CITES Pengedar Dalam Negeri: Kunci Perdagangan Satwa Liar

Akhmad Fauzi

Updated on:

CITES Pengedar Dalam Negeri Kunci Perdagangan Satwa Liar
Direktur Utama Jangkar Goups

Perdagangan satwa liar adalah bisnis yang kompleks dan sering kali memicu perdebatan sengit. Di satu sisi, ada perdagangan legal yang di atur ketat, di mana spesimen hewan atau tumbuhan tertentu di perjualbelikan untuk tujuan ilmiah, konservasi, atau bahkan sebagai hewan peliharaan dari hasil penangkaran. Namun, perdagangan legal ini sering kali menjadi “kedok” untuk menutupi aktivitas yang jauh lebih merusak: perdagangan ilegal.

Perdagangan ilegal, yang sering disebut sebagai kejahatan terorganisir, adalah ancaman terbesar bagi keanekaragaman hayati global. Jaringan perdagangan ini beroperasi secara diam-diam, dari pemburu di hutan terpencil hingga ke pasar gelap di kota-kota besar, bahkan hingga ke lintas negara. Mereka mengeksploitasi spesies yang paling rentan, seperti harimau, gajah, badak, dan berbagai jenis burung serta reptil, untuk di ambil bagian tubuhnya seperti gading, cula, kulit, atau untuk di jual sebagai hewan peliharaan eksotis.

Dampak dari perdagangan ilegal ini sangat parah dan berjangka panjang. Dampak utamanya adalah menurunnya populasi spesies secara drastis, yang dapat mendorong mereka ke ambang kepunahan. Selain itu, hilangnya satu spesies dari ekosistem dapat mengganggu keseimbangan alam, memicu efek domino yang merusak seluruh rantai makanan. Perdagangan ini juga bisa memicu penyebaran penyakit zoonosis dari hewan ke manusia, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.

Untuk mengatasi masalah ini, berbagai negara berupaya untuk bekerja sama, dan salah satu instrumen penting dalam perlawanan ini adalah CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). CITES berfokus pada perdagangan internasional, namun perannya tidak akan efektif tanpa upaya yang kuat di tingkat domestik, terutama dalam mengendalikan para pengedar dalam negeri yang menjadi jantung dari jaringan ilegal ini.

Apa Itu Cites?

CITES, atau Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora, adalah sebuah perjanjian internasional yang di buat untuk memastikan bahwa perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar tidak mengancam kelangsungan hidup spesies tersebut di alam liar.

Poin utamanya adalah bahwa CITES berfokus pada perdagangan lintas batas negara (internasional). Perjanjian ini mengatur ekspor, impor, dan re-ekspor spesies-spesies yang terdaftar dalam tiga Lampiran (Appendix) berdasarkan tingkat ancaman kepunahan mereka.

  1. Appendix I mencakup spesies yang paling terancam punah. Perdagangan internasional spesies ini dilarang, kecuali dalam kondisi yang sangat ketat untuk tujuan non-komersial seperti penelitian ilmiah.
  2. Appendix II berisi spesies yang tidak terancam punah saat ini, namun bisa menjadi terancam jika perdagangan mereka tidak di atur secara ketat. Perdagangan spesies ini di perbolehkan dengan izin yang sah.
  3. Appendix III mencantumkan spesies yang di lindungi di negara tertentu, dan negara itu meminta bantuan negara-negara CITES lainnya untuk mengendalikan perdagangannya.

Dengan demikian, CITES menciptakan kerangka kerja global untuk mengendalikan perdagangan spesies yang rentan, memaksa negara-negara anggotanya untuk menerapkan peraturan domestik yang sejalan dengan konvensi ini. Meskipun fokus utamanya pada perdagangan internasional, implementasi CITES sangat bergantung pada efektivitas penegakan hukum di tingkat nasional.

Peran Pengedar Dalam Negeri

Para pengedar dalam negeri memainkan peran krusial dalam perdagangan satwa liar ilegal, bahkan jika fokus utama CITES adalah perdagangan internasional. Mereka adalah rantai penghubung pertama yang sangat penting antara sumber (yaitu pemburu atau penangkap satwa di habitat aslinya) dan pasar yang lebih besar, termasuk jaringan perdagangan internasional.

Tanpa pengedar dalam negeri, spesies yang di lindungi tidak akan pernah sampai ke tangan para pedagang internasional. Mereka beroperasi di tingkat lokal, sering kali memiliki pengetahuan mendalam tentang medan dan komunitas setempat. Mereka mengumpulkan, mengangkut, dan kadang-kadang memproses (misalnya, mengambil gading dari gajah atau sisik dari trenggiling) satwa atau bagian tubuhnya sebelum di jual kepada perantara yang lebih besar.

Meskipun CITES mengatur perdagangan lintas batas negara, efektivitasnya sangat bergantung pada kemampuan setiap negara untuk mengendalikan rantai pasok domestiknya. Jika para pengedar dalam negeri tidak di tindak, aliran pasokan ke pasar internasional tidak akan pernah berhenti. Oleh karena itu, memerangi perdagangan satwa liar secara efektif harus di mulai dengan membongkar jaringan mereka di tingkat lokal, yang merupakan fondasi dari seluruh rantai perdagangan ilegal.

Apa itu Pengedar Dalam Negeri?

Dalam konteks perdagangan satwa liar, pengedar dalam negeri adalah individu, kelompok, atau jaringan yang secara ilegal mengumpulkan, mengangkut, dan memperdagangkan tumbuhan atau satwa liar yang di lindungi di dalam wilayah suatu negara.

Mereka adalah mata rantai awal yang menghubungkan sumber daya alam dengan pasar gelap. Peran mereka sangat penting karena mereka sering kali:

  1. Berinteraksi langsung dengan pemburu atau penangkap di daerah terpencil atau pedalaman.
  2. Mengangkut satwa atau bagian tubuhnya dari habitat aslinya menuju pusat-pusat perdagangan, seperti kota-kota besar.
  3. Menjadi perantara yang menjual barang ilegal tersebut ke jaringan perdagangan yang lebih besar, baik untuk pasar domestik maupun internasional.

Dengan kata lain, pengedar dalam negeri merupakan fondasi dari seluruh rantai pasok perdagangan ilegal. Tanpa mereka, barang-barang yang di lindungi tidak akan pernah sampai ke pembeli akhir, baik di dalam maupun di luar negeri.

Tantangan dalam Mengatasi Pengedar Dalam Negeri

Mengatasi pengedar satwa liar di tingkat domestik adalah tantangan yang kompleks, terutama karena mereka beroperasi di area yang sulit di jangkau dan memiliki koneksi yang kuat dengan komunitas lokal. Berikut adalah beberapa kendala utama yang di hadapi dalam upaya penegakan hukum:

Akses dan Pengetahuan Lokal

Para pengedar sering kali beroperasi di daerah terpencil atau dekat dengan habitat asli satwa liar, membuat mereka sulit di lacak oleh aparat penegak hukum. Mereka memiliki pemahaman mendalam tentang medan dan rute-rute tersembunyi. Jaringan mereka juga sering memanfaatkan hubungan kekerabatan atau ikatan ekonomi dengan masyarakat lokal, yang membuat warga enggan melaporkan aktivitas ilegal mereka.

Lemahnya Penegakan Hukum Domestik

Meskipun ada undang-undang, pelaksanaannya di tingkat domestik masih menghadapi banyak kendala. Hukuman yang di jatuhkan seringkali tidak memberikan efek jera karena vonisnya terlalu ringan. Selain itu, kurangnya sumber daya, anggaran, dan pelatihan bagi aparat penegak hukum (seperti polisi hutan atau penyidik) dalam mengidentifikasi spesies, mengumpulkan bukti, dan menangani kasus kejahatan satwa liar menjadi hambatan besar.

Kurangnya Kesadaran dan Keterlibatan Masyarakat

Banyak masyarakat di pedalaman tidak menyadari bahwa aktivitas seperti berburu atau menjual satwa liar adalah kejahatan serius. Edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya konservasi dan konsekuensi hukum masih belum merata. Akibatnya, rendahnya laporan dari masyarakat menjadi kendala utama dalam mengungkap kasus-kasus perdagangan satwa liar, membuat penegak hukum kesulitan mendapatkan informasi awal.

Korupsi dan Kurangnya Koordinasi

Tantangan lain yang serius adalah potensi keterlibatan oknum aparat yang korup dalam jaringan perdagangan ilegal. Selain itu, kurangnya koordinasi antar lembaga penegak hukum (misalnya antara polisi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam, dan kejaksaan) bisa menghambat proses penyelidikan dan penuntutan kasus, memungkinkan para pelaku lolos dari jerat hukum.

Strategi dan Solusi CITES

Strategi dan solusi untuk mengatasi pengedar dalam negeri dalam konteks CITES memerlukan pendekatan yang komprehensif, tidak hanya mengandalkan penegakan hukum tetapi juga melibatkan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.

Peningkatan Kapasitas Penegak Hukum

Fokus utama adalah memperkuat kemampuan aparat hukum di tingkat lokal. Ini mencakup pelatihan khusus bagi petugas polisi, kehutanan, dan bea cukai untuk mengenali spesies yang di lindungi, teknik investigasi, dan cara penanganan bukti. Selain itu, penambahan sumber daya seperti peralatan pelacakan dan transportasi yang lebih baik sangat penting untuk menjangkau lokasi-lokasi terpencil.

Kerja Sama Lintas Sektor

Memberantas kejahatan satwa liar tidak bisa di lakukan oleh satu instansi saja. Di perlukan koordinasi yang kuat antara berbagai lembaga, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Kerjasama ini memastikan proses hukum berjalan lancar, dari penangkapan hingga vonis hukuman yang berat dan memberikan efek jera.

Edukasi dan Penyadaran Masyarakat

Strategi jangka panjang yang efektif adalah mengedukasi masyarakat lokal tentang pentingnya konservasi dan konsekuensi hukum dari perdagangan ilegal. Program-program ini dapat memberikan pemahaman bahwa satwa liar bukan sekadar komoditas, melainkan aset nasional yang harus di lindungi. Tujuannya adalah mengubah persepsi dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam melaporkan aktivitas mencurigakan.

Pemberian Mata Pencaharian Alternatif

Untuk mengurangi insentif ekonomi bagi masyarakat untuk berburu atau terlibat dalam perdagangan ilegal, perlu di kembangkan program mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan. Misalnya, mendukung ekowisata, pertanian ramah lingkungan, atau kerajinan tangan. Ini memberikan solusi ekonomi bagi komunitas yang sebelumnya bergantung pada sumber daya alam ilegal.

Pemanfaatan Teknologi

Penggunaan teknologi modern seperti analisis data, intelijen buatan (AI), dan drone dapat membantu dalam melacak pergerakan pengedar, memantau area perburuan, dan menganalisis pola perdagangan. Teknologi ini memberikan keunggulan dalam memerangi jaringan yang semakin canggih.

Studi Kasus penegak hukum

Berikut adalah contoh studi kasus yang menunjukkan bagaimana penegak hukum berhasil membongkar jaringan pengedar dalam negeri, menyoroti tantangan dan pelajaran yang bisa di ambil.

Kasus Penangkapan Sindikat Perdagangan Sisik Trenggiling di Medan

Pada tahun 2023, Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wilayah Sumatera berhasil mengungkap sindikat perdagangan sisik trenggiling di Medan, Sumatera Utara. Kasus ini merupakan contoh klasik dari operasi yang menargetkan pengedar dalam negeri, yang menjadi fondasi utama rantai pasok perdagangan ilegal.

Latar Belakang:

Selama berbulan-bulan, tim Gakkum melakukan penyelidikan intelijen, melacak pergerakan mencurigakan yang mengarah pada sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang tersebut di curigai sebagai tempat penampungan sisik trenggiling yang di kumpulkan dari berbagai daerah di Sumatera. Jaringan ini di ketahui beroperasi dengan sangat hati-hati, menggunakan kurir-kurir lokal untuk mengangkut sisik dari pemburu ke gudang penyimpanan.

Operasi Penangkapan:

Setelah mengumpulkan bukti yang cukup, tim Gakkum, berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah setempat, melakukan penggerebekan. Dalam operasi tersebut, mereka berhasil menangkap seorang pengedar utama yang berperan sebagai “pengepul” dan menyita puluhan karung berisi sisik trenggiling seberat lebih dari 1 ton. Barang bukti ini di taksir memiliki nilai miliaran rupiah di pasar gelap internasional.

Pelajaran yang Diambil:

Peran Intelijen dan Penyamaran:

Keberhasilan operasi ini sangat bergantung pada kerja intelijen yang sabar dan teliti. Tim menyamar sebagai pembeli untuk membuktikan transaksi ilegal, yang merupakan strategi efektif dalam menembus jaringan yang tertutup.

Kerja Sama Antar Lembaga:

Koordinasi yang baik antara KLHK dan kepolisian sangat krusial. Gakkum memiliki keahlian investigasi terkait kejahatan satwa liar, sementara polisi menyediakan dukungan operasional dan penegakan hukum yang lebih luas.

Menargetkan Pengepul (Pengedar Dalam Negeri):

Kasus ini membuktikan bahwa menargetkan pengedar dalam negeri, yang sering kali menjadi titik sentral dalam jaringan, dapat memberikan dampak yang signifikan dalam menghentikan pasokan ilegal ke pasar internasional. Dengan menangkap pengepul, seluruh rantai pasokan dari pemburu hingga eksportir akan terputus.

Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa CITES tidak bisa bekerja sendiri tanpa adanya penegakan hukum yang kuat di tingkat domestik, yang berfokus pada pembongkaran jaringan pengedar dalam negeri.

Dasar Hukum Cites

Pemerintah Indonesia meratifikasi CITES dengan Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 1978. Namun, dasar hukum utama yang mengatur konservasi dan perdagangan satwa liar di tingkat domestik adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Perdagangan ilegal di tingkat domestik tidak dapat di legitimasi dengan mengurus perizinan CITES. Sebaliknya, aktivitas pengedar dalam negeri ini melanggar undang-undang nasional yang ada di setiap negara.

Di Indonesia, kejahatan ini di atur oleh:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan ini mengatur lebih detail tentang pemanfaatan dan perdagangan yang legal, serta kuota dan perizinan.
  4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) yang menetapkan daftar jenis tumbuhan dan satwa liar yang di lindungi, termasuk yang masuk dalam Apendiks CITES.
  5. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 122 Tahun 2018 tentang Ketentuan Ekspor Tumbuhan Alam dan Satwa Liar yang Tidak Di lindungi Undang-Undang dan Termasuk dalam Daftar CITES.

Peraturan-peraturan ini secara tegas melarang setiap orang untuk:

  1. Menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang di lindungi dalam keadaan hidup.
  2. Menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang di lindungi dalam keadaan mati.
  3. Mengeluarkan satwa yang di lindungi dari satu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia.

Jadi, satu-satunya “syarat” yang harus di penuhi oleh pengedar dalam negeri adalah menghentikan kegiatan ilegal mereka. Jika mereka ingin berbisnis secara legal dengan tumbuhan dan satwa liar, mereka harus mengikuti prosedur yang di atur oleh pemerintah, seperti mendapatkan izin penangkaran, pengangkutan, atau perdagangan dari lembaga yang berwenang seperti Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Kegiatan perdagangan legal ini pun harus mematuhi kuota yang di tetapkan pemerintah dan hanya boleh memperdagangkan jenis-jenis yang tidak di lindungi atau yang berasal dari hasil penangkaran sah.

Syarat izin pengedar dalam negeri dari BKSDA

Berdasarkan informasi dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), berikut adalah persyaratan dan prosedur untuk mendapatkan izin pengedar tumbuhan dan satwa liar (TSL) di dalam negeri:

Persyaratan Administratif

Secara umum, persyaratan yang harus di siapkan untuk mengajukan permohonan izin pengedar TSL adalah sebagai berikut:

  1. Surat permohonan yang di tujukan kepada Kepala Balai Besar atau Balai KSDA setempat.
  2. Akte Pendirian Perusahaan atau Badan Usaha (bagi yang berbadan hukum).
  3. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
  4. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).
  5. Proposal atau Rencana Kerja Tahunan yang berisi:
  6. Nama jenis TSL yang akan di perdagangkan (nama ilmiah dan nama lokal).
  7. Jumlah dan ukuran TSL.
  8. Wilayah operasi.
  9. Surat pernyataan kesanggupan untuk memenuhi kewajiban PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
  10. Dokumen lain yang relevan, seperti bukti kepemilikan lahan atau surat bebas gangguan usaha dari kecamatan.

Prosedur Pengajuan

Proses pengajuan perizinan ini melibatkan beberapa tahapan, antara lain:

  1. Pengajuan Berkas Permohonan: Pemohon menyerahkan surat permohonan dan seluruh dokumen persyaratan kepada Unit Pelayanan di BKSDA setempat.
  2. Pemeriksaan Administrasi: Petugas memeriksa kelengkapan dan kebenaran berkas. Jika ada kekurangan, berkas akan di kembalikan untuk di lengkapi.
  3. Pemeriksaan Lapangan (Verifikasi Teknis): Setelah berkas lengkap, BKSDA akan menjadwalkan pemeriksaan lapangan untuk memverifikasi kesiapan teknis, seperti kondisi kandang, kesiapan pakan, dan kelengkapan peralatan.
  4. Penerbitan Izin: Jika hasil pemeriksaan teknis sesuai dengan standar, Kepala Balai KSDA akan menerbitkan Surat Izin Pengedar TSL.
  5. Pembayaran PNBP: Pemohon akan di minta untuk melakukan pembayaran PNBP sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Perlu di ingat bahwa izin ini biasanya di berikan untuk perdagangan jenis TSL yang tidak di lindungi atau hasil penangkaran dari jenis yang di lindungi (biasanya keturunan F2 dan seterusnya). Untuk detail yang lebih spesifik, sebaiknya menghubungi Balai KSDA di wilayah Anda.

Jasa urus Cites Pengedar Dalam Negeri Jangkargroups

Istilah CITES dan pengedar dalam negeri sering kali di salahpahami. Penting untuk di ketahui bahwa CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) secara khusus mengatur perdagangan satwa liar yang sifatnya lintas batas negara (internasional).

Untuk perdagangan yang terjadi di dalam wilayah Indonesia, dasar hukumnya adalah peraturan nasional, seperti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990. Oleh karena itu, pengedar dalam negeri tidak memerlukan izin CITES, melainkan Surat Izin Pengedar Tumbuhan dan Satwa Liar Dalam Negeri yang di terbitkan oleh pemerintah Indonesia melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) atau unit terkait di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Jangkargroups adalah salah satu perusahaan yang menyediakan jasa untuk membantu mengurus berbagai perizinan, termasuk dokumen ekspor/impor yang berkaitan dengan CITES. Mereka berperan sebagai perantara yang mempermudah proses administrasi yang rumit, seperti pengumpulan dokumen dan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait.

CITES Permit:

Di perlukan jika Anda ingin mengekspor atau mengimpor satwa liar. Dokumen ini membuktikan bahwa perdagangan lintas batas negara tersebut sah.

Izin Pengedar Dalam Negeri:

Di perlukan jika Anda ingin memperdagangkan satwa liar di dalam wilayah Indonesia. Izin ini di keluarkan oleh BKSDA atau KLHK.

Sebelum menggunakan jasa pihak ketiga, pastikan untuk selalu memverifikasi legalitas dan rekam jejak mereka. Memahami perbedaan antara kedua jenis izin ini adalah langkah pertama yang krusial untuk memastikan bisnis Anda berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Perusahaan berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.

YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI

 

 

Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups

Akhmad Fauzi

Penulis adalah doktor ilmu hukum, magister ekonomi syariah, magister ilmu hukum dan ahli komputer. Ahli dibidang proses legalitas, visa, perkawinan campuran, digital marketing dan senang mengajarkan ilmu kepada masyarakat