Angkut Lanjut dan Angkut Terus Barang Impor: Materi PPJK

Akhmad Fauzi

Angkut Lanjut dan Angkut Terus Barang Impor: Materi PPJK
Direktur Utama Jangkar Goups

DAFTAR ISI

Angkut Lanjut adalah

Angkut Lanjut adalah kegiatan pengangkutan barang dengan sarana pengangkut melalui Kantor Pabean dengan dilakukan pembongkaran terlebih dahulu.

Ini berarti barang tersebut tidak langsung melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir, tetapi dibongkar dan mungkin disimpan sementara di Kantor Pabean sebelum diangkut kembali ke tujuan selanjutnya.

Istilah ini umumnya digunakan dalam konteks kepabeanan dan perdagangan internasional, di mana barang impor atau ekspor mungkin perlu dibongkar di pelabuhan atau bandara untuk pemeriksaan, penyimpanan, atau pengalihan ke sarana pengangkut lain.

Ketika barang yang diangkut lanjut dibongkar di Tanjung Priok dan dimuat ke kapal lain untuk melanjutkan perjalanan ke Tanjung Perak, maka saat tiba di Tanjung Perak, diperlukan inward manifest baru (BC 1.1).

 

Penjelasan Angkut Lanjut:

Meskipun barang tersebut awalnya masuk Indonesia di Tanjung Priok, kegiatan bongkar muat dan penggantian kapal di Tanjung Priok menyebabkan statusnya berubah. Barang tersebut dianggap “keluar” dari Tanjung Priok dan akan “masuk” kembali ke Indonesia di Tanjung Perak.

Inward Manifest (BC 1.1):

Inward Manifest (BC 1.1):

Dokumen ini wajib disampaikan kepada Bea Cukai setiap kali ada sarana pengangkut (dalam hal ini kapal) yang memasuki wilayah pabean Indonesia. Karena kapal yang membawa barang tersebut dari Tanjung Priok ke Tanjung Perak berbeda dengan kapal awal, maka inward manifest baru diperlukan.

 

Data dalam Inward Manifest di Tanjung Perak:

Inward manifest yang disampaikan di Tanjung Perak harus memuat informasi tentang:

  • Kapal yang baru: Data kapal yang mengangkut barang dari Tanjung Priok ke Tanjung Perak.
  • Barang yang diangkut: Data detail barang yang diangkut lanjut, termasuk informasi tentang asal barang (yang dalam hal ini adalah Tanjung Priok).
  • Pelabuhan tujuan: Tanjung Perak sebagai pelabuhan tujuan akhir.

 

Tujuan Inward Manifest:

  • Pemberitahuan: Memberitahukan kepada Bea Cukai Tanjung Perak tentang kedatangan barang dan kapal.
  • Pengawasan: Memudahkan Bea Cukai dalam melakukan pengawasan terhadap barang yang masuk ke Tanjung Perak.
  • Proses Kepabeanan: Inward manifest menjadi dasar untuk proses kepabeanan selanjutnya di Tanjung Perak, seperti pemeriksaan barang dan pengenaan bea masuk (jika berlaku).

 

Kesimpulan:

Meskipun barang tersebut awalnya diangkut lanjut dari pelabuhan lain di Indonesia, perubahan kapal di Tanjung Priok mengharuskan adanya inward manifest baru saat tiba di Tanjung Perak.

Angkut lanjut memang melibatkan pembongkaran barang di pelabuhan transit, tetapi tidak semua pembongkaran disebut angkut lanjut.

Syarat Angkut Lanjut:

Syarat Angkut Lanjut:

  1. Barang dibongkar di pelabuhan transit.
  2. Barang diangkut kembali dengan sarana pengangkut yang sama ATAU berbeda ke pelabuhan tujuan akhir.
  3. Tujuan: Memindahkan barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain di Indonesia, dengan kemungkinan adanya penggantian kapal atau penataan ulang muatan di pelabuhan transit.

 

Pembongkaran yang Bukan Angkut Lanjut:

Ada beberapa kegiatan pembongkaran yang bukan termasuk angkut lanjut, antara lain:

  1. Pembongkaran untuk pemeriksaan Bea Cukai: Barang dibongkar di pelabuhan untuk diperiksa oleh Bea Cukai, kemudian dimuat kembali ke kapal yang sama dan melanjutkan perjalanan ke pelabuhan tujuan akhir.
  2. Pembongkaran sebagian muatan: Kapal membongkar sebagian muatannya di pelabuhan transit, kemudian melanjutkan perjalanan ke pelabuhan lain dengan sisa muatan.
  3. Pembongkaran karena kerusakan: Barang dibongkar karena rusak atau memerlukan perbaikan, kemudian dimuat kembali ke kapal yang sama atau kapal lain.

 

Kesimpulan:

Angkut lanjut fokus pada status pengangkutan barang yang melewati Kantor Pabean dengan melibatkan pembongkaran dan pengangkutan kembali.

Pembongkaran di pelabuhan transit tidak selalu berarti angkut lanjut. Ada berbagai alasan lain untuk membongkar barang di pelabuhan, dan tidak semua alasan tersebut memenuhi definisi angkut lanjut.

 

Perbedaan Angkut Lanjut dan Angkut Terus:

Angkut Lanjut: Barang dibongkar di Kantor Pabean.
Angkut Terus: Barang tidak dibongkar dan langsung melanjutkan perjalanan melalui Kantor Pabean.

 

Contoh Angkut Lanjut:

Barang impor dalam kontainer dibongkar di pelabuhan untuk diperiksa oleh Bea Cukai, kemudian dimuat kembali ke truk untuk diangkut ke gudang penerima.
Barang ekspor dari beberapa produsen dikumpulkan di terminal peti kemas, kemudian dimuat ke kapal untuk dikirim ke negara tujuan.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 216/PMK.04/2019 tentang Angkut Terus atau Angkut Lanjut Barang Impor atau Barang Ekspor.

 

Angkut Terus Adalah

Angkut Terus Adalah

Angkut Terus adalah kegiatan pengangkutan barang dengan sarana pengangkut melalui Kantor Pabean tanpa dilakukan pembongkaran.

Artinya, barang tersebut tetap berada di dalam sarana pengangkut (misalnya, kontainer di kapal atau truk) selama melewati Kantor Pabean dan melanjutkan perjalanan ke tujuan akhir tanpa dibongkar terlebih dahulu.

 

Tujuan Angkut Terus:

  • Mempercepat proses pengangkutan barang.
  • Mengurangi biaya handling dan penyimpanan.
  • Meminimalisir risiko kerusakan barang.

 

Contoh Angkut Terus:

  • Kapal kontainer yang transit di pelabuhan Indonesia dalam perjalanan dari China ke Eropa, tanpa membongkar muatannya.
  • Truk yang mengangkut barang dari Malaysia ke Singapura, melewati Kantor Pabean di Batam.

 

Syarat Angkut Terus:

  • Sarana pengangkut harus disegel oleh Bea Cukai di Kantor Pabean asal.
  • Dokumen pengangkutan harus lengkap dan sah.
  • Barang yang diangkut tidak termasuk dalam kategori barang larangan dan pembatasan.

Contoh Pengiriman dari Singapore dengan tujuan ahir pantoloan

Contoh Pengiriman dari Singapore dengan tujuan ahir pantoloan

Kapal dari Singapore tujuan pantoloan sulawesi, melibatkan beberapa tahapan dan jenis dokumen BC. Mari kita uraikan prosesnya langkah demi langkah:

 

Tanjung Priok (Awal)

BC 1.1 (Inward Manifest): Disampaikan saat kapal tiba di Tanjung Priok. Berisi data kapal, muatan, dan pelabuhan tujuan akhir (Pantoloan).
Barang tidak dibongkar: Karena barang akan diangkut lanjut ke Pantoloan.
BC 1.1 (Outward Manifest): Disampaikan sebelum kapal berangkat dari Tanjung Priok. Pelabuhan tujuan dalam outward manifest adalah Tanjung Perak (tujuan transit berikutnya).

 

Tanjung Perak (Transit 1)

BC 1.1 (Inward Manifest): Disampaikan saat kapal tiba di Tanjung Perak.
Pembongkaran dan ganti kapal: Barang dibongkar dan dimuat ke kapal lain. Ini memenuhi definisi angkut lanjut.
BC 1.1 (Outward Manifest): Disampaikan sebelum kapal baru berangkat dari Tanjung Perak dengan tujuan Makassar (tujuan transit berikutnya).

 

Makassar (Transit 2)

BC 1.1 (Inward Manifest): Disampaikan saat kapal tiba di Makassar.
Tidak ada pembongkaran (angkut terus): Barang tetap di kapal dan melanjutkan perjalanan ke Pantoloan.
BC 1.1 (Outward Manifest): Disampaikan sebelum kapal berangkat dari Makassar dengan tujuan Pantoloan.

 

Pantoloan (Tujuan Akhir)

BC 1.1 (Inward Manifest): Disampaikan saat kapal tiba di Pantoloan.
Barang dibongkar: Barang diturunkan dari kapal.
Penyelesaian di Pos: Barang diperiksa dan diselesaikan di pos Bea Cukai Pantoloan.
BC 2.0 (Impor untuk Dipakai) atau BC 2.3 (Masuk ke TPB): Digunakan untuk mengeluarkan barang dari kawasan pabean, tergantung tujuan penggunaan barang (dipakai di Indonesia atau masuk ke Tempat Penimbunan Berikat).

 

Rekonsiliasi:

Proses rekonsiliasi dilakukan di setiap pelabuhan transit (Tanjung Perak dan Makassar) untuk memastikan data BC 1.1 inward sesuai dengan BC 1.1 outward dari pelabuhan sebelumnya. Rekonsiliasi ini penting untuk:

  • Memastikan kesesuaian data: Memastikan data barang yang diangkut konsisten di setiap tahap perjalanan.
  • Mencegah kesalahan: Mengidentifikasi dan mengoreksi kesalahan data sedini mungkin.
  • Memperlancar proses: Memperlancar proses pengawasan dan pengeluaran barang di pelabuhan tujuan akhir.

Catatan:

  • BL: Bill of Lading akan mencantumkan pelabuhan tujuan akhir (Pantoloan) meskipun ada beberapa transit.
  • BC 1.2: Dalam skenario ini, BC 1.2 (angkut lanjut) tidak digunakan karena tidak ada pergerakan barang antar kantor pabean di Indonesia dengan sarana pengangkut yang sama.

Semoga penjelasan ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang proses angkut lanjut dengan multiple transit!

BC 1.2 (pemindahan tps ke tps lainnya) dan di selesaikan dengan BC 2.3, Barang impor bersifat husus, kongesti, forcemajor.

BC 1.2 (pemindahan tps ke tps lainnya) dan di selesaikan dengan BC 2.3, Barang impor bersifat husus, kongesti, forcemajor.

Skenario yang Anda sebutkan cukup spesifik, menggabungkan beberapa aspek dalam proses impor: BC 1.2, BC 2.3, barang impor khusus, kongesti, dan force majeure. Mari kita bahas satu per satu:

 

BC 1.2 (Pemindahan TPS ke TPS Lainnya)

Definisi: BC 1.2 digunakan untuk pemindahan barang impor antar TPS di Indonesia dengan menggunakan sarana pengangkut dan tanpa dibongkar.
Penerapan: Dalam kasus Anda, barang impor dipindahkan dari satu TPS ke TPS lainnya, kemungkinan karena alasan khusus seperti kongesti atau force majeure.
Tujuan: Memindahkan barang ke TPS yang lebih memadai atau aman sambil tetap dalam pengawasan Bea Cukai.

 

BC 2.3 (Pemasukan ke TPB)

Definisi: BC 2.3 digunakan untuk memasukkan barang impor ke Tempat Penimbunan Berikat (TPB) seperti Kawasan Berikat.
Penerapan: Setelah dipindahkan ke TPS lain, barang impor tersebut kemudian dimasukkan ke TPB, kemungkinan untuk diolah atau disimpan sebelum diekspor atau dikeluarkan ke pasar domestik.

 

Barang Impor Bersifat Khusus

Definisi: Barang impor yang memerlukan perlakuan khusus karena karakteristiknya, seperti barang mudah rusak, barang berbahaya, atau barang yang memerlukan izin khusus.
Penerapan: Penanganan barang impor khusus harus mengikuti regulasi dan prosedur khusus untuk menjamin keamanan dan keutuhan barang.

 

Kongesti

Definisi: Kondisi di mana pelabuhan atau TPS mengalami kepadatan lalu lintas barang sehingga menyebabkan penumpukan dan keterlambatan.
Penerapan: Kongesti dapat menjadi alasan pemindahan barang impor ke TPS lain yang lebih lancar.

 

Force Majeure

Definisi: Kejadian luar biasa yang tidak dapat dihindari dan diatasi, seperti bencana alam atau kerusuhan, yang dapat mengganggu proses impor.
Penerapan: Force majeure dapat menjadi alasan pemindahan barang impor ke TPS lain yang lebih aman.

 

Skenario:

Berikut kemungkinan skenario yang terjadi:

  1. Barang impor tiba di TPS pertama.
  2. Terjadi kongesti atau force majeure di TPS pertama.
  3. Importir mengajukan BC 1.2 untuk memindahkan barang ke TPS lain yang lebih aman atau lancar.
  4. Setelah kondisi memungkinkan, importir mengajukan BC 2.3 untuk memasukkan barang ke TPB.

Catatan Penting:

  1. Pertimbangan: Pemindahan barang impor antar TPS harus mempertimbangkan faktor keamanan, efisiensi, dan biaya.
  2. Dokumen: Pastikan semua dokumen pendukung lengkap dan sesuai dengan jenis barang dan tujuan penggunaan.
  3. Koordinasi: Koordinasi yang baik antara importir, Bea Cukai, dan pengelola TPS sangat penting dalam proses ini.

Penggunaan BC 1.2 dan BC 2.3 dalam skenario ini menunjukkan fleksibilitas dalam penanganan barang impor khusus dalam kondisi khusus seperti kongesti atau force majeure.

Faktor yang Mempengaruhi THC

Terminal Handling Cost (THC) adalah

Terminal Handling Cost (THC) adalah biaya yang dikenakan oleh operator terminal peti kemas kepada perusahaan pelayaran atau pemilik barang untuk jasa penanganan peti kemas di terminal. Biaya ini mencakup berbagai layanan yang diperlukan untuk memindahkan peti kemas dari kapal ke tempat penyimpanan di terminal atau sebaliknya, serta layanan terkait lainnya.

 

Komponen THC:

THC biasanya mencakup biaya untuk layanan-layanan berikut:

  1. Bongkar muat peti kemas dari dan ke kapal: Menggunakan crane dan peralatan lainnya.
  2. Pemindahan peti kemas di dalam terminal: Memindahkan peti kemas dari dermaga ke lapangan penumpukan (container yard) atau sebaliknya.
  3. Penyimpanan peti kemas di terminal: Menyediakan ruang dan fasilitas penyimpanan peti kemas.
  4. Pemeriksaan peti kemas: Memeriksa kondisi peti kemas dan segelnya.
  5. Administrasi dan dokumentasi: Mengurus dokumen terkait peti kemas dan proses penanganan di terminal.

 

Faktor yang Mempengaruhi THC:

Besarnya THC dapat bervariasi tergantung beberapa faktor, antara lain:

  1. Jenis peti kemas: Ukuran (20 kaki, 40 kaki, dll.), jenis (dry, reefer, open top, dll.), dan kondisi peti kemas.
  2. Volume peti kemas: Jumlah peti kemas yang ditangani.
  3. Lokasi terminal: Terminal di pelabuhan besar dan sibuk biasanya memiliki THC yang lebih tinggi.
  4. Jasa tambahan: Layanan tambahan seperti pemeriksaan khusus, fumigasi, dan lain-lain.

 

Siapa yang Membayar THC?

THC biasanya dibebankan oleh operator terminal kepada perusahaan pelayaran. Namun, dalam praktiknya, perusahaan pelayaran seringkali membebankan biaya ini kepada pemilik barang (shipper atau consignee) sebagai bagian dari biaya pengiriman.

 

Informasi Tambahan:

  • THC merupakan salah satu komponen biaya dalam pengiriman barang melalui laut.
  • Penting untuk memahami komponen THC agar dapat memperkirakan biaya pengiriman secara akurat.
  • Beberapa operator terminal menyediakan informasi tentang THC di situs web mereka.

Apa itu manifest di kapal?

Apa itu manifest di kapal?

Manifest di kapal adalah dokumen yang berisi daftar muatan, penumpang, dan awak kapal yang diangkut oleh kapal tersebut. Dokumen ini sangat penting dalam dunia pelayaran karena memuat informasi detail yang dibutuhkan untuk berbagai keperluan.

 

Jenis-jenis Manifest di Kapal:

Ada dua jenis utama manifest di kapal:

 

Cargo Manifest:

Berisi daftar detail tentang muatan atau barang yang diangkut oleh kapal.
Informasi yang dicantumkan meliputi:

  1. Nama dan alamat pengirim (shipper) dan penerima (consignee)
  2. Nomor bill of lading
  3. Jenis barang
  4. Jumlah, berat, dan volume barang
  5. Pelabuhan muat dan bongkar

 

Digunakan untuk keperluan:

  • Kepabeanan: Melaporkan barang impor dan ekspor kepada Bea Cukai.
  • Administrasi pelabuhan: Sebagai data untuk otoritas pelabuhan dalam mengatur lalu lintas kapal dan bongkar muat barang.
  • Asuransi: Sebagai dasar perhitungan premi asuransi dan klaim jika terjadi kerusakan atau kehilangan barang.

 

Passenger Manifest:

Berisi daftar detail tentang penumpang dan awak kapal.
Informasi yang dicantumkan meliputi:

  • Nama penumpang dan awak kapal
  • Kebangsaan
  • Nomor paspor
  • Pelabuhan asal dan tujuan

Digunakan untuk keperluan:

  • Imigrasi: Melaporkan data penumpang dan awak kapal kepada otoritas imigrasi.
  • Keamanan: Memantau pergerakan orang yang masuk dan keluar wilayah suatu negara.
  • Pencarian dan penyelamatan: Membantu dalam proses pencarian dan penyelamatan jika terjadi kecelakaan kapal.

 

Siapa yang Menerbitkan Manifest di Kapal?

Manifest di kapal umumnya diterbitkan oleh:

  • Perusahaan pelayaran: Bertanggung jawab atas penyusunan dan penyampaian manifest kepada otoritas terkait.
  • Agen pelayaran: Bertindak sebagai perwakilan perusahaan pelayaran dalam pengurusan dokumen dan administrasi kapal, termasuk manifest.

 

Penyampaian Manifest di Kapal:

Manifest di kapal harus disampaikan kepada otoritas terkait, seperti Bea Cukai dan otoritas pelabuhan, sebelum kapal tiba atau berangkat. Saat ini, penyampaian manifest umumnya dilakukan secara elektronik melalui sistem yang disediakan.

 

Pentingnya Manifest di Kapal:

  1. Bukti pengangkutan: Sebagai bukti sah pengangkutan barang dan penumpang.
  2. Pengawasan: Membantu otoritas dalam mengawasi pergerakan barang dan orang.
  3. Keamanan: Meningkatkan keamanan pelayaran dengan mencatat data penumpang dan muatan.
  4. Administrasi: Memperlancar proses administrasi di pelabuhan dan imigrasi.

Apa yang dimaksud dengan outward manifest?

Apa yang dimaksud dengan outward manifest?

Outward Manifest atau Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut adalah dokumen yang berisi daftar barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut (kapal laut, pesawat udara, atau kendaraan darat) pada saat meninggalkan Kawasan Pabean Indonesia atau tempat lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.

 

Fungsi Outward Manifest:

  • Sebagai pemberitahuan pabean: Memberikan informasi kepada Bea Cukai tentang barang yang akan keluar dari Indonesia.
  • Sebagai alat pengawasan: Membantu Bea Cukai dalam mengawasi arus barang ekspor dan mencegah penyelundupan.
  • Sebagai bukti pengangkutan: Menjadi bukti bahwa barang telah diangkut keluar dari Indonesia.

 

Isi Outward Manifest:

Outward Manifest umumnya memuat informasi berikut:

  • Data sarana pengangkut: Nama, jenis, kebangsaan, nomor voyage/flight.
  • Data pelabuhan/bandara: Pelabuhan/bandara muat, pelabuhan/bandara transit, pelabuhan/bandara tujuan.
  • Data barang: Nomor bill of lading/airway bill, jenis barang, jumlah, berat, nilai, HS Code, pengirim, penerima.

 

Kewajiban Penyampaian Outward Manifest:

Pengangkut: Wajib menyampaikan Outward Manifest kepada Bea Cukai sebelum sarana pengangkut meninggalkan Kawasan Pabean.
Pengajuan secara elektronik: Saat ini, penyampaian Outward Manifest umumnya dilakukan secara elektronik melalui sistem yang disediakan oleh Bea Cukai.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2017 tentang Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut, dan Manifes Transit.
Contoh Kasus:

Sebuah kapal kontainer akan berangkat dari Tanjung Priok, Jakarta menuju Singapura. Sebelum kapal berangkat, agen pelayaran wajib menyampaikan Outward Manifest yang berisi daftar seluruh peti kemas yang diangkut oleh kapal tersebut, termasuk informasi tentang jenis barang, pemilik barang, dan tujuan pengiriman.

  Jasa Impor Terpercaya: Solusi Impor Tepat dan Terpercaya

Inward Manifest adalah

Inward Manifest adalah

Inward Manifest atau Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut adalah dokumen yang berisi daftar barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut (kapal laut, pesawat udara, atau kendaraan darat) pada saat memasuki Kawasan Pabean Indonesia atau tempat lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.

 

Fungsi Inward Manifest:

  • Sebagai pemberitahuan pabean: Memberikan informasi kepada Bea Cukai tentang barang yang akan masuk ke Indonesia.
  • Sebagai alat pengawasan: Membantu Bea Cukai dalam mengawasi arus barang impor dan mencegah penyelundupan.
  • Sebagai dasar pengenaan bea masuk dan pajak: Data barang dalam Inward Manifest digunakan untuk menghitung bea masuk dan pajak yang terutang.

 

Isi Inward Manifest:

Inward Manifest umumnya memuat informasi berikut:

  • Data sarana pengangkut: Nama, jenis, kebangsaan, nomor voyage/flight.
  • Data pelabuhan/bandara: Pelabuhan/bandara asal, pelabuhan/bandara transit, pelabuhan/bandara tujuan di Indonesia.
  • Data barang: Nomor bill of lading/airway bill, jenis barang, jumlah, berat, nilai, HS Code, pengirim, penerima.

 

Kewajiban Penyampaian Inward Manifest:

Pengangkut: Wajib menyampaikan Inward Manifest kepada Bea Cukai sebelum sarana pengangkut tiba di Kawasan Pabean.
Pengajuan secara elektronik: Saat ini, penyampaian Inward Manifest umumnya dilakukan secara elektronik melalui sistem yang disediakan oleh Bea Cukai.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2017 tentang Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut, dan Manifes Transit.
Contoh Kasus:

Sebuah kapal kontainer dari Singapura akan tiba di Tanjung Priok, Jakarta. Sebelum kapal tiba, agen pelayaran wajib menyampaikan Inward Manifest yang berisi daftar seluruh peti kemas yang diangkut oleh kapal tersebut, termasuk informasi tentang jenis barang, pemilik barang, dan pelabuhan tujuan di Indonesia.

Jika kapal tidak tiba di pelabuhan tujuan dalam waktu 30 hari Bea Cukai mana yang mencari kapal ?

Jika kapal tidak tiba di pelabuhan tujuan dalam waktu 30 hari Bea Cukai mana yang mencari kapal ?

Jika kapal yang telah menyampaikan pemberitahuan outward manifest tidak tiba di pelabuhan tujuan dalam waktu 30 hari, maka Kantor Bea Cukai asal akan melakukan pencarian dan penyelidikan.

Berikut penjelasan lebih lengkapnya:

 

Dasar Hukum tentang Manifes:

Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2017 tentang Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut, dan Manifes Transit.

Pasal 10 ayat (5) PMK 158/PMK.04/2017:

“Dalam hal Sarana Pengangkut tidak tiba di Tempat Tujuan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal keberangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean tempat keberangkatan melakukan pencarian dan penyelidikan.”

 

Tujuan Pencarian dan Penyelidikan:

  1. Memastikan keberadaan kapal: Mengetahui keberadaan dan kondisi kapal tersebut.
  2. Mengidentifikasi penyebab keterlambatan: Menganalisis penyebab keterlambatan, apakah karena faktor cuaca, kerusakan kapal, atau hal lain.
  3. Mencegah pelanggaran: Memastikan tidak terjadi pelanggaran kepabeanan, seperti penyelundupan atau pengalihan barang secara ilegal.
  4. Melindungi kepentingan negara: Melindungi potensi penerimaan negara dari bea masuk dan pajak.

 

Tindakan yang Dilakukan:

  1. Berkoordinasi dengan instansi terkait: Bea Cukai akan berkoordinasi dengan instansi terkait, seperti Syahbandar, Kantor SAR, dan pihak-pihak lain yang relevan.
  2. Melakukan pemantauan: Memantau pergerakan kapal melalui sistem pelacakan (vessel tracking system).
  3. Melakukan pemeriksaan: Jika kapal ditemukan, Bea Cukai akan melakukan pemeriksaan untuk memastikan kesesuaian muatan dan dokumen.

 

Konsekuensi:

  1. Sanksi: Jika ditemukan pelanggaran, pemilik atau operator kapal dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  2. Penetapan BTD: Barang yang diangkut oleh kapal tersebut dapat ditetapkan sebagai Barang Tidak Dikuasai (BTD) jika tidak diselesaikan proses kepabeanannya.

 

Penting untuk dicatat:

Batas waktu 30 hari: Batas waktu ini dapat diperpanjang dalam kondisi tertentu, misalnya karena force majeure.
Pencarian dan penyelidikan: Dilakukan untuk melindungi kepentingan negara dan mencegah pelanggaran kepabeanan.

Apa perbedaan antara bill of lading dan manifest?

Apa perbedaan antara bill of lading dan manifest?

Meskipun keduanya merupakan dokumen penting dalam pengiriman barang, Bill of Lading (B/L) dan Manifest memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam fungsi dan isinya. Berikut penjelasannya:

 

Bill of Lading (B/L)

Definisi: Dokumen yang dikeluarkan oleh pengangkut (carrier) kepada shipper (pengirim barang) sebagai bukti penerimaan barang untuk diangkut ke tujuan tertentu.
Fungsi:
Tanda terima barang: Bukti bahwa barang telah diterima oleh pengangkut dalam kondisi baik.
Bukti kepemilikan: Dokumen yang menunjukkan siapa pemilik barang dan berhak mengambilnya di pelabuhan tujuan.
Kontrak pengangkutan: Merupakan perjanjian pengangkutan antara shipper, carrier, dan consignee (penerima barang).

 

Isi:

Nama dan alamat shipper dan consignee
Nama kapal dan nomor voyage
Pelabuhan muat dan bongkar
Deskripsi barang (jenis, jumlah, berat, tanda pengenal)
Syarat dan ketentuan pengangkutan

 

Manifest

Definisi: Daftar rinci semua barang yang diangkut oleh sarana pengangkut (kapal, pesawat, truk) dalam satu perjalanan.

 

Fungsi:

Pemberitahuan pabean: Memberikan informasi kepada Bea Cukai tentang barang yang masuk atau keluar wilayah pabean.
Pengawasan: Membantu Bea Cukai dalam mengawasi arus barang dan mencegah penyelundupan.
Administrasi: Digunakan oleh otoritas pelabuhan/bandara untuk mengatur lalu lintas dan proses bongkar muat.

 

Isi:

Data sarana pengangkut (nama, jenis, nomor voyage/flight)
Data pelabuhan/bandara asal, transit, dan tujuan
Daftar semua barang yang diangkut dengan informasi detail (nomor B/L, jenis barang, jumlah, berat, pengirim, penerima)

 

Contoh Kasus:

Sebuah kapal mengangkut 100 kontainer dengan berbagai jenis barang dari Jakarta ke Singapura. Setiap kontainer akan memiliki satu Bill of Lading yang diberikan kepada masing-masing shipper. Sedangkan kapal tersebut hanya memiliki satu Manifest yang mencantumkan semua 100 kontainer beserta informasi detailnya.

Berapa denda telat submit manifest?

Berapa denda telat submit manifest?

Denda keterlambatan submit manifest diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.04/2019.

Besaran denda bervariasi tergantung jenis manifest dan jenis pelanggaran:

 

Keterlambatan Submit Manifest:

  • Inward Manifest: Denda minimal Rp10.000.000 dan maksimal Rp100.000.000.
  • Outward Manifest: Denda minimal Rp10.000.000 dan maksimal Rp100.000.000.

 

Kesalahan Data dalam Manifest:

  • Jumlah kemasan lebih sedikit: Denda minimal Rp25.000.000 dan maksimal Rp250.000.000.
  • Jumlah kemasan lebih banyak: Tidak ada denda, tetapi kelebihan barang akan disita.
  • Data lain yang tidak sesuai: Denda minimal Rp5.000.000 dan maksimal Rp50.000.000.

 

Faktor yang Mempengaruhi Besaran Denda:

  1. Jenis pelanggaran: Semakin serius pelanggaran, semakin besar dendanya.
  2. Frekuensi pelanggaran: Pengangkut yang sering melakukan pelanggaran akan dikenakan denda yang lebih berat.
  3. Nilai barang: Denda dapat dihitung berdasarkan nilai barang yang diangkut.
  4. Pertimbangan pejabat Bea Cukai: Pejabat Bea Cukai memiliki kewenangan untuk menentukan besaran denda berdasarkan pertimbangan tertentu.

 

Penting untuk Diperhatikan:

  • Tenggat waktu: Batas waktu penyampaian inward manifest adalah sebelum sarana pengangkut tiba, sedangkan outward manifest sebelum sarana pengangkut berangkat.
  • Penyampaian elektronik: Manifest harus disampaikan secara elektronik melalui sistem yang disediakan oleh Bea Cukai.
  • Akurasi data: Pastikan data dalam manifest akurat dan sesuai dengan dokumen pengangkutan.

 

Tips Menghindari Denda:

  1. Pahami peraturan: Pelajari dengan baik peraturan tentang manifest.
  2. Submit tepat waktu: Selalu submit manifest sebelum batas waktu.
  3. Periksa data: Pastikan data dalam manifest akurat dan lengkap.
  4. Gunakan sistem elektronik: Manfaatkan sistem elektronik yang disediakan oleh Bea Cukai untuk memudahkan penyampaian manifest.
  5. Konsultasi dengan Bea Cukai: Jika ada pertanyaan atau kendala, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan Bea Cukai.

 

Apa itu stowage plan?

Stowage plan adalah rencana pemuatan barang ke dalam kapal yang dibuat sebelum kapal melakukan proses bongkar muat. Dokumen ini sangat penting dalam pengiriman kargo laut karena mengatur penataan muatan di dalam kapal agar aman, efisien, dan sesuai dengan regulasi.

 

Fungsi Stowage Plan:

  1. Keamanan: Memastikan stabilitas kapal dengan mendistribusikan berat kargo secara merata agar kapal tetap seimbang selama pelayaran.
  2. Efisiensi: Memaksimalkan penggunaan ruang muat kapal sehingga semua kargo dapat termuat dengan optimal.
  3. Keamanan Barang: Melindungi kargo dari kerusakan dengan menempatkannya di lokasi yang aman dan sesuai dengan jenis barang.
  4. Kemudahan Bongkar Muat: Memudahkan proses bongkar muat barang di pelabuhan tujuan dengan pengaturan posisi kargo yang terstruktur.
  5. Kepatuhan: Memastikan kapal memenuhi regulasi dan standar keselamatan internasional, seperti SOLAS (Safety of Life at Sea).

 

Isi Stowage Plan:

  1. Data Kapal: Nama kapal, nomor voyage, kapasitas muatan, dan dimensi kapal.
  2. Data Kargo: Jenis kargo, jumlah, berat, dimensi, pelabuhan muat dan bongkar, serta informasi khusus tentang kargo (misalnya, dangerous goods).
  3. Posisi Kargo: Denah detail yang menunjukkan posisi setiap kargo di dalam palka kapal, termasuk nomor kontainer, baris, dan tingkat.
  4. Informasi Tambahan: Data stabilitas kapal, perhitungan trim dan draft, serta informasi penting lainnya.

Apa itu stowage plan?

Siapa yang Membuat Stowage Plan?

Stowage plan biasanya dibuat oleh pihak-pihak berikut:

  1. Perwira kapal (Chief Officer): Bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan pemuatan kargo di kapal.
  2. Planner di perusahaan pelayaran: Merencanakan pemuatan kargo untuk seluruh armada kapal.
  3. Terminal operator: Merencanakan pemuatan kargo di terminal peti kemas.
  4. Software stowage planning: Saat ini banyak digunakan software khusus untuk membantu membuat stowage plan secara otomatis.

 

Pentingnya Stowage Plan:

Stowage plan yang baik sangat penting untuk menjamin keselamatan pelayaran, efisiensi penggunaan ruang muat, dan keamanan kargo.

 

Pola pengiriman dalam perdagangan internasional

Mari kita bahas istilah “one-to-many” dan “many-to-one” dalam konteks tersebut.

 

One-to-Many (Dari Satu Negara ke Banyak Negara)

Pola ini menggambarkan pengiriman barang dari satu negara asal ke beberapa negara tujuan.

Contoh:

Indonesia mengekspor kopi: Indonesia mengirimkan kopi ke Amerika Serikat, Jepang, dan Jerman.
China mengekspor elektronik: China mengirimkan produk elektronik ke berbagai negara di Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika.

 

Karakteristik One-to-Many:

  1. Diversifikasi pasar: Pengirim dapat menjangkau pasar yang lebih luas dan mengurangi risiko ketergantungan pada satu pasar.
  2. Efisiensi logistik: Pengiriman dapat diorganisir dengan lebih efisien dengan menggabungkan beberapa tujuan dalam satu rute pengiriman.
  3. Kompleksitas: Membutuhkan koordinasi yang baik dan pemahaman tentang regulasi dan persyaratan di setiap negara tujuan.

 

Many-to-One (Dari Banyak Negara ke Satu Negara)

Pola ini menggambarkan pengiriman barang dari beberapa negara asal ke satu negara tujuan.

Contoh:

  • Impor mobil ke Indonesia: Indonesia mengimpor mobil dari Jepang, Korea Selatan, dan Eropa.
  • Impor bahan baku ke Amerika Serikat: Amerika Serikat mengimpor bahan baku dari berbagai negara di dunia.

 

Karakteristik Many-to-One:

  • Akses ke berbagai sumber: Penerima dapat memperoleh barang dari berbagai sumber untuk memenuhi kebutuhan dan mendapatkan harga yang kompetitif.
  • Pusat distribusi: Negara tujuan dapat berfungsi sebagai pusat distribusi untuk wilayah tertentu.
  • Manajemen rantai pasok: Membutuhkan manajemen rantai pasok yang efektif untuk mengelola pengiriman dari berbagai negara asal.

 

Faktor yang Mempengaruhi Pola Pengiriman:

  1. Jenis barang: Barang tertentu mungkin hanya diproduksi di negara tertentu.
  2. Permintaan pasar: Permintaan pasar di negara tujuan akan mempengaruhi pola pengiriman.
  3. Biaya: Biaya pengiriman, bea masuk, dan pajak akan mempengaruhi pilihan negara asal dan tujuan.
  4. Regulasi: Regulasi dan persyaratan impor/ekspor di setiap negara akan mempengaruhi pola pengiriman.
  5. Infrastruktur: Ketersediaan infrastruktur logistik, seperti pelabuhan dan bandara, akan mempengaruhi pilihan negara asal dan tujuan.

Kesimpulan:

Pola pengiriman “one-to-many” dan “many-to-one” merupakan strategi penting dalam perdagangan internasional. Setiap pola memiliki karakteristik dan tantangan tersendiri. Pemilihan pola yang tepat akan bergantung pada berbagai faktor, seperti jenis barang, permintaan pasar, biaya, dan regulasi.

 

BC 1.2 untuk apa?

BC 1.2 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pengeluaran barang impor untuk diangkut lanjut.

Artinya: Dokumen ini dipakai ketika barang impor yang tiba di satu kantor pabean di Indonesia akan diangkut ke kantor pabean lain di Indonesia dengan menggunakan sarana pengangkut yang sama dan tanpa dilakukan pembongkaran.

 

Tujuan penggunaan BC 1.2:

Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang impor antar kantor pabean.
Memperlancar arus barang: Memfasilitasi pengangkutan barang impor ke kantor pabean tujuan.
Efisiensi waktu dan biaya: Mengurangi waktu dan biaya bongkar muat di pelabuhan transit.

 

Contoh penggunaan BC 1.2:

Barang impor dari China yang tiba di pelabuhan Tanjung Priok (Jakarta) akan diangkut lanjut ke pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya) dengan menggunakan kapal yang sama.
Barang impor dari Singapura yang tiba di bandara Soekarno-Hatta (Jakarta) akan diangkut lanjut ke bandara Ngurah Rai (Bali) dengan menggunakan pesawat yang sama.
Perbedaan dengan BC 1.1:

BC 1.1 (Manifes Kedatangan): Digunakan untuk melaporkan kedatangan sarana pengangkut dan seluruh muatannya di kantor pabean pertama di Indonesia.
BC 1.2 (Angkut Lanjut): Digunakan untuk melaporkan pengeluaran barang impor dari kantor pabean pertama untuk diangkut ke kantor pabean lain di Indonesia.

 

Isi BC 1.2:

Data sarana pengangkut
Data kantor pabean asal dan tujuan
Data barang impor
Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 1.2:

BC 1.2 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh agen pelayaran atau importir.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2017 tentang Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut, dan Manifes Transit.

 

BC 1.6 untuk apa?

BC 1.6 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemasukan barang impor ke Pusat Logistik Berikat (PLB).

Artinya:

Dokumen ini dipakai ketika barang impor yang tiba di Indonesia akan dimasukkan ke dalam PLB untuk disimpan, diolah, atau didistribusikan kembali.

 

Tujuan penggunaan BC 1.6:

Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang impor yang masuk ke PLB.
Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang impor yang masuk ke PLB telah memenuhi ketentuan yang berlaku.
Mendukung kegiatan logistik: Memfasilitasi kegiatan penyimpanan, pengolahan, dan distribusi barang di PLB.
Penangguhan bea masuk: Barang impor yang masuk ke PLB mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk.

 

Contoh penggunaan BC 1.6:

Barang impor dari China yang tiba di pelabuhan Tanjung Priok akan disimpan di PLB sebelum didistribusikan ke berbagai wilayah di Indonesia.
Bahan baku impor dari Korea Selatan akan diolah di PLB menjadi barang jadi sebelum diekspor kembali.

 

Isi BC 1.6:

Identitas importir dan PLB
Jenis dan jumlah barang
Nilai barang
Asal barang
Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 1.6:

BC 1.6 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh importir atau Pengusaha PLB.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-27/BC/2016 tentang Tata Cara Pengeluaran Barang Asal Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau Barang Impor dari Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

 

BC 2.0 untuk apa?

BC 2.0 adalah singkatan dari Pemberitahuan Impor Barang versi 2.0. Ini adalah dokumen pabean yang digunakan untuk memberitahukan impor barang ke Bea Cukai Indonesia. Dokumen ini digunakan untuk mengeluarkan barang impor untuk dipakai atau untuk impor sementara.

BC 2.0 merupakan bagian dari sistem self assessment yang artinya importir bertanggung jawab untuk menghitung dan membayar sendiri bea masuk, cukai, dan pajak impor yang terutang.

 

Kegunaan BC 2.0:

  • Memberitahukan detail impor: Menyampaikan informasi lengkap tentang barang yang diimpor, seperti jenis barang, jumlah, nilai, asal negara, dan HS Code.
  • Menghitung dan membayar bea masuk: Sebagai dasar perhitungan dan pembayaran bea masuk, cukai, dan pajak impor.
  • Memperoleh izin pengeluaran barang: Setelah BC 2.0 disetujui dan kewajiban pabean dipenuhi, importir akan mendapatkan izin untuk mengeluarkan barang dari kawasan pabean.

 

Penyampaian BC 2.0:

  • Secara elektronik: BC 2.0 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE (Pertukaran Data Elektronik) yang disediakan oleh Bea Cukai.
  • Dokumen pelengkap: Importir juga harus melampirkan dokumen pelengkap pabean seperti invoice, packing list, bill of lading, dan dokumen lainnya sesuai jenis barang yang diimpor.

 

Jalur Pengeluaran Barang:

Setelah BC 2.0 disampaikan, sistem Bea Cukai akan menentukan jalur pengeluaran barang:

  • Jalur Hijau: Barang dapat langsung dikeluarkan tanpa pemeriksaan fisik.
  • Jalur Kuning: Dilakukan pemeriksaan dokumen.
  • Jalur Merah: Dilakukan pemeriksaan fisik dan dokumen.

 

Manfaat BC 2.0:

  • Mempercepat proses impor: Proses penyampaian dan pemeriksaan dokumen menjadi lebih cepat dan efisien karena dilakukan secara elektronik.
  • Meningkatkan transparansi: Sistem self assessment meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses impor.
  • Memudahkan importir: Importir dapat mengurus proses impor secara mandiri tanpa perlu melalui perantara.

 

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2000 tentang Perubahan Atas Lampiran I, Lampiran II, Lampiran V dan Lampiran VII Keputusan Menteri Keuangan Nomor 101/KMK.05/1997 tentang Pemberitahuan Pabean.

 

BC 2.1 untuk apa?

BC 2.1 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk impor barang kiriman melalui pos atau barang bawaan penumpang dan awak sarana pengangkut yang tiba di Indonesia.

Artinya: Dokumen ini dipakai ketika seseorang membawa barang dari luar negeri ke Indonesia melalui:

  • Kiriman pos: Misalnya, paket yang dikirim melalui jasa pengiriman internasional seperti DHL, FedEx, atau Pos Indonesia.
  • Barang bawaan penumpang: Barang yang dibawa oleh penumpang pesawat atau kapal saat tiba di Indonesia.
  • Barang bawaan awak sarana pengangkut: Barang yang dibawa oleh pilot, pramugari, atau awak kapal saat tiba di Indonesia.

 

Tujuan penggunaan BC 2.1:

  1. Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi barang kiriman dan barang bawaan penumpang/awak sarana pengangkut yang masuk ke Indonesia.
  2. Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang yang masuk telah memenuhi ketentuan impor yang berlaku.
  3. Memungut bea masuk dan pajak: Bea masuk dan pajak akan dikenakan atas barang impor yang nilainya melebihi batas pembebasan.

 

Isi BC 2.1:

Data pengirim dan penerima (untuk barang kiriman)
Data penumpang/awak sarana pengangkut
Jenis dan jumlah barang
Nilai barang
Asal barang

 

Penyampaian BC 2.1:

Barang kiriman: Biasanya diisi oleh petugas pos atau jasa pengiriman.
Barang bawaan penumpang/awak sarana pengangkut: Diisi oleh penumpang/awak sarana pengangkut dan diserahkan kepada petugas Bea Cukai di bandara/pelabuhan.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang Kiriman.
Website Bea Cukai: beacukai.go.id

 

Contoh penggunaan BC 2.1:

Seseorang menerima paket dari luar negeri yang berisi pakaian dan dikenakan bea masuk karena nilainya melebihi batas pembebasan.
Seorang penumpang membawa oleh-oleh dari luar negeri dan harus mengisi BC 2.1 untuk deklarasi barang bawaannya.

 

BC 2.3 untuk apa?

BC 2.3 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemasukan barang impor ke Tempat Penimbunan Berikat (TPB).

Artinya: Dokumen ini dipakai ketika barang impor yang tiba di Indonesia akan dimasukkan ke dalam TPB, seperti Kawasan Berikat, Gudang Berikat, atau PLB. Barang tersebut dapat disimpan, diolah, atau dirakit di TPB sebelum diekspor atau dikeluarkan ke pasar domestik.

 

Tujuan penggunaan BC 2.3:

  1. Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang impor yang masuk ke TPB.
  2. Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang impor yang masuk ke TPB telah memenuhi ketentuan yang berlaku.
  3. Mendukung kegiatan ekonomi: Memfasilitasi kegiatan industri dan manufaktur di TPB.
  4. Penangguhan bea masuk: Barang yang masuk ke TPB mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk.

 

Contoh penggunaan BC 2.3:

  • Bahan baku impor dari China dimasukkan ke Kawasan Berikat untuk diolah menjadi barang jadi.
  • Barang impor dari Jepang dimasukkan ke Gudang Berikat untuk disimpan sementara sebelum didistribusikan ke toko-toko.

 

Isi BC 2.3:

  1. Identitas importir dan TPB
  2. Jenis dan jumlah barang
  3. Nilai barang
  4. Asal barang
  5. Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 2.3:

BC 2.3 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh importir atau Pengusaha TPB.

Referensi:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-27/BC/2016 tentang Tata Cara Pengeluaran Barang Asal Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau Barang Impor dari Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

 

BC 2.4 untuk apa?

BC 2.4 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk penyelesaian barang asal impor yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE).

Artinya: Dokumen ini dipakai ketika perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE akan menyelesaikan kewajiban pabeannya atas barang impor yang telah diolah atau dirakit menjadi barang ekspor.

KITE sendiri adalah fasilitas pembebasan bea masuk dan PDRI yang diberikan kepada perusahaan yang mengimpor bahan baku atau barang modal untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.

 

Tujuan penggunaan BC 2.4:

Melaporkan penyelesaian barang KITE: Memberitahukan kepada Bea Cukai tentang bagaimana barang impor yang mendapatkan fasilitas KITE akan diselesaikan, apakah diekspor, dijual di pasar lokal, dimusnahkan, atau diserahkan ke pihak lain.
Memenuhi kewajiban pabean: Memastikan bahwa perusahaan KITE memenuhi kewajiban pabeannya, seperti membayar bea masuk dan pajak jika barang KITE tidak diekspor.
Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi penggunaan fasilitas KITE dan pergerakan barang impor yang mendapatkan fasilitas tersebut.

 

Penggunaan BC 2.4:

BC 2.4 digunakan dalam beberapa situasi, antara lain:

Barang KITE diekspor: Jika barang hasil produksi dari bahan baku impor KITE diekspor, maka BC 2.4 digunakan sebagai pelengkap dokumen ekspor.
Barang KITE dijual di pasar lokal: Jika barang hasil produksi dari bahan baku impor KITE dijual di pasar lokal, maka BC 2.4 digunakan untuk menghitung dan membayar bea masuk dan pajak yang terutang.
Barang KITE dimusnahkan: Jika barang impor KITE rusak atau tidak dapat digunakan, maka BC 2.4 digunakan untuk melaporkan pemusnahan barang tersebut kepada Bea Cukai.
Barang KITE diserahkan ke pihak lain: Jika barang impor KITE diserahkan ke perusahaan KITE lain atau Kawasan Berikat, maka BC 2.4 digunakan untuk melaporkan perpindahan barang tersebut.

  Impor Beras 2015-2024 - Fakta,dan Dampaknya bagi Indonesia

 

Isi BC 2.4:

Identitas perusahaan KITE
Data barang impor KITE
Jenis penyelesaian (ekspor, dijual lokal, dimusnahkan, diserahkan)
Data penjualan (jika dijual lokal)
Data pemusnahan (jika dimusnahkan)

 

Penyampaian BC 2.4:

BC 2.4 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh perusahaan KITE.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-27/BC/2023 tentang Petunjuk Teknis Pemberitahuan Pabean

 

BC 2.5 itu untuk apa?

BC 2.5 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pengeluaran barang dari Tempat Penimbunan Berikat (TPB), kecuali untuk tujuan ekspor.

Artinya:

Dokumen ini dipakai ketika barang yang berada di TPB (misalnya Kawasan Berikat) akan dikeluarkan untuk tujuan selain ekspor, seperti:

  • Dipindahkan ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP): Misalnya, barang jadi di Kawasan Berikat akan dijual di pasar domestik Indonesia.
  • Dipindahkan ke TPB lain: Misalnya, barang setengah jadi dipindahkan dari Kawasan Berikat A ke Kawasan Berikat B untuk proses produksi selanjutnya.

 

Tujuan penggunaan BC 2.5:

  1. Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang keluar dari TPB.
  2. Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang yang keluar dari TPB telah memenuhi ketentuan yang berlaku.
  3. Mendukung kegiatan ekonomi: Memfasilitasi pergerakan barang dari TPB ke pasar domestik atau TPB lain.
  4. Penghitungan bea masuk: Karena barang keluar dari TPB dan masuk ke TLDDP, maka bea masuk dan pajak akan dikenakan.

 

Contoh penggunaan BC 2.5:

  • Barang jadi dari pabrik di Kawasan Berikat Cikarang dikeluarkan untuk dijual di pasar domestik Indonesia.
  • Bahan baku yang sudah tidak terpakai di Kawasan Berikat A dikeluarkan untuk dipindahkan ke Kawasan Berikat B.

 

Isi BC 2.5:

  1. Identitas Pengusaha TPB
  2. Jenis dan jumlah barang
  3. Nilai barang
  4. Tujuan pengeluaran
  5. Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 2.5:

BC 2.5 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh Pengusaha TPB.

Referensi:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-27/BC/2016 tentang Tata Cara Pengeluaran Barang Asal Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau Barang Impor dari Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

 

Apa itu BC 2.6 2?

BC 2.6.2 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemasukan kembali barang ke Tempat Penimbunan Berikat (TPB) setelah barang tersebut dikeluarkan sementara ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP).

Artinya:Dokumen ini dipakai ketika barang yang sebelumnya dikeluarkan sementara dari TPB ke TLDDP (menggunakan BC 2.6.1) akan dikembalikan lagi ke TPB.

 

Tujuan penggunaan BC 2.6.2:

  • Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang yang keluar-masuk TPB.
  • Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang yang dikeluarkan sementara dan kemudian dimasukkan kembali ke TPB telah memenuhi ketentuan yang berlaku.
  • Mendukung fleksibilitas: Memberikan fleksibilitas bagi Pengusaha TPB untuk memanfaatkan barangnya di TLDDP dengan tetap mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk.

 

Contoh penggunaan BC 2.6.2:

  • Mesin produksi di TPB dikeluarkan sementara ke TLDDP untuk keperluan pameran. Setelah pameran selesai, mesin tersebut dimasukkan kembali ke TPB menggunakan BC 2.6.2.
  • Barang contoh di TPB dikeluarkan sementara ke TLDDP untuk keperluan promosi. Setelah promosi selesai, barang contoh tersebut dimasukkan kembali ke TPB.

 

Syarat penggunaan BC 2.6.2:

  • Barang yang akan dimasukkan kembali harus sama dengan barang yang dikeluarkan sementara sebelumnya.
  • Jangka waktu pengeluaran sementara tidak boleh melebihi batas waktu yang ditentukan.

 

Isi BC 2.6.2:

  1. Identitas Pengusaha TPB
  2. Jenis dan jumlah barang
  3. Nomor dan tanggal BC 2.6.1 (dokumen pengeluaran sementara)
  4. Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 2.6.2:

BC 2.6.2 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh Pengusaha TPB.

Referensi:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-7/BC/2021 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Tempat Penimbunan Berikat

 

BC 2.7 itu untuk apa?

BC 2.7 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pemindahan barang antar Tempat Penimbunan Berikat (TPB) di Indonesia.

Artinya:

Dokumen ini dipakai ketika barang yang berada di satu TPB (misalnya Kawasan Berikat A) akan dipindahkan ke TPB lain (misalnya Kawasan Berikat B) di Indonesia.

 

Tujuan penggunaan BC 2.7:

  • Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang antar TPB.
  • Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang yang dipindahkan antar TPB telah memenuhi ketentuan yang berlaku.
  • Efisiensi logistik: Memfasilitasi pergerakan barang antar TPB untuk keperluan produksi, penyimpanan, atau distribusi.
  • Mengurangi biaya: Menghindari pengenaan bea masuk dan pajak yang berulang saat barang dipindahkan antar TPB.

 

Contoh penggunaan BC 2.7:

  • Barang setengah jadi dipindahkan dari TPB A (pabrik komponen) ke TPB B (pabrik perakitan) untuk proses produksi selanjutnya.
  • Barang jadi dipindahkan dari TPB A (gudang produksi) ke TPB B (pusat distribusi) untuk keperluan penyimpanan dan distribusi.

 

Isi BC 2.7:

  1. Identitas Pengusaha TPB asal dan tujuan
  2. Jenis dan jumlah barang
  3. Nilai barang
  4. Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 2.7:

BC 2.7 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh Pengusaha TPB asal.

Referensi:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
  2. Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-27/BC/2016 tentang Tata Cara Pengeluaran Barang Asal Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau Barang Impor dari Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

 

BC 2.8 untuk apa?

BC 2.8 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pengeluaran barang dari Pusat Logistik Berikat (PLB) untuk diimpor dengan tujuan dipakai atau impor sementara.

Artinya:Dokumen ini dipakai ketika barang yang berada di PLB akan dikeluarkan dan diimpor ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP) di Indonesia.

 

Tujuan penggunaan BC 2.8:

  1. Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang keluar dari PLB untuk diimpor ke TLDDP.
  2. Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang yang dikeluarkan dari PLB telah memenuhi ketentuan impor yang berlaku.
  3. Mendukung kegiatan ekonomi: Memfasilitasi pergerakan barang dari PLB ke pasar domestik.
  4. Penghitungan bea masuk: Karena barang dikeluarkan dari PLB dan masuk ke TLDDP, maka bea masuk dan pajak akan dikenakan.

 

Contoh penggunaan BC 2.8:

Barang impor yang disimpan di PLB dikeluarkan untuk dijual di pasar domestik Indonesia.
Mesin impor yang disimpan di PLB dikeluarkan untuk digunakan oleh perusahaan di Indonesia.

Isi BC 2.8:

  1. Identitas importir dan PLB
  2. Jenis dan jumlah barang
  3. Nilai barang
  4. Tujuan pengeluaran
  5. Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 2.8:

BC 2.8 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh importir.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-15/BC/2019 tentang Tata Laksana Pengeluaran Barang Impor dari Pusat Logistik Berikat untuk Diimpor untuk Dipakai

 

BC 3.0 untuk apa?

BC 3.0 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk memberitahukan ekspor barang dari Indonesia ke luar negeri. Dokumen ini juga dikenal dengan sebutan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).

Fungsi BC 3.0:

  1. Memberitahukan rencana ekspor: Menyampaikan informasi lengkap tentang barang yang akan diekspor, seperti jenis barang, jumlah, nilai, tujuan negara, dan HS Code.
  2. Memperoleh izin ekspor: Sebagai dasar untuk mendapatkan izin ekspor dari Bea Cukai.
  3. Memenuhi persyaratan ekspor: Memastikan bahwa barang yang diekspor telah memenuhi semua ketentuan dan peraturan yang berlaku.
  4. Mendukung statistik perdagangan: Data dalam BC 3.0 digunakan untuk mencatat dan menganalisis statistik perdagangan luar negeri Indonesia.
  5. Klaim fasilitas ekspor: Sebagai dasar untuk mengklaim fasilitas ekspor, seperti pengembalian bea masuk (drawback) atau pembebasan bea masuk.

 

Isi BC 3.0:

  1. Identitas eksportir
  2. Data barang ekspor
  3. Nilai barang
  4. Negara tujuan
  5. Sarana pengangkut
  6. Pelabuhan muat

 

Penyampaian BC 3.0:

  • Secara elektronik: BC 3.0 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE (Pertukaran Data Elektronik) yang disediakan oleh Bea Cukai.
  • Dokumen pelengkap: Eksportir juga harus melampirkan dokumen pelengkap pabean seperti invoice, packing list, dan dokumen lainnya sesuai jenis barang yang diekspor.

 

Jalur Pengeluaran Barang:

Setelah BC 3.0 disampaikan, sistem Bea Cukai akan menentukan jalur pengeluaran barang:

  • Jalur Hijau: Barang dapat langsung diekspor tanpa pemeriksaan fisik.
  • Jalur Kuning: Dilakukan pemeriksaan dokumen.
  • Jalur Merah: Dilakukan pemeriksaan fisik dan dokumen.

 

Manfaat BC 3.0:

  • Mempercepat proses ekspor: Proses penyampaian dan pemeriksaan dokumen menjadi lebih cepat dan efisien karena dilakukan secara elektronik.
  • Meningkatkan transparansi: Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses ekspor.
  • Memudahkan eksportir: Eksportir dapat mengurus proses ekspor secara mandiri.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.04/2007 tentang Ketentuan Kepabeanan di Bidang Ekspor.

 

BC 4.1 untuk apa?

BC 4.1 adalah dokumen pabean yang digunakan untuk pengeluaran barang asal Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP) dari Tempat Penimbunan Berikat (TPB) ke TLDDP lainnya.

Artinya:

Dokumen ini dipakai ketika barang yang asalnya dari Indonesia, yang sebelumnya disimpan di TPB (misalnya Kawasan Berikat), akan dikeluarkan dari TPB untuk dipindahkan ke tempat lain di Indonesia.

 

Contoh penggunaan BC 4.1:

  • Barang dari pabrik di Jakarta (TLDDP) disimpan di Kawasan Berikat Cikarang (TPB). Kemudian, barang tersebut akan dikirim ke pabrik di Surabaya (TLDDP).
  • Barang impor yang sudah selesai diproses di Kawasan Berikat (TPB) akan dijual di pasar domestik Indonesia (TLDDP).

 

Tujuan penggunaan BC 4.1:

  • Mempermudah pengawasan: Bea Cukai dapat mengawasi pergerakan barang dari TPB ke TLDDP.
  • Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa barang yang keluar dari TPB telah memenuhi ketentuan yang berlaku.
  • Mendukung kegiatan ekonomi: Memfasilitasi kegiatan ekonomi dan perdagangan di dalam negeri.

 

Isi BC 4.1:

  1. Identitas Pengusaha TPB
  2. Jenis dan jumlah barang
  3. Nilai barang
  4. Tujuan pengiriman
  5. Data pengangkutan

 

Penyampaian BC 4.1:

BC 4.1 disampaikan secara elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai oleh Pengusaha TPB.

Referensi:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor
  • Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-27/BC/2016 tentang Tata Cara Pengeluaran Barang Asal Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau Barang Impor dari Tempat Penimbunan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

 

Apa yang dimaksud dengan rush handling?

Rush handling adalah layanan khusus dari Bea Cukai yang memungkinkan importir untuk mengeluarkan barang impor tertentu dengan segera dari kawasan pabean. Layanan ini diberikan untuk barang-barang yang memiliki karakteristik khusus sehingga memerlukan penanganan cepat.

 

Karakteristik Barang yang Memerlukan Rush Handling:

  1. Mudah rusak: Seperti buah-buahan, sayuran, dan produk makanan lainnya.
  2. Berumur pendek: Seperti vaksin, obat-obatan, dan bahan kimia tertentu.
  3. Dibutuhkan segera: Seperti suku cadang mesin untuk industri yang sedang beroperasi.
  4. Bersifat darurat: Seperti bantuan kemanusiaan untuk bencana alam.

 

Keuntungan Menggunakan Rush Handling:

  • Proses pengeluaran barang lebih cepat: Mempercepat proses impor dan mengurangi waktu tunggu di pelabuhan atau bandara.
  • Mengurangi risiko kerusakan barang: Meminimalisir risiko kerusakan barang akibat penyimpanan yang lama di kawasan pabean.
  • Memenuhi kebutuhan mendesak: Memastikan barang yang dibutuhkan segera dapat tersedia tepat waktu.

 

Prosedur Rush Handling:

  1. Pengajuan permohonan: Importir mengajukan permohonan rush handling kepada Bea Cukai dengan melampirkan dokumen pelengkap pabean.
  2. Penyerahan jaminan: Importir harus menyerahkan jaminan kepada Bea Cukai sebagai bentuk tanggung jawab atas kewajiban pabean.
  3. Pemeriksaan pabean: Bea Cukai melakukan pemeriksaan dokumen dan/atau fisik terhadap barang impor.
  4. Penerbitan SPPB: Jika permohonan disetujui, Bea Cukai menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
  5. Pengeluaran barang: Importir dapat mengeluarkan barang dari kawasan pabean setelah SPPB diterbitkan.
  6. Penyampaian PIB dan pelunasan: Importir wajib menyampaikan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan melunasi bea masuk serta pajak dalam jangka waktu tertentu setelah SPPB diterbitkan.

 

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2015 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang Tertentu yang Dapat Diberikan Pelayanan Segera.
Website Bea Cukai: beacukai.go.id

 

Contoh Kasus Rush Handling:

Sebuah perusahaan farmasi mengimpor vaksin yang membutuhkan penanganan khusus dan harus segera didistribusikan. Untuk mempercepat proses pengeluaran barang dari bandara, perusahaan tersebut dapat menggunakan layanan rush handling.

 

Apa itu tempat penimbunan sementara?

Tempat Penimbunan Sementara (TPS) adalah bangunan dan/atau lapangan yang disiapkan oleh pemerintah atau swasta, yang telah mendapat izin dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, untuk menimbun barang impor atau barang ekspor sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.

 

Fungsi TPS:

  1. Menyimpan barang sementara: Menyediakan tempat penyimpanan yang aman bagi barang impor atau ekspor sebelum proses selanjutnya.
  2. Memudahkan pemeriksaan pabean: Memudahkan Bea Cukai dalam melakukan pemeriksaan fisik dan dokumen terhadap barang.
  3. Melindungi barang: Melindungi barang dari kerusakan, kehilangan, atau pencurian selama proses penyimpanan.
  4. Memperlancar arus barang: Membantu memperlancar arus barang di pelabuhan atau bandara.

 

Jenis-jenis TPS:

  • TPS umum: Digunakan untuk menyimpan barang impor atau ekspor dari berbagai jenis dan pemilik.
  • TPS khusus: Digunakan untuk menyimpan barang impor atau ekspor dengan karakteristik khusus, misalnya barang berbahaya, barang mudah rusak, atau barang berharga.
  • TPS curah: Digunakan untuk menyimpan barang curah seperti biji-bijian, minyak, dan bahan kimia.

 

Pengelola TPS:

  • Pemerintah: Dapat dikelola oleh badan usaha milik negara seperti PT Pelindo atau Angkasa Pura.
  • Swasta: Dapat dikelola oleh perusahaan swasta yang telah mendapat izin dari Bea Cukai.

 

Ketentuan Penimbunan di TPS:

  • Batas waktu: Barang impor dapat disimpan di TPS paling lama 90 hari.
  • Perpanjangan waktu: Dalam hal tertentu, importir dapat mengajukan perpanjangan waktu penimbunan.
  • Kewajiban importir: Importir wajib memenuhi kewajiban pabean sebelum mengeluarkan barang dari TPS.

Referensi:

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 573/KMK.05/1996 tentang Tempat Penimbunan Sementara.

 

Contoh Kasus:

Sebuah perusahaan importir memesan barang dari China. Setelah barang tiba di pelabuhan Tanjung Priok, barang tersebut disimpan di TPS sementara menunggu proses penyelesaian dokumen impor dan pembayaran bea masuk. Setelah semua kewajiban dipenuhi, barang dapat dikeluarkan dari TPS untuk diangkut ke gudang perusahaan.

 

Jenis cargo ada berapa?

Jenis kargo dapat dibedakan berdasarkan beberapa kategori, antara lain:

 

Berdasarkan Cara Pengiriman:

  1. Kargo Darat: Pengiriman menggunakan truk, kereta api, atau kendaraan darat lainnya. Cocok untuk pengiriman domestik, khususnya jarak dekat dan menengah.
  2. Keunggulan: Biaya relatif murah, fleksibel, dan dapat menjangkau daerah yang sulit dijangkau transportasi lain.
  3. Kekurangan: Waktu pengiriman relatif lama, risiko kerusakan barang lebih tinggi.
  4. Kargo Laut: Pengiriman menggunakan kapal laut. Cocok untuk pengiriman internasional dan domestik jarak jauh, khususnya untuk barang dalam jumlah besar.
  5. Keunggulan: Biaya paling murah untuk pengiriman jarak jauh, dapat mengangkut barang dalam jumlah besar.
  6. Kekurangan: Waktu pengiriman paling lama, proses bongkar muat lebih kompleks.
  7. Kargo Udara: Pengiriman menggunakan pesawat terbang. Cocok untuk pengiriman barang bernilai tinggi, barang mudah rusak, atau pengiriman yang membutuhkan kecepatan.
  8. Keunggulan: Waktu pengiriman paling cepat, keamanan barang lebih terjamin.
  9. Kekurangan: Biaya paling mahal, kapasitas muatan terbatas.

 

Berdasarkan Jenis Barang:

  1. General Cargo: Barang umum yang tidak memerlukan penanganan khusus, seperti pakaian, elektronik, furniture, dll.
  2. Special Cargo: Barang yang memerlukan penanganan khusus, seperti:
  3. Perishable Cargo: Barang yang mudah rusak atau busuk, seperti makanan segar, buah-buahan, dan sayuran. Membutuhkan penanganan khusus seperti pendingin dan pengaturan suhu.
  4. Dangerous Goods: Barang berbahaya yang memiliki risiko tinggi, seperti bahan kimia, bahan peledak, dan gas beracun. Membutuhkan penanganan dan regulasi khusus untuk keamanan.
  5. Live Animals: Hewan hidup yang membutuhkan penanganan khusus untuk memastikan kesejahteraan dan kesehatan hewan selama perjalanan.
  6. Valuable Cargo: Barang berharga seperti perhiasan, uang tunai, dan karya seni. Membutuhkan pengamanan ekstra dan asuransi.
  7. Heavy Cargo: Barang dengan berat dan dimensi yang tidak biasa, seperti mesin berat atau konstruksi baja. Membutuhkan peralatan khusus dan perencanaan yang matang.
  8. Oversized Cargo: Barang dengan ukuran yang melebihi dimensi standar kontainer atau pesawat. Membutuhkan penanganan khusus dan izin khusus.

 

Berdasarkan Bentuk Barang:

  • Kargo Curah (Bulk Cargo): Barang yang diangkut dalam bentuk curah tanpa kemasan, seperti biji-bijian, batu bara, dan minyak.
  • Kargo Kemasan (Break Bulk Cargo): Barang yang diangkut dalam kemasan, seperti karung, kotak, atau palet.
  • Kargo Kontainer (Containerized Cargo): Barang yang diangkut dalam kontainer.

 

Berdasarkan Sifat Barang:

  • Barang Padat: Barang yang berbentuk padat, seperti mesin, kayu, dan besi.
  • Barang Cair: Barang yang berbentuk cair, seperti minyak, air, dan bahan kimia.
  • Barang Gas: Barang yang berbentuk gas, seperti oksigen, nitrogen, dan gas alam.

 

Apa yang dimaksud dengan cargo hold?

Cargo hold, atau dalam bahasa Indonesia disebut palka, adalah ruangan di bawah dek kapal yang digunakan untuk menyimpan dan mengangkut muatan atau kargo. Palka dirancang khusus untuk melindungi muatan dari kerusakan akibat air laut, cuaca buruk, dan benturan selama pelayaran.

Karakteristik Cargo Hold:

Kedap air: Dinding dan lantai palka kedap air untuk mencegah air laut masuk dan merusak muatan.
Dilengkapi sistem ventilasi: Memiliki sistem ventilasi untuk menjaga sirkulasi udara dan mencegah kelembaban yang dapat merusak muatan.
Terdapat pintu palka (hatch cover): Pintu palka digunakan untuk membuka dan menutup palka saat proses bongkar muat barang.
Dilengkapi alat pengamanan: Dilengkapi dengan alat pengamanan seperti lashing (pengikat) untuk mencegah pergeseran muatan selama pelayaran.
Terbagi menjadi beberapa kompartemen: Beberapa kapal memiliki palka yang terbagi menjadi beberapa kompartemen untuk memisahkan jenis muatan atau memudahkan proses bongkar muat.

 

Jenis-jenis Cargo Hold:

Palka Konvensional: Digunakan untuk mengangkut general cargo atau break bulk cargo.
Palka Kontainer: Dirancang khusus untuk mengangkut peti kemas.
Palka Curah: Digunakan untuk mengangkut kargo curah seperti biji-bijian atau minyak.
Palka Refrigerasi: Dilengkapi dengan sistem pendingin untuk mengangkut muatan yang memerlukan suhu terkontrol, seperti buah-buahan dan daging.

 

Fungsi Cargo Hold:

Melindungi muatan: Melindungi muatan dari kerusakan selama pelayaran.
Menjaga kualitas muatan: Menjaga kualitas muatan dengan sistem ventilasi dan pengaturan suhu.
Memudahkan bongkar muat: Memudahkan proses bongkar muat barang dengan pintu palka dan peralatan khusus.
Memaksimalkan kapasitas: Memaksimalkan kapasitas angkut kapal dengan desain yang efisien.

 

Contoh Penggunaan Cargo Hold:

Kapal kargo: Menggunakan palka untuk mengangkut berbagai jenis barang, seperti elektronik, pakaian, dan bahan bangunan.
Kapal tanker: Menggunakan palka khusus untuk mengangkut minyak atau gas alam cair.
Kapal kontainer: Menggunakan palka kontainer untuk mengangkut peti kemas dalam jumlah besar.

Kesimpulan:

Cargo hold merupakan bagian penting dari kapal yang berfungsi untuk menyimpan dan mengangkut muatan dengan aman dan efisien. Desain dan karakteristik cargo hold disesuaikan dengan jenis muatan yang diangkut.

 

Apa itu special cargo?

Special cargo adalah istilah yang digunakan untuk menyebut barang-barang yang membutuhkan penanganan khusus selama proses pengiriman, mulai dari pengambilan, penyimpanan, hingga pengiriman ke tujuan akhir. Penanganan khusus ini diperlukan karena karakteristik barang yang unik, seperti mudah rusak, berbahaya, atau berharga tinggi.

Ciri-ciri Special Cargo:

  1. Membutuhkan penanganan khusus: Tidak dapat ditangani seperti kargo biasa karena membutuhkan perlakuan khusus untuk menjaga kualitas, keamanan, dan keutuhannya.
  2. Memiliki regulasi khusus: Pengiriman special cargo diatur oleh regulasi khusus dari International Air Transport Association (IATA) atau asosiasi terkait lainnya.
  3. Membutuhkan peralatan khusus: Membutuhkan peralatan khusus untuk penanganan, penyimpanan, dan pengangkutannya.

 

Jenis-jenis Special Cargo:

  1. Perishable Cargo (Barang Mudah Rusak):
    Contoh: Makanan segar, buah-buahan, sayuran, bunga, obat-obatan.
  2. Penanganan khusus: Pengaturan suhu, pendingin, pengemasan khusus.
  3. Dangerous Goods (Barang Berbahaya):
    Contoh: Bahan kimia, bahan peledak, gas beracun, bahan radioaktif.
  4. Penanganan khusus: Labeling, dokumen khusus, penanganan oleh personel terlatih, dan mengikuti regulasi ketat.
  5. Live Animals (Hewan Hidup):
    Contoh: Hewan ternak, hewan peliharaan, hewan untuk penelitian.
  6. Penanganan khusus: Kandang khusus, makanan, air, ventilasi, dan pengawasan oleh dokter hewan.
  7. Valuable Cargo (Barang Berharga):
    Contoh: Perhiasan, uang tunai, karya seni, barang antik.
  8. Penanganan khusus: Pengamanan ekstra, asuransi, pengawalan.
  9. Heavy Cargo (Barang Berat):
    Contoh: Mesin berat, kendaraan, konstruksi baja.
  10. Penanganan khusus: Peralatan berat, perencanaan pemuatan, penguatan struktur.
  11. Oversized Cargo (Barang Berukuran Besar):
    Contoh: Pesawat terbang, kapal, turbin angin.
  12. Penanganan khusus: Peralatan khusus, izin khusus, rute khusus.
  13. Human Remains (Jenazah Manusia):
    Penanganan khusus: Dokumen khusus, peti jenazah yang memenuhi standar, penanganan dengan hormat.

 

Pentingnya Penanganan Special Cargo:

Penanganan special cargo yang tepat sangat penting untuk:

  1. Menjaga kualitas dan keamanan barang: Mencegah kerusakan, pembusukan, atau kontaminasi.
  2. Memastikan keselamatan: Mencegah kecelakaan atau insiden yang disebabkan oleh barang berbahaya.
  3. Memenuhi regulasi: Mematuhi regulasi dan standar yang berlaku.
  4. Menjaga reputasi: Memberikan layanan pengiriman yang handal dan profesional.

 

Contoh Kasus:

Pengiriman vaksin memerlukan penanganan khusus sebagai perishable cargo dan dangerous goods. Vaksin harus disimpan pada suhu tertentu dan ditangani dengan hati-hati untuk menjaga kualitas dan efektivitasnya.

 

Siapa yang menerbitkan cargo Manifest?

Cargo Manifest diterbitkan oleh pengangkut atau agen pelayaran yang bertanggung jawab atas pengangkutan barang.

  Strategi Substitusi Impor: Mengenal Konsep dan Implementasinya

 

Berikut penjelasan lebih detailnya:

  • Dalam pengangkutan laut, cargo manifest umumnya diterbitkan oleh perusahaan pelayaran atau agen pelayaran yang bertindak atas nama perusahaan pelayaran.
  • Dalam pengangkutan udara, cargo manifest diterbitkan oleh maskapai penerbangan atau agen kargo udara.
  • Dalam pengangkutan darat, cargo manifest diterbitkan oleh perusahaan truk atau agen pengiriman.

 

Pihak yang terlibat dalam penerbitan cargo manifest:

Meskipun cargo manifest diterbitkan oleh pengangkut atau agen, ada beberapa pihak yang terlibat dalam proses penyusunan dan pengisian data dalam cargo manifest, antara lain:

  • Shipper (Pengirim): Memberikan informasi detail tentang barang yang akan dikirim, seperti jenis barang, jumlah, berat, dan tujuan pengiriman.
  • Freight forwarder (Pengatur pengiriman): Jika shipper menggunakan jasa freight forwarder, maka freight forwarder akan membantu dalam pengurusan dokumen dan pengiriman barang, termasuk pengisian data dalam cargo manifest.
  • Consignee (Penerima): Informasi tentang penerima barang juga dicantumkan dalam cargo manifest.

 

Pentingnya Cargo Manifest:

Cargo manifest merupakan dokumen penting dalam proses pengiriman barang karena:

  • Bukti pengangkutan: Menjadi bukti sah bahwa barang telah diserahkan kepada pengangkut untuk diangkut ke tujuan.
  • Informasi detail: Berisi informasi detail tentang muatan yang diangkut, yang dibutuhkan oleh berbagai pihak seperti Bea Cukai, otoritas pelabuhan/bandara, dan pihak asuransi.
  • Pengawasan: Membantu dalam pengawasan dan pelacakan pergerakan barang.
  • Keamanan: Memastikan keamanan pengiriman barang dengan mencatat informasi tentang jenis dan sifat barang.

Kesimpulan:

Cargo manifest diterbitkan oleh pengangkut atau agen pelayaran sebagai dokumen penting yang berisi informasi detail tentang muatan yang diangkut. Dokumen ini dibutuhkan untuk kelancaran dan keamanan proses pengiriman barang.

 

Berapa denda telat submit Manifest?

Denda keterlambatan submit manifest diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan Nomor 17 Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 99/PMK.04/2019.

Besaran denda bervariasi tergantung jenis manifest dan jenis pelanggaran:

 

Keterlambatan Submit Manifest:

  • Inward Manifest: Denda minimal Rp10.000.000 dan maksimal Rp100.000.000.
  • Outward Manifest: Denda minimal Rp10.000.000 dan maksimal Rp100.000.000.

 

Kesalahan Data dalam Manifest:

  • Jumlah kemasan lebih sedikit: Denda minimal Rp25.000.000 dan maksimal Rp250.000.000.
  • Jumlah kemasan lebih banyak: Tidak ada denda, tetapi kelebihan barang akan disita.
  • Data lain yang tidak sesuai: Denda minimal Rp5.000.000 dan maksimal Rp50.000.000.

 

Faktor yang Mempengaruhi Besaran Denda:

  1. Jenis pelanggaran: Semakin serius pelanggaran, semakin besar dendanya.
  2. Frekuensi pelanggaran: Pengangkut yang sering melakukan pelanggaran akan dikenakan denda yang lebih berat.
  3. Nilai barang: Denda dapat dihitung berdasarkan nilai barang yang diangkut.
  4. Pertimbangan pejabat Bea Cukai: Pejabat Bea Cukai memiliki kewenangan untuk menentukan besaran denda berdasarkan pertimbangan tertentu.

 

Penting untuk Diperhatikan:

  • Tenggat waktu: Batas waktu penyampaian inward manifest adalah sebelum sarana pengangkut tiba, sedangkan outward manifest sebelum sarana pengangkut berangkat.
  • Penyampaian elektronik: Manifest harus disampaikan secara elektronik melalui sistem yang disediakan oleh Bea Cukai.
  • Akurasi data: Pastikan data dalam manifest akurat dan sesuai dengan dokumen pengangkutan.

 

Tips Menghindari Denda:

  1. Pahami peraturan: Pelajari dengan baik peraturan tentang manifest.
  2. Submit tepat waktu: Selalu submit manifest sebelum batas waktu.
  3. Periksa data: Pastikan data dalam manifest akurat dan lengkap.
  4. Gunakan sistem elektronik: Manfaatkan sistem elektronik yang disediakan oleh Bea Cukai untuk memudahkan penyampaian manifest.
  5. Konsultasi dengan Bea Cukai: Jika ada pertanyaan atau kendala, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan Bea Cukai.

 

Apa itu redress Manifest?

Redress Manifest adalah proses perbaikan data yang dilakukan terhadap kesalahan pada BC 1.1 (Manifes Kedatangan/Keberangkatan Sarana Pengangkut) yang telah dilaporkan sebelumnya kepada Bea Cukai.

 

Tujuan Redress Manifest:

Memperbaiki kesalahan data pada manifest agar sesuai dengan kondisi sebenarnya dan menghindari masalah dalam proses pengeluaran barang atau keberangkatan sarana pengangkut.

 

Kapan Redress Manifest Diperlukan?

  • Kesalahan input data: Terjadi kesalahan dalam memasukkan data ke sistem, seperti kesalahan ketik, nomor yang tertukar, atau informasi yang tidak lengkap.
  • Perubahan data: Terjadi perubahan data setelah manifest disampaikan, misalnya perubahan jumlah barang, jenis barang, atau data penerima barang.
  • Ketidaksesuaian dokumen: Terdapat ketidaksesuaian antara data di manifest dengan dokumen pelengkap pabean.

 

Jenis Kesalahan yang Dapat Diperbaiki:

  • Data sarana pengangkut: Nama, jenis, kebangsaan, nomor voyage/flight.
  • Data pelabuhan/bandara: Pelabuhan/bandara asal, transit, dan tujuan.
  • Data barang: Nomor bill of lading/airway bill, jenis barang, jumlah, berat, nilai, HS Code, pengirim, penerima.

 

Prosedur Redress Manifest:

  1. Identifikasi kesalahan: Pengangkut atau importir mengidentifikasi kesalahan data pada manifest.
  2. Pengajuan permohonan: Mengajukan permohonan redress manifest kepada Bea Cukai dengan melampirkan dokumen pendukung yang relevan.
  3. Pemeriksaan Bea Cukai: Bea Cukai memeriksa permohonan dan dokumen pendukung.
  4. Persetujuan/penolakan: Bea Cukai menyetujui atau menolak permohonan redress manifest.
  5. Perbaikan data: Jika disetujui, Bea Cukai akan melakukan perbaikan data pada sistem.

 

Penting untuk Diperhatikan:

  • Batas waktu: Terdapat batas waktu untuk mengajukan redress manifest, biasanya sebelum sarana pengangkut tiba atau berangkat.
  • Dokumen pendukung: Lampirkan dokumen pendukung yang valid dan relevan untuk memperkuat permohonan redress manifest.
  • Sanksi: Jika kesalahan data tidak diperbaiki melalui redress manifest, dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.

 

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 158/PMK.04/2017 tentang Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut, dan Manifes Transit.
Website Bea Cukai: beacukai.go.id

 

Contoh Kasus:

Sebuah agen pelayaran salah memasukkan jumlah peti kemas dalam inward manifest. Untuk memperbaiki kesalahan tersebut, agen pelayaran perlu mengajukan redress manifest kepada Bea Cukai dengan melampirkan dokumen pendukung seperti bill of lading dan packing list.

 

 

Apa itu dokumen pelengkap pabean?

Dokumen pelengkap pabean adalah dokumen-dokumen yang diperlukan untuk melengkapi Pemberitahuan Pabean dalam proses impor maupun ekspor barang. Dokumen-dokumen ini berisi informasi detail tentang transaksi perdagangan dan barang yang diperdagangkan, yang dibutuhkan oleh Bea Cukai untuk melakukan pengawasan dan penetapan bea masuk serta pajak.

 

Fungsi Dokumen Pelengkap Pabean:

  1. Memberikan informasi detail: Memberikan informasi detail tentang barang, seperti jenis, jumlah, nilai, asal negara, dan HS Code.
  2. Memperjelas transaksi: Memperjelas transaksi perdagangan antara importir dan eksportir.
  3. Memenuhi persyaratan: Memenuhi persyaratan kepabeanan yang berlaku.
  4. Memperlancar proses: Memperlancar proses pemeriksaan dan pengeluaran barang oleh Bea Cukai.
  5. Menghindari sengketa: Meminimalisir potensi sengketa antara importir/eksportir dengan Bea Cukai.

 

Jenis-jenis Dokumen Pelengkap Pabean:

Berikut adalah beberapa jenis dokumen pelengkap pabean yang umum digunakan:

  1. Invoice: Faktur penjualan yang berisi rincian transaksi antara penjual dan pembeli.
  2. Packing List: Daftar rincian isi kemasan barang, termasuk jenis, jumlah, dan berat barang.
  3. Bill of Lading (B/L) / Airway Bill (AWB): Bukti pengangkutan barang melalui laut (B/L) atau udara (AWB).
  4. Surat Keterangan Asal (SKA): Dokumen yang menyatakan asal negara barang.
  5. Dokumen Pemenuhan Persyaratan Impor: Dokumen-dokumen lain yang dipersyaratkan untuk impor barang tertentu, seperti izin impor, sertifikat, atau laporan surveyor.
  6. Dokumen lainnya: Dokumen lain yang relevan dengan transaksi, seperti polis asuransi, surat kuasa, dan kontrak.

 

Penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean:

Data Elektronik: Dokumen pelengkap pabean umumnya disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE Bea Cukai.
Salinan Cetak: Dalam beberapa kasus, Bea Cukai mungkin meminta salinan cetak dokumen pelengkap pabean.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.04/2014 tentang Dokumen Pelengkap Pabean.
Penting untuk Diperhatikan:

  • Kelengkapan dan keakuratan: Pastikan dokumen pelengkap pabean lengkap dan akurat untuk menghindari penundaan atau masalah dalam proses kepabeanan.
  • Kesesuaian data: Data dalam dokumen pelengkap pabean harus sesuai dengan data dalam Pemberitahuan Pabean.
  • Penyimpanan dokumen: Simpan dokumen pelengkap pabean dengan baik sebagai arsip dan bukti transaksi.

 

Apa yang dimaksud dengan TPB?

TPB adalah singkatan dari Tempat Penimbunan Berikat.

 

Pengertian TPB:

TPB adalah tempat yang disediakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. Barang yang ditimbun di TPB dianggap belum masuk ke daerah pabean Indonesia sehingga tidak dikenakan bea masuk dan pajak impor.

 

Tujuan TPB:

Meningkatkan daya saing industri: Memberikan fasilitas penangguhan bea masuk sehingga industri dalam negeri dapat memperoleh bahan baku dengan harga yang lebih kompetitif.
Mendorong investasi: Menarik investasi asing dan domestik untuk mendirikan industri di Indonesia.
Mendorong ekspor: Meningkatkan ekspor barang jadi hasil produksi di TPB.
Memperluas lapangan kerja: Menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri dan logistik.

 

Jenis-jenis TPB:

Kawasan Berikat: Kawasan dengan batas tertentu yang digunakan untuk kegiatan industri, pengolahan, dan/atau pengemasan barang asal impor dan/atau barang asal daerah pabean untuk diekspor dan/atau diimpor kembali.
Gudang Berikat: Bangunan atau tempat yang digunakan untuk menimbun barang impor yang akan diekspor kembali dan/atau barang yang akan diimpor untuk dipakai di Indonesia setelah melalui proses pengolahan, perakitan, atau pemasangan di TPB lain.
Pusat Logistik Berikat (PLB): Gudang multifungsi yang dapat digunakan untuk kegiatan logistik terpadu, seperti penyimpanan, pengolahan, pengemasan, dan distribusi barang.

 

Fasilitas yang Diberikan di TPB:

Penangguhan bea masuk: Bea masuk dan pajak impor tidak perlu dibayar di muka saat barang masuk ke TPB.
Kemudahan impor: Proses impor barang ke TPB lebih mudah dan cepat.
Fleksibilitas: Barang di TPB dapat diolah, dirakit, atau disimpan sesuai kebutuhan.

 

Pengusaha TPB:

TPB dikelola oleh Pengusaha TPB yang telah mendapatkan izin dari Bea Cukai. Pengusaha TPB memiliki kewajiban untuk:

Mematuhi peraturan kepabeanan yang berlaku.
Menyelenggarakan pembukuan dan pencatatan yang benar.
Melakukan pengawasan terhadap barang yang ditimbun di TPB.

Referensi:

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2012 tentang Kawasan Berikat.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 132/PMK.04/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.04/2015 tentang Pemberitahuan Pabean dalam Rangka Ekspor dan Impor.

 

Apa itu BTD?

BTD adalah singkatan dari Barang Tidak Dikuasai.

 

Pengertian BTD:

BTD adalah barang yang berada di bawah pengawasan Bea Cukai, tetapi tidak dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau diimpor/diekspor karena tidak dipenuhi kewajiban pabeannya atau tidak diselesaikan proses kepabeanannya dalam jangka waktu tertentu.

 

Kriteria Barang yang Dapat Ditetapkan sebagai BTD:

  1. Barang yang ditimbun di TPS: Barang yang ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) lebih dari 30 hari dan tidak dikeluarkan atau tidak diselesaikan proses kepabeanannya.
  2. Barang di TPB yang dicabut izinnya: Barang yang berada di Tempat Penimbunan Berikat (TPB) yang izinnya telah dicabut, tetapi dalam waktu 30 hari tidak diselesaikan proses kepabeanannya.
  3. Barang kiriman pos yang ditolak: Barang kiriman melalui pos yang ditolak oleh penerima dan tidak dapat dikirim ke luar daerah pabean, atau barang kiriman pos yang diterima kembali dan tidak diselesaikan proses kepabeanannya oleh pemilik dalam waktu 30 hari.
  4. Barang yang ditegah: Barang yang ditegah oleh Bea Cukai karena diduga melanggar ketentuan kepabeanan.

 

Penanganan BTD:

  1. Pemindahan ke TPP: Barang BTD akan dipindahkan dari TPS ke Tempat Penimbunan Pabean (TPP).
  2. Pemberitahuan: Bea Cukai akan memberitahukan kepada pemilik barang secara tertulis bahwa barang tersebut telah ditetapkan sebagai BTD.
  3. Penyelesaian: Pemilik barang diberi waktu 60 hari sejak ditetapkan sebagai BTD untuk menyelesaikan kewajiban pabean atau proses kepabeanannya.
  4. Lelang/Musnah/BMN: Jika dalam waktu 60 hari tidak diselesaikan, barang BTD dapat dilelang, dimusnahkan, atau menjadi Barang Milik Negara (BMN).

 

Penyebab Barang Menjadi BTD:

  1. Tidak lengkapnya dokumen: Importir/eksportir tidak dapat melengkapi dokumen persyaratan kepabeanan.
  2. Tidak sesuainya dokumen: Dokumen yang disampaikan tidak sesuai dengan kondisi barang.
  3. Tidak dipenuhinya kewajiban: Importir/eksportir tidak membayar bea masuk, pajak, atau biaya lainnya.
  4. Pelanggaran ketentuan: Barang melanggar ketentuan larangan dan pembatasan.

Referensi:

  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.04/2011 tentang Tata Cara Penetapan Status Barang yang Dikuasai Negara.
  • Website Bea Cukai: beacukai.go.id

 

Contoh Kasus:

Sebuah perusahaan importir menyimpan barang di TPS, tetapi karena kesulitan keuangan, perusahaan tersebut tidak dapat membayar bea masuk dan pajak dalam waktu 30 hari. Akibatnya, barang tersebut ditetapkan sebagai BTD dan dipindahkan ke TPP.

 

Apa itu tlddp?

TLDDP adalah singkatan dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean.

 

Pengertian TLDDP:

TLDDP adalah seluruh wilayah Indonesia yang berada di dalam batas-batas daerah pabean, kecuali kawasan dengan fasilitas tertentu seperti:

  1. Kawasan Bebas: Kawasan yang terpisah dari daerah pabean Indonesia, sehingga barang yang masuk dan keluar kawasan ini dianggap bukan ekspor dan impor. Contoh: Batam, Bintan, Karimun.
  2. Tempat Penimbunan Berikat (TPB): Tempat untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. Contoh: Kawasan Berikat.
  3. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK): Kawasan dengan batas tertentu yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
  4. Intinya: TLDDP merujuk pada wilayah Indonesia secara umum di mana kegiatan impor dan ekspor barang dikenakan ketentuan kepabeanan normal.

 

Contoh TLDDP:

  1. Kota Jakarta
  2. Kabupaten Bogor
  3. Pulau Sulawesi
  4. Provinsi Bali

 

Aktivitas yang Berlangsung di TLDDP:

  1. Impor untuk dipakai: Barang impor yang masuk ke TLDDP untuk dipakai atau dikonsumsi di Indonesia.
  2. Ekspor: Barang yang dikirim dari TLDDP ke luar negeri.
  3. Perdagangan domestik: Perdagangan barang antar wilayah di dalam TLDDP.
  4. Penimbunan di gudang umum: Barang dapat disimpan di gudang umum di TLDDP sebelum didistribusikan.

 

Ketentuan Kepabeanan di TLDDP:

Barang yang masuk atau keluar TLDDP dikenakan ketentuan kepabeanan normal, seperti:

  1. Pemberitahuan pabean: Importir/eksportir wajib menyampaikan pemberitahuan pabean (BC 2.0 untuk impor, BC 3.0 untuk ekspor).
  2. Pemeriksaan pabean: Bea Cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik dan dokumen terhadap barang.
  3. Pembayaran bea masuk dan pajak: Importir wajib membayar bea masuk, cukai, dan pajak impor atas barang impor yang masuk ke TLDDP.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 173/PMK.04/2021 tentang Kawasan Ekonomi Khusus.
Website Bea Cukai: beacukai.go.id

 

Apa itu sptnp?

SPTNP adalah singkatan dari Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean.

 

Pengertian SPTNP:

SPTNP adalah surat yang diterbitkan oleh Bea Cukai yang berisi penetapan tentang tarif dan/atau nilai pabean atas barang impor. Surat ini diterbitkan jika terdapat kekurangan bayar dalam pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor (PDRI) karena kesalahan dalam penentuan tarif atau nilai pabean.

 

Kapan SPTNP Diterbitkan?

Bea Cukai dapat menerbitkan SPTNP dalam hal-hal berikut:

  • Terdapat kesalahan dalam pemberitahuan impor barang: Importir salah dalam menentukan tarif atau nilai pabean dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
  • Hasil penelitian menunjukkan tarif/nilai pabean berbeda: Bea Cukai melakukan penelitian dan menemukan bahwa tarif atau nilai pabean yang seharusnya berbeda dari yang diberitahukan oleh importir.
  • Terdapat indikasi undervaluasi: Bea Cukai menemukan indikasi bahwa importir sengaja menurunkan nilai barang untuk mengurangi bea masuk.

 

Isi SPTNP:

  1. Identitas importir
  2. Nomor dan tanggal PIB
  3. Jenis barang impor
  4. Tarif dan/atau nilai pabean yang ditetapkan
  5. Jumlah kekurangan bayar bea masuk dan/atau PDRI
  6. Sanksi administrasi (jika ada)

 

Dampak SPTNP bagi Importir:

  • Kewajiban membayar kekurangan: Importir wajib membayar kekurangan bea masuk dan/atau PDRI sesuai dengan penetapan dalam SPTNP.
  • Sanksi administrasi: Importir dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda jika terdapat kesalahan atau pelanggaran.

 

Prosedur Penerbitan SPTNP:

  1. Penelitian oleh Bea Cukai: Bea Cukai melakukan penelitian terhadap dokumen dan/atau fisik barang impor.
  2. Pemberitahuan kepada importir: Bea Cukai memberitahukan hasil penelitian kepada importir.
  3. Tanggapan importir: Importir diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan atas hasil penelitian.
  4. Penerbitan SPTNP: Jika terdapat kekurangan bayar, Bea Cukai menerbitkan SPTNP.

Referensi:

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016 tentang Tata Cara Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean.
Website Bea Cukai: beacukai.go.id

 

Contoh Kasus:

Seorang importir memasukkan barang dengan nilai yang lebih rendah dari nilai sebenarnya. Setelah melakukan penelitian, Bea Cukai menemukan undervaluasi dan menerbitkan SPTNP untuk menetapkan nilai pabean yang benar dan menagih kekurangan bea masuk.

 

Apa itu NPD impor?

NPD Impor adalah singkatan dari Nota Permintaan Dokumen.

Pengertian NPD Impor: NPD Impor adalah pemberitahuan yang diterbitkan oleh Pejabat Bea dan Cukai kepada importir untuk meminta dokumen pelengkap pabean yang diperlukan untuk penelitian dokumen dalam rangka pengeluaran barang impor.

 

Kapan NPD Impor Diterbitkan?

NPD Impor diterbitkan ketika:

  • Dokumen pelengkap pabean tidak lengkap: Importir tidak melampirkan dokumen pelengkap pabean yang dipersyaratkan saat mengajukan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
  • Dokumen pelengkap pabean kurang jelas: Dokumen yang dilampirkan kurang jelas, tidak lengkap, atau terdapat ketidaksesuaian informasi.
  • Diperlukan dokumen tambahan: Bea Cukai memerlukan dokumen tambahan untuk penelitian lebih lanjut, misalnya dokumen terkait perizinan impor atau dokumen yang menjelaskan spesifikasi barang.

 

Tujuan NPD Impor:

  • Memperjelas informasi: Memperjelas informasi yang terdapat dalam PIB dan dokumen pelengkap pabean.
  • Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa importir telah memenuhi persyaratan kepabeanan.
  • Melindungi kepentingan negara: Mencegah masuknya barang ilegal atau barang yang tidak memenuhi standar.

 

Isi NPD Impor:

  1. Identitas importir
  2. Nomor dan tanggal PIB
  3. Jenis barang impor
  4. Daftar dokumen yang diminta
  5. Batas waktu penyampaian dokumen

 

Kewajiban Importir:

Importir wajib menyampaikan dokumen yang diminta dalam NPD Impor sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Jika tidak, PIB dapat ditolak dan barang impor tidak dapat dikeluarkan dari kawasan pabean.

 

Penyampaian Dokumen:

Dokumen yang diminta dalam NPD Impor dapat disampaikan melalui:

Sistem PDE Bea Cukai: Secara elektronik melalui sistem Pertukaran Data Elektronik.
Kantor Bea Cukai: Disampaikan langsung ke kantor Bea Cukai tempat PIB diajukan.

Referensi:

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-02/BC/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai.

 

Contoh Kasus:

Seorang importir mengajukan PIB untuk mengimpor mesin produksi. Namun, importir lupa melampirkan dokumen izin impor. Bea Cukai kemudian menerbitkan NPD Impor untuk meminta dokumen izin impor tersebut.

 

Apa itu DNP dalam impor?

DNP adalah singkatan dari Deklarasi Nilai Pabean.

 

Pengertian DNP:

DNP adalah pernyataan yang dibuat oleh importir tentang nilai transaksi barang yang diimpor. Nilai transaksi ini digunakan sebagai dasar perhitungan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI).

 

Tujuan DNP:

  1. Menentukan dasar pengenaan bea masuk: Nilai transaksi yang dinyatakan dalam DNP digunakan untuk menghitung bea masuk yang harus dibayar oleh importir.
  2. Mencegah undervaluasi: Undervaluasi adalah tindakan menurunkan nilai barang impor secara tidak wajar untuk mengurangi bea masuk. DNP membantu Bea Cukai dalam
  3. mencegah praktik undervaluasi.
  4. Transparansi dan akuntabilitas: DNP meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses impor.

 

Isi DNP:

  1. Identitas importir: Nama, alamat, dan NPWP importir.
  2. Data barang impor: Jenis barang, jumlah, dan spesifikasi barang.
  3. Nilai transaksi: Harga barang, biaya pengiriman, asuransi, dan biaya lain yang terkait dengan transaksi impor.
  4. Metode penentuan nilai pabean: Importir harus menyatakan metode yang digunakan untuk menentukan nilai pabean, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

 

Metode Penentuan Nilai Pabean:

Terdapat 6 metode penentuan nilai pabean yang diatur dalam PMK 144/PMK.04/2022, yaitu:

  1. Metode Nilai Transaksi: Nilai transaksi antara importir dan eksportir.
  2. Metode Nilai Transaksi Barang Identik: Nilai transaksi barang identik yang diimpor pada waktu yang hampir bersamaan.
  3. Metode Nilai Transaksi Barang Serupa: Nilai transaksi barang serupa yang diimpor pada waktu yang hampir bersamaan.
  4. Metode Nilai Deduktif: Nilai jual barang impor di pasar domestik dikurangi biaya dan keuntungan.
  5. Metode Nilai Komputasi: Nilai barang impor dihitung berdasarkan biaya produksi, bahan baku, dan keuntungan.
  6. Metode Fallback: Metode kombinasi dari metode 1 sampai 5.

 

Penyampaian DNP:

DNP disampaikan melalui sistem PDE Bea Cukai bersamaan dengan Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

 

Penting untuk Diperhatikan:

Akurasi data: Importir harus mengisi DNP dengan data yang akurat dan benar.
Dokumen pendukung: Importir harus melampirkan dokumen pendukung yang sah, seperti invoice, packing list, dan bill of lading, untuk membuktikan nilai transaksi.
Sanksi: Jika terdapat kesalahan atau ketidaksesuaian dalam DNP, importir dapat dikenakan sanksi administrasi.
Referensi:

PMK 144/PMK.04/2022 tentang Ketentuan Nilai Pabean.

 

Apa itu LDP bea cukai?

LDP adalah singkatan dari Luar Daerah Pabean. Dalam konteks kepabeanan di Indonesia, LDP merujuk pada wilayah di luar batas daerah pabean Indonesia. Artinya, LDP mencakup semua negara di dunia selain Indonesia.

 

Konsep LDP penting dalam kegiatan ekspor dan impor karena:

Barang yang keluar dari Indonesia ke LDP dianggap sebagai ekspor.
Barang yang masuk ke Indonesia dari LDP dianggap sebagai impor.

 

Ketentuan Kepabeanan yang Berlaku untuk LDP:

Ekspor: Barang yang diekspor ke LDP dikenakan ketentuan ekspor, seperti kewajiban pemberitahuan pabean (BC 3.0), pemeriksaan pabean, dan pelarangan/pembatasan ekspor.
Impor: Barang yang diimpor dari LDP dikenakan ketentuan impor, seperti kewajiban pemberitahuan pabean (BC 2.0), pemeriksaan pabean, pembayaran bea masuk, dan pajak dalam rangka impor (PDRI).

 

Istilah LDP sering digunakan dalam:

Peraturan kepabeanan: Banyak peraturan kepabeanan yang menggunakan istilah LDP untuk menjelaskan wilayah yang berada di luar daerah pabean Indonesia.
Dokumen kepabeanan: LDP sering dicantumkan dalam dokumen kepabeanan, seperti Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan Pemberitahuan Impor Barang (PIB), untuk menunjukkan asal atau tujuan barang.
Pembahasan tentang perdagangan internasional: LDP digunakan dalam pembahasan tentang perdagangan internasional untuk membedakan wilayah Indonesia dengan negara-negara lain.

 

Contoh penggunaan istilah LDP:

“Barang tersebut diekspor ke LDP dengan menggunakan kapal laut.”
“Importir wajib membayar bea masuk atas barang yang diimpor dari LDP.”

Referensi:

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan.
Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang ekspor dan impor.

 

Apa Itu Prenotification?

Prenotification adalah fasilitas yang diberikan oleh Bea Cukai kepada importir tertentu untuk menyampaikan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) sebelum barang impor tiba di Indonesia.

 

Tujuan Prenotification:

Mempercepat proses pengeluaran barang: PIB dapat diproses lebih awal sehingga barang impor dapat segera dikeluarkan dari kawasan pabean setelah tiba.
Meningkatkan efisiensi logistik: Mengurangi waktu tunggu barang di pelabuhan/bandara dan memperlancar arus barang.
Memudahkan importir: Memberikan kemudahan bagi importir dalam mengurus proses impor.

 

Keuntungan menggunakan Prenotification:

Proses impor lebih cepat: Barang dapat dikeluarkan lebih cepat setelah tiba di Indonesia.
Mengurangi biaya: Mengurangi biaya demurrage (denda keterlambatan pengambilan kontainer) dan biaya penyimpanan di pelabuhan/bandara.
Perencanaan lebih baik: Importir dapat merencanakan proses impor dengan lebih baik karena PIB sudah disetujui sebelum barang tiba.

 

Syarat untuk menggunakan Prenotification:

Importir terdaftar di sistem PDE Bea Cukai: Importir harus memiliki akses ke sistem Pertukaran Data Elektronik (PDE) Bea Cukai.
Memiliki reputasi baik: Importir harus memiliki track record kepatuhan yang baik terhadap peraturan kepabeanan.
Jenis barang tertentu: Tidak semua jenis barang dapat menggunakan fasilitas prenotification, khususnya barang yang membutuhkan izin impor atau pemeriksaan khusus.

 

Prosedur Prenotification:

  1. Pengajuan PIB: Importir mengajukan PIB melalui sistem PDE Bea Cukai sebelum barang impor tiba.
  2. Pemeriksaan dokumen: Bea Cukai melakukan pemeriksaan dokumen PIB dan dokumen pelengkap pabean.
  3. Persetujuan PIB: Jika dokumen lengkap dan memenuhi syarat, Bea Cukai akan menyetujui PIB.
  4. Kedatangan barang: Setelah barang tiba, importir menyampaikan dokumen kedatangan barang (manifest) kepada Bea Cukai.
  5. Pengeluaran barang: Bea Cukai akan menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) sehingga barang dapat dikeluarkan dari kawasan pabean.

 

Referensi:

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-42/BC/2008 tentang Tata Cara Pemberitahuan Pabean Barang Impor.
Website Bea Cukai: beacukai.go.id

 

Contoh Kasus:

Sebuah perusahaan importir yang mengimpor bahan baku secara rutin dapat menggunakan fasilitas prenotification untuk mempercepat proses impor dan mengurangi biaya logistik.

 

Apa itu NPBL?

NPBL adalah singkatan dari Nota Pemberitahuan Barang Larangan dan/atau Pembatasan.

Pengertian NPBL: NPBL adalah nota yang diterbitkan oleh Pejabat Bea dan Cukai kepada importir untuk meminta dokumen dan/atau informasi terkait larangan dan/atau pembatasan atas barang yang akan diimpor.

 

Kapan NPBL Diterbitkan?

NPBL diterbitkan ketika:

Barang impor termasuk dalam kategori larangan dan/atau pembatasan: Berdasarkan data dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB), barang impor tersebut termasuk dalam kategori barang yang dilarang atau dibatasi impornya.
Diperlukan dokumen tambahan: Importir perlu melengkapi dokumen persyaratan impor sesuai dengan ketentuan larangan dan/atau pembatasan, misalnya izin impor, surat keterangan, atau sertifikat.
Diperlukan informasi tambahan: Bea Cukai memerlukan informasi tambahan untuk memastikan bahwa barang impor memenuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan.

 

Tujuan NPBL:

Melindungi kepentingan umum: Mencegah masuknya barang yang dapat membahayakan kesehatan, keamanan, atau lingkungan di Indonesia.
Menerapkan kebijakan perdagangan: Menerapkan kebijakan pemerintah dalam mengatur impor barang tertentu.
Memastikan kepatuhan: Memastikan bahwa importir mematuhi ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor.

 

Isi NPBL:

Identitas importir
Nomor dan tanggal PIB
Jenis barang impor
Ketentuan larangan dan/atau pembatasan yang berlaku
Daftar dokumen dan/atau informasi yang diminta
Batas waktu penyampaian dokumen/informasi

 

Kewajiban Importir:

Importir wajib menyampaikan dokumen dan/atau informasi yang diminta dalam NPBL sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Jika tidak, PIB dapat ditolak dan barang impor tidak dapat dikeluarkan dari kawasan pabean.

 

Penyampaian Dokumen/Informasi:

Dokumen dan/atau informasi yang diminta dalam NPBL dapat disampaikan melalui:

  • Sistem PDE Bea Cukai: Secara elektronik melalui sistem Pertukaran Data Elektronik.
  • Kantor Bea Cukai: Disampaikan langsung ke kantor Bea Cukai tempat PIB diajukan.

 

Referensi:

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-02/BC/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai.
Contoh Kasus:

Seorang importir mengajukan PIB untuk mengimpor hewan hidup. Bea Cukai kemudian menerbitkan NPBL untuk meminta dokumen karantina hewan dan izin impor dari Kementerian Pertanian.

 

Apa itu SPPb?

SPPB adalah singkatan dari Surat Persetujuan Pengeluaran Barang.

Pengertian SPPB: SPPB adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bea Cukai yang memberikan izin kepada importir untuk mengeluarkan barang impor dari kawasan pabean atau tempat lain yang diperlakukan sama dengan Tempat Penimbunan Sementara (TPS).

 

Kapan SPPB Diterbitkan?

SPPB diterbitkan setelah:

PIB disetujui: Pemberitahuan Impor Barang (PIB) telah disetujui oleh Bea Cukai.
Kewajiban pabean dipenuhi: Importir telah memenuhi semua kewajiban pabean, seperti membayar bea masuk, pajak, dan biaya lainnya.
Pemeriksaan selesai: Bea Cukai telah menyelesaikan pemeriksaan dokumen dan/atau fisik barang impor.

 

Fungsi SPPB:

Bukti izin pengeluaran: Sebagai bukti bahwa importir telah mendapatkan izin dari Bea Cukai untuk mengeluarkan barang impor.
Dokumen pengangkutan: Digunakan sebagai dokumen pengangkutan barang dari kawasan pabean ke tempat tujuan.
Pengawasan: Membantu Bea Cukai dalam mengawasi pergerakan barang impor.

 

Isi SPPB:

Identitas importir
Nomor dan tanggal PIB
Jenis barang impor
Jumlah dan nilai barang
Asal barang
Tujuan pengiriman

Masa Berlaku SPPB:

SPPB memiliki masa berlaku terbatas, biasanya 30 hari sejak tanggal penerbitan. Jika dalam masa berlaku tersebut barang tidak dikeluarkan, maka SPPB akan kadaluarsa dan importir harus mengajukan permohonan SPPB baru.

 

Jenis-jenis SPPB:

SPPB untuk Impor untuk Dipakai: Untuk barang impor yang akan digunakan di Indonesia.
SPPB untuk Impor Sementara: Untuk barang impor yang akan digunakan di Indonesia untuk sementara waktu dan kemudian akan diekspor kembali.
SPPB untuk Re-ekspor: Untuk barang impor yang akan diekspor kembali tanpa diolah di Indonesia.

Referensi:

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-02/BC/2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai.

 

Contoh Kasus:

Seorang importir telah menyelesaikan proses impor barang dan membayar semua kewajiban pabean. Bea Cukai kemudian menerbitkan SPPB sehingga importir dapat mengeluarkan barang tersebut dari pelabuhan dan mengangkutnya ke gudang.

 

Akhmad Fauzi

Penulis adalah doktor ilmu hukum, magister ekonomi syariah, magister ilmu hukum dan ahli komputer. Ahli dibidang proses legalitas, visa, perkawinan campuran, digital marketing dan senang mengajarkan ilmu kepada masyarakat