Ekspor Sirip Ikan Hiu: Potensi Bisnis yang Menjanjikan

Adi

Updated on:

Ekspor Sirip Ikan Hiu: Potensi Bisnis yang Menjanjikan
Direktur Utama Jangkar Goups

Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Hal ini membuat sektor perikanan menjadi salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia. Salah satu jenis ikan yang cukup populer di Indonesia adalah ikan hiu. Selain dagingnya, sirip ikan hiu juga memiliki nilai jual yang cukup tinggi baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, ekspor sirip ikan hiu merupakan potensi bisnis yang menjanjikan.

Sirip ikan hiu merupakan salah satu komoditas hasil laut yang memiliki nilai ekonomi tinggi di pasar internasional, terutama di negara-negara Asia seperti Tiongkok, Hong Kong, dan Singapura. Produk ini sering di gunakan dalam industri kuliner maupun obat-obatan tradisional, sehingga permintaan global terhadap sirip hiu terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, di balik potensi ekonominya yang besar, perdagangan sirip ikan hiu juga menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kelestarian populasi hiu di laut Indonesia.

DAFTAR ISI

Keanekaragaman Hayati

Sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi, Indonesia memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut. Hiu berperan penting sebagai predator puncak dalam rantai makanan laut, yang berfungsi mengontrol populasi ikan lain dan menjaga kesehatan ekosistem laut secara keseluruhan. Oleh karena itu, eksploitasi berlebihan terhadap hiu dapat berdampak negatif pada keberlanjutan sumber daya perikanan nasional.

Untuk mencegah perdagangan ilegal dan penangkapan berlebihan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan regulasi ketat terkait ekspor sirip ikan hiu. Setiap kegiatan ekspor wajib mengikuti aturan yang telah di tetapkan, baik dari sisi legalitas usaha, asal-usul bahan baku, maupun kelengkapan izin ekspor. Pengaturan ini juga bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh aktivitas ekspor di lakukan secara bertanggung jawab, transparan, dan berkelanjutan, sesuai dengan standar internasional.

Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara anggota dari CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yaitu perjanjian internasional yang mengatur perdagangan spesies tumbuhan dan satwa liar agar tidak mengancam kelestariannya di alam. Dalam konteks ini, ekspor sirip ikan hiu tertentu harus melalui proses verifikasi dan mendapatkan izin khusus dari KKP serta CITES Export Permit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Dengan adanya pengawasan dan regulasi dari KKP, di harapkan kegiatan ekspor sirip ikan hiu dapat berjalan secara legal sekaligus mendukung upaya pelestarian ekosistem laut Indonesia. Artikel ini akan membahas secara rinci mengenai persyaratan ekspor sirip ikan hiu di KKP, mulai dari dasar hukum, jenis spesies yang di atur, prosedur pengajuan izin, hingga ketentuan tambahan yang wajib di penuhi oleh eksportir.

Dasar Hukum dan Regulasi

Kegiatan ekspor sirip ikan hiu di Indonesia di atur secara ketat oleh pemerintah melalui berbagai regulasi, baik nasional maupun internasional. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa perdagangan produk hasil laut, khususnya dari spesies hiu, di lakukan secara legal, berkelanjutan, dan tidak mengancam kelestarian populasi hiu di alam. Berikut ini adalah dasar hukum dan peraturan yang menjadi pedoman dalam pengawasan ekspor sirip ikan hiu oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP):

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, regulasi ini menjadi dasar hukum utama dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Indonesia.
Beberapa poin penting yang relevan:

  1. Pasal 7 menyebutkan bahwa setiap kegiatan penangkapan dan pemanfaatan hasil perikanan harus di lakukan secara berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan.
  2. Pasal 13 mengatur bahwa pelaku usaha perikanan wajib memiliki izin usaha perikanan.
  3. Pasal 84 dan 88 menetapkan sanksi pidana bagi pihak yang melakukan ekspor hasil perikanan tanpa izin atau dengan dokumen palsu.

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59/PERMEN-KP/2020

Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) untuk jenis ikan yang termasuk dalam daftar CITES dan/atau di lindungi.
Peraturan ini menjadi acuan utama bagi eksportir dalam memperoleh izin ekspor sirip ikan hiu. Beberapa ketentuannya meliputi:

  1. Eksportir wajib memperoleh SRE dari KKP sebelum melakukan ekspor.
  2. SRE hanya dapat di terbitkan apabila dokumen asal-usul bahan baku dan jenis spesies telah di verifikasi oleh pejabat berwenang.
  3. KKP memiliki kewenangan untuk menolak atau membatalkan SRE apabila di temukan pelanggaran atau data yang tidak sesuai.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018

Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Di lindungi.

Dalam peraturan ini, beberapa jenis hiu masuk dalam kategori spesies di lindungi penuh, yang berarti tidak boleh di tangkap, di perjualbelikan, maupun di ekspor dalam bentuk apapun.
Contohnya:

  • Rhincodon typus (hiu paus)
  • Cetorhinus maximus (hiu basking)

Pelanggaran terhadap ketentuan ini dapat di kenakan sanksi sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

Indonesia merupakan negara pihak (party) dalam perjanjian internasional CITES yang bertujuan untuk mengatur perdagangan internasional spesies tumbuhan dan satwa liar agar tidak mengancam kelestariannya.

Dalam konteks ekspor sirip hiu, beberapa spesies hiu termasuk dalam Appendix II CITES, yang berarti perdagangan internasional di izinkan hanya dengan izin ekspor resmi (CITES Export Permit).
Beberapa spesies yang termasuk dalam daftar ini antara lain:

  1. Sphyrna lewini (Hiu martil)
  2. Carcharhinus longimanus (Oceanic whitetip shark)
  3. Alopias pelagicus (Hiu tikus pelagis)
  4. Alopias superciliosus (Bigeye thresher shark)

Dengan demikian, ekspor sirip ikan hiu dari spesies tersebut harus mendapat Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) dari KKP dan izin CITES Export Permit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) tentang Kuota dan Lokasi Pengambilan Hiu

Setiap tahun, KKP menetapkan kuota dan wilayah penangkapan hiu tertentu melalui keputusan menteri.
Tujuannya untuk:

  1. Mengontrol jumlah hiu yang boleh di tangkap.
  2. Menentukan wilayah mana saja yang di perbolehkan sebagai sumber bahan baku.
  3. Memastikan bahwa kegiatan penangkapan tidak melebihi batas lestari (sustainable quota).
  4. Eksportir yang melampaui kuota atau mengambil dari wilayah yang tidak di tetapkan dapat di kenai sanksi administratif dan pencabutan izin.

Peraturan Karantina Ikan dan Keamanan Pangan

Sebelum ekspor di lakukan, seluruh produk hasil perikanan termasuk sirip hiu wajib melalui pemeriksaan dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
BKIPM akan menerbitkan Health Certificate (HC) yang menjamin bahwa produk:

  1. Aman untuk di perdagangkan secara internasional.
  2. Tidak mengandung penyakit atau bahan berbahaya.
  3. Sesuai dengan standar mutu hasil perikanan.

Berbagai regulasi di atas menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia sangat serius dalam mengatur ekspor sirip ikan hiu. Melalui sinergi antara KKP, KLHK, BKIPM, dan instansi terkait lainnya, sistem perizinan dan pengawasan ekspor di rancang untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan kelestarian sumber daya laut.

Dengan memahami dasar hukum ini, eksportir di harapkan dapat mematuhi seluruh prosedur legal agar kegiatan ekspor berjalan sesuai aturan, transparan, dan berkelanjutan.

 

Peraturan dan Kuota Ekspor Sirip Ikan Hiu

Untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan pelestarian sumber daya laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerapkan serangkaian peraturan dan sistem kuota ekspor terhadap pemanfaatan dan perdagangan sirip ikan hiu. Langkah ini merupakan bagian dari kebijakan nasional untuk memastikan bahwa setiap kegiatan ekspor di lakukan secara terkendali, legal, dan berkelanjutan, serta sesuai dengan standar internasional seperti yang di atur oleh CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Pengaturan Ekspor oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

KKP bertanggung jawab dalam menetapkan regulasi, memberikan izin, dan mengawasi kegiatan ekspor sirip ikan hiu, terutama untuk spesies yang tergolong langka atau terancam punah. Regulasi ini mencakup:

  1. Penetapan kuota tahunan pengambilan dan ekspor hiu berdasarkan hasil kajian ilmiah terhadap stok populasi di laut Indonesia.
  2. Persyaratan dokumen legal ekspor, seperti Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (Ditjen PKRL) serta CITES Export Permit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
  3. Kewajiban pelaporan realisasi ekspor secara berkala untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap batas kuota atau pemanfaatan spesies yang di lindungi.

Peraturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan ekspor sirip ikan hiu di lakukan hanya dari sumber legal, teridentifikasi dengan jelas, dan tidak mengancam kelestarian populasi hiu di alam liar.

Kuota Ekspor Nasional

Sebagai implementasi pengendalian perdagangan, KKP menetapkan kuota ekspor nasional yang bersifat tahunan dan terbatas pada spesies tertentu. Kuota ini menjadi dasar bagi setiap pelaku usaha yang ingin mengajukan izin ekspor sirip hiu.

Pada Juli 2024, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut telah menetapkan Kuota Ekspor Nasional untuk hiu dari famili Carcharhinidae yang termasuk dalam Appendiks II CITES.

Keputusan ini di tuangkan dalam bentuk Surat Keputusan Dirjen PKRL, yang mengatur antara lain:

  1. Jumlah maksimum ekspor (dalam kilogram) untuk setiap jenis hiu yang di izinkan.
  2. Wilayah asal pengambilan (provinsi atau daerah tangkapan tertentu).
  3. Perusahaan atau eksportir yang mendapat alokasi kuota.
  4. Periode berlaku kuota ekspor (biasanya satu tahun kalender).
  5. Kuota ekspor tersebut menjadi acuan utama bagi pelaku usaha dalam mengajukan kuota tambahan atau perpanjangan izin ekspor. Jika kuota nasional telah terpenuhi, maka permohonan ekspor baru tidak dapat di proses hingga tahun berikutnya.

Dengan sistem ini, pemerintah dapat mengontrol volume perdagangan sirip hiu secara transparan, sekaligus mencegah eksploitasi berlebihan terhadap spesies yang rentan.

Konversi Berat: Dari Ekor ke Kilogram

Untuk meningkatkan akurasi data dan pengelolaan sumber daya hiu, KKP juga menerapkan sistem konversi berat sirip hiu dari satuan ekor menjadi kilogram.
Sistem ini di atur agar volume ekspor dapat di hitung secara objektif dan mudah di verifikasi, mengingat produk yang di ekspor umumnya sudah tidak dalam bentuk utuh (hanya sirip).

Beberapa ketentuan terkait konversi berat antara lain:

Bobot sirip hiu di perkirakan sekitar 3–5% dari total berat tubuh hiu utuh.

Dalam laporan ekspor, eksportir wajib mencantumkan:

  1. Jumlah hiu (ekor) yang menjadi sumber sirip.
  2. Berat sirip kering (kilogram) yang akan di ekspor.
  3. Jenis dan asal spesies (mengacu pada nama ilmiah).

Data ini di gunakan oleh KKP untuk memantau tingkat pemanfaatan populasi serta menghindari penyalahgunaan izin ekspor.

Dengan adanya sistem konversi ini, pemerintah dapat meningkatkan validitas data ekspor, sehingga pengawasan menjadi lebih efektif dan akurat, baik untuk keperluan domestik maupun internasional.

Tujuan Penetapan Kuota dan Sistem Pengawasan

Penetapan kuota ekspor sirip ikan hiu memiliki beberapa tujuan strategis, yaitu:

Menjamin keberlanjutan populasi hiu di alam.

Kuota di tetapkan berdasarkan hasil kajian ilmiah tentang jumlah hiu yang dapat di manfaatkan tanpa mengganggu keseimbangan ekosistem laut.

Mengendalikan volume perdagangan nasional.

Dengan adanya batas kuota, pemerintah dapat mengontrol agar ekspor tidak melebihi kapasitas pemanfaatan sumber daya.

Menjamin kepatuhan terhadap peraturan internasional (CITES).

Sistem ini memastikan bahwa perdagangan hiu Indonesia di lakukan secara sah dan sesuai standar global.

Meningkatkan transparansi data ekspor.

Penggunaan sistem pelaporan dan konversi berat memudahkan proses audit, verifikasi, dan pengawasan.

Dampak terhadap Pelaku Usaha dan Ekspor Nasional

Bagi pelaku usaha, penerapan kuota ekspor memberikan kepastian hukum sekaligus tanggung jawab tambahan. Setiap eksportir wajib:

  1. Mengajukan izin sesuai alokasi kuota yang tersedia.
  2. Melaporkan realisasi ekspor secara rutin.
  3. Menjaga agar sumber bahan baku berasal dari penangkapan legal dan terdokumentasi.

Di sisi lain, kebijakan ini juga mendorong pelaku industri untuk:

  1. Mengembangkan sistem penelusuran (traceability) yang transparan.
  2. Melakukan di versifikasi usaha dengan pengolahan produk perikanan non-hiu yang lebih berkelanjutan.

Sistem peraturan dan kuota ekspor sirip ikan hiu yang di terapkan oleh KKP merupakan upaya konkret pemerintah untuk mengatur pemanfaatan sumber daya laut secara terukur dan bertanggung jawab.
Melalui penetapan kuota nasional, pengawasan ketat terhadap spesies yang di lindungi, serta penerapan sistem konversi berat yang akurat, Indonesia berkomitmen menjaga agar kegiatan ekspor sirip hiu tetap berjalan secara legal, transparan, dan berkelanjutan, sejalan dengan ketentuan CITES dan prinsip perikanan berwawasan konservasi.

Prosedur Perizinan Ekspor Produk Perikanan (Termasuk Sirip Ikan Hiu)

Untuk menjamin bahwa produk perikanan Indonesia yang di ekspor memenuhi standar mutu, keamanan pangan, serta ketentuan konservasi internasional, pemerintah menetapkan prosedur perizinan ekspor yang wajib di patuhi oleh seluruh pelaku usaha.
Bagi eksportir produk yang di atur kuotanya, seperti sirip ikan hiu, proses perizinan ini melibatkan pemeriksaan dokumen legal, standar higienitas, dan sertifikasi mutu dari lembaga berwenang.

Berikut penjelasan lengkap mengenai dokumen dan persyaratan utama yang harus di penuhi oleh pelaku usaha sebelum mendapatkan izin ekspor:

Surat Kelayakan Pengolahan (SKP)

SKP merupakan dokumen yang di terbitkan oleh Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Surat ini menunjukkan bahwa unit pengolahan ikan (UPI) yang di miliki perusahaan telah memenuhi standar kelayakan teknis dan sanitasi dalam proses produksi.

Beberapa hal yang di nilai untuk penerbitan SKP antara lain:

  1. Kondisi bangunan dan fasilitas pengolahan (harus higienis dan sesuai standar).
  2. Prosedur pengendalian mutu dan keamanan pangan.
  3. Kebersihan personel dan area kerja.
  4. Sistem penelusuran produk (traceability) dari bahan baku hingga pengemasan.

Tanpa SKP, perusahaan tidak di perkenankan melakukan kegiatan ekspor produk perikanan. SKP juga menjadi syarat dasar untuk memperoleh izin-izin berikutnya seperti sertifikat HACCP dan Health Certificate (HC).

Sertifikat Penerapan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Points)

Sertifikat HACCP menunjukkan bahwa unit pengolahan telah menerapkan sistem manajemen keamanan pangan internasional, yang memastikan produk ekspor aman di konsumsi dan bebas dari bahaya biologis, kimia, maupun fisik.

Sertifikasi ini mencakup:

  1. Identifikasi titik-titik kritis yang berpotensi menimbulkan bahaya dalam proses produksi.
  2. Penerapan tindakan pencegahan dan pengendalian di setiap tahap pengolahan.
  3. Pencatatan dan verifikasi rutin oleh auditor dari Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).

Sertifikat HACCP wajib di miliki oleh semua eksportir yang ingin mengirim produk ke pasar Uni Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara lain yang menerapkan standar ketat terhadap keamanan pangan.

Sertifikat Kesehatan Ikan (Health Certificate / HC)

Health Certificate (HC) di terbitkan oleh BKIPM KKP sebagai bukti bahwa produk perikanan yang akan di ekspor bebas dari penyakit ikan, aman di konsumsi, dan memenuhi standar sanitasi internasional.

Proses penerbitan HC meliputi:

  1. Pemeriksaan dokumen asal bahan baku dan bukti legalitas penangkapan.
  2. Pengujian laboratorium untuk memastikan tidak ada cemaran berbahaya.
  3. Verifikasi fisik produk sebelum pengapalan.

Health Certificate menjadi dokumen wajib yang di lampirkan dalam proses clearance ekspor di pelabuhan dan juga menjadi persyaratan bea cukai di negara tujuan.

Surat Persetujuan Muat (SPM)

Setelah mendapatkan sertifikasi SKP, HACCP, dan HC, eksportir wajib mengajukan Surat Persetujuan Muat (SPM) kepada BKIPM.
>SPM merupakan dokumen yang memberikan izin resmi untuk memuat produk perikanan ke dalam sarana pengangkut (kapal atau pesawat) menuju negara tujuan ekspor.

SPM hanya di berikan setelah petugas karantina:

  1. Melakukan verifikasi dokumen ekspor.
  2. Memeriksa kondisi fisik produk dan kesesuaiannya dengan sertifikat sebelumnya.
  3. Memastikan bahwa produk tidak melebihi kuota ekspor nasional (khusus untuk komoditas seperti sirip hiu).

SPM berfungsi sebagai izin final sebelum barang di ekspor ke luar negeri dan menjadi dasar bagi otoritas kepabeanan (Bea Cukai) untuk melepas barang ekspor.

Nomor Registrasi atau Approval Number dari Otoritas Terkait

Setiap unit pengolahan dan eksportir harus memiliki nomor registrasi resmi (Approval Number) dari KKP yang menunjukkan bahwa perusahaan:

  1. Telah terverifikasi dan di akui secara hukum sebagai eksportir produk perikanan.
  2. Terdaftar dalam sistem nasional dan internasional untuk ekspor hasil laut.
  3. Mampu melakukan penelusuran produk (traceability) sesuai ketentuan negara tujuan.

Nomor registrasi ini menjadi identitas resmi perusahaan di dokumen ekspor internasional, termasuk pada dokumen CITES Export Permit untuk komoditas seperti sirip hiu.

Dokumen Tambahan (Khusus Komoditas Sirip Ikan Hiu)

Selain dokumen di atas, eksportir sirip ikan hiu juga wajib melampirkan:

  1. Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (PKRL).
  2. CITES Export Permit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jika spesies hiu yang di ekspor termasuk dalam Appendiks II CITES.
  3. Bukti alokasi kuota ekspor sesuai ketetapan nasional tahun berjalan.

Semua dokumen ini di perlukan untuk memastikan bahwa ekspor di lakukan secara legal, transparan, dan berkelanjutan, serta tidak melanggar peraturan perdagangan internasional.

Alur Umum Prosedur Perizinan Ekspor

Berikut adalah alur langkah demi langkah yang biasanya harus di tempuh eksportir produk perikanan:

  1. Pendaftaran dan verifikasi perusahaan di KKP.
  2. Pemeriksaan unit pengolahan untuk memperoleh SKP dan HACCP.
  3. Pengujian mutu produk dan penerbitan Health Certificate (HC) oleh BKIPM.
  4. Pengajuan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) dan alokasi kuota (khusus sirip hiu).
  5. Permohonan CITES Export Permit ke KLHK bila di perlukan.
  6. Pengajuan Surat Persetujuan Muat (SPM) sebelum pengapalan.
  7. Proses ekspor melalui pelabuhan yang di tetapkan dengan pendampingan petugas karantina dan bea cukai.
  8. Prosedur perizinan ekspor produk perikanan, terutama yang sensitif seperti sirip ikan hiu, di atur dengan ketat oleh pemerintah untuk memastikan perdagangan di lakukan secara legal, berkelanjutan, dan sesuai standar internasional.
    Dokumen seperti SKP, HACCP, HC, SPM, dan Approval Number merupakan fondasi utama yang wajib di miliki oleh setiap eksportir.

Dengan kepatuhan terhadap seluruh persyaratan ini, pelaku usaha tidak hanya mendapatkan jaminan legalitas dan kualitas produk, tetapi juga turut berkontribusi dalam menjaga kelestarian sumber daya laut Indonesia di mata dunia

Jenis Ikan Hiu yang Di atur Ekspornya

Tidak semua jenis ikan hiu di perbolehkan untuk di ekspor dari Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan daftar jenis hiu yang dapat di ekspor dengan izin khusus serta jenis hiu yang sama sekali dilarang untuk di perdagangkan. Pengaturan ini bertujuan untuk menjaga populasi hiu di alam agar tetap lestari, serta memenuhi komitmen Indonesia terhadap CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Kategori Jenis Hiu Berdasarkan Status Perdagangannya

Secara umum, jenis-jenis hiu yang di atur ekspornya di bagi menjadi tiga kategori:

Jenis Hiu yang Dilarang Di ekspor (Spesies Di lindungi Penuh)

Jenis hiu yang termasuk dalam kategori ini tidak boleh di tangkap, di perdagangkan, atau di ekspor dalam bentuk apapun, baik dalam keadaan hidup, segar, beku, maupun kering (seperti sirip hiu).
Larangan ini berdasarkan Permen LHK Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Di lindungi.

Contoh jenis hiu yang di lindungi penuh:

  1. Hiu Paus (Rhincodon typus) – spesies terbesar di dunia, termasuk dalam Appendix II CITES dan di lindungi penuh oleh pemerintah Indonesia.
  2. Hiu Basking (Cetorhinus maximus) – di lindungi karena populasinya menurun drastis.
  3. Hiu Putih Besar (Carcharodon carcharias) – termasuk spesies predator besar yang populasinya sangat rentan terhadap perburuan.

Jenis-jenis ini tidak boleh sama sekali masuk dalam rantai perdagangan dan jika di temukan di libatkan dalam ekspor, pelaku dapat di kenai sanksi berat sesuai dengan UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati.

Jenis Hiu yang Di perbolehkan Di ekspor dengan Izin CITES (Appendix II)

Jenis hiu dalam kategori ini tidak sepenuhnya dilarang, tetapi perdagangannya harus di awasi secara ketat dan hanya boleh di lakukan dengan izin resmi dari pemerintah.
Artinya, eksportir wajib memiliki Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) dari KKP dan CITES Export Permit dari KLHK sebelum melakukan pengiriman keluar negeri.

Berikut beberapa contoh hiu yang termasuk dalam Appendix II CITES:

No Nama Umum Nama Ilmiah Status CITES Keterangan
1 Hiu Martil Sphyrna lewini Appendix II Populasi menurun akibat overfishing
2 Hiu Martil Besar Sphyrna mokarran Appendix II Perdagangan sirip sangat tinggi
3 Hiu Martil Halus Sphyrna zygaena Appendix II Perlu izin ekspor resmi
4 Hiu Tikus Pelagis Alopias pelagicus Appendix II Umum di temukan di perairan Indonesia
5 Hiu Tikus Besar Alopias superciliosus Appendix II Perlu pengawasan ketat
6 Hiu Tikus Umum Alopias vulpinus Appendix II Kuota ekspor terbatas
7 Hiu Sirip Putih Samudera Carcharhinus longimanus Appendix II Terancam punah karena perburuan sirip
8 Hiu Silky Carcharhinus falciformis Appendix II Wajib izin ekspor
9 Hiu Rubah Kecil Alopias superciliosus Appendix II Termasuk jenis dengan populasi terbatas

Ekspor sirip hiu dari spesies tersebut hanya boleh di lakukan setelah seluruh dokumen legal di setujui oleh KKP dan KLHK, termasuk verifikasi asal bahan baku yang sah dan tidak berasal dari hasil tangkapan ilegal.

Jenis Hiu yang Di perbolehkan Di ekspor (Non-CITES, Tidak Di lindungi)

Beberapa jenis hiu tidak termasuk dalam daftar CITES maupun satwa di lindungi nasional, sehingga dapat di ekspor secara legal, dengan catatan:

  1. Hasil tangkapan di peroleh dari kegiatan perikanan yang sah dan berizin.
  2. Eksportir wajib memiliki izin usaha perikanan dan dokumen karantina (Health Certificate) dari BKIPM.
  3. Tetap mengikuti sistem pelaporan hasil tangkapan yang berlaku di KKP.

Contoh jenis hiu yang masih di perbolehkan untuk di ekspor (non-CITES):

  1. Carcharhinus amblyrhynchoides (Hiu Coklat)
  2. Carcharhinus brevipinna (Hiu Putih)
  3. Triaenodon obesus (Hiu Karang Ekor Putih)
  4. Carcharhinus melanopterus (Hiu Sirip Hitam)
  5. Prionace glauca (Hiu Biru)

Meskipun tidak di lindungi, pemerintah tetap mengawasi volume ekspor dan asal-usul tangkapannya untuk menghindari penyelundupan jenis hiu yang di lindungi melalui pencampuran produk.

Identifikasi Spesies dan Verifikasi Teknis

Dalam proses ekspor, KKP akan melakukan verifikasi spesies terhadap produk sirip hiu yang di ajukan.
Langkah-langkah yang di lakukan meliputi:

  1. Pemeriksaan visual bentuk sirip.
  2. Identifikasi morfologi (ukuran, bentuk sirip, pola warna).
  3. Jika di perlukan, di lakukan uji DNA (genetik) untuk memastikan spesies secara akurat.
  4. Verifikasi ini penting agar tidak terjadi substitusi atau penyamaran spesies hiu yang di lindungi sebagai jenis yang di perbolehkan.

Tujuan Pengaturan Jenis Hiu yang Di ekspor

Pengaturan jenis hiu yang di izinkan dan dilarang untuk ekspor memiliki beberapa tujuan utama:

  1. Menjaga kelestarian populasi hiu di alam agar tidak punah akibat eksploitasi berlebihan.
  2. Menegakkan komitmen internasional Indonesia terhadap CITES dan peraturan lingkungan global.
  3. Mendukung perikanan berkelanjutan (sustainable fisheries) agar manfaat ekonomi dapat terus di rasakan tanpa merusak ekosistem laut.
  4. Meningkatkan kredibilitas ekspor Indonesia di mata pasar dunia dengan memastikan produk yang di perdagangkan berasal dari sumber legal.

Dengan memahami jenis-jenis hiu yang di atur ekspornya, para eksportir dapat menjalankan kegiatan perdagangan dengan aman, legal, dan sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini juga menjadi bagian dari upaya bersama untuk menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan konservasi sumber daya laut Indonesia.

Prosedur dan Persyaratan Ekspor Sirip Ikan Hiu

Proses ekspor sirip ikan hiu di Indonesia tidak dapat di lakukan secara sembarangan. Pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), telah menetapkan prosedur dan persyaratan yang ketat untuk memastikan seluruh kegiatan ekspor berjalan sesuai ketentuan hukum dan prinsip keberlanjutan sumber daya laut.
Berikut ini adalah tahapan dan persyaratan lengkap yang wajib di penuhi oleh eksportir sirip ikan hiu:

Tahap Persiapan Sebelum Pengajuan Izin Ekspor

Sebelum mengajukan izin ekspor ke KKP, eksportir harus memastikan bahwa seluruh dokumen dasar dan legalitas usaha telah lengkap. Fungsi dokumen ini menjadi bukti bahwa kegiatan ekspor di lakukan oleh perusahaan yang sah dan memiliki izin resmi.

Dokumen yang harus di miliki pada tahap awal:

    1. Nomor Induk Berusaha (NIB) – di peroleh melalui sistem OSS (Online Single Submission).
    2. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) atau izin usaha bidang perdagangan hasil perikanan.
    3. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dari KKP, apabila produk di olah terlebih dahulu sebelum di ekspor.

Dokumen asal bahan baku, seperti:

      1. Surat keterangan hasil tangkapan sah dari nelayan berizin, atau
      2. Nota pembelian dari pemasok resmi yang memiliki izin penangkapan hiu.
      3. Tempat penyimpanan dan pengolahan yang memenuhi standar higienitas dan pengawasan mutu hasil perikanan.

Penting: Sirip hiu yang di peroleh dari hasil tangkapan ilegal (tanpa izin atau tanpa pelaporan logbook) tidak akan mendapatkan persetujuan ekspor dari KKP.

Pengajuan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) ke KKP

Langkah selanjutnya adalah mengajukan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) kepada Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (Dit. KKHL) di bawah KKP. SRE ini merupakan syarat utama sebelum eksportir dapat mengajukan izin ekspor CITES (jika di perlukan).

Prosedur pengajuan SRE:

Eksportir mengajukan permohonan secara daring melalui Sistem Layanan Elektronik Konservasi Laut (SILAT-KKP) atau secara langsung ke Dit. KKHL.

Melampirkan dokumen berikut:

      1. Surat permohonan resmi bermeterai.
      2. Fotokopi NIB dan SIUP.
      3. Surat keterangan asal bahan baku (di lengkapi bukti pembelian dan logbook penangkapan).
      4. Foto atau dokumentasi sirip ikan hiu yang akan di ekspor.
      5. Daftar spesies dan jumlah produk yang akan di ekspor (dalam kilogram).
      6. Invoice dan packing list sementara.
      7. Petugas KKP akan melakukan verifikasi administrasi dan teknis, termasuk identifikasi jenis hiu yang akan di ekspor.
      8. Jika hasil verifikasi memenuhi syarat, maka KKP akan menerbitkan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) yang berlaku untuk satu kali pengiriman.

Penting: Masa berlaku SRE umumnya terbatas (sekitar 30 hari kerja) dan hanya dapat di gunakan untuk spesies, jumlah, dan tujuan ekspor yang tercantum di dalam surat.

Pengajuan Izin Ekspor CITES (Jika Di perlukan)

Untuk jenis hiu yang termasuk dalam Appendix II CITES, seperti Sphyrna lewini atau Carcharhinus longimanus, eksportir wajib memperoleh CITES Export Permit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Langkah-langkahnya:

Mengajukan permohonan izin CITES ke Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK.

Melampirkan dokumen berikut:

      1. Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) dari KKP.
      2. Bukti asal-usul bahan baku yang sah.
      3. Dokumen ekspor (invoice, packing list, kontrak penjualan).
      4. KLHK melakukan verifikasi dokumen dan kesesuaian dengan kuota nasional.

Jika di setujui, KLHK menerbitkan CITES Export Permit, yang menjadi izin resmi untuk mengekspor produk ke negara tujuan.

Pemeriksaan Karantina dan Sertifikat Kesehatan

Sebelum produk di kirim ke luar negeri, wajib di lakukan pemeriksaan mutu dan keamanan produk oleh Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
Proses ini memastikan bahwa produk sirip hiu layak ekspor dan bebas dari penyakit atau kontaminan.

Prosedur pemeriksaan BKIPM:

      1. Eksportir menyerahkan sampel produk beserta dokumen pendukung (SRE, izin CITES, invoice).
      2. BKIPM melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium terhadap kualitas produk.
      3. Jika produk memenuhi standar, di terbitkan Health Certificate (HC) sebagai syarat ekspor.
      4. Sertifikat ini juga menjadi dokumen penting saat proses custom clearance di Bea Cukai.

Proses Kepabeanan (Bea Cukai)

Setelah dokumen izin lengkap (SRE, CITES Export Permit, Health Certificate, invoice, dan packing list), eksportir dapat mengajukan pemberitahuan ekspor barang ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Tahapannya:

      1. Mengajukan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) secara elektronik melalui sistem INSW (Indonesia National Single Window).
      2. Melampirkan seluruh dokumen izin dari KKP, KLHK, dan BKIPM.
      3. Bea Cukai melakukan pemeriksaan fisik atau dokumen untuk memastikan kebenaran data ekspor.
      4. Setelah di setujui, barang dapat di kirim melalui pelabuhan atau bandara yang telah di tunjuk.

Pelaporan dan Pengawasan Pasca Ekspor

Setiap eksportir wajib menyampaikan laporan kepada KKP setelah kegiatan ekspor di lakukan.

Laporan tersebut mencakup:

      1. Jumlah dan jenis produk yang telah di kirim.
      2. Negara tujuan ekspor.
      3. Nomor dokumen ekspor (SRE, CITES Permit, HC).

Selain itu, KKP dapat melakukan audit lapangan atau peninjauan kembali izin ekspor untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan izin, pencampuran spesies, atau pelanggaran kuota.

Sanksi atas Pelanggaran

Apabila eksportir melakukan pelanggaran seperti:

      1. Menyalahgunakan izin ekspor,
      2. Mengekspor hiu yang di lindungi tanpa izin, atau
      3. Menggunakan dokumen palsu,

Maka dapat di kenai sanksi berdasarkan:

      1. UU Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
      2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, serta
      3. Sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan daftar hitam eksportir.

Prosedur ekspor sirip ikan hiu di Indonesia di rancang untuk menjamin kegiatan perdagangan berjalan secara legal, transparan, dan berkelanjutan. Melalui mekanisme yang melibatkan KKP, KLHK, BKIPM, dan Bea Cukai, pemerintah memastikan bahwa setiap ekspor berasal dari sumber yang sah dan tidak membahayakan kelestarian spesies hiu di alam.

Dengan mematuhi seluruh prosedur dan persyaratan yang berlaku, eksportir tidak hanya menjaga reputasi usahanya tetapi juga turut berkontribusi pada perlindungan ekosistem laut Indonesia.

Prosedur dan Persyaratan Ekspor Sirip Ikan Hiu

Proses ekspor sirip ikan hiu di Indonesia tidak dapat di lakukan secara sembarangan. Pemerintah, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), telah menetapkan prosedur dan persyaratan yang ketat untuk memastikan seluruh kegiatan ekspor berjalan sesuai ketentuan hukum dan prinsip keberlanjutan sumber daya laut.
Berikut ini adalah tahapan dan persyaratan lengkap yang wajib di penuhi oleh eksportir sirip ikan hiu:

Tahap Persiapan Sebelum Pengajuan Izin Ekspor

Sebelum mengajukan izin ekspor ke KKP, eksportir harus memastikan bahwa seluruh dokumen dasar dan legalitas usaha telah lengkap. Jenis dokumen ini menjadi bukti bahwa kegiatan ekspor di lakukan oleh perusahaan yang sah dan memiliki izin resmi.

Dokumen yang harus di miliki pada tahap awal:

      1. Nomor Induk Berusaha (NIB) – di peroleh melalui sistem OSS (Online Single Submission).
      2. Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) atau izin usaha bidang perdagangan hasil perikanan.
      3. Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) dari KKP, apabila produk di olah terlebih dahulu sebelum di ekspor.

Dokumen asal bahan baku, seperti:

      1. Surat keterangan hasil tangkapan sah dari nelayan berizin, atau
      2. Nota pembelian dari pemasok resmi yang memiliki izin penangkapan hiu.
      3. Tempat penyimpanan dan pengolahan yang memenuhi standar higienitas dan pengawasan mutu hasil perikanan.

Penting: Sirip hiu yang di peroleh dari hasil tangkapan ilegal (tanpa izin atau tanpa pelaporan logbook) tidak akan mendapatkan persetujuan ekspor dari KKP.

Pengajuan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) ke KKP

Langkah selanjutnya adalah mengajukan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) kepada Direktorat Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (Dit. KKHL) di bawah KKP. SRE ini merupakan syarat utama sebelum eksportir dapat mengajukan izin ekspor CITES (jika di perlukan).

Prosedur pengajuan SRE:

Eksportir mengajukan permohonan secara daring melalui Sistem Layanan Elektronik Konservasi Laut (SILAT-KKP) atau secara langsung ke Dit. KKHL.

Melampirkan dokumen berikut:

      1. Surat permohonan resmi bermeterai.
      2. Fotokopi NIB dan SIUP.
      3. Surat keterangan asal bahan baku (di lengkapi bukti pembelian dan logbook penangkapan).
      4. Foto atau dokumentasi sirip ikan hiu yang akan di ekspor.
      5. Daftar spesies dan jumlah produk yang akan di ekspor (dalam kilogram).
      6. Invoice dan packing list sementara.
      7. Petugas KKP akan melakukan verifikasi administrasi dan teknis, termasuk identifikasi jenis hiu yang akan di ekspor.
      8. Jika hasil verifikasi memenuhi syarat, maka KKP akan menerbitkan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) yang berlaku untuk satu kali pengiriman.

Penting: Masa berlaku SRE umumnya terbatas (sekitar 30 hari kerja) dan hanya dapat di gunakan untuk spesies, jumlah, dan tujuan ekspor yang tercantum di dalam surat.

Pengajuan Izin Ekspor CITES (Jika Di perlukan)

Untuk jenis hiu yang termasuk dalam Appendix II CITES, seperti Sphyrna lewini atau Carcharhinus longimanus, eksportir wajib memperoleh CITES Export Permit dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Langkah-langkahnya:

Mengajukan permohonan izin CITES ke Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) KLHK.

Melampirkan dokumen berikut:

      1. Surat Rekomendasi Ekspor (SRE) dari KKP.
      2. Bukti asal-usul bahan baku yang sah.
      3. Dokumen ekspor (invoice, packing list, kontrak penjualan).
      4. KLHK melakukan verifikasi dokumen dan kesesuaian dengan kuota nasional.
      5. Jika di setujui, KLHK menerbitkan CITES Export Permit, yang menjadi izin resmi untuk mengekspor produk ke negara tujuan.

Pemeriksaan Karantina dan Sertifikat Kesehatan

Sebelum produk di kirim ke luar negeri, wajib di lakukan pemeriksaan mutu dan keamanan produk oleh Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM).
Proses ini memastikan bahwa produk sirip hiu layak ekspor dan bebas dari penyakit atau kontaminan.

Prosedur pemeriksaan BKIPM:

      1. Eksportir menyerahkan sampel produk beserta dokumen pendukung (SRE, izin CITES, invoice).
      2. BKIPM melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium terhadap kualitas produk.
      3. Jika produk memenuhi standar, di terbitkan Health Certificate (HC) sebagai syarat ekspor.
      4. Sertifikat ini juga menjadi dokumen penting saat proses custom clearance di Bea Cukai.

Proses Kepabeanan (Bea Cukai)

Setelah dokumen izin lengkap (SRE, CITES Export Permit, Health Certificate, invoice, dan packing list), eksportir dapat mengajukan pemberitahuan ekspor barang ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Tahapannya:

      1. Mengajukan PEB (Pemberitahuan Ekspor Barang) secara elektronik melalui sistem INSW (Indonesia National Single Window).
      2. Melampirkan seluruh dokumen izin dari KKP, KLHK, dan BKIPM.
      3. Bea Cukai melakukan pemeriksaan fisik atau dokumen untuk memastikan kebenaran data ekspor.
      4. Setelah di setujui, barang dapat di kirim melalui pelabuhan atau bandara yang telah di tunjuk.

Pelaporan dan Pengawasan Pasca Ekspor

Setiap eksportir wajib menyampaikan laporan kepada KKP setelah kegiatan ekspor di lakukan.

Laporan tersebut mencakup:

      1. Jumlah dan jenis produk yang telah di kirim.
      2. Negara tujuan ekspor.
      3. Nomor dokumen ekspor (SRE, CITES Permit, HC).

Selain itu, KKP dapat melakukan audit lapangan atau peninjauan kembali izin ekspor untuk memastikan tidak terjadi penyalahgunaan izin, pencampuran spesies, atau pelanggaran kuota.

Sanksi atas Pelanggaran

Apabila eksportir melakukan pelanggaran seperti:

      1. Menyalahgunakan izin ekspor,
      2. Mengekspor hiu yang di lindungi tanpa izin, atau
      3. Menggunakan dokumen palsu,

Maka dapat di kenai sanksi berdasarkan:

      1. UU Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,
      2. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya, serta
      3. Sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha dan daftar hitam eksportir.

Prosedur ekspor sirip ikan hiu di Indonesia di rancang untuk menjamin kegiatan perdagangan berjalan secara legal, transparan, dan berkelanjutan. Melalui mekanisme yang melibatkan KKP, KLHK, BKIPM, dan Bea Cukai, pemerintah memastikan bahwa setiap ekspor berasal dari sumber yang sah dan tidak membahayakan kelestarian spesies hiu di alam.

Dengan mematuhi seluruh prosedur dan persyaratan yang berlaku, eksportir tidak hanya menjaga reputasi usahanya tetapi juga turut berkontribusi pada perlindungan ekosistem laut Indonesia.

Ketentuan Tambahan dan Sanksi Hukum

Selain mengikuti prosedur dan memenuhi dokumen utama seperti Surat Rekomendasi Ekspor (SRE), CITES Export Permit, dan Health Certificate, eksportir sirip ikan hiu juga wajib mematuhi sejumlah ketentuan tambahan yang di tetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Ketentuan ini berfungsi untuk memastikan seluruh kegiatan ekspor di lakukan secara berkelanjutan, transparan, dan tidak merugikan lingkungan laut. Pelanggaran terhadap aturan yang berlaku dapat berakibat pada sanksi administratif maupun pidana sesuai perundang-undangan.

Ketentuan Tambahan bagi Eksportir Sirip Ikan Hiu

Berikut adalah beberapa ketentuan tambahan yang wajib di perhatikan oleh eksportir:

Kewajiban Pelaporan Kegiatan Ekspor

Setiap eksportir yang telah memperoleh izin wajib melaporkan realisasi ekspor kepada Direktorat Jenderal Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (Dit. KKHL) KKP secara berkala.

Laporan tersebut mencakup informasi:

      1. Jenis hiu yang di ekspor.
      2. Jumlah (berat dalam kilogram).
      3. Negara tujuan ekspor.
      4. Nomor dokumen (SRE, CITES Permit, dan Health Certificate).

Laporan ini di gunakan oleh pemerintah untuk memantau volume perdagangan dan kuota tangkapan nasional.

Kewajiban Menyimpan Catatan dan Dokumen

Eksportir harus menyimpan seluruh dokumen terkait ekspor sirip hiu minimal selama 5 tahun, meliputi:

      1. Bukti asal-usul bahan baku.
      2. Logbook penangkapan atau pembelian dari nelayan/pemasok resmi.
      3. Salinan SRE dan izin CITES.
      4. Bukti pengiriman ekspor dan laporan realisasi.

KKP berhak melakukan audit sewaktu-waktu untuk memastikan tidak terjadi manipulasi data atau penggunaan izin ganda.

Kewajiban Kepatuhan terhadap Kuota dan Spesies

      1. KKP menetapkan kuota ekspor tahunan berdasarkan hasil kajian stok populasi hiu di laut Indonesia.
      2. Eksportir tidak boleh melebihi jumlah kuota yang telah di tetapkan.
      3. Apabila di temukan ekspor melebihi batas kuota atau jenis hiu yang di lindungi, maka izin ekspor dapat di bekukan atau di cabut permanen.

Ketentuan Penandaan dan Pelabelan Produk

Produk sirip hiu yang akan di ekspor wajib di labeli dengan informasi lengkap, seperti:

      1. Nama ilmiah dan nama umum hiu.
      2. Asal lokasi penangkapan (FAO area code).
      3. Nomor izin ekspor dan tanggal pengiriman.

Penandaan ini membantu proses tracing (penelusuran asal-usul) apabila terjadi pemeriksaan di negara tujuan ekspor.

Kepatuhan terhadap Ketentuan Negara Tujuan

      • Beberapa negara memiliki peraturan impor tambahan terhadap produk sirip hiu, seperti larangan impor atau kewajiban sertifikasi CITES tambahan.
      • Eksportir wajib mempelajari dan menyesuaikan dokumen ekspor dengan regulasi negara tujuan, agar pengiriman tidak di tolak di pelabuhan tujuan.

Sanksi atas Pelanggaran

Pemerintah Indonesia menerapkan sanksi tegas bagi siapa pun yang melanggar ketentuan ekspor sirip ikan hiu. Sanksi ini dapat bersifat administratif maupun pidana, tergantung tingkat pelanggarannya.

Sanksi Administratif (KKP)

KKP dapat menjatuhkan sanksi administratif apabila eksportir:

      1. Tidak menyampaikan laporan realisasi ekspor.
      2. Melebihi kuota ekspor yang di tetapkan.
      3. Tidak menjaga keabsahan dokumen ekspor.

Sanksinya dapat berupa:

      1. Peringatan tertulis.
      2. Pembekuan Surat Rekomendasi Ekspor (SRE).
      3. Pencabutan izin usaha perikanan.
      4. Pencantuman dalam daftar hitam eksportir (blacklist) nasional.

Sanksi Pidana Berdasarkan UU Perikanan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo. UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, eksportir yang melakukan pelanggaran berat dapat di kenakan sanksi pidana, antara lain:

      • Pasal 88 ayat (1): Barang siapa melakukan ekspor hasil perikanan tanpa izin dapat di pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
      • Pasal 94 ayat (1): Barang siapa memalsukan atau menggunakan dokumen palsu dalam kegiatan perikanan dapat di kenai pidana penjara paling lama 8 tahun dan denda hingga Rp1,5 miliar.

Sanksi Berdasarkan UU Konservasi SDA Hayati

Bagi eksportir yang kedapatan mengekspor jenis hiu yang di lindungi penuh, di kenai sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yaitu:

      • Pasal 21 ayat (2): Dilarang memperniagakan, menyimpan, atau mengangkut satwa dilindungi.
      • Pasal 40 ayat (2): Pelanggar dapat di pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda hingga Rp100.000.000 (seratus juta rupiah).

Sanksi dari Bea Cukai

Jika terjadi pelanggaran dalam proses kepabeanan (misalnya tidak melaporkan barang sesuai dokumen atau menyelundupkan hasil laut di lindungi), maka pelaku juga dapat di kenakan sanksi berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, berupa:

      1. Denda administratif.
      2. Penahanan barang ekspor.
      3. Pencabutan izin ekspor dan pelarangan kegiatan perdagangan luar negeri.

Pengawasan dan Penegakan Hukum

Untuk menegakkan aturan ekspor sirip hiu, pemerintah melakukan koordinasi lintas instansi, antara lain:

      1. KKP (melalui Dit. KKHL dan Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan).
      2. KLHK (Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati).
      3. Bea dan Cukai (pengawasan lalu lintas barang).
      4. Kepolisian RI (penegakan hukum pidana).

Selain itu, pemerintah juga bekerja sama dengan lembaga internasional seperti CITES Secretariat, FAO, dan NGO konservasi laut untuk memantau perdagangan sirip hiu secara global.

Tujuan Penegakan Ketentuan dan Sanksi

Penerapan aturan ketat dan sanksi bukan semata-mata untuk membatasi perdagangan, tetapi bertujuan untuk:

      1. Mencegah eksploitasi berlebihan terhadap populasi hiu.
      2. Menjamin bahwa setiap ekspor berasal dari sumber legal dan berkelanjutan.
      3. Menjaga reputasi Indonesia sebagai negara pengekspor hasil laut yang taat hukum dan ramah lingkungan.
      4. Mendorong pelaku usaha agar berpartisipasi dalam praktik perikanan yang bertanggung jawab.

Ketentuan tambahan dan sanksi hukum dalam ekspor sirip ikan hiu merupakan bentuk komitmen pemerintah Indonesia untuk menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi dan konservasi lingkungan laut.
Dengan mematuhi seluruh ketentuan yang berlaku, eksportir tidak hanya melindungi legalitas bisnisnya, tetapi juga turut berperan dalam menjaga kelestarian spesies hiu sebagai bagian penting dari ekosistem laut Indonesia.

Pasar Utama dan Nilai Ekspor Sirip Ikan Hiu

Perdagangan sirip ikan hiu memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi di pasar internasional. Indonesia, sebagai salah satu negara penangkap hiu terbesar di dunia, memiliki posisi strategis dalam memenuhi permintaan global terhadap komoditas ini. Namun, ekspor sirip hiu juga menjadi isu sensitif karena berkaitan dengan kelestarian populasi hiu dan komitmen terhadap perdagangan yang berkelanjutan.

Pasar Utama Ekspor Sirip Ikan Hiu

Permintaan sirip ikan hiu secara global di dominasi oleh negara-negara Asia Timur, yang memiliki tradisi panjang dalam mengonsumsi produk berbahan dasar sirip hiu. Berikut beberapa pasar utama tujuan ekspor Indonesia:

Jepang:

Negara ini di kenal sebagai salah satu konsumen terbesar produk laut bernilai tinggi. Sirip ikan hiu di gunakan untuk hidangan mewah seperti sup sirip hiu (shark fin soup) yang sering di sajikan pada acara-acara khusus.

Hong Kong:

Menjadi pusat perdagangan sirip hiu dunia, baik sebagai importir maupun re-exporter ke negara lain seperti Tiongkok dan Vietnam. Sebagian besar sirip hiu Indonesia di kirim melalui pelabuhan Hong Kong.

Tiongkok (China):

Permintaan tinggi berasal dari budaya tradisional yang menganggap sirip hiu sebagai simbol kemakmuran, status sosial, dan kesehatan. Produk ini sering di gunakan dalam jamuan resmi dan perayaan pernikahan.

Singapura:

Berperan sebagai hub logistik dan distribusi regional, di mana sirip hiu di impor, di proses, kemudian di ekspor kembali ke negara-negara lain di Asia.

Selain empat negara utama tersebut, pasar ekspor juga meluas ke beberapa negara lain seperti Vietnam, Korea Selatan, dan Malaysia, meskipun dalam volume yang lebih kecil. Pola perdagangan ini menunjukkan bahwa Asia masih menjadi pusat konsumsi utama sirip ikan hiu dunia.

Nilai Ekonomi dan Harga Pasar

Nilai ekonomi sirip ikan hiu sangat bergantung pada jenis hiu, ukuran sirip, serta kualitas pengeringan dan pemrosesan. Menurut data perdagangan internasional, harga sirip hiu kering berkualitas tinggi dapat mencapai:

US$600–1.000 per kilogram, atau setara dengan Rp9,7 juta–Rp16,3 juta per kilogram (mengacu pada kurs Rp16.300/US$1).

Untuk sirip hiu kelas menengah, harganya berkisar antara US$200–400/kg, sedangkan kualitas rendah bisa di jual mulai US$50–150/kg.

Harga tinggi ini menjadikan ekspor sirip hiu sebagai komoditas bernilai tambah besar, terutama bagi pelaku usaha di sektor pengolahan hasil laut. Namun, tingginya nilai ekonomi juga sering kali memicu praktik penangkapan berlebihan (overfishing) dan perdagangan ilegal yang mengancam keberlanjutan populasi hiu di perairan Indonesia.

Jenis Produk yang Di ekspor

Produk sirip hiu yang di ekspor dari Indonesia umumnya berbentuk sirip kering mentah (dried shark fins), meskipun beberapa pelaku usaha telah melakukan pengolahan lanjutan. Berikut jenis produk yang umum di ekspor:

      1. Sirip hiu kering utuh (Whole Dried Shark Fins): Produk utama yang di keringkan tanpa pengolahan tambahan.
      2. Sirip hiu olahan (Processed Shark Fins): Sirip di bersihkan, di rebus, dan dikeringkan ulang untuk meningkatkan kualitas.
      3. Serbuk sirip hiu (Shark Fin Powder): Hasil penggilingan sirip untuk di gunakan dalam industri makanan dan suplemen.
      4. Kapsul atau ekstrak sirip hiu: Produk farmasi dan suplemen kesehatan yang di percaya memiliki manfaat bagi daya tahan tubuh (meskipun klaim ini tidak di dukung secara ilmiah).

Sebagian besar produk tersebut di gunakan untuk pembuatan:

      1. Sup sirip hiu (Shark Fin Soup): Hidangan tradisional yang memiliki makna budaya dan simbol status sosial di masyarakat Asia Timur.
      2. Produk obat tradisional: Dalam bentuk serbuk, kapsul, atau ekstrak, yang di percaya meningkatkan vitalitas dan kesehatan sendi.
      3. Produk kosmetik dan nutraseutikal: Beberapa industri menggunakan kolagen dari sirip hiu sebagai bahan tambahan dalam produk kecantikan.

Tren Pasar dan Tantangan Global

Meskipun harga sirip hiu masih tinggi, tren global menunjukkan adanya penurunan permintaan di beberapa negara akibat meningkatnya kesadaran terhadap konservasi hiu. Beberapa faktor yang mempengaruhi tren ini antara lain:

      1. Kampanye anti-shark finning oleh organisasi lingkungan seperti WWF dan WildAid.
      2. Larangan impor atau pembatasan perdagangan sirip hiu di sejumlah negara seperti AS, Kanada, dan Uni Eropa.
      3. Meningkatnya regulasi CITES, yang mengatur ketat ekspor spesies hiu tertentu.

Namun demikian, pasar Asia masih tetap kuat karena faktor budaya dan permintaan domestik yang stabil. Indonesia berpotensi mempertahankan posisinya sebagai salah satu eksportir utama selama dapat memastikan legalitas dan keberlanjutan produk ekspor.

Pasar ekspor sirip ikan hiu Indonesia masih memiliki nilai ekonomi tinggi, terutama di negara-negara Asia seperti Jepang, Hong Kong, Tiongkok, dan Singapura. Dengan harga yang mencapai hingga US$1.000 per kilogram, komoditas ini memberikan potensi keuntungan besar bagi pelaku usaha. Namun, di sisi lain, tantangan konservasi dan regulasi internasional menuntut eksportir untuk mematuhi aturan yang ketat dari KKP dan CITES agar perdagangan tetap berkelanjutan dan legal.

Oleh karena itu, keberhasilan ekspor sirip ikan hiu tidak hanya di ukur dari nilai ekonominya, tetapi juga dari sejauh mana pelaku usaha mampu menjalankan praktik ekspor yang bertanggung jawab dan ramah lingkungan, demi menjaga reputasi Indonesia di pasar global.

Potensi Pasar Sirip Ikan Hiu

Potensi Pasar Sirip Ikan Hiu

Sirip ikan hiu memiliki nilai jual yang cukup tinggi di pasaran. Di Indonesia, sirip ikan hiu sering di gunakan sebagai bahan pembuatan sup atau di konsumsi langsung. Namun, di negara seperti China, sirip ikan hiu di anggap sebagai makanan mewah dan memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Hal ini membuat ekspor sirip ikan hiu menjadi potensi bisnis yang menjanjikan.

Selain itu, permintaan sirip ikan hiu juga cukup tinggi di negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Negara-negara ini memiliki budaya yang sangat menghargai makanan laut dan sering mengkonsumsi sirip ikan hiu sebagai hidangan istimewa.

Proses Ekspor Sirip Ikan Hiu : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Proses ekspor sirip ikan hiu tidaklah mudah. Hal ini karena sirip ikan hiu termasuk dalam jenis ikan yang di lindungi. Oleh karena itu, sebelum melakukan ekspor sirip ikan hiu, perlu memastikan bahwa ikan hiu yang akan di export bukan termasuk dalam jenis ikan yang di lindungi. Selain itu, juga perlu memperhatikan aspek keamanan pangan dan persyaratan lain yang berlaku di negara tujuan.

Setelah memastikan bahwa produk yang akan di ekspor memenuhi persyaratan yang berlaku, langkah selanjutnya adalah melakukan proses pengemasan dan pengiriman. Sirip ikan hiu perlu di kemas dengan baik agar tidak rusak selama perjalanan. Selain itu, juga perlu memperhatikan aspek logistik dan keamanan selama proses pengiriman.

Persyaratan Ekspor Sirip Ikan Hiu : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Untuk melakukan export sirip ikan hiu, terdapat beberapa persyaratan yang perlu di penuhi. Beberapa persyaratan tersebut antara lain:

      • Memiliki izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan
      • Memastikan bahwa jenis ikan hiu yang akan di ekspor bukan termasuk dalam jenis ikan yang di lindungi
      • Memenuhi persyaratan keamanan pangan dan kesehatan
      • Memenuhi persyaratan dokumentasi yang berlaku di negara tujuan

Potensi Keuntungan Ekspor Sirip Ikan Hiu : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Export sirip ikan hiu memiliki potensi keuntungan yang cukup besar. Harga jual sirip ikan hiu di pasaran dapat mencapai puluhan juta rupiah per kilogramnya. Hal ini membuat bisnis export sirip ikan hiu menjadi potensi bisnis yang menjanjikan.

Selain itu, export sirip ikan hiu juga dapat membantu meningkatkan devisa negara. Dengan melakukan export sirip ikan hiu, Indonesia dapat menghasilkan pendapatan dari pasar internasional dan meningkatkan perekonomian negara.

Tantangan dalam Bisnis Ekspor Sirip Ikan Hiu

Tantangan dalam Bisnis Ekspor Sirip Ikan Hiu : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Meskipun ekspor sirip ikan hiu memberikan nilai ekonomi tinggi bagi Indonesia, sektor ini juga di hadapkan pada berbagai tantangan dan permasalahan serius yang berkaitan dengan aspek hukum, lingkungan, dan tata kelola perdagangan. Permasalahan tersebut tidak hanya mempengaruhi reputasi Indonesia di pasar internasional, tetapi juga mengancam upaya pelestarian ekosistem laut yang berkelanjutan.

Berikut adalah beberapa tantangan utama yang di hadapi dalam perdagangan sirip ikan hiu di Indonesia:

Perdagangan Ilegal dan Data Ekspor yang Tidak Akurat : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Salah satu tantangan terbesar dalam ekspor sirip ikan hiu adalah praktik perdagangan ilegal (illegal trade). Banyak data ekspor yang tidak di laporkan secara lengkap atau bahkan tidak tercatat sama sekali dalam sistem resmi pemerintah. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian antara data ekspor nasional dan data impor negara tujuan.

      • Dalam beberapa kasus, sirip hiu di kirim melalui jalur tidak resmi atau di samarkan sebagai produk perikanan lain, seperti sirip pari atau hasil laut kering.
      • Pelaku perdagangan ilegal biasanya memanfaatkan celah birokrasi, lemahnya sistem pelaporan, serta terbatasnya kapasitas pengawasan di pelabuhan.
      • Akibatnya, pemerintah kehilangan potensi pendapatan dari pajak ekspor dan sulit melakukan pengendalian kuota perdagangan secara efektif.

Masalah ini juga berdampak pada kehilangan kepercayaan dari negara mitra dagang, yang menuntut transparansi dan legalitas dalam perdagangan produk satwa laut.

Perdagangan Spesies yang Di lindungi : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Sebagian besar hiu yang di perdagangkan di dunia, termasuk di Indonesia, merupakan spesies langka dan terancam punah. Berdasarkan daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), lebih dari 40 jenis hiu dan pari manta masuk dalam kategori yang perdagangannya di perbolehkan, tetapi harus di awasi dengan ketat.

Beberapa di antaranya adalah:

      1. Hiu martil (Sphyrna lewini, Sphyrna mokarran, Sphyrna zygaena)
      2. Hiu paus (Rhincodon typus)
      3. Hiu monyet (Alopias spp.)
      4. Hiu macan (Galeocerdo cuvier)
      5. Hiu koboi (Carcharhinus longimanus)

Masalahnya, banyak eksportir dan nelayan yang tidak dapat membedakan antara spesies yang di lindungi dan yang tidak, karena kemiripan bentuk sirip dan tubuh. Hal ini memicu perdagangan ilegal spesies langka secara tidak sengaja maupun di sengaja.

Selain itu, minimnya pengetahuan di tingkat nelayan dan pelaku usaha kecil menyebabkan banyak yang belum memahami pentingnya izin CITES dan rekomendasi ekspor dari KKP. Akibatnya, sirip dari spesies di lindungi sering kali ikut tercampur dalam rantai perdagangan.

Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum di Pelabuhan : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Kelemahan pengawasan di pelabuhan dan titik ekspor menjadi faktor penting yang memperburuk masalah perdagangan sirip hiu di Indonesia. Beberapa permasalahan yang sering terjadi antara lain:

      1. Kurangnya petugas pengawas khusus yang memiliki kemampuan identifikasi spesies hiu di lapangan.
      2. Minimnya fasilitas laboratorium dan peralatan identifikasi DNA untuk membedakan spesies di lindungi.
      3. Prosedur pelaporan dan verifikasi dokumen ekspor yang belum terintegrasi secara digital, sehingga mudah di manipulasi.
      4. Koordinasi antarinstansi yang belum optimal, terutama antara KKP, Bea Cukai, dan KLHK.

Kondisi ini memungkinkan terjadinya praktik mixing atau pencampuran sirip hiu dari spesies di lindungi dengan yang tidak di lindungi, agar lebih sulit terdeteksi oleh petugas di lapangan.

Tekanan dari Pasar Internasional dan Isu Reputasi : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Dalam beberapa tahun terakhir, perdagangan sirip hiu mendapat tekanan besar dari komunitas internasional. Banyak negara dan perusahaan besar, terutama di sektor hotel dan restoran, mulai melarang penggunaan sirip hiu karena alasan etika dan konservasi.

      • Beberapa negara tujuan ekspor, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa, bahkan melarang impor sirip hiu secara total.
      • Lembaga konservasi dunia seperti WWF, TRAFFIC, dan WildAid terus melakukan kampanye global untuk mengurangi permintaan sirip hiu.

Tekanan ini berdampak langsung pada penurunan permintaan di beberapa pasar utama dan menimbulkan risiko reputasi bagi negara pengekspor yang di anggap tidak mendukung konservasi laut.

Keterbatasan Sosialisasi dan Edukasi kepada Pelaku Usaha : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Masih banyak nelayan, pengepul, dan eksportir kecil yang belum memahami regulasi perdagangan sirip hiu, terutama terkait kewajiban izin dari KKP dan CITES. Kurangnya sosialisasi dan pendampingan teknis dari pihak pemerintah menyebabkan banyak pelaku usaha beroperasi tanpa memahami risiko hukum yang dapat timbul.

Selain itu, sebagian besar pelaku usaha di daerah pesisir belum memiliki akses terhadap sistem pelaporan digital atau fasilitas ekspor resmi, sehingga cenderung memilih jalur cepat yang tidak legal.

Tantangan dalam Mewujudkan Perdagangan yang Berkelanjutan : Ekspor Sirip Ikan Hiu

Untuk menjamin keberlanjutan ekspor sirip hiu, Indonesia perlu menyeimbangkan antara nilai ekonomi dan aspek konservasi. Tantangan yang di hadapi meliputi:

      1. Keterbatasan data ilmiah tentang stok populasi hiu di perairan Indonesia.
      2. Belum optimalnya penerapan sistem penelusuran asal-usul (traceability system) untuk setiap produk sirip hiu.
      3. Rendahnya kesadaran masyarakat pesisir terhadap pentingnya menjaga ekosistem laut.

Upaya menuju perdagangan yang berkelanjutan membutuhkan sinergi antara pemerintah, akademisi, LSM, dan sektor swasta, agar praktik perikanan dapat di lakukan secara legal dan bertanggung jawab.

Kemudian, Perdagangan sirip ikan hiu di Indonesia menghadapi tantangan kompleks yang melibatkan aspek ekonomi, konservasi, dan tata kelola hukum.
Masih maraknya perdagangan ilegal, lemahnya pengawasan di pelabuhan, serta keterlibatan spesies di lindungi menjadi isu utama yang harus segera di tangani.

Untuk mengatasinya, di perlukan penguatan sistem pengawasan, peningkatan kapasitas petugas lapangan, digitalisasi pelaporan ekspor, dan edukasi kepada pelaku usaha, agar perdagangan sirip hiu di Indonesia dapat berjalan secara legal, transparan, dan berkelanjutan sesuai dengan standar internasional.

Kesimpulan Ekspor Sirip Ikan Hiu

Export sirip ikan hiu merupakan potensi bisnis yang menjanjikan. Sirip ikan hiu memiliki nilai jual yang cukup tinggi di pasaran dan permintaannya juga cukup tinggi di pasar internasional. Namun, untuk melakukan bisnis export sirip ikan hiu, perlu memperhatikan persyaratan dan tantangan yang ada. Maka, dengan persiapan yang matang dan memperhatikan aspek keamanan pangan dan persyaratan lain yang berlaku, bisnis export sirip ikan hiu dapat menjadi sumber penghasilan yang menguntungkan dan meningkatkan perekonomian Indonesia.

PT Jangkar Global Groups berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.

YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI

 

 

Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups

Adi

penulis adalah ahli di bidang pengurusan jasa pembuatan visa dan paspor dari tahun 2000 dan sudah memiliki beberapa sertifikasi khusus untuk layanan jasa visa dan paspor