Bentrokan antar keluarga syang disebabkan hibah seringkali didapati di Indonesia. Beberapa hibah tidak di setujui baik dari faksi atau pihak kakak atau adik yang tidak sepakat akan sisi yang diberi. Lantas bagaimana hukum hibah semestinya? Apa resmi jika hibah tidak di setujui oleh satu diantara bagian keluarga?
Hibah Yang Tidak Di setujui
Beberapa pertanyaan banyak muncul dari warga Indonesia yang mempersoalkan tentang hibah. Bila ada orang yang akan menghibahkan hartanya pada orang (bukan saudara atau pakar (ahli) waris), tetapi tidak di setujui oleh anak kandung atau pakar warisnya, apa resmi dan Sah?
Bila mengacu pada ketentuan, seperti diambil Hukumonline.com (Kamis, 25/10/2018) jika hibah harus penuhi apa yang tertera di dalam sebuah pasal, yaitu pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“BW”). Diterangkan jika hibah adalah pemberian oleh satu orang pada orang yang lain dengan gratis serta tidak bisa ditarik kembali, atas beberapa barang bergerak (dengan akta Notaris) atau barang tidak bergerak (dengan akta Petinggi Pembuat Akta Tanah – “PPAT”) saat pemberi hibah masih hidup.
Hibah adalah kehendak bebas si pemilik harta untuk menghibahkan pada siapapun yang dia kehendaki. Jadi, pemberi hibah melakukan tindakan dengan aktif menyerahkan pemilikan hartanya pada penerima hibah.
Walaupun begitu jelas ketentuannya, tetap seringkali berlangsung persoalan yang melawan ketentuan ini, atau mungkin dengan kata lain tidak sepakat bila harta orang terdekatnya dihibahkan pada orang yang tidak terikat keluarga. Ini benar-benar lumrah diketemukan akibatnya karena karakter alami dari manusia yang inginkan keadilan dalam semuanya. Tetapi di lain sisi, ini dapat juga dikarenakan oleh kurang selengkapnya info akan hukum hibah yang berlaku.
Walau ketentuan perundang-undangan sudah dibuat sedemikian rupa, ada banyak yang malas untuk pelajari lebih jauh tentang hibah. Bahkan juga, asumsi tidak penting juga kadang ada dalam pikiran sebagian orang waktu dengar kata “hibah”. Walau sebenarnya, tahu info dengan jelas dan mengerti akan ide hibah benar-benar dibutuhkan oleh tiap orang. Sama seperti dengan lakukan rencana keuangan.
Hibah di dalam Hukum Agama Islam
Di harta pemberi hibah, ada hak sisi mutlak (legitieme portie) anak yang menjadi pakar atau ahli warisnya serta hak ini dilindungi undang-undang. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang dibatasi maximum cuma sebesar 1/3 harta. Jadi, walau hibah itu bebas dikerjakan pada siapa saja, bila harta yang dihibahkan mengganggu hak anak atau pakar (ahli) waris, serta faksi (pihak) berkaitan merasakan tidak sepakat, karena itu hibah itu dapat disebutkan tidak resmi.
Oleh karena itu, supaya tidak berlangsung tuntutan-tuntutan di masa datang, dalam praktik tetap diisyaratkan ialah Surat Kesepakatan dari anak-anak kandung Pemberi Hibah. Dengan begitu, pemberian hibah harus memerhatikan kesepakatan dari beberapa pakar atau ahli waris serta jangan melanggar hak mutlak mereka. Hak mutlak ialah sisi warisan yang sudah di tentukan oleh undang-undang untuk semasing pakar (ahli) waris (bisa dilihat di dalam pasal 913 BW).
Bila berlangsung tidak setujunya dari pakar (ahli) waris, bisanya karena disebabkan pakar atau ahli waris takut bila ‘jatah’ warisannya menyusut sebab dihibahkan, atau mungkin saja ada permasalahan pribadi di antara pakar atau ahli waris serta penerima hibah. Apa pun faktanya tidak setujunya itu masih dapat dibetulkan.
Dalam soal kebebasan tetap dibatasi dengan hak faksi atau pihak lain, difasilitasi secara baik oleh undang-undang. Undang-undang masih menghargai hak pemilik harta untuk share, tanpa ada pihak yang membuat rugi beberapa pakar atau ahli waris.
Ketentuan Hibah untuk Non Muslim
Untuk non muslim, akan patuh pada ketentuan yang tertera di dalam pasal 881 ayat (2) BW, yang menjelaskan jika, “Dengan suatu pengangkatan waris atau hibah yang demikian, si yang mewariskan (serta menghibahkan-red) tidak akan bisa membuat rugi beberapa pakar atau ahli warisnya yang memiliki hak atas suatu sisi mutlak”.
Dalam BW ada penggolongan pakar atau ahli waris yang dengan basic kelompok itu, memastikan sebegitu besar hak mutlak mereka. Untuk muslim di haruskan patuh di dalam pasal 209 Gabungan Hukum Islam, penegasan SKB MA serta Menteri Agama No. 07/KMA/1985 serta Qs Al-Ahzab (33): 4-5 jika, “Pemberian hibah harus patuh pada ketetapan batas maximum sebesar 1/3 dari semua harta pemberi hibah.”
Jika bisa dibuktikan untuk pemberian hibah atau hadiah itu tidak melewati batas 1/3 harta peninggalan dari si pewaris (dalam skema kewarisan Islam) ataukah tidak melanggar legitieme portie dari pakar atau ahli waris (dalam skema kewarisan perdata Barat), karena itu hibah pada anak angkat masih bisa dikerjakan. Supaya lebih detilnya, tahu ketentuan-ketentuan hibah yang berlaku di bawah ini.
Ketentuan-ketentuan Hibah
Di Undang-Undang yang menerangkan mengenai hibah, ada banyak ketentuan-ketentuan yang mengendalikan hibah.
- Ketentuan-ketentuan ini penting untuk kita tahu sebab ada ketentuan resmi satu hibah dapat di kerjakan.
- Di luar daripada itu, di tata tentang ketetapan penarikan hibah jika ada kriteria yang di penuhi di hibah yang telah di buat, antara lain : Ketetapan yang ada di dalam pasal 1672,
- di hibah bisa di perjanjikan jika pemberi hibah memiliki hak ambil kembali hibahnya jika penerima hibah wafat terlebih dulu. Dengan ketetapan, kesepakatan hibah semacam ini cuma di bolehkan jika untuk kebutuhan penghibah sendiri, seperti yang tertera di dalam pasal 1672. Ketetapan yang tedrdapat di dalam pasal 1667,
- hibah cuma bisa di kerjakan pada benda yang telah ada.
- Pemberian hibah harus atas akta notaris (terdapat di dalam pasal 1682).
- Ketetapan yang tertera di dalam pasal 1678, pemberian hibah di antara suami serta istri tidak bisa di kerjakan (dilarang). Ketetapan yang tertera di dalam pasal 1688, di sebut jika hibah bisa di tarik kembali jika:
- Tidak di penuhinya kriteria dengan mana penghibahan sudah dikerjakan,
- Bila penerima hibah bersalah dengan lakukan atau menolong lakukan pembunuhan atas penghibah atau satu kejahatan lain pada si penghibah,
- Bila penerima hibah menampik memberi tunjangan nafkah pada pemberi hibah, sampai akhirnya penghibah jatuh miskin.
- Kuasa untuk terima hibah harus dengan akta otentik.
- Hibah yang terkait dengan tanah harus di katakan dalam akta otentik yang di bikin Petinggi Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Pajak Hibah serta Langkah Menghitungnya
Hibah ialah pemberian dari satu orang pada orang. Oleh karenanya, penerimaan hibah dapat di katakan sebagai pendapatan serta terhitung kelompok objek pajak. Sebetulnya tidak semua hibah masuk kelompok objek pajak. Ada penerimaan hibah yang tidak jadi objek pajak, ada pula pemberian hibah sebagai objek pajak, hingga penerimanya harus membayar pajak pendapatan (PPh)
Menurut pasal yang terdapat di dalam pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh 1984 [Amandemen 2008], beberapa macam penerimaan yang tidak di masukkan ke objek pajak ialah:
- Hibah dalam Bentuk Pertolongan atau Sumbangan
Hibah berbentuk pertolongan atau sumbangan, terhitung di dalamnya zakat yang di terima oleh tubuh amil zakat atau instansi amil zakat yang di buat atau di sahkan oleh pemerintah. Hal itu di terima oleh penerima zakat yang memiliki hak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya harus buat penganut agama yang di sadari di Indonesia.
Seterusnya, bentuk ini di terima oleh instansi keagamaan yang di buat atau di sahkan oleh pemerintah serta yang di terima oleh penerima sumbangan yang memiliki hak, yang ketetapannya di tata dengan atau berdasar Ketentuan Pemerintah.
- Hibah dalam Bentuk Harta
Hibah juga bisa di katakan berbentuk harta yang di dapat atau di terima oleh keluarga yang mempunyai kesamaan darah (sedarah) dalam garis keturunan lurus satu derajat, tubuh keagamaan, tubuh pendidikan, tubuh sosial terhitung yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang jalankan usaha mikro serta kecil. Ketetapannya di tata dengan atau berdasar Ketentuan Menteri Keuangan; selama tidak ada jalinan dengan usaha, pekerjaan, pemilikan, atau perebutan antara beberapa pihak yang berkaitan.
PMK No. 245/PMK.03/2008
Keterangan tentang rincian di atas mengenai type penerimaan yang di kecualikan dari objek pajak di uraikan selanjutnya ke Ketentuan Menteri Keuangan No. 245/PMK.03/2008, di mana bunyi dari PMK No. 245/PMK.03/2008 ialah: Harta hibah, pertolongan, atau sumbangan yang di terima oleh:
- Keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat;
- Tubuh keagamaan;
- Tubuh pendidikan;
- Tubuh sosial terhitung yayasan serta koperasi;
- Orang pribadi yang jalankan usaha mikro serta kecil, di kecualikan jadi objek Pajak Pendapatan.
Ke lima pribadi atau tubuh yang di sebutkan di PMK No. 245/PMK.03/2008 bila terima hibah karena itu tidak di pakai pajak pendapatan.
Bila ada hibah yang di luar batas itu karena itu tentu di golongkan jadi objek pajak. Tetapi, tidak semua hibah dari ke lima point di atas bukan objek pajak serta akan bebas dari pajak. Ada keterangan serta persyaratan tentang tiap pointnya, hingga ke lima pribadi atau tubuh itu bisa di golongkan bukan objek pajak atau terhitung ke objek pajak.
Langkah Mengalkulasi Pajak Hibah
Rumus untuk mengalkulasi pajak Hibah ialah:
Pajak Hibah = (NJOP – NPOPTKP) x 5%
Info:
NJOP = Nilai Jual Objek Pajak
NPOPTKP = Nilai Pencapaian Objek Pajak yang Tidak Terkena Pajak
Jadi contoh, Budi ialah kakak dari Bunga. Budi ingin memberi warisan berbentuk rumah pada adiknya, Bunga. NJOP pada rumah yang di beri sejumlah Rp200.000.000, sedang nilai NPOPTKP-nya ialah Rp60.000.000. Sebab jalinan kedua-duanya sedarah tetapi berbentuk horizontal, karena itu pemberian hibah akan di pakai pajak.