesejahteraaan rakyat sebagai imbas dari persewaan tanah pertanian oleh pihak asing. Untuk menyelesaikan permasalahan itu maka di lakukanlah:
- Penghapusan stelses panage
- Pembentukan kelurahan
- Mengubah dasar penyewaan tanah
- Memperkuat pemberian hak atas tanah terhadap penduduk bangsa Indonesia
Hal ini yang mendasari dikeluarkannya Rijksblad Kesultanan Nomor 16 tahun 1918 dan Rijksblad Kadipaten pakualam Nomor 18 tahun 1918 dengan asas bahwa “ Semua Tanah Yang Tidak Dapat Dibuktikan Dengan Hak Eigendom Oleh Pihak Lain Adalah Domein Kraton Langsung”.
Bahkan menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X bahwa kedua jenis tanah itu (Sultan Ground dan tanah Puro Paku Alam) merupakan tanah adat (ulayat) sebagai bukti status kepemilikannya berupa surat yang dikeluarkan keraton dan tidak dijamin oleh Undang-Undang Pokok Agraria. Perlunya Pemerintah memberikan kepastian hukum status tanah adat tersebut dengan menerbitkan Undang-Undang pengaturan yang jelas.
Permasalahan tanah swapraja pasca kemerdekaan terjadi gejolak di berbagai daerah, seperti revolusi sosial di Sumatra Timur (Anthony reid 1987:27) dimana pada masa itu terjadi penculikan dan pembunuhan para kepala daerah swapraja. Gerakan anti swapraja ini secara tidak langsung menimbulkan permasalahan baru mengenai hak atas tanah swapraja.
Pengertian Hukum Tanah Swapraja di Indonesia
Wilayah dengan hukum tanah Swapraja sudah berlaku sebelum UU nasional di buat pemerintah Indonesia. Berbagai daerah mempunyai aturan tersendiri dalam mengelola pertanahannya seperti proses jual beli tanah, pembuatan hak kepemilikan, mendirikan bangunan, dan sebaginya. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga menyetujui adanya kebijakan Swapraja di beberapa daerah tertentu seperti Jogja dan Surakarta.
Menurut pengertiannya, daerah tersebut mengakui peraturan yang di buat penduduk pribumi. Mereka diberikan hak istimewa mengatur administrasi pertanahan sendiri termasuk aspek hukum sekaligus budaya. Intinya Swapraja merupakan daerah dengan sistem pemerintahan sendiri tanpa campur tangan pemerintah pusat termasuk presiden. Misalnya berbentuk kesultanan atau kerajaan, tetapi tetap tunduk kepada peraturan nasional.
Tentang hukum Swapraja di atur oleh UUD 1954 Pasal 18 tentang pengakuan daerah tersebut di wilayah Indonesia. Sedangkan menurut UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), diktum IV masih menyatakan daerah Swapraja beserta bekas pusat pemerintahannya. Dahulu daerah tersebut sangatlah luas seperti Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualam, serta Kadipaten Mangkunegara.
Setelah kemerdekaan Indonesia, sebagian besar daerah tersebut di hapuskan dan mengikuti perundang-undangan nasional berdasarkan UUPA. Sedangkan bekas wilayahnya bergabung bersama daerah lain dibawah kekuasaan pemerintah seperti Kota Cirebon. Sebagian besar tanah-tanah disana adalah eks Swapraja yang sekarang menjadi milik pemerintah setempat.
Dasar Hukum Mutlak tentang Wilayah Tanah Swapraja
Semenjak pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 setelah Indonesia merdeka, aturan wilayah tanah Swapraja telah di tetapkan. Bahkan pengakuannya berlangsung pada masa Hindia-Belanda tetapi kebijakannya lebih rumit. Indonesia terbagi menjadi tiga penamaan daerah seperti kesultanan, keadipatian, kerajaan dengan peraturan administrasi setempat. Adapun berbagai dasar hukum mengatur Swapraja tersebut yaitu:
- UUD 1945, Pasal 18 menyebutkan Zelfbesturende Landschappen, kemudian di bahas dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat. UUD RIS 1950 walaupun bersifat sementara tetapi turut mengatur peraturan wilayah Swapraja. Masing-masing bab mulai II hingga IV membahas berbagai daerah Swapraja yang mendapatkan pengakuan resmi.
- Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 setelah di hapuskannya UUD RIS membahas daerah Swapraja serta eks pemerintahannya. Aturan pembagian tanah disana di laksanakan untuk memenuhi Landreform. Sedangkan hingga sekarang muncul peraturan-peraturan baru untuk mengatur tiap daerah yang masih menerapkan sistem tersebut.
- UU Nomor 3 Tahun 1950 di ubah menjadi UU Nomor 19 Tahun 1950 serta UU Nomor 9 Tahun 1955 membicarakan tentang pembentukan daerah Yogyakarta. Sedari masa Hindia-Belanda, daerah tersebut telah menjadi Swapraja tetapi kini mengalami perubahan. Sifatnya menjadi Daerah Istmewa Yogyakarta (DIY) dan tetap memakai dasar hukum adat sekaligus Belanda terdahulu.
Alangkah unik kalau hukum tanah Swapraja tersebut masih di berlakukan dan di junjung tinggi hingga sekarang. Meskipun perkembangan zaman telah modern namun masyarakat di daerah tertentu mempercayai peraturan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Namun kita harus hafal betul bagaimana peraturan dasar serta patokan hukumnya, supaya tidak salah mengurus pertanahan di wilayah Swapraja.