Mengapa Pengawasan Di perlukan?
Latar Belakang dan Urgensi Reformasi Hukum Acara Pidana
Reformasi hukum pidana di Indonesia telah mencapai babak baru dengan di sahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru 2023 yang mengusung paradigma keadilan korektif, restoratif, dan keadilan substantif. Perubahan fundamental ini menuntut adanya penyesuaian yang komprehensif pada pilar hukum formal, yaitu Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang saat ini masih di dasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Sayangnya, dalam praktik penegakan hukum selama ini, proses di tingkat pra-ajudikasi (penyidikan dan penuntutan) sering kali menjadi titik kritis di mana hak-hak konstitusional warga negara rentan dilanggar. Isu-isu seperti salah tangkap, penahanan sewenang-wenang, penggeledahan/penyitaan tanpa izin yang sah, dan dugaan kekerasan dalam pemeriksaan telah menjadi sorotan publik yang serius.
Kelemahan Praperadilan dan Kebutuhan “Revolusi Pengawasan”
Mekanisme pengawasan yudisial yang ada saat ini, yaitu lembaga Praperadilan, terbukti tidak cukup optimal dan memiliki keterbatasan mendasar:
- Sifat Pasif dan Represif: Praperadilan hanya dapat menguji keabsahan formal tindakan upaya paksa (Post Factum), setelah pelanggaran terjadi, dan harus menunggu permohonan dari pihak yang di rugikan.
- Wewenang Terbatas: Walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi telah memperluas objek praperadilan (termasuk penetapan tersangka), wewenang Praperadilan tetap terbatas dan tidak dapat menguji secara mendalam (substansial) jalannya penyidikan atau menanggapi keluhan di luar yang di atur undang-undang.
Kelemahan ini menunjukkan adanya defisit akuntabilitas pada aparat penegak hukum (APH) seperti Kepolisian dan Kejaksaan, yang menikmati dominasi kekuasaan besar di fase awal peradilan. Oleh karena itu, di perlukan sebuah revolusi pengawasan yang menempatkan lembaga yudisial secara aktif dan proaktif sejak dini.
Hakim Komisaris sebagai Jawaban dan Pernyataan Tesis
RKUHAP, dalam upaya menjamin asas Due Process of Law proses hukum yang adil dan sesuai dengan hak konstitusional warga negara, sebagaimana di amanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mencoba menjawab kebutuhan ini melalui konsep Hakim Komisaris (HK).
HK di usulkan untuk menjadi instrumen pengawasan yudisial horizontal yang kuat, menggantikan dan menyempurnakan fungsi Praperadilan. Dengan wewenang yang lebih luas dan sifat yang lebih aktif, HK akan berfungsi sebagai filter yudisial yang menyeimbangkan kekuasaan APH.
Pernyataan Tesis: Kehadiran Hakim Komisaris dalam RKUHAP bukan sekadar perubahan terminologi, melainkan merupakan revolusi pengawasan yudisial yang fundamental dan syarat mutlak untuk memastikan akuntabilitas aparat penegak hukum, sekaligus menjamin perlindungan hak asasi manusia secara efektif di seluruh tahapan proses peradilan pidana.
Mengenal Hakim Komisaris (HK) di RKUHAP
Definisi dan Konsep Dasar Hakim Komisaris
Lembaga Hakim Komisaris (HK) adalah inovasi paling signifikan dalam RKUHAP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sebagai upaya untuk memperkuat kontrol yudisial di tahap awal proses peradilan pidana.
Definisi RKUHAP:
Menurut Pasal 1 angka 7 RUU KUHAP, Hakim Komisaris di definisikan sebagai pejabat yang di beri wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang di tentukan dalam undang-undang ini.
Asal Konsep:
Konsep ini bukan hal baru, melainkan adopsi dari sistem hukum Eropa Kontinental, khususnya Rechter Commissaris di Belanda atau Juge d’Instruction (Hakim Pemeriksa) di Perancis. HK secara historis pernah ada dalam regulasi hukum Indonesia sebelum KUHAP 1981.
Peran Utama:
HK bertugas sebagai “Hakim Pengawas Pendahuluan” yang berperan aktif dalam memastikan bahwa setiap tindakan upaya paksa yang di lakukan oleh aparat penegak hukum (APH)—seperti Penyidik (Polisi) dan Penuntut Umum (Jaksa) telah di lakukan sesuai hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia tersangka/terdakwa.
HK sebagai Pengganti dan Penyempurna Praperadilan
Secara konseptual, HK hadir untuk menggantikan lembaga Praperadilan yang di nilai memiliki kelemahan struktural dan fungsional. Perbedaan mendasar terletak pada cakupan wewenang dan sifat pengawasan:
Perbandingan HK vs. Praperadilan
| Fitur Pengawasan | Praperadilan (KUHAP Lama) | Hakim Komisaris (RKUHAP) |
| Sifat Pengawasan | Pasif dan Represif | Aktif, Intensif, dan Preventif |
| Cakupan Pengujian | Terbatas (hanya menguji legalitas formal surat-surat upaya paksa). | Luas dan Substansial (menguji legalitas formal dan materiil/substansial upaya paksa). |
| Waktu Pengawasan | Post Factum (setelah upaya paksa di lakukan, atas permintaan pihak). | Ex-Ante dan Ex-Post (dapat memberi izin/persetujuan sebelum upaya paksa, dan menguji setelah di lakukan). |
| Tujuan Mendasar | Memberi kesempatan redress (pemulihan) bagi pihak yang di rugikan. | Menjadi Filter Yudisial yang menyeimbangkan kekuasaan APH sejak awal. |
Fungsi dan Kewenangan Utama HK (Gambaran Awal)
Dengan sifatnya yang aktif, HK di perlengkapi dengan wewenang yang jauh lebih luas di bandingkan Hakim Praperadilan, meliputi:
- Pengujian Upaya Paksa: Memutuskan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan.
- Pengawasan Proses: Menentukan pelampauan batas waktu penyidikan atau penuntutan, serta menentukan apakah suatu perkara layak atau tidak untuk di lanjutkan ke penuntutan (fungsi penyaringan).
- Perlindungan HAM: Mengambil keputusan atas keberatan-keberatan yang di ajukan oleh pihak terkait, termasuk penetapan ganti kerugian atau rehabilitasi.
Kehadiran HK di harapkan dapat mengisi kekosongan pengawasan horizontal yang selama ini menjadi kelemahan mendasar dalam sistem peradilan pidana, memastikan bahwa proses pencarian kebenaran materiil tidak melanggar hak asasi manusia.
Peran Revolusioner HK dalam Menjaga Akuntabilitas APH
Peran Hakim Komisaris dalam RKUHAP di gariskan sebagai revolusi pengawasan karena ia menggeser mekanisme kontrol dari yang semula pasif (Praperadilan) menjadi aktif, substantif, dan preventif sejak tahap pra-ajudikasi, sehingga secara langsung menjaga akuntabilitas APH.
Penjaminan Asas Due Process of Law
HK menjadi instrumen kunci untuk memastikan bahwa setiap proses hukum di jalankan secara adil (due process of law) dan sesuai dengan hak konstitusional warga negara (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945).
Verifikasi Substansial: HK tidak hanya memeriksa kelengkapan administratif (syarat formal) penangkapan atau penahanan, tetapi juga menguji syarat materiil/substansial—apakah terdapat “bukti yang cukup” dan “dugaan keras” yang mendasari tindakan upaya paksa tersebut.
Pencegahan Kesewenang-wenangan: Dengan adanya keharusan mendapatkan persetujuan atau penetapan dari HK untuk tindakan-tindakan upaya paksa tertentu (misalnya penahanan dan penyitaan), potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh penyidik atau penuntut umum dapat di minimalisasi secara preventif.
Pengawasan Upaya Paksa Secara Substantif dan Luas
Wewenang HK jauh melampaui Praperadilan, menciptakan lapisan pengawasan yang lebih komprehensif terhadap tindakan APH.
| Wewenang HK (RKUHAP) | Dampak pada Akuntabilitas APH |
| Menetapkan Sah/Tidaknya Upaya Paksa | Menguji penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan penyadapan. Memastikan bukti di peroleh secara sah (doktrin unlawful legal evidence). |
| Menilai Kelayakan Perkara | Berwenang menilai layak atau tidaknya suatu perkara untuk di lanjutkan ke penuntutan (fungsi case screening). Ini menjadi filter penting sebelum kasus di sidangkan. |
| Menguji Penghentian Perkara | Memutus sah/tidaknya penghentian penyidikan (SP3) atau penghentian penuntutan yang tidak di dasarkan pada asas oportunitas. |
| Pengawasan Jangka Waktu | Menentukan pelampauan batas waktu penyidikan dan penuntutan, memaksa APH bekerja efektif dan tepat waktu. |
Peran aktif ini memastikan bahwa APH bertanggung jawab tidak hanya pada atasan institusi (internal accountability), tetapi juga pada lembaga yudikatif (horizontal accountability).
Penyeimbang Kekuasaan (Check and Balances)
HK berfungsi sebagai penyeimbang terhadap kekuasaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Penyidik yang sangat dominan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Pencegahan Dominasi:
Sebelum ada HK, kekuasaan JPU (Jaksa) sebagai Dominus Litis (pengendali perkara) di tingkat pra-ajudikasi seringkali tidak memiliki kontrol yudisial yang efektif. HK hadir untuk membatasi dan menyeimbangkan kekuasaan tersebut.
Perlindungan Tersangka/Korban:
Dengan adanya pengawasan HK, di harapkan tidak terjadi lagi kasus salah tangkap atau pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di persidangan karena tersangka merasa di tekan atau di paksa. HK dapat secara proaktif memastikan hak pendampingan hukum dan hak untuk tidak memberatkan diri sendiri terpenuhi.
Penetapan Ganti Rugi/Rehabilitasi:
HK memiliki kewenangan lebih kuat untuk secara cepat menetapkan ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seseorang yang di tangkap atau di tahan secara tidak sah, menegaskan tanggung jawab (akuntabilitas) negara atas kesalahan proses hukum.
Peran revolusioner HK ini mengubah paradigma pengawasan: dari yang semula bersifat pasif-reaktif menjadi aktif-preventif, menjadikannya pilar utama dalam membangun sistem peradilan pidana yang humanis, transparan, dan dapat di pertanggungjawabkan di era RKUHAP.
Tantangan dan Prospek Penerapan HK
Implementasi Hakim Komisaris, sebagai revolusi pengawasan di RKUHAP, menghadapi rintangan signifikan namun menawarkan harapan besar untuk modernisasi sistem peradilan pidana Indonesia.
Tantangan dan Hambatan Potensial
Penerapan konsep HK yang bersifat aktif dan proaktif sangat ambisius dan berpotensi menimbulkan kendala serius, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia.
Kendala Kelembagaan dan Normatif
Resistensi Aparat Penegak Hukum (APH):
Konsep HK dapat di anggap oleh Penyidik (Polisi) dan Penuntut Umum (Jaksa) sebagai intervensi yudisial berlebihan yang mempersempit ruang gerak dan independensi mereka. Hal ini di khawatirkan dapat memperpanjang rantai birokrasi dan menghambat asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Perubahan Sistem yang Komprehensif:
HK memerlukan perubahan sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Ini tidak hanya mencakup RKUHAP, tetapi juga penyesuaian pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, dan Mahkamah Agung. Tanpa sinkronisasi yang cermat, potensi konflik kewenangan antar lembaga akan tinggi.
Beban Perkara dan Waktu:
Jika setiap tindakan upaya paksa memerlukan persetujuan HK, di khawatirkan beban kerja hakim pengadilan negeri akan melonjak drastis, yang dapat berujung pada lambatnya penanganan kasus, bertentangan dengan tujuan utama peradilan.
Kendala Sumber Daya Manusia (SDM) dan Geografis
Kekurangan SDM Hakim:
Untuk mengisi peran HK yang harus di tempatkan di seluruh pengadilan negeri, di perlukan penambahan jumlah hakim dengan kompetensi khusus dalam pemeriksaan pendahuluan dan perlindungan HAM.
Tantangan Geografis:
Indonesia adalah negara kepulauan. Kewajiban HK untuk bertindak secara aktif (bahkan mendatangi lokasi) dalam waktu yang ketat, terutama untuk menguji penahanan dan penyitaan di daerah terpencil, dapat menjadi kendala logistik dan operasional yang sangat besar.
Prospek dan Harapan Keberhasilan
Terlepas dari tantangan, konsep Hakim Komisaris membawa prospek cerah untuk mewujudkan sistem hukum yang lebih akuntabel dan humanis.
Prospek Penguatan Perlindungan HAM
Perlindungan Tersangka Sejak Dini:
HK akan memastikan hak asasi manusia tersangka dan terdakwa terlindungi sejak tahap awal, menghilangkan praktik buruk. Seperti salah tangkap, kekerasan dalam pemeriksaan, dan penahanan yang tidak memenuhi syarat materiil.
Jaminan Kualitas Bukti:
Kewenangan HK untuk menolak alat bukti atau keterangan yang di peroleh secara tidak sah (doktrin fruit of the poisonous tree). Akan memaksa APH bekerja secara profesional dan sesuai prosedur.
Harapan Peningkatan Akuntabilitas dan Transparansi
Filter Yudisial yang Kuat: HK
berfungsi sebagai penyaring efektif yang mencegah perkara dengan dasar atau bukti yang lemah di bawa ke penuntutan (fungsi case screening). Sehingga mengurangi risiko miscarriage of justice.
Meningkatkan Kepercayaan Publik:
Keberadaan lembaga pengawas yang independen dan aktif sejak tahap awal dapat memulihkan kepercayaan masyarakat. Terhadap integritas sistem peradilan pidana, yang selama ini tergerus akibat isu penyalahgunaan kekuasaan.
Penyempurnaan Praperadilan:
HK di pandang sebagai penyempurnaan total terhadap Praperadilan, menciptakan perangkat hukum yang lebih detail, terperinci, humanis, transparan, dan akuntabel.
Meskipun penerapan Hakim Komisaris menuntut investasi besar dalam infrastruktur, SDM, dan perubahan budaya hukum. Komitmen untuk mengimplementasikannya adalah langkah maju yang esensial. Keberhasilannya akan menandai transisi Indonesia dari sistem hukum yang berorientasi pada kekuasaan. Menjadi sistem yang berorientasi pada keadilan substantif dan perlindungan HAM.
PT. Jangkar Global Groups berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.
YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI
Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups












