Ketika Keadilan Restoratif Bertemu KUHAP Tantangan Prosedural

Akhmad Fauzi

Updated on:

Ketika Keadilan Restoratif Bertemu KUHAP Tantangan Prosedural
Direktur Utama Jangkar Goups

Indonesia saat ini berada dalam periode transformasi hukum pidana yang fundamental. Dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru, sistem peradilan pidana nasional di dorong untuk meninggalkan paradigma retributif konvensional yang berorientasi pada pemenjaraan, dan beralih menuju pendekatan yang lebih humanis, modern, serta berfokus pada pemulihan dan rehabilitasi. Inovasi kunci dalam KUHP baru adalah pengarusutamaan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dan penggunaan sanksi alternatif (seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, dan denda) sebagai pengganti pidana penjara, menempatkan penjara sebagai ultimum remedium (obat terakhir).

Pergeseran paradigma ini merupakan langkah maju yang ambisius. Namun, implementasi ideal dari semangat restoratif dan sanksi alternatif ini berhadapan dengan tembok realitas prosedural, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tahun 1981.

Isu Sentral (The Mismatch)

KUHAP 1981 di rancang berdasarkan filosofi due process of law yang kaku dan model peradilan pidana yang sangat retributif. Akibatnya, KUHAP yang ada saat ini tidak memiliki mekanisme acara yang eksplisit dan memadai untuk operasionalisasi Keadilan Restoratif dan pelaksanaan sanksi alternatif. Ketidakcocokan mendasar antara hukum materiil (KUHP Baru) yang progresif dengan hukum formil (KUHAP 1981) yang konvensional menciptakan “lubang besar” dalam proses beracara bagi aparat penegak hukum.

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam tantangan-tantangan prosedural spesifik yang timbul dari benturan dua paradigma Keadilan Restoratif versus KUHAP khususnya dalam konteks penerapan sanksi alternatif. Analisis akan berfokus pada inkonsistensi regulasi, hambatan koordinasi antar-institusi, serta perlunya kerangka hukum acara yang jelas untuk menjamin efektivitas, akuntabilitas, dan kepastian hukum dalam mewujudkan cita-cita keadilan restoratif.

Menganalisis Paradigma yang Berbenturan

Konflik prosedural yang terjadi dalam penerapan sanksi alternatif bersumber dari dua filosofi yang saling bertolak belakang dalam memandang kejahatan dan penyelesaiannya.

Paradigma KUHAP 1981: Retributif Konvensional

KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) 1981 merupakan produk hukum yang secara fundamental di dasarkan pada prinsip Retributif dan Penghukuman. Paradigma ini memiliki ciri-ciri utama sebagai berikut:

Orientasi pada Hukuman Negara:

Fokus utama sistem adalah menentukan kesalahan pelaku dan menjatuhkan sanksi pidana yang setimpal (berupa pidana penjara atau denda) sebagai balas jasa (retribusi) atas perbuatannya.

Proses Litigasi Kaku:

Prosedur acara sangat terikat pada formalitas, tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, yang bertujuan membuktikan dakwaan secara sah.

Peran Korban yang Stagnan:

Dalam proses retributif, korban seringkali hanya di tempatkan sebagai saksi atau pelapor. Korban tidak memiliki peran aktif dalam menentukan bentuk penyelesaian atau pemulihan kerugian yang mereka alami. Penyelesaian utamanya ada di tangan Negara (jaksa dan hakim).

Blokade filosofis ini membuat KUHAP sulit mengakomodasi mekanisme informal seperti mediasi dan kesepakatan damai sebagai jalan keluar penyelesaian perkara.

Esensi Keadilan Restoratif (KR) dan Sanksi Alternatif

Keadilan Restoratif dan sanksi alternatif merepresentasikan sebuah revolusi filosofis dalam hukum pidana. Paradigma ini berusaha bergeser dari “siapa yang salah dan harus di hukum” menjadi “kerugian apa yang di timbulkan dan bagaimana memulihkannya.”

Fokus pada Pemulihan dan Relasi Sosial:

KR melihat kejahatan sebagai pelanggaran terhadap manusia dan hubungan sosial. Tujuannya adalah memperbaiki kerugian, menanggung tanggung jawab, dan membangun kembali hubungan yang rusak antara pelaku, korban, dan masyarakat.

Sanksi Alternatif sebagai Fokus Utama:

KUHP baru secara eksplisit mendorong sanksi non-pemenjaraan, seperti Pidana Kerja Sosial, Pidana Pengawasan, dan Denda sebagai pilihan utama. Hal ini menunjukkan komitmen untuk menempatkan penjara sebagai “remisi terakhir” (Ultimum Remedium).

Partisipasi Aktif Korban dan Pelaku:

KR menuntut dialog dan musyawarah antara korban, pelaku, dan masyarakat (melalui mediator) untuk mencapai kesepakatan pemulihan (misalnya, ganti kerugian, permintaan maaf, atau pelayanan masyarakat).

Titik Benturan (The Conflict Point)

Aspek KUHAP 1981 (Retributif) Keadilan Restoratif (KR)
Tujuan Utama Penghukuman yang setimpal (balas dendam) Pemulihan kerugian dan hubungan sosial
Fokus Proses Pembuktian Kesalahan (Guilt Determination) Identifikasi Kerugian dan Tanggung Jawab (Harm Repair)
Peran Korban Stagnan (Hanya Saksi) Aktif (Penentu Solusi/Pemulihan)
Hasil Pidana Penjara/Denda Kesepakatan Damai/Sanksi Alternatif

Benturan ini menjadi nyata ketika proses hukum pidana yang restoratif harus di formalkan menggunakan kerangka hukum acara (KUHAP) yang sejak awal tidak di rancang untuk itu. Ini memicu pertanyaan-pertanyaan prosedural kritis tentang validitas, akuntabilitas, dan pelaksanaan sanksi alternatif.

Tantangan Prosedural Inti dalam Penerapan (Isu KUHAP)

Meskipun KUHP baru menyediakan landasan filosofis bagi KR dan sanksi alternatif, KUHAP 1981 sebagai hukum acara tidak menawarkan mekanisme operasional yang jelas, menimbulkan tiga tantangan prosedural utama:

Inkonsistensi dan Ketidakjelasan Mekanisme Acara

Ketidaksesuaian KUHAP 1981 dengan semangat restoratif menciptakan kekosongan prosedur pada tahapan kunci:

Tidak Ada Lex Specialis di Tingkat UU:

Penerapan KR saat ini hanya di dasarkan pada regulasi teknis antar-lembaga (Peraturan Kepolisian/Perkap, Peraturan Jaksa Agung/Perja, Peraturan Mahkamah Agung/Perma), bukan undang-undang acara (KUHAP). Hal ini menimbulkan kerentanan hukum karena Peraturan Menteri/Lembaga tidak dapat mengesampingkan atau mengubah prosedur yang di atur dalam Undang-Undang.

Absennya Mekanisme Khusus Sanksi Alternatif:

KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bagaimana sanksi alternatif seperti pidana kerja sosial atau pengawasan di periksa, di putus, dan di awasi secara detail.

Siapa Lembaga Pelaksana?

Di luar peran terbatas Balai Pemasyarakatan (Bapas), tidak ada kejelasan prosedur mengenai siapa yang berwenang mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan sanksi alternatif di masyarakat.

Prosedur Non-Litigation:

KUHAP tidak memiliki bab atau pasal yang secara jelas mengatur proses dialog, mediasi, atau musyawarah restoratif sebagai tahapan resmi yang sah untuk menghentikan atau mengganti proses pidana konvensional.

Ego Sektoral dan Koordinasi Lembaga

Mekanisme KR di Indonesia terfragmentasi berdasarkan kewenangan institusi, yang memicu masalah koordinasi serius:

Perbedaan Syarat dan Batasan:

Syarat penerapan KR seringkali berbeda antara Kepolisian (tingkat penyidikan), Kejaksaan (tingkat penuntutan), dan Pengadilan (tingkat pemeriksaan/putusan), menciptakan ambiguitas dan ketidakpastian hukum bagi masyarakat.

Hambatan Alur Kasus:

Ego sektoral (setiap lembaga cenderung mempertahankan otoritasnya) dapat menghambat transisi kasus dari satu tahap ke tahap berikutnya. Sebagai contoh, jika Polisi telah melakukan KR, Kejaksaan dapat saja menolak dan melanjutkan penuntutan karena perbedaan pedoman, yang membatalkan upaya pemulihan yang telah di sepakati.

Kurangnya Sinkronisasi Budaya:

Aparat penegak hukum yang terbiasa dengan budaya hukum retributif membutuhkan pelatihan dan pedoman yang seragam. Perbedaan pemahaman dan interpretasi tentang “kriteria layak restoratif” menimbulkan risiko diskriminasi atau inkonsistensi dalam putusan.

Partisipasi Korban dan Akuntabilitas Keputusan

Paradigma baru menuntut peran korban yang aktif, tetapi KUHAP yang lama tidak menjamin hal tersebut:

Partisipasi Korban yang Rentan:

Walaupun KR mengedepankan kesukarelaan korban, KUHAP tidak memberikan perlindungan prosedural yang kuat selama proses musyawarah. Kurangnya kejelasan prosedur ganti kerugian yang di akui secara hukum juga membuat korban rentan terhadap kesepakatan yang tidak adil.

Akuntabilitas Keputusan:

Penghentian perkara melalui KR memerlukan akuntabilitas tinggi. Tanpa prosedur eksplisit dalam KUHAP, muncul kekhawatiran mengenai penyalahgunaan diskresi oleh aparat penegak hukum, terutama dalam kasus yang melibatkan relasi kuasa atau kepentingan pihak ketiga yang dapat menekan korban.

Formalisasi Restorative Agreement:

KUHAP tidak mengatur bagaimana kesepakatan damai yang di hasilkan dari proses restoratif (misalnya, janji kerja sosial oleh pelaku atau ganti rugi) dapat di formalkan sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan memiliki mekanisme eksekusi yang jelas, selain putusan pengadilan konvensional.

Dengan berlanjutnya penggunaan KUHAP 1981, semangat sanksi alternatif yang di bawa KUHP baru terancam lumpuh di tingkat pelaksanaan.

Konsekuensi dan Urgensi Pembaruan KUHAP

Ketidakselarasan antara KUHAP 1981 yang retributif dengan semangat Keadilan Restoratif (KR) dan Sanksi Alternatif pada KUHP baru menghasilkan konsekuensi serius dalam sistem peradilan pidana, sekaligus menekankan urgensi pembaruan hukum acara.

Konsekuensi Kegagalan Adaptasi Prosedural

Jika KUHAP tidak segera di sesuaikan, konsekuensi utamanya adalah:

Semangat Simbolis (Mandulnya Inovasi):

Inovasi fundamental dalam KUHP baru, seperti pidana kerja sosial dan pengawasan, berisiko hanya menjadi “simbol kosong” atau norma yang tidak efektif (non-operasional). Tanpa prosedur yang jelas (siapa mengeksekusi, bagaimana mengawasi, dan apa sanksi pelanggarannya), sanksi alternatif akan sulit di terapkan secara konsisten di lapangan, sehingga tujuan rehabilitasi gagal terwujud.

Ketidakpastian dan Ketidakadilan Hukum:

Fragmentasi aturan KR melalui Perkap, Perja, dan Perma menyebabkan ketidakpastian hukum dan potensi diskriminasi. Aparat penegak hukum (APH) rentan salah prosedur, dan masyarakat sipil/korban tidak memiliki jaminan atas kesamaan perlakuan di setiap tingkatan peradilan.

Inefisiensi Sistem:

Ketergantungan pada penyelesaian yang sifatnya ad-hoc atau extra-legal (di luar prosedur UU) untuk penerapan KR justru menambah beban kerja dan memperlambat penyelesaian kasus, alih-alih mengurangi kepadatan lembaga pemasyarakatan.

Solusi Jangka Panjang: Urgensi Revisi KUHAP

Pembaruan KUHAP bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak untuk menyediakan fondasi formal yang kokoh bagi penegakan hukum pidana modern:

Transformasi Paradigma Hukum:

Revisi KUHAP harus berpijak pada prinsip transformasi paradigma, bukan sekadar pembaruan teknis norma. Hukum acara harus bergeser dari model yang sangat represif menjadi restoratif dan partisipatif, menjamin due process of law yang selaras dengan KR.

Harmonisasi Norma dan Prosedur:

RUU KUHAP harus secara eksplisit mengatur:

Mekanisme Acara KR Universal:

Prosedur baku dan mengikat untuk proses mediasi/musyawarah restoratif di setiap tingkatan (penyidikan, penuntutan, pengadilan). Yang di akui sebagai dasar penghentian/perubahan perkara.

Pengaturan Sanksi Alternatif yang Detail:

Kejelasan mengenai lembaga mana yang berwenang mengawasi dan melaksanakan sanksi alternatif. Misalnya, peran Bapas yang di perluas atau pembentukan unit pengawasan baru.

Jaminan Perlindungan Hak Korban:

KUHAP yang baru harus memperkuat hak korban untuk meminta ganti kerugian dan berpartisipasi aktif dalam proses peradilan. Sekaligus memberikan perlindungan hukum dan prosedural yang kuat terhadap penyalahgunaan wewenang APH dalam praktik KR.

Revisi KUHAP adalah fondasi formal yang akan menjamin bahwa semangat keadilan, humanisme, dan modernitas yang tertuang dalam KUHP Nasional. Dapat di wujudkan secara nyata di meja penyidikan hingga palu Hakim.

PT. Jangkar Global Groups berdiri pada tanggal 22 mei 2008 dengan komitmen yang kuat dari karyawan dan kreativitas untuk menyediakan pelayanan terbaik, tercepat dan terpercaya kepada pelanggan.

YUK KONSULTASIKAN DULU KEBUTUHAN ANDA,
HUBUNGI KAMI UNTUK INFORMASI & PEMESANAN
KUNJUNGI MEDIA SOSIAL KAMI

 

 

Website: Jangkargroups.co.id
Telp kantor : +622122008353 dan +622122986852
Pengaduan Pelanggan : +6287727688883
Google Maps : PT Jangkar Global Groups

Akhmad Fauzi

Penulis adalah doktor ilmu hukum, magister ekonomi syariah, magister ilmu hukum dan ahli komputer. Ahli dibidang proses legalitas, visa, perkawinan campuran, digital marketing dan senang mengajarkan ilmu kepada masyarakat