Dasar dan Pengertian Hukum Pidana Materiil
Hukum Pidana Materiil adalah cabang hukum fundamental yang menjadi inti dari sistem hukum pidana.
Pengertian Hukum Pidana Materiil
Hukum Pidana Materiil (Materieel Strafrecht) adalah keseluruhan aturan yang menetapkan:
- Perbuatan-perbuatan mana yang dilarang (disebut Tindak Pidana atau Delik).
- Siapa yang dapat di mintai pertanggungjawaban atas perbuatan tersebut (menentukan Unsur Kesalahan).
- Sanksi (pidana atau hukuman) apa yang dapat di kenakan kepada pelaku.
Secara sederhana, Hukum Pidana Materiil menjawab pertanyaan “Perbuatan apa yang merupakan kejahatan dan siapa yang harus di hukum?”
Catatan: Hukum Pidana Materiil berbeda dengan Hukum Pidana Formal (Hukum Acara Pidana), yang mengatur prosedur bagaimana negara melalui aparat penegak hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) menuntut, mengadili, dan melaksanakan hukuman.
Sumber Utama Hukum Pidana Materiil
Sumber utama yang menjadi landasan berlakunya Hukum Pidana Materiil di Indonesia adalah:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, yang akan berlaku efektif tahun 2026): Ini adalah induk peraturan pidana yang memuat sebagian besar rumusan tindak pidana, mulai dari kejahatan terhadap nyawa, harta benda, hingga ketertiban umum.
Undang-Undang Pidana Khusus:
Peraturan di luar KUHP yang mengatur tindak pidana tertentu, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Narkotika, dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Asas Fundamental (Dasar Filosofis)
Dasar filosofis dan operasional terpenting dari Hukum Pidana Materiil adalah Asas Legalitas.
Asas Legalitas (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali)
Asas ini merupakan dasar utama yang menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi warga negara.
Makna: “Tidak ada perbuatan pidana, tidak ada hukuman tanpa ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu.”
Tiga Pilar Asas Legalitas:
- Tidak ada pidana tanpa undang-undang: Hukum pidana harus tertulis (larangan hukum tidak tertulis).
- Tidak ada pidana tanpa perbuatan: Hukum pidana harus mengatur perbuatan konkret yang telah terjadi.
- Larangan berlaku surut (Non-Retroaktif): Undang-undang pidana tidak boleh di berlakukan terhadap perbuatan yang di lakukan sebelum undang-undang tersebut di sahkan.
Asas Legalitas memastikan bahwa warga negara mengetahui secara pasti perbuatan apa saja yang dilarang, sehingga mereka tidak dapat di hukum secara sewenang-wenang.
Unsur-Unsur Tindak Pidana
Secara umum, agar suatu perbuatan dapat di anggap sebagai tindak pidana (delik) dan pelakunya dapat di mintai pertanggungjawaban pidana, harus memenuhi dua kelompok unsur utama: Unsur Objektif dan Unsur Subjektif.
Unsur Objektif (Fokus pada Perbuatan)
Unsur-unsur ini berkaitan dengan perbuatan itu sendiri dan lingkungan eksternal di mana perbuatan itu di lakukan.
- Perbuatan (Handelen/Laten): Perilaku nyata yang di lakukan (atau tidak di lakukan) oleh pelaku, yang memenuhi rumusan undang-undang.
- Melakukan (doing): Misalnya, memukul, mengambil barang.
- Tidak melakukan (not doing): Misalnya, membiarkan orang lain dalam bahaya (kelalaian).
- Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid): Perbuatan tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum (tertulis maupun tidak tertulis). Ini adalah sifat terlarang dari perbuatan.
- Akibat (Konsekuensi) yang Dilarang (untuk Delik Materiil): Dalam beberapa jenis tindak pidana (misalnya pembunuhan), yang di larang adalah akibatnya. Akibat berupa kematian korban harus terjadi.
Unsur Subjektif (Fokus pada Pelaku)
Unsur-unsur ini berkaitan dengan sikap batin atau kondisi mental pelaku pada saat perbuatan di lakukan. Ini sering di sebut sebagai Kesalahan (Schuld).
- Kesalahan (Schuld): Adanya hubungan batin yang memungkinkan pelaku dapat di cela dan di mintai pertanggungjawaban. Kesalahan memiliki dua bentuk utama:
- Kesengajaan (Dolul/Opzet): Pelaku menghendaki dan mengetahui akibat dari perbuatannya. Contohnya:
- Opzet als oogmerk (Tujuan): Tindakan di lakukan secara khusus untuk mencapai akibat tersebut.
- Dolus Eventualis (Kesengajaan dengan kemungkinan): Pelaku tahu ada kemungkinan besar akibat terlarang terjadi, tetapi ia tetap melanjutkan perbuatannya.
- Kealpaan (Culpa/Kelepaan): Pelaku tidak menghendaki akibatnya, tetapi akibat itu terjadi karena pelaku kurang hati-hati atau kurang waspada.
- Kemampuan Bertanggung Jawab (Toerekeningsvatbaarheid): Pelaku berada dalam kondisi mental yang sehat dan mampu menyadari nilai perbuatan yang di lakukannya. Jika pelaku sakit jiwa, ia tidak di anggap mampu bertanggung jawab (walaupun perbuatannya memenuhi unsur objektif).
Jenis-Jenis Sanksi Pidana
Sanksi pidana adalah hukuman yang di jatuhkan oleh hakim kepada pelaku yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana.
Klasifikasi Sanksi Pidana (Menurut Pasal 10 KUHP Lama / Pasal 64 KUHP Baru):
Pidana Pokok (Utama)
Ini adalah pidana yang di jatuhkan secara mandiri dan merupakan hukuman utama bagi pelaku.
- Pidana Mati: Hukuman terberat, saat ini masih di akui tetapi pelaksanaannya di atur ketat dalam KUHP baru.
- Pidana Penjara: Hukuman kurungan yang di jalani di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS). Dapat berupa:
- Seumur Hidup.
- Sementara: Dalam jangka waktu tertentu (paling lama 20 tahun).
- Pidana Kurungan: Secara historis lebih ringan daripada penjara, sering di terapkan untuk pelanggaran. (KUHP Baru mengganti Kurungan dengan Pidana Penjara).
- Pidana Denda: Kewajiban membayar sejumlah uang kepada negara.
- Pidana Tutupan: Pidana yang di jalani di tempat khusus (dahulu untuk pelaku kejahatan politik), kini dihapus dalam KUHP baru.
- Pidana Pengawasan: (Jenis pidana baru dalam KUHP 2023) Pidana yang di jalani di luar LAPAS di bawah pengawasan.
Pidana Tambahan
Pidana ini dijatuhkan seiring dengan pidana pokok.
- Pencabutan Hak-hak Tertentu: Misalnya, hak untuk memegang jabatan publik atau hak untuk memilih dan di pilih.
- Perampasan Benda Tertentu: Penyitaan aset atau barang yang di gunakan untuk atau di peroleh dari tindak pidana.
- Pengumuman Putusan Hakim: Mempublikasikan putusan pengadilan, sering di jatuhkan dalam kasus pidana korporasi.
Contoh Kasus: Kesengajaan vs. Kealpaan
Kedua konsep ini sangat penting dalam Hukum Pidana Materiil karena menentukan apakah pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya dan seberapa berat sanksi yang akan di jatuhkan.
Kasus Kesengajaan (Opzet)
Kesengajaan terjadi ketika pelaku menghendaki (berkehendak) perbuatannya dan mengetahui (menyadari) akibat yang akan timbul dari perbuatannya.
| Unsur Kesalahan | Ilustrasi Kasus | Pasal yang Dilanggar (Contoh) |
| Maksud/Tujuan (Opzet als oogmerk) | A ingin membunuh B. A membeli racun, mencampurnya ke minuman B, dan B meninggal. | Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP), di mana kesengajaan adalah maksud utama. |
| Kepastian (Opzet met zekerheidsbewustzijn) | C ingin membakar rumah D. C tahu bahwa D sedang tidur di dalam rumah. C membakar rumah itu, dan D meninggal. Kematian D bukan tujuan utama C, tetapi konsekuensi yang pasti di ketahui C akan terjadi. | Pembakaran yang menyebabkan kematian (Pasal 187 jo Pasal 338 KUHP). |
| Kemungkinan (Dolus Eventualis) | E meletakkan bom waktu di dalam bus untuk membunuh F, yang dia tahu ada di bus itu. E juga tahu bahwa ada penumpang lain yang tidak bersalah di dalam bus dan berisiko tewas. E tetap meledakkan bom. Kematian penumpang lain bukan tujuan, tetapi kemungkinan besar terjadi dan di terima oleh E. | Pembunuhan dan perusakan dengan risiko tinggi. |
Intinya: Dalam kesengajaan, pelaku secara sadar menerima atau menginginkan akibat buruk tersebut.
Kasus Kealpaan (Culpa)
Kealpaan terjadi ketika pelaku tidak menghendaki akibat yang timbul, tetapi akibat itu terjadi karena pelaku kurang hati-hati, kurang waspada, atau lalai dari kewajiban berhati-hati.
| Unsur Kesalahan | Ilustrasi Kasus | Pasal yang Di langgar (Contoh) |
| Kealpaan Berat (Culpa Lata) | X mengendarai mobil dengan kecepatan sangat tinggi sambil menelepon di jalanan padat. Ia menabrak pejalan kaki Y hingga tewas. X tidak ingin Y mati, tetapi ia sangat lalai dan mengabaikan keselamatan orang lain. | Kealpaan yang menyebabkan kematian (misalnya Pasal 359 KUHP). |
| Kealpaan Ringan (Culpa Levis) | Z, seorang dokter bedah, lupa memasukkan alat bedah ke dalam kotak sterilisasi setelah operasi. Alat tersebut kemudian di gunakan untuk pasien lain dan menyebabkan infeksi. Z tidak berniat menyebabkan infeksi, tetapi ia sedikit lalai dalam prosedur. | Kelalaian yang menyebabkan luka atau kerugian (bergantung pada pasal yang lebih spesifik). |
Intinya: Dalam kealpaan, pelaku tidak menginginkan atau bertujuan pada akibat buruk, tetapi seharusnya dapat dan wajib menduga akibat buruk tersebut jika ia bertindak hati-hati.
Perbedaan antara keduanya menentukan apakah pelaku di jerat dengan pasal tentang kejahatan yang di lakukan dengan sengaja (hukuman lebih berat) atau pasal tentang kejahatan yang di lakukan karena kealpaan (hukuman lebih ringan).
Meskipun suatu perbuatan telah memenuhi semua Unsur Objektif dan Unsur Subjektif (terdapat perbuatan melawan hukum dan kesalahan), pelaku tidak dapat di pidana jika terdapat Penyebab Penghapus Pidana. Penyebab ini membatalkan sifat melawan hukum perbuatan tersebut atau menghilangkan kesalahan pelaku.
Penyebab Penghapus Pidana (Alasan Pembenar dan Pemaaf)
Faktor penyebab Penghapus Pidana di klasifikasikan menjadi dua jenis utama, yang masing-masing menyerang unsur berbeda dari tindak pidana.
Alasan Pembenar (Rechtvaardigingsgronden)
Alasan pembenar menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan. Artinya, perbuatan yang di lakukan oleh seseorang yang biasanya dilarang, dalam kondisi ini, di anggap benar dan sesuai dengan hukum.
| Alasan Pembenar | Fokus (Menghilangkan) | Penjelasan Singkat | Pasal KUHP (Contoh) |
| Daya Paksa (Absolut) (Overmacht) | Sifat Melawan Hukum | Pelaku melakukan perbuatan karena adanya tekanan fisik atau ancaman yang tidak dapat di lawan (misalnya, di dorong hingga mengenai orang lain). | Pasal 48 |
| Pembelaan Terpaksa (Noodweer) | Sifat Melawan Hukum | Pembelaan diri yang segera dan sangat di perlukan terhadap serangan yang melawan hukum, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. | Pasal 49 ayat (1) |
| Melaksanakan Perintah Jabatan yang Sah | Sifat Melawan Hukum | Perbuatan di lakukan oleh pejabat publik dalam batas-batas kewenangannya (misalnya, polisi menembak buronan atas perintah resmi sesuai prosedur). | Pasal 51 ayat (1) |
| Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang | Sifat Melawan Hukum | Perbuatan di lakukan berdasarkan kewenangan yang di berikan oleh undang-undang (misalnya, juru sita menyita barang). | Pasal 50 |
Alasan Pemaaf (Schulduitsluitingsgronden)
Alasan pemaaf menghilangkan unsur kesalahan (pertanggungjawaban pidana) pelaku, meskipun perbuatannya tetap bersifat melawan hukum. Pelaku secara batiniah tidak dapat dicela.
| Alasan Pemaaf | Fokus (Menghilangkan) | Penjelasan Singkat | Pasal KUHP (Contoh) |
| Tidak Mampu Bertanggung Jawab | Kesalahan | Pelaku berada dalam kondisi jiwa yang sakit (gila) atau kurang sempurna perkembangan jiwanya, sehingga tidak menyadari nilai perbuatannya. | Pasal 44 |
| Daya Paksa (Relatif) (Noodtoestand) | Kesalahan | Pelaku di hadapkan pada pertentangan kepentingan yang memaksa dia melanggar satu peraturan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar (misalnya, melanggar lampu merah karena harus membawa korban luka berat ke rumah sakit). | Pasal 48 |
| Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) | Kesalahan | Pembelaan diri yang melampaui batas yang wajar karena keterangan jiwa (misalnya, rasa takut, terkejut, panik yang hebat). Pelaku tetap bersalah melakukan perbuatan, tetapi di maafkan. | Pasal 49 ayat (2) |
| Melaksanakan Perintah Jabatan yang Tidak Sah | Kesalahan | Pejabat bawahan melaksanakan perintah dari atasan yang di anggap sah, padahal sebenarnya tidak sah, asalkan ia melakukannya dengan itikad baik. | Pasal 51 ayat (2) |
Dalam Hukum Pidana Materiil, selain tindak pidana yang telah selesai dan di lakukan oleh satu orang tunggal (delik sempurna), terdapat Bentuk-Bentuk Khusus Tindak Pidana yang meliputi tindak pidana yang belum selesai (Percobaan) dan tindak pidana yang di lakukan oleh lebih dari satu orang (Penyertaan).
Bentuk-Bentuk Khusus Tindak Pidana
Percobaan (Poging / Attempt)
Percobaan adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur kesengajaan dan di mulainya pelaksanaan, tetapi tindak pidana tersebut tidak selesai atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena kehendak pelaku sendiri.
| Elemen Kunci Percobaan (Pasal 53 KUHP) | Penjelasan |
| Niat (Opzet) | Pelaku harus memiliki niat yang sempurna dan pasti untuk melakukan kejahatan yang di tuju. Ini adalah unsur kesalahan (subjektif). |
| Permulaan Pelaksanaan | Niat tersebut harus di wujudkan melalui perbuatan nyata yang langsung mengarah pada penyelesaian tindak pidana, bukan hanya sekadar persiapan. |
| Tidak Selesai Bukan Karena Kehendak Sendiri | Tindak pidana menjadi tidak selesai karena faktor eksternal (di pergoki, senjata macet, korban melawan, dan lain-lain). Jika tidak selesai karena penyesalan atau kehendak sendiri (terugtred van de dader), maka ini disebut Pengunduran Diri Sukarela dan pelakunya tidak di pidana. |
Tindak Pidana yang Bisa Di coba: Hanya kejahatan (misdrijven); pelanggaran (overtredingen) tidak dapat di pidana percobaannya.
Penyertaan (Deelneming / Participation)
Definisi Penyertaan adalah keadaan di mana satu tindak pidana di lakukan oleh lebih dari satu orang, dan masing-masing pelaku memberikan kontribusi atau peran dalam pelaksanaan tindak pidana tersebut.
Penyertaan menentukan jenis pertanggungjawaban pidana yang berbeda-beda bagi setiap orang yang terlibat.
| Bentuk Penyertaan (Pasal 55 & 56 KUHP) | Peran Kunci | Pertanggungjawaban |
| Pelaku (Pleger) | Orang yang melakukan sendiri perbuatan pidana. | Sebagai pelaku utama. |
| Menyuruh Lakukan (Doen Pleger) | Orang yang menggunakan orang lain (yang tidak mampu bertanggung jawab atau tidak memiliki niat jahat) sebagai alat untuk melakukan tindak pidana. | Bertanggung jawab penuh sebagai pelaku. |
| Turut Serta Melakukan (Mede Pleger) | Dua orang atau lebih yang bersama-sama dan sadar melaksanakan tindak pidana sebagai suatu kerja sama (membagi peran). | Bertanggung jawab penuh sebagai pelaku bersama. |
| Membujuk (Uitlokker) | Orang yang dengan cara tertentu (hadiah, janji, penyalahgunaan kekuasaan) mempengaruhi orang lain hingga orang tersebut melakukan tindak pidana. | Bertanggung jawab atas pidana yang sama dengan pelaku, tetapi perannya sebagai pembujuk. |
| Membantu Melakukan (Medeplichtige) | Orang yang memberikan bantuan atau sarana (sebelum atau saat perbuatan di lakukan) yang memudahkan pelaksanaan tindak pidana. | Pidana dapat di kurangi, karena perannya hanya membantu, bukan pelaku utama atau intelektual. |
Intinya: Hukum Pidana Materiil mengakui bahwa pertanggungjawaban pidana harus di bagi sesuai dengan tingkat peran dan kontribusi masing-masing pihak dalam kejahatan tersebut.
Ini adalah perbandingan penting dalam konsep Penyertaan (Deelneming) dalam Hukum Pidana Materiil. Perbedaan antara Turut Serta Melakukan dan Membantu Melakukan terletak pada tingkat kontribusi dan posisi batin (niat) mereka terhadap pelaksanaan tindak pidana.
Perbedaan Turut Serta Melakukan dan Membantu Melakukan
| Aspek | Turut Serta Melakukan (Mede Pleger) | Membantu Melakukan (Medeplichtige) |
| Dasar Hukum | Pasal 55 KUHP | Pasal 56 KUHP |
| Kontribusi | Aktif dan Fungsional. Memiliki peran aktif yang merupakan bagian integral dari pelaksanaan delik itu sendiri, seolah-olah perbuatannya adalah perbuatan pelaku. | Pasif dan Penunjang. Memberikan bantuan (sarana, informasi, dukungan) yang memudahkan atau melancarkan perbuatan pelaku utama. |
| Kesadaran Batin (Niat) | Ada kerja sama yang di sadari dan di kehendaki untuk bersama-sama melaksanakan kejahatan. Kedua pihak memiliki niat yang sama untuk terjadinya kejahatan. | Tidak harus memiliki niat untuk melakukan kejahatan, tetapi sadar bahwa bantuannya akan di gunakan untuk tujuan kejahatan. Ia hanya berniat membantu. |
| Waktu Keterlibatan | Saat atau sebelum delik di mulai, dan kontribusinya merupakan bagian dari pelaksanaan. | Sebelum (menyediakan alat) atau pada saat tindak pidana terjadi (misalnya, mengawasi keadaan). |
| Pertanggungjawaban | Sama dengan pelaku utama. Di hukum dengan pidana yang sama seperti pelaku yang melakukan tindak pidana itu secara tunggal. | Lebih ringan dari pelaku utama. Pidana yang di kenakan dapat di kurangi (dalam sistem KUHP lama, sepertiga dari pidana pokok). |
Ilustrasi Perbedaan
Turut Serta Melakukan (Pasal 55 KUHP)
Contoh Kasus: Pencurian Uang di Bank.
Peran: A (membobol brankas), B (mengawasi di dalam bank dan melumpuhkan petugas), dan C (menunggu di mobil dan membawa lari uang).
Analisis: Baik A, B, maupun C, memiliki niat yang sama untuk mencuri dan berkontribusi secara aktif dalam fase pelaksanaan delik. Peran B dalam melumpuhkan petugas adalah bagian tak terpisahkan dari proses pencurian. Ketiganya adalah Turut Serta Melakukan dan di pidana sama.
Membantu Melakukan (Pasal 56 KUHP)
Contoh Kasus: Perampokan.
Peran: X adalah perampok utama. Y adalah orang yang menjualkan senjata api secara ilegal kepada X, mengetahui bahwa senjata itu akan di gunakan untuk merampok, tetapi Y tidak ikut merampok.
Analisis: Y memberikan sarana (senjata) sebelum perampokan terjadi dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan inti perampokan. Y hanya memiliki niat untuk membantu terlaksananya perampokan. Y adalah Membantu Melakukan dan di hukum lebih ringan dari X.
Pembahasan mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi adalah aspek yang sangat penting dalam Hukum Pidana Materiil modern, khususnya dalam tindak pidana di bidang ekonomi dan lingkungan, karena mengatasi keterbatasan konsep tradisional yang hanya mengakui individu (natural person) sebagai subjek hukum pidana.
Aspek-Aspek Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pada dasarnya, pertanggungjawaban pidana korporasi berusaha menjawab pertanyaan: Bagaimana badan hukum non-manusia dapat melakukan tindak pidana dan memiliki kesalahan?
Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
Tradisionalnya, KUHP lama Indonesia hanya mengakui manusia (natuurlijke persoon) sebagai subjek hukum pidana (asas universitas delinquere non potest). Namun, perkembangan kejahatan modern seperti korupsi, pencucian uang, dan kejahatan lingkungan yang di lakukan secara terorganisasi, memaksa pengakuan terhadap Korporasi (rechtspersoon) sebagai subjek hukum pidana.
- Penerapan di Indonesia: Pengakuan ini tidak terdapat dalam KUHP lama, tetapi secara eksplisit di atur dalam Undang-Undang Pidana Khusus (misalnya, UU Korupsi, UU Lingkungan Hidup, dan UU Narkotika) dan di akui dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023).
- Definisi Korporasi: Umumnya, korporasi di definisikan sebagai kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik yang berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum.
Model Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Karena korporasi tidak memiliki “pikiran” (mens rea) seperti manusia, sistem hukum mengembangkan berbagai model (doktrin) untuk membebankan kesalahan kepada korporasi.
Doktrin Vicarious Liability (Pertanggungjawaban Pengganti)
- Konsep: Korporasi bertanggung jawab atas tindak pidana yang di lakukan oleh agen atau pengurusnya (karyawan atau direksi) karena hubungan pekerjaan (respondeat superior).
- Syarat: Perbuatan di lakukan dalam lingkup pekerjaan atau jabatan dan untuk kepentingan korporasi.
- Fokus: Doktrin ini melihat peran fungsional karyawan/agen, bukan “kesalahan” korporasi itu sendiri.
Doktrin Identification Theory (Teori Identifikasi)
- Konsep: Korporasi di anggap memiliki mens rea (niat/kesalahan) sendiri yang berasal dari “otak dan pusat saraf” korporasi, yaitu Pengurus Puncak (controlling mind atau organ pembuat kebijakan tertinggi, seperti Direksi atau Dewan Komisaris).
- Fokus: Niat pengurus puncak di identikkan dengan niat korporasi itu sendiri.
Corporate Culture/Reactive Corporate Fault (Model Budaya Korporasi)
- Konsep: Korporasi dapat di persalahkan secara pidana jika gagal mengambil tindakan yang wajar dan perlu untuk mencegah, memperbaiki, atau memastikan kepatuhan setelah tindak pidana terungkap.
- Fokus: Pertanggungjawaban muncul karena kelemahan struktural (budaya perusahaan yang longgar atau tidak adanya good governance), bukan hanya perbuatan individu.
Tiga Pola Penuntutan (Subjek yang Di pidana)
Dalam praktik hukum pidana khusus di Indonesia, khususnya merujuk pada ketentuan seperti UU Korupsi dan Perma No. 13 Tahun 2016, ada tiga pola utama penuntutan:
| Pola Penuntutan | Pembuat Tindak Pidana (Subjek Actus Reus) | Yang Di tuntut/Dipidana |
| Pola I | Pengurus/Karyawan | Hanya Pengurus (natural person). |
| Pola II | Pengurus/Karyawan | Korporasi sebagai pembuat, tetapi yang bertanggung jawab adalah Pengurus. |
| Pola III (Pola Umum UU Khusus) | Pengurus/Karyawan | Korporasi dan/atau Pengurusnya (dapat di tuntut salah satu atau keduanya). |
Pola III adalah yang paling efektif dalam pemberantasan kejahatan korporasi karena memungkinkan penegak hukum untuk memidanakan entitas dan individu yang berperan.
Jenis Sanksi Pidana untuk Korporasi
Karena korporasi tidak dapat di penjara, jenis pidana pokok yang di kenakan adalah pidana denda, yang biasanya di perberat (di kalikan) dari pidana denda normal. Selain itu, terdapat sanksi yang lebih fokus pada koreksi struktural dan kerugian publik:
- Pidana Pokok: Denda (dengan pemberatan khusus).
- Tindakan Tata Tertib (Sanksi Tambahan):
- Pencabutan izin usaha.
- Pembekuan kegiatan usaha.
- Pengambilalihan korporasi oleh negara (sanksi terberat).
- Kewajiban mengembalikan kerugian negara/korban (restitusi).
- Pelaksanaan kewajiban adat (untuk korporasi adat).
Konsultan Hukum Pidana Materiil Jangkargroups
Jangkargroups konsultan hukum yang memiliki spesialisasi di bidang Hukum Pidana Materiil adalah profesional hukum yang mendalami dan memberikan nasihat hukum terkait dengan substansi tindak pidana itu sendiri.
Peran dan Fungsi Konsultan Hukum Pidana Materiil
Konsultan jenis ini akan sangat relevan dan dibutuhkan dalam tahapan-tahapan awal suatu kasus pidana, bahkan sebelum kasus tersebut masuk ke persidangan.
Analisis Unsur Tindak Pidana (Delik)
- Identifikasi Perbuatan: Konsultan akan menganalisis apakah suatu perbuatan yang dilakukan (atau tidak dilakukan) benar-benar memenuhi rumusan delik dalam undang-undang (KUHP atau UU khusus). Apakah ada actus reus yang relevan?
- Sifat Melawan Hukum: Menilai apakah perbuatan tersebut memiliki sifat melawan hukum, baik secara formal (tertulis) maupun materiil (bertentangan dengan keadilan/norma).
- Unsur Kesalahan (Mens Rea): Menganalisis ada atau tidaknya unsur kesalahan pada pelaku, seperti kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini krusial untuk menentukan pertanggungjawaban pidana.
Penerapan Asas Legalitas
- Memastikan bahwa tindak pidana yang disangkakan sudah diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelum perbuatan dilakukan (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali).
- Mengevaluasi apakah ada ketentuan pidana yang diberlakukan secara surut (retroaktif), yang pada umumnya dilarang.
Penyusunan Argumentasi Hukum
- Bagi Pelaku: Memberikan nasihat tentang potensi keberatan atau pembelaan yang bisa diajukan, seperti adanya alasan pembenar (perbuatan tidak melawan hukum) atau alasan pemaaf (pelaku tidak dapat dicela/dimaafkan).
- Bagi Korban: Membantu mengidentifikasi dan merumuskan tindak pidana yang terjadi serta bukti-bukti yang relevan untuk mendukung laporan pidana.
Penafsiran Hukum Pidana
- Membantu menafsirkan pasal-pasal pidana yang seringkali memiliki makna yang luas atau memerlukan pemahaman mendalam tentang doktrin hukum pidana.Memberikan opini hukum mengenai potensi risiko pidana dari suatu tindakan atau kebijakan (misalnya, dalam konteks bisnis atau lingkungan).
Penentuan Sanksi Pidana yang Mungkin
Memberikan perkiraan mengenai jenis dan beratnya sanksi pidana yang dapat dikenakan jika suatu perbuatan terbukti sebagai tindak pidana, berdasarkan rumusan undang-undang.
Strategi Penanganan Kasus di Tahap Awal
Membantu klien dalam memahami posisi hukumnya di tahap penyelidikan atau penyidikan, serta memberikan arahan tentang hak-hak tersangka/terdakwa.
Singkatnya, seorang Konsultan Hukum Pidana Materiil adalah ahli dalam “apa” dan “mengapa” suatu perbuatan disebut kejahatan dan siapa yang harus bertanggung jawab, sebelum masuk ke tahap “bagaimana” penegakan hukumnya (yang diatur Hukum Acara Pidana).
PT Jangkar Global Groups berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.
YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI
Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups












