Biawak Air Asia (Varanus salvator), sering disebut sebagai biawak air, adalah salah satu kadal terbesar di dunia setelah Komodo. Spesies semi-akuatik yang tangguh ini tersebar luas di sepanjang wilayah Asia Selatan dan Tenggara, mulai dari India hingga Indonesia. Dalam ekosistem alaminya, biawak air memegang peran vital sebagai predator puncak dan pemulung. Membantu menjaga keseimbangan populasi mangsa dan kebersihan lingkungan.
Meskipun memiliki peran ekologis yang penting, Biawak Air juga menjadi komoditas global yang sangat berharga. Kulitnya di kenal karena kualitas dan kelenturannya, menjadikannya bahan baku utama dalam industri fashion mewah internasional. Untuk produksi tas, sepatu, dan aksesori kulit reptil. Tingginya permintaan pasar ini, di tambah dengan tingginya volume penangkapan dari alam liar. Menimbulkan risiko eksploitasi berlebihan yang berpotensi mengancam keberlangsungan populasi.
Biawak air (Varanus salvator) adalah kadal besar yang tersebar luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Berdasarkan status konservasi global dalam Apendiks CITES, biawak air masuk dalam kategori Apendiks II, yang berarti perdagangannya diawasi secara ketat.
Klasifikasi Biawak Air
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Ordo: Squamata
Famili: Varanidae
Genus: Varanus
Spesies: V. salvator
Karakteristik dan perilaku Biawak Air
- Penampilan fisik: Biawak air memiliki kulit berwarna cokelat tua atau hitam, dengan bintik-bintik kuning di bagian bawahnya yang cenderung memudar seiring bertambahnya usia.
- Ukuran: Panjang rata-rata biawak air dapat mencapai 1,5 hingga 3 meter, menjadikannya biawak terberat kedua di dunia setelah komodo.
- Kemampuan berenang: Reptil ini adalah perenang dan pemanjat yang mahir. Mereka bisa menahan napas di bawah air hingga 30 menit.
- Habitat: Biawak air biasanya ditemukan di sekitar area berair, seperti sungai, rawa, dan hutan bakau. Mereka menggali tanah untuk membuat sarang.
- Pola makan: Hewan karnivora ini memakan daging dan terkadang juga bangkai. Mereka menggunakan lidah bercabangnya untuk mendeteksi mangsa dengan mencium udara.
- Racun: Biawak air memiliki racun yang tidak berbahaya bagi manusia. Gigitan mereka cenderung jinak, tetapi dapat menyebabkan infeksi bakteri jika tidak segera ditangani.
Status konservasi Biawak Air
- Status CITES: Biawak air terdaftar dalam Apendiks II CITES, yang bertujuan untuk mengawasi perdagangan global agar pemanfaatannya tidak menyebabkan kepunahan.
- Status IUCN: Dalam Daftar Merah IUCN, biawak air masuk dalam kategori “Least Concern” (LC) atau berisiko rendah. Meskipun demikian, populasi dan habitatnya tetap perlu diperhatikan, terutama akibat perburuan liar untuk perdagangan.
Peran CITES Biawak Air
Untuk mengatasi ancaman yang di timbulkan oleh perdagangan internasional. Varanus salvator telah di masukkan ke dalam Appendix II dari CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). CITES adalah perjanjian internasional yang bertujuan memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen satwa liar dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidup mereka di alam. Penempatan di Appendix II menunjukkan bahwa meskipun Biawak Air saat ini belum terancam punah. Ia akan terancam punah jika perdagangannya tidak di kendalikan secara ketat.
Artikel ini akan mengupas tuntas mengapa Biawak Air berada dalam daftar Appendix II CITES. Bagaimana mekanisme kontrol perdagangan melalui sistem kuota dan izin Non-detriment Finding (NDF) di terapkan. Serta tantangan yang di hadapi negara-negara sumber, seperti Indonesia. Dalam menyeimbangkan konservasi dengan pemanfaatan sumber daya alam yang legal dan berkelanjutan.
Biawak Air dalam Konteks CITES (Poin Utama)
Status CITES: Appendix II dan Maknanya
Biawak Air Asia (Varanus salvator) terdaftar dalam Appendix II CITES. Status ini sangat penting dan memiliki implikasi regulasi yang jelas:
Definisi Appendix II:
Spesies yang terdaftar di Appendix II adalah spesies yang tidak harus terancam punah saat ini, tetapi dapat menjadi terancam punah jika perdagangannya tidak di kontrol secara ketat. Tujuannya adalah untuk mencegah eksploitasi berlebihan sebelum populasi mencapai titik krisis.
Kontrol Perdagangan:
Perdagangan internasional spesimen dari Appendix II di izinkan, tetapi harus di sertai dengan izin ekspor yang sah yang di keluarkan oleh Otoritas Pengelola CITES dari negara pengekspor.
Syarat Utama (NDF):
Izin ini hanya dapat di berikan setelah Otoritas Ilmiah CITES negara pengekspor membuat temuan yang di kenal sebagai Non-Detriment Finding (NDF). NDF adalah hasil kajian ilmiah yang menyatakan bahwa pengambilan spesimen dari alam liar tidak akan membahayakan kelangsungan hidup spesies tersebut di habitat aslinya.
Alasan Krusial Masuk Appendix II
Penempatan Biawak Air di Appendix II tidak di dasarkan pada ancaman kepunahan segera, melainkan pada potensi risiko dan isu manajemen perdagangan:
Permintaan Pasar yang Tinggi dan Berkelanjutan:
Biawak Air adalah sumber kulit reptil yang paling banyak di perdagangkan di dunia. Permintaan global, terutama dari sektor fashion mewah, memastikan bahwa volume panen dari alam liar tetap sangat besar, meningkatkan potensi penangkapan yang tidak berkelanjutan.
Potensi Eksploitasi Berlebihan (Over-exploitation):
Meskipun Biawak Air tersebar luas, panen dalam jumlah besar yang tidak di atur dapat menyebabkan penurunan populasi lokal atau regional secara drastis, terutama pada populasi yang lambat pulih. CITES berfungsi sebagai mekanisme pencegahan.
Isu Kemiripan (Look-Alike):
Varanus salvator terkadang sulit di bedakan secara cepat dari spesies Varanus lain yang jauh lebih langka atau yang telah terdaftar di Appendix I (spesies yang dilarang total perdagangannya), seperti beberapa subspesies tertentu. Dengan mengontrol perdagangan Varanus salvator, CITES secara tidak langsung memberikan lapisan perlindungan tambahan kepada spesies biawak lain yang rentan.
Mekanisme Pengendalian: Kuota dan Ketertelusuran
Untuk memastikan perdagangan tetap berkelanjutan sesuai mandat Appendix II, negara-negara pengekspor (terutama Indonesia, Thailand, dan Vietnam) menerapkan sistem manajemen yang ketat:
Sistem Kuota Tahunan:
Setiap negara anggota CITES wajib menetapkan kuota ekspor tahunan untuk Biawak Air. Kuota ini di dasarkan pada studi ilmiah (NDF) tentang ukuran dan kesehatan populasi liar. Kuota ini membatasi jumlah maksimum kulit atau spesimen hidup yang di izinkan untuk di perdagangkan secara legal.
Verifikasi Sumber:
Dokumen CITES juga mengharuskan verifikasi sumber spesimen, apakah berasal dari alam liar (Wild), penangkaran (Captive-bred), atau pemeliharaan semi-liar (Ranching). Hal ini penting untuk membedakan antara produk hasil panen liar dengan produk peternakan, yang memiliki dampak berbeda terhadap populasi alam.
Melalui kontrol Appendix II, CITES berupaya menjaga keseimbangan antara manfaat ekonomi dari perdagangan yang legal dan berkelanjutan dengan tanggung jawab konservasi global.
Pemanfaatan dan Perdagangan Biawak Air
Biawak Air Asia (Varanus salvator) adalah komoditas perdagangan internasional yang dominan dalam pasar reptil, di atur ketat di bawah Appendix II CITES. Pemanfaatannya mencakup pasar domestik maupun global, namun fokus utama adalah pada industri kulit.
Skala Perdagangan Global: Dominasi Kulit
Perdagangan internasional Biawak Air di dominasi oleh satu produk utama: kulit.
- Komoditas Primer: Sekitar 98% dari kuota ekspor tahunan Biawak Air di alokasikan untuk lembaran kulit, sementara sisanya untuk perdagangan hewan hidup (peliharaan) dan produk lainnya.
- Tujuan Akhir: Kulit ini menjadi bahan baku untuk produk-produk fashion mewah, seperti tas, ikat pinggang, dan sepatu, yang beredar di pasar-pasar kelas atas di seluruh dunia.
- Negara Sumber Utama: Indonesia di akui sebagai salah satu eksportir kulit biawak terbesar secara global. Kuota ekspor Indonesia menunjukkan volume yang konsisten tinggi, misalnya, kuota ekspor pada tahun 2024 di laporkan mencapai lebih dari 468.000 ekor khusus untuk kulit.
- Negara Tujuan Utama: Data CITES menunjukkan bahwa kulit Biawak Air dari Asia terutama di impor oleh pusat-pusat perdagangan reptil dan fashion seperti Singapura, Jepang, Meksiko, Italia, Tiongkok (Hongkong), dan Amerika Serikat.
Pengelolaan Berkelanjutan dan Sistem Kuota CITES
Untuk memastikan bahwa volume perdagangan yang masif ini tidak mengancam populasi liar, CITES mewajibkan adanya pengelolaan yang berbasis sains:
Penerapan Kuota NDF:
Pemerintah, melalui Otoritas Pengelola CITES, menetapkan kuota ekspor tahunan setelah melakukan Non-Detriment Finding (NDF). Kuota ini menentukan jumlah maksimum Biawak Air yang dapat di ambil dari alam tanpa merusak kelangsungan hidup populasi spesies tersebut di alam liar.
Manajemen Sumber:
Pengelolaan juga mencakup penentuan asal usul spesimen. Meskipun sebagian besar masih bersumber dari penangkapan liar yang legal dan berkelanjutan (dalam batas kuota), upaya pengembangan penangkaran (captive-breeding) dan pemeliharaan semi-liar (ranching) terus di galakkan. Sumber-sumber alternatif ini di harapkan dapat mengurangi tekanan langsung pada populasi liar dalam jangka panjang.
Seleksi Ukuran:
Dalam praktik penangkapan yang profesional, biasanya terdapat seleksi ukuran, di mana individu yang sangat kecil (anakan) dan terkadang individu betina yang produktif di hindari, untuk menjaga potensi reproduksi alami.
Pemanfaatan Domestik Lainnya
Selain perdagangan kulit internasional, Biawak Air juga memiliki nilai pemanfaatan domestik:
- Kuliner dan Obat Tradisional: Di beberapa daerah, daging Biawak Air di manfaatkan sebagai sumber protein atau di percaya memiliki khasiat obat tradisional, seperti untuk mengobati alergi atau penyakit kulit.
- Hewan Peliharaan: Spesimen muda (juvenil) di perdagangkan sebagai hewan peliharaan eksotis.
Isu dan Tantangan
Meskipun Biawak Air di atur di bawah Appendix II CITES, implementasi manajemen berkelanjutan menghadapi beberapa tantangan signifikan, terutama yang berkaitan dengan penegakan hukum dan tekanan lingkungan.
Perdagangan Ilegal (Poaching & Smuggling)
Perdagangan ilegal merupakan ancaman terbesar yang merongrong sistem CITES yang legal dan terkelola:
- Pemalsuan Dokumen: Pelaku kejahatan sering memalsukan izin CITES (Sertifikat Ekspor/Impor) atau menggunakan dokumen yang sah untuk menyamarkan spesimen yang di peroleh secara ilegal.
- Penyelundupan: Spesimen hidup dan kulit Biawak Air di selundupkan melintasi perbatasan tanpa dokumen, sering kali di campur dengan komoditas lain. Volume yang tidak tercatat ini merusak data kuota yang di gunakan untuk NDF, memberikan gambaran palsu tentang kelangsungan hidup populasi liar.
- Dampak Ekonomi: Perdagangan ilegal tidak hanya merugikan upaya konservasi tetapi juga merusak pasar legal, yang telah berinvestasi dalam sistem manajemen dan ketertelusuran CITES.
Konservasi dan Ancaman Ekologis
Terlepas dari tekanan perdagangan, Biawak Air juga menghadapi ancaman dari perubahan lingkungan dan konflik dengan manusia:
- Hilangnya Habitat (Habitat Loss): Konversi lahan basah, hutan bakau, dan daerah tepi sungai habitat utama Biawak Air menjadi pemukiman, pertanian, atau industri terus mengurangi daya dukung lingkungan.
- Polusi: Karena sifatnya yang semi-akuatik, Biawak Air rentan terhadap polusi air dan tanah, yang dapat mencemari rantai makanan dan memengaruhi kesehatan serta reproduksi mereka.
- Konflik Manusia-Satwa: Di daerah yang padat penduduk, Biawak Air sering di anggap sebagai hama (karena memangsa unggas peliharaan) atau bahkan sebagai ancaman. Hal ini menyebabkan insiden pembunuhan sebagai upaya pencegahan atau pembalasan, yang berkontribusi pada penurunan populasi lokal.
Tantangan Teknis dalam Manajemen CITES
Pelaksanaan NDF dan kontrol kuota juga memiliki kompleksitas tersendiri:
- Keterbatasan Data Ilmiah: Penentuan kuota NDF yang akurat memerlukan studi populasi yang ekstensif dan mahal. Seringkali, negara-negara sumber kesulitan mengumpulkan data lapangan yang memadai dan terkini, yang berpotensi menyebabkan kuota yang terlalu tinggi atau terlalu rendah.
- Identifikasi Spesies dan Subspesies: Bagi pihak bea cukai dan penegak hukum, membedakan Varanus salvator dari spesies Varanus lain yang statusnya lebih rentan (misalnya, beberapa subspesies langka) di lapangan bisa menjadi tantangan, memungkinkan perdagangan ilegal spesies yang di lindungi menyusup ke jalur legal.
Kuota tangkap alam biawak air
Pengaturan kuota tangkap alam Biawak Air (Varanus salvator) adalah inti dari implementasi CITES Appendix II, yang memungkinkan pemanfaatan komersial sekaligus mencegah kepunahan.
Dasar Hukum Kuota: Non-Detriment Finding (NDF)
Kuota bukan di tetapkan secara arbitrer, melainkan berdasarkan prinsip ilmiah yang di amanatkan oleh CITES:
- Tujuan Kuota: Untuk membatasi jumlah maksimum individu yang boleh di ambil dari habitat alami dalam periode waktu tertentu (biasanya tahunan) untuk tujuan perdagangan internasional.
- Landasan Ilmiah (NDF): Kuota ini adalah hasil dari kajian Non-Detriment Finding (NDF) yang di lakukan oleh Otoritas Ilmiah CITES di negara pengekspor (misalnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Indonesia). NDF harus secara tegas menyimpulkan bahwa:
- Tingkat penangkapan yang di usulkan tidak akan berbahaya bagi kelangsungan hidup populasi liar spesies tersebut.
- Pengambilan tersebut tidak mengganggu peran ekologis Biawak Air di ekosistem aslinya.
- Fleksibilitas Kuota: Kuota dapat di sesuaikan setiap tahun. Jika penelitian menunjukkan penurunan populasi liar, kuota akan di turunkan. Sebaliknya, kuota dapat di pertahankan atau di naikkan jika populasi di anggap stabil dan sehat.
Kuota di Indonesia (Studi Kasus Utama)
Indonesia adalah eksportir kulit Biawak Air terbesar di dunia, menjadikannya contoh utama dalam manajemen kuota:
- Volume Tahunan Tinggi: Kuota ekspor Biawak Air di Indonesia secara historis berada dalam kisaran 400.000 hingga 500.000 ekor per tahun. Angka ini mencerminkan tingginya potensi populasi Biawak Air di nusantara, yang tersebar luas dan memiliki kemampuan reproduksi yang relatif baik.
- Alokasi Pemanfaatan: Kuota Indonesia biasanya dialokasikan dalam bentuk:
- Lembaran Kulit: Mayoritas kuota, yang di tujukan untuk industri fashion.
- Spesimen Hidup: Jumlah kecil untuk perdagangan hewan peliharaan.
- Pengawasan dan Distribusi: Kuota nasional di bagi dan di alokasikan ke berbagai provinsi atau unit usaha penangkapan. Penangkapan harus di lakukan oleh pihak yang memiliki izin dan di bawah pengawasan ketat, termasuk pembatasan ukuran tangkapan (untuk melindungi individu juvenil dan dewasa yang produktif).
Pentingnya Ketertelusuran (Traceability)
Sistem kuota hanya berhasil jika di ikuti oleh ketertelusuran yang ketat:
- Pencatatan: Setiap Biawak Air yang di tangkap secara legal harus di catat dan di verifikasi oleh otoritas setempat.
- Dokumentasi CITES: Sebelum ekspor, kuota yang di gunakan di catat pada dokumen CITES (izin ekspor) untuk memastikan bahwa volume perdagangan yang meninggalkan negara tersebut tidak melebihi batas yang telah di tetapkan (kuota).
- Tantangan Ilegal: Kuota hanya berlaku untuk perdagangan legal. Seluruh spesimen yang di selundupkan (perdagangan ilegal) berada di luar mekanisme kuota, yang menjadi alasan utama mengapa penegakan hukum sangat penting untuk menjaga integritas NDF.
Dengan sistem kuota ini, CITES berupaya menciptakan jalan tengah: memanfaatkan sumber daya alam untuk keuntungan ekonomi, sambil menjamin bahwa pemanfaatan tersebut tidak mengorbankan masa depan spesies di alam liar.
Penangkaran Biawak Air (Alternatif Pemanfaatan)
Penangkaran (meliputi captive breeding dan ranching) Biawak Air merupakan strategi kunci dalam manajemen CITES Appendix II. Tujuannya adalah mengurangi tekanan panen langsung pada populasi liar, sekaligus memastikan pasokan komersial yang stabil dan legal.
Tipe-Tipe Penangkaran dalam CITES
Dalam konteks perdagangan, CITES membedakan sumber spesimen yang memengaruhi kuota dan perizinan:
- Penangkapan Liar (W – Wild): Individu yang di tangkap langsung dari habitat alam. Perdagangannya di atur oleh Kuota NDF.
- Penangkaran Penuh (C – Captive-bred): Individu yang lahir dan di besarkan di lingkungan penangkaran dari induk yang juga di kembangbiakkan di penangkaran. Spesimen berlabel ‘C’ dari fasilitas terdaftar CITES umumnya tidak terikat kuota, karena di anggap tidak mengambil dari stok liar.
- Ranching/Budidaya Semi-liar (R – Ranching): Praktik ini melibatkan pengambilan telur atau individu anakan dari alam liar, yang kemudian di besarkan di penangkaran hingga siap di panen (ukuran komersial).
- Keuntungan Ranching: Metode ini lebih mudah di terapkan pada Biawak Air karena reptil memiliki tingkat kematian anakan yang tinggi di alam. Dengan mengambil telur, ranching memanfaatkan surplus alami tanpa secara signifikan mengurangi populasi dewasa. Meskipun menggunakan materi genetik dari alam, perdagangan label ‘R’ biasanya di atur oleh kuota.
Manfaat dan Peran Penangkaran dalam CITES
Penangkaran memberikan beberapa keuntungan strategis dalam kerangka regulasi CITES:
- Mengurangi Tekanan Liar: Semakin banyak pasokan Biawak Air yang berasal dari penangkaran berlabel ‘C’, semakin sedikit kebutuhan untuk menembus batas Kuota NDF (penangkapan liar).
- Ketertelusuran yang Jelas: Spesimen dari penangkaran terdaftar CITES memiliki dokumentasi asal-usul yang lebih jelas, yang sangat membantu penegak hukum membedakan produk legal dari produk ilegal (yang mungkin mengklaim berasal dari penangkaran padahal tidak).
- Jaminan Kualitas dan Pasokan: Penangkaran dapat memastikan kualitas kulit yang lebih seragam dan menjamin pasokan stabil kepada pembeli internasional, tidak bergantung pada faktor alam seperti musim atau cuaca.
Tantangan Penangkaran
Meskipun ideal, penangkaran Biawak Air menghadapi tantangan:
- Biaya dan Skala: Penangkaran penuh (Captive-bred) memerlukan investasi besar, baik dalam fasilitas maupun dalam manajemen nutrisi dan kesehatan reptil, sehingga biaya produksinya bisa lebih tinggi.
- Waktu Pertumbuhan: Biawak membutuhkan waktu untuk mencapai ukuran yang layak secara komersial, yang menunda pengembalian investasi bagi peternak.
- Potensi Pemalsuan: Ada risiko fasilitas penangkaran di gunakan sebagai kedok (laundering) untuk mensahkan spesimen yang sebenarnya di tangkap secara ilegal dari alam. Verifikasi dan audit yang ketat oleh Otoritas CITES sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan label.
Oleh karena itu, keberhasilan jangka panjang perdagangan Biawak Air yang legal di bawah CITES sangat bergantung pada perkembangan dan integritas sistem penangkaran di negara-negara produsen, memastikan bahwa perdagangan komersial di dukung oleh sumber daya buatan, bukan hanya eksploitasi alam.
Perizinan Biawak Air di Bawah CITES
Perizinan Biawak Air bertujuan untuk memastikan bahwa pemanfaatan komersial (terutama kulit) di lakukan secara legal dan berkelanjutan, sesuai dengan prinsip Non-Detriment Finding (NDF) yang di wajibkan CITES.
Otoritas Utama dan Regulasi
| Pihak Berwenang | Peran Utama dalam Perizinan |
| KLHK (Kementerian LHK) | Otoritas Pengelola CITES, penentu Kuota NDF tahunan, dan penerbit izin ekspor CITES. |
| Ditjen KSDAE | Unit pelaksana di KLHK yang mengurus perizinan satwa liar termasuk Biawak Air. |
| BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) | Otoritas Ilmiah CITES, bertugas melakukan kajian ilmiah untuk menetapkan batas Kuota NDF. |
Mekanisme Perizinan untuk Ekspor
Proses perizinan ekspor Biawak Air melibatkan beberapa tahapan wajib bagi perusahaan pemanfaat (eksportir):
Penetapan Kuota Pemanfaatan
NDF: Setiap tahun, BRIN melakukan kajian populasi untuk menentukan batas maksimum penangkapan yang tidak merugikan populasi liar (Non-Detriment Finding).
Penetapan Kuota: Berdasarkan NDF, KLHK (Ditjen KSDAE) menetapkan Kuota Tangkap Alam tahunan nasional untuk Biawak Air. Kuota ini adalah jumlah maksimal spesimen yang boleh di ambil dari alam dan di perdagangkan secara legal.
Izin Usaha dan Alokasi Kuota
- Izin Usaha: Perusahaan harus memiliki izin usaha yang sah dari KLHK untuk pemanfaatan satwa liar.
- Permohonan Alokasi: Perusahaan mengajukan permohonan alokasi Kuota kepada KLHK. Setelah di setujui, perusahaan hanya boleh mengambil spesimen sesuai jumlah yang di alokasikan.
Penangkapan dan Pemasukan (SATS-DN)
- Penangkapan: Spesimen di tangkap di alam (atau di panen dari penangkaran Ranching). Penangkapan harus mematuhi aturan ukuran minimum yang di tetapkan (misalnya, melarang penangkapan individu juvenil).
- SATS-DN: Untuk memindahkan spesimen Biawak Air dari lokasi penangkapan (di provinsi) ke fasilitas pemrosesan/pengepakan (di ibukota provinsi/negara), perusahaan harus memiliki Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) yang di keluarkan oleh Balai KSDA (BKSDA) setempat.
Verifikasi Lapangan dan Penerbitan Dokumen CITES
- Verifikasi BKSDA: Petugas BKSDA akan melakukan inspeksi pada spesimen yang akan di ekspor (di lokasi penampungan). Mereka akan memeriksa kesesuaian jumlah, jenis kelamin, ukuran, dan memastikan spesimen yang akan di ekspor. Sesuai dengan alokasi kuota dan dokumen SATS-DN.
- Sertifikat Karantina: Spesimen harus di periksa oleh Badan Karantina untuk memastikan tidak membawa penyakit dan di terbitkan Sertifikat Kesehatan Hewan (Health Certificate).
- Izin Ekspor CITES: Berdasarkan verifikasi dan kelengkapan dokumen, Ditjen KSDAE KLHK menerbitkan Izin Ekspor CITES (Export Permit). Dokumen inilah yang menjadi paspor legal bagi Biawak Air untuk masuk ke pasar internasional.
Pentingnya Label Asal Usul
Dalam perizinan, label asal usul harus di cantumkan pada dokumen CITES, yang menunjukkan sumber spesimen:
| Kode CITES | Arti | Pengaturan Perizinan |
| W (Wild) | Di ambil langsung dari populasi alam. | Terikat pada Kuota NDF tahunan. |
| R (Ranching) | Di ambil telur/anakan dari alam, di besarkan di penangkaran. | Terikat pada kuota yang di tetapkan KLHK. |
| C (Captive-bred) | Hasil penangkaran penuh (lahir dan di besarkan di penangkaran). | Dapat di kecualikan dari kuota NDF jika fasilitas penangkaran terdaftar. |
Perizinan yang valid dan transparan memastikan bahwa Indonesia dapat mempertahankan statusnya sebagai eksportir utama Biawak Air. Sekaligus menjaga kepatuhan terhadap perjanjian konservasi global.
Jasa urus Cites Biawak Air di Jangkargroups
Kebutuhan untuk memperoleh dokumen dan izin legal yang di perlukan agar Biawak Air (Varanus salvator) dapat di perdagangkan secara internasional. Sesuai dengan regulasi CITES Appendix II di Indonesia.
Pihak yang Berwenang Mengeluarkan Izin CITES
Di Indonesia, proses perizinan CITES untuk satwa liar, termasuk Biawak Air, berada di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
| Pihak Berwenang | Fungsi Utama | Keterangan |
| Otoritas Pengelola CITES (KLHK) | Penerbitan Izin Ekspor CITES (Permit) | Di pegang oleh Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE). Ini adalah institusi yang menentukan Kuota NDF dan mengeluarkan sertifikat CITES. |
| Otoritas Ilmiah CITES (LIPI/BRIN) | Kajian NDF | Menyediakan data ilmiah untuk menentukan kuota tangkap alam yang berkelanjutan (Non-Detriment Finding). |
| Balai KSDA (BKSDA/BBKSDA) | Pengawasan dan Verifikasi Lapangan | Unit pelaksana teknis di daerah yang bertanggung jawab atas pemeriksaan kesesuaian dokumen, jumlah spesimen, dan kondisi satwa di lapangan (lokasi penangkaran atau tempat pengumpulan). |
| Badan Karantina | Pemeriksaan Kesehatan | Bertanggung jawab atas pemeriksaan kesehatan dan penerbitan sertifikat kesehatan hewan sebelum ekspor. |
Prosedur Legal untuk Perizinan CITES (yang dibantu Jasa Urus)
Perusahaan yang ingin melakukan ekspor Biawak Air harus melewati prosedur resmi berikut, di mana “jasa urus” biasanya membantu dalam penyusunan dokumen dan koordinasi:
- Izin Usaha Pemanfaatan: Perusahaan harus memiliki Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) atau izin penangkaran yang di keluarkan oleh KLHK.
- Alokasi Kuota: Perusahaan harus mendapatkan alokasi dari Kuota Tangkap Alam tahunan yang di tetapkan KLHK.
- Permohonan SATS-DN: Mengajukan permohonan Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Negeri (SATS-DN) untuk memindahkan spesimen ke lokasi pengepakan/pemeriksaan.
- Permohonan Izin CITES: Mengajukan permohonan Izin Ekspor CITES (Sertifikat CITES) ke Ditjen KSDAE-KLHK.
- Pemeriksaan Lapangan (BKSDA): Petugas BKSDA akan melakukan verifikasi di lokasi untuk memastikan jumlah, label, dan asal usul spesimen sesuai dengan kuota yang di alokasikan (verifikasi Ranching atau Wild).
- Ekspor: Setelah semua dokumen (Izin CITES, Sertifikat Karantina) lengkap dan spesimen siap, ekspor dapat di lakukan.
Peran Jasa Urus/Konsultan Pihak Ketiga
Jasa urus (konsultan perizinan) yang legal seperti Jangkargroups biasanya menawarkan layanan yang membantu perusahaan melewati kompleksitas birokrasi ini:
- Penyusunan Dokumen: Membantu perusahaan menyiapkan semua persyaratan administrasi yang di perlukan oleh KLHK (termasuk surat permohonan, profil perusahaan, hingga laporan pemanfaatan).
- Koordinasi: Bertindak sebagai perantara antara perusahaan (pengepul/eksportir) dengan instansi pemerintah terkait (KLHK, BKSDA, Karantina).
- Pemantauan Regulasi: Memberikan update mengenai perubahan peraturan CITES atau perubahan kuota tahunan.
Penting untuk di ingat: Penggunaan jasa pihak ketiga adalah untuk mempercepat dan mempermudah proses administrasi. Namun, izin CITES yang sah dan legalitas perdagangan mutlak di keluarkan oleh Ditjen KSDAE-KLHK. Perusahaan eksportir tetap bertanggung jawab penuh atas keabsahan dokumen dan spesimen yang di perdagangkan.
PT. Jangkar Global Groups berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.
YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI
Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups














