Peradilan Militer Dari Penegak Disiplin hingga Pengawal Keadilan

Akhmad Fauzi

Updated on:

Peradilan Militer Dari Penegak Disiplin hingga Pengawal Keadilan
Direktur Utama Jangkar Goups

Institusi militer merupakan pilar utama pertahanan dan keamanan suatu negara. Di Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI) mengemban tugas mulia untuk menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah. Namun, peran khas ini menuntut adanya sistem hukum yang spesifik dan efektif untuk mengatur perilaku serta menegakkan disiplin para anggotanya. Sistem inilah yang di wujudkan dalam Peradilan Militer.

Peradilan Militer bukan sekadar cabang dari peradilan umum; ia adalah pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata, yang di dirikan dengan dua tujuan utama: pertama, untuk menjaga disiplin dan profesionalisme prajurit, dan kedua, untuk menegakkan hukum dan keadilan. Kedudukan unik ini di atur secara fundamental dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Undang-undang ini membedakan Peradilan Militer menjadi empat tingkatan mulai dari Pengadilan Militer hingga Pengadilan Militer Utama dengan kewenangan yang di dasarkan pada kepangkatan terdakwa dan jenis perkaranya.

Independensi Peradilan Militer

Meskipun memiliki fungsi yang vital, Peradilan Militer sering menjadi sorotan publik, terutama ketika berhadapan dengan perkara koneksitas, yakni tindak pidana yang melibatkan prajurit dan sipil secara bersama-sama. Isu ini, di tambah dengan tuntutan reformasi dan independensi peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung, menjadikan sistem peradilan ini berada dalam fase transisi hukum yang krusial.

Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk mengupas tuntas struktur, yurisdiksi, dan tantangan yang di hadapi oleh Peradilan Militer di Indonesia, guna memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai peran ganda lembaga ini sebagai penegak disiplin internal sekaligus pengawal keadilan yang setara di mata hukum.

Dasar Hukum Eksistensi

Kekuasaan kehakiman di Indonesia, sebagaimana di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945, di jalankan oleh empat lingkungan peradilan utama: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara (TUN), dan Peradilan Militer. Keberadaan dan landasan operasional Peradilan Militer di atur secara spesifik dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. UU ini menjadi payung hukum utama yang menetapkan subjek hukum, susunan, kewenangan, dan proses hukum yang berlaku di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Selain UU No. 31 Tahun 1997, sistem peradilan ini juga merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) sebagai hukum materiil, yang memuat jenis-jenis tindak pidana dan sanksi yang bersifat khas militer, seperti insubordinasi, desersi, dan pelanggaran disiplin lainnya. Secara ringkas, UU 31/1997 mengatur aspek prosedural dan kelembagaan (hukum acara), sementara KUHPM mengatur aspek pidana substantif (hukum materiil).

Kedudukan dalam Kekuasaan Kehakiman

Dalam struktur ketatanegaraan, Peradilan Militer menempati posisi sebagai badan peradilan khusus. Meskipun lingkungan peradilan ini berada di lingkungan Angkatan Bersenjata, penting untuk di garisbawahi bahwa Peradilan Militer adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang bersifat independen.

Hal ini termaktub jelas bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Militer berpuncak pada Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia, sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Sejak Reformasi, terjadi pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial seluruh badan peradilan termasuk Peradilan Militer telah beralih sepenuhnya di bawah MA, sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Peralihan ini bertujuan untuk menjamin independensi dan kemandirian para hakim militer dalam memutus perkara, terlepas dari pengaruh komando militer (Mabes TNI).

Kedudukan ini mencerminkan komitmen negara untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi setiap prajurit, tanpa mengabaikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara yang menuntut adanya disiplin tinggi.

Susunan dan Tingkatan Pengadilan Militer

Lingkungan Peradilan Militer di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, terdiri dari empat badan peradilan dengan kewenangan dan hierarki yang jelas. Perbedaan utama dalam tingkatan ini terletak pada kompetensi absolut berdasarkan pangkat prajurit yang menjadi terdakwa dan jenis perkaranya.

Pengadilan Militer (Dilmil)

Fungsi Pengadilan Militer adalah badan peradilan tingkat pertama yang paling umum.

Aspek Keterangan
Tingkat Pemeriksaan Tingkat Pertama (untuk pidana)
Kompetensi Pidana Mengadili perkara pidana yang terdakwanya adalah Prajurit berpangkat Kapten ke bawah (termasuk Bintara dan Tamtama).
Kewenangan Lain Memutus penggabungan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana terkait.

 

Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti)

Dilmilti memiliki peran ganda, bertindak sebagai pengadilan tingkat pertama untuk perwira tinggi dan sekaligus sebagai pengadilan tingkat banding.

Aspek Keterangan
Tingkat Pemeriksaan I Tingkat Pertama (Pidana)
Kompetensi Pidana I Mengadili perkara pidana yang terdakwanya adalah Prajurit berpangkat Mayor ke atas (hingga Perwira Tinggi).
Tingkat Pemeriksaan II Tingkat Pertama (TUN Militer)
Kompetensi TUN Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (TUN Militer).
Tingkat Pemeriksaan III Tingkat Banding
Kompetensi Banding Memeriksa dan memutus perkara banding terhadap putusan tingkat pertama dari Pengadilan Militer (Dilmil) di daerah hukumnya.

 

Pengadilan Militer Utama (Dilmiltama)

Dilmiltama adalah badan peradilan tertinggi di lingkungan militer (di bawah Mahkamah Agung) dan berkedudukan sebagai pengadilan tingkat banding terakhir.

Aspek Keterangan
Tingkat Pemeriksaan I Tingkat Banding (Pidana dan TUN Militer)
Kompetensi Banding Memeriksa dan memutus perkara banding atas putusan tingkat pertama dari Pengadilan Militer Tinggi (Dilmilti).
Tingkat Pemeriksaan II Tingkat Pertama dan Terakhir
Kompetensi Khusus Memutus semua sengketa tentang wewenang mengadili (misalnya, antar Pengadilan Militer Tinggi atau antar Pengadilan Militer yang berada di daerah hukum Dilmilti yang berbeda).

 

Pengadilan Militer Pertempuran (Dilmilpur)

Pengadilan ini bersifat khusus dan temporer, di bentuk hanya jika terjadi operasi militer atau di daerah pertempuran.

Aspek Keterangan
Tingkat Pemeriksaan Tingkat Pertama dan Terakhir (Tidak ada upaya banding)
Kompetensi Khusus Mengadili perkara pidana yang di lakukan oleh subjek hukum militer di daerah pertempuran.
Tujuan Menjamin penegakan hukum dan disiplin yang cepat dan tegas dalam situasi perang atau darurat militer.

Struktur ini menunjukkan bahwa Peradilan Militer memfokuskan pembagian kewenangan pengadilan pada aspek pangkat dan wilayah fungsional, yang merupakan kekhasan dalam rangka menjaga struktur komando dan disiplin di lingkungan TNI.

Kompetensi dan Yurisdiksi Peradilan Militer

Untuk Kompetensi Peradilan Militer mengatur tentang siapa yang di adili (Kompetensi Absolut) dan perkara apa yang di tangani, termasuk penanganan kasus yang melibatkan sipil dan militer secara bersamaan.

Kompetensi Absolut: Siapa yang Di adili (Justisiabel)

Berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, lingkungan Peradilan Militer berwenang mengadili tindak pidana yang di lakukan oleh subjek-subjek berikut:

  1. Prajurit TNI: Ini mencakup semua anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), baik di Angkatan Darat, Angkatan Laut, maupun Angkatan Udara.
  2. Orang yang Di persamakan dengan Prajurit: Yaitu mereka yang berdasarkan undang-undang di persamakan statusnya dengan prajurit.
  3. Anggota Jawatan atau Badan yang Dipersamakan: Anggota dari suatu golongan atau badan yang berdasarkan undang-undang di anggap atau di persamakan sebagai prajurit.
  4. Orang Sipil (Khusus): Orang yang tidak termasuk golongan di atas, tetapi atas Keputusan Panglima TNI dengan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, harus di adili oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. Kewenangan ini biasanya diterapkan karena pertimbangan kepentingan pertahanan dan keamanan negara.

Jenis Perkara yang Ditangani

Peradilan Militer memiliki yurisdiksi untuk menangani dua jenis perkara utama, di tambah satu kewenangan spesifik:

Perkara Pidana Militer

Peradilan Militer berwenang mengadili segala tindak pidana yang di atur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) maupun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) biasa, selama pelakunya adalah justisiabel militer.

Perkara Tata Usaha Militer (TUN Militer)

Peradilan Militer Tinggi dan Utama juga memiliki kewenangan untuk:

  • Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata. Sengketa ini menyangkut keputusan atau penetapan tertulis yang di keluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang merugikan prajurit.

Perkara Koneksitas

Ini adalah isu yang paling sering di sorot publik. Perkara koneksitas terjadi ketika:

  • Tindak pidana di lakukan secara bersama-sama oleh Prajurit TNI dan warga sipil.
  • Dalam kasus ini, penentuan pengadilan yang berwenang (Peradilan Militer atau Peradilan Umum) di lakukan oleh Jaksa Agung setelah berkonsultasi dengan Panglima TNI.

Meskipun kasus ini dapat di adili di Peradilan Militer, terdapat tuntutan reformasi agar prajurit yang melakukan tindak pidana umum bersama sipil dapat di adili di Peradilan Umum, demi menjamin keadilan yang lebih transparan bagi korban sipil.

Kompetensi Relatif (Kewenangan Wilayah)

Kewenangan relatif (wilayah hukum) Peradilan Militer di atur berdasarkan dua kriteria utama:

  • Tempat Kejadian Perkara (Locus Delicti): Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat tindak pidana itu di lakukan.
  • Kesatuan Terdakwa: Pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi tempat kesatuan/komando terdakwa berada.

Kriteria wilayah ini bertujuan untuk memastikan proses hukum berjalan lancar tanpa mengganggu rantai komando militer, namun tetap memperhatikan lokasi kejadian.

Proses Hukum dan Aparatur

Sistem Peradilan Militer (SPM) melibatkan beberapa aparatur penegak hukum yang bekerja dalam alur proses pidana militer, mulai dari penyelidikan, penyerahan perkara, hingga penuntutan dan pengadilan. Aparatur ini terdiri dari Hakim Militer, Oditur Militer, Polisi Militer, serta institusi khusus yang di kenal sebagai Ankum dan Papera.

Lembaga Aparatur Penegak Hukum

Oditur Militer (Jaksa Militer)

Oditurat adalah badan yang melaksanakan kekuasaan penuntutan di lingkungan TNI, berfungsi setara dengan Kejaksaan di lingkungan peradilan umum.

  • Fungsi Utama: Melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan hakim, dan memberikan pertimbangan hukum kepada Perwira Penyerah Perkara (Papera).
  • Hierarki: Terdiri dari Oditur Militer (setingkat Kejaksaan Negeri), Oditur Militer Tinggi (setingkat Kejaksaan Tinggi), dan Oditur Jenderal (setingkat Jaksa Agung, di bawah Panglima TNI).

Hakim Militer

Hakim Militer adalah pejabat yang di beri wewenang untuk mengadili perkara pidana militer.

  • Syarat: Seorang prajurit TNI yang memenuhi syarat kualifikasi hukum dan persyaratan militer lainnya.
  • Independensi: Meskipun berstatus prajurit aktif, dalam menjalankan fungsi yudisial, Hakim Militer wajib bertindak independen dan tidak terikat pada perintah komando militer, sejalan dengan prinsip kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung.

Polisi Militer (POM)

Polisi Militer (POM) bertindak sebagai aparat penyelidik dan penyidik dalam tindak pidana militer, menjalankan fungsi yang mirip dengan kepolisian di peradilan umum.

Keunikan Sistem: Ankum dan Papera

Sistem Peradilan Militer memiliki dua institusi khas yang mewarnai proses pra-ajudikasi: Ankum dan Papera.

Perwira Penyerah Perkara (Papera)

  • Fungsi: Papera adalah perwira yang di beri wewenang oleh Panglima TNI untuk menentukan apakah suatu perkara pidana akan diserahkan kepada Pengadilan Militer atau di selesaikan melalui proses disiplin militer.
  • Kedudukan: Biasanya di jabat oleh seorang komandan atau atasan yang memiliki yurisdiksi atas prajurit yang di duga melakukan tindak pidana.

Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum)

  1. Fungsi: Ankum adalah atasan langsung yang memiliki kewenangan untuk menjatuhkan hukuman disiplin kepada bawahan yang melakukan pelanggaran disiplin militer ringan.
  2. Peran dalam Pidana: Dalam kasus tindak pidana ringan, Ankum dapat menyelesaikan perkara melalui proses disiplin. Jika perkaranya berat, berkas akan di serahkan kepada Penyidik (POM) dan Oditur untuk di lanjutkan ke proses peradilan pidana militer.
  3. Pemisahan: Kekuatan Ankum hanya berlaku untuk hukuman disiplin, bukan hukuman pidana. Pemisahan ini penting untuk menjaga batas antara penegakan disiplin komando dan penegakan hukum yudisial.

Alur Proses Perkara (Garis Besar)

Proses pidana militer secara umum mengikuti alur berikut:

  1. Penyidikan: Di lakukan oleh Polisi Militer dan/atau Penyidik Militer lainnya.
  2. Penyerahan Perkara: Penyidik menyerahkan berkas kepada Oditur Militer (sebagai penuntut) dan kepada Papera. Papera memutuskan apakah perkara akan di serahkan ke pengadilan atau penyelesaian lain.
  3. Penuntutan: Jika di serahkan, Oditur Militer membuat surat dakwaan dan membawa perkara ke persidangan.
  4. Ajudikasi (Peradilan): Perkara di periksa dan di putus oleh Hakim Militer di tingkat pengadilan yang sesuai (Dilmil, Dilmilti, atau Dilmiltama) berdasarkan pangkat terdakwa.
  5. Upaya Hukum: Putusan dapat di mohonkan Banding (ke Dilmilti/Dilmiltama) dan Kasasi (ke Mahkamah Agung).

Tantangan dan Prospek Reformasi

Meskipun Peradilan Militer telah menjalankan fungsinya selama puluhan tahun, sistem ini tidak luput dari kritik dan tuntutan untuk reformasi, terutama pasca-Reformasi 1998. Tantangan-tantangan ini menjadi kunci dalam menentukan arah masa depan penegakan hukum di lingkungan TNI.

Isu Krusial I: Keadilan dalam Perkara Koneksitas

Tantangan terbesar yang di hadapi Peradilan Militer adalah penanganan perkara koneksitas (tindak pidana yang di lakukan oleh prajurit dan sipil secara bersama-sama).

Masalah Utama:

Secara yuridis, perkara koneksitas dapat di sidangkan di Peradilan Militer. Namun, seringkali muncul kritik dari masyarakat dan pegiat HAM bahwa jika prajurit melakukan tindak pidana umum (misalnya korupsi, pembunuhan, atau kekerasan) bersama sipil, proses peradilan di militer di nilai kurang transparan dan berpotensi menimbulkan impunitas (kekebalan hukum) bagi prajurit.

Tuntutan Reformasi:

Terdapat desakan kuat, baik dari akademisi maupun publik, agar prajurit yang melakukan tindak pidana umum (Tindak Pidana Murni) secara tunggal ataupun bersama sipil harus di adili di Peradilan Umum. Hal ini bertujuan untuk menjamin keadilan yang setara dan keterbukaan bagi korban sipil.

Isu Krusial II: Independensi dan Dualisme Struktural

Meskipun secara administrasi dan finansial berada di bawah Mahkamah Agung (MA), Peradilan Militer masih menghadapi isu dualisme yang dapat memengaruhi independensi:

Status Personel:

Hakim dan Oditur Militer adalah prajurit aktif yang tunduk pada hierarki dan pembinaan karier dari Panglima TNI (Mabes TNI). Hal ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan ketika seorang hakim harus mengadili atasannya sendiri atau perwira tinggi.

Wewenang Ankum dan Papera:

Keberadaan Atasan yang Berhak Menghukum (Ankum) dan Perwira Penyerah Perkara (Papera) memberikan wewenang komando dalam proses pra-ajudikasi, yang sering di nilai mencampuri domain hukum murni.

Arah Purifikasi:

Reformasi menuntut adanya purifikasi (pemurnian) agar Hakim Militer sepenuhnya beralih ke MA, atau setidaknya memiliki jaminan yang sangat kuat bahwa karir mereka tidak di pengaruhi oleh putusan yang mereka jatuhkan di pengadilan.

Prospek dan Arah Pembaharuan Hukum

Tantangan-tantangan di atas mendorong upaya-upaya pembaharuan (amandemen) terhadap UU No. 31 Tahun 1997 dan UU terkait, dengan prospek sebagai berikut:

Pemisahan Yurisdiksi:

Revisi undang-undang di harapkan dapat memisahkan secara tegas antara Tindak Pidana Militer Khas (yang menyangkut disiplin dan tugas militer) yang tetap di adili di Militer, dengan Tindak Pidana Umum yang di lakukan Prajurit, yang harus di alihkan ke Peradilan Umum.

Penguatan Hak Terdakwa:

Peningkatan jaminan hak asasi manusia bagi terdakwa prajurit, termasuk pemastian akses yang lebih mudah dan efektif terhadap penasihat hukum di setiap tingkatan proses.

Struktur yang Efisien:

Pembahasan mengenai penyederhanaan sistem penyidikan dan penuntutan agar lebih efisien dan fokus pada penegakan hukum, mengurangi potensi tumpang tindih wewenang di antara berbagai instansi militer.

Secara keseluruhan, Peradilan Militer berada di persimpangan antara mempertahankan disiplin komando yang ketat dan memenuhi tuntutan reformasi hukum nasional untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih mandiri, transparan, dan akuntabel di hadapan publik.

Konsultan Peradilan Militer Jangkargroups

Kantor hukum (Law Firm) Jangkargroups yang memiliki pengetahuan mendalam, pengalaman, dan izin khusus (jika di perlukan) untuk beracara di lingkungan peradilan militer.

Layanan konsultasi ini sangat spesifik, karena melibatkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), UU Peradilan Militer, dan yurisdiksi yang berbeda.

Kriteria Utama Konsultan Peradilan Militer

Anda sebaiknya mencari konsultan yang memenuhi kriteria berikut:

  • Pengalaman Militer: Banyak konsultan atau advokat spesialis di bidang ini adalah purnawirawan perwira TNI, seperti Purnawirawan Oditur Militer atau mantan Perwira Hukum TNI, yang sangat memahami alur komando, disiplin, dan prosedur internal militer (Ankum dan Papera).
  • Izin Beracara (Litsensi): Advokat sipil yang ingin beracara di Pengadilan Militer memerlukan izin khusus atau memiliki mitra yang memiliki izin beracara di lingkungan Peradilan Militer dari Panglima TNI.

Spesialisasi Kasus: Mereka harus berpengalaman menangani kasus-kasus khas militer, seperti:

  1. Desersi dan Insubordinasi.
  2. Tindak Pidana Kesusilaan yang melibatkan prajurit.
  3. Kasus Koneksitas (melibatkan sipil dan militer).
  4. Sengketa Tata Usaha Militer (TUN Militer).

Contoh Entitas/Individu yang Terkait

Meskipun saya tidak dapat merekomendasikan satu nama secara langsung, dari hasil pencarian, bidang ini umumnya di isi oleh:

Purnawirawan TNI yang Menjadi Advokat:

Purnawirawan yang sebelumnya menjabat sebagai Oditur, Hakim Militer, atau Staf Hukum TNI sering membuka kantor hukum yang berfokus pada jasa hukum militer. Contoh dari penemuan yang sering muncul adalah adanya advokat bergelar Purnawirawan Mayor atau Kolonel. Aktif dalam kasus-kasus militer di Peradilan Umum maupun Militer.

Firma Hukum dengan Mitra Purnawirawan:

Beberapa kantor hukum umum merekrut purnawirawan sebagai mitra untuk menangani kasus militer. Seperti yang terlihat pada kasus Markoni and Partners (dengan Managing Partner Purnawirawan Mayjen TNI Dr. Markoni) atau nama lain yang memiliki spesialisasi jelas.

Individu Advokat yang Fokus:

Ada juga advokat sipil seperti yang di sebutkan dalam sumber (contohnya, Puguh Wirawan atau advokat lain yang di sebutkan telah mendapat izin beracara dari Panglima TNI) yang secara khusus memilih spesialisasi di bidang ini.

Langkah yang Perlu Anda Ambil

Untuk mendapatkan layanan konsultan terbaik, di sarankan untuk:

  • Cari Referensi: Mintalah referensi dari pihak yang pernah berurusan dengan Peradilan Militer.
  • Lakukan Wawancara Awal: Hubungi beberapa kantor hukum/konsultan yang mengaku spesialis di bidang ini dan tanyakan secara detail mengenai pengalaman tim mereka di Pengadilan Militer (termasuk kasus Pidana Militer Khas atau TUN Militer) dan lisensi beracara mereka.

PT. Jangkar Global Groups berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.

YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI

 

 

Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups

Akhmad Fauzi

Penulis adalah doktor ilmu hukum, magister ekonomi syariah, magister ilmu hukum dan ahli komputer. Ahli dibidang proses legalitas, visa, perkawinan campuran, digital marketing dan senang mengajarkan ilmu kepada masyarakat